The Story of Indonesian Heritage

Pesarean Gunung Kawi

Saya mendengar kisah Gunung Kawi semenjak masih di bangku SD. Kisahnya berkisar masalah pesugihan. Kata-kata yang masih mengiang di telinga saya adalah kalau ingin sugih (kaya) ya ke Gunung Kawi saja. Kata-kata ini lama mengendap di dalam pikiran saya, hingga akhirnya bisa kesampaian mengunjungi Gunung Kawi. Bermula dari diajak oleh Tim SMART Health Kepanjen untuk plesiran ke Gunung Kawi, saya berkesempatan bertandang ke Gunung Kawi.
Pikiran saya yang semula membayangkan keindahan pemandangan pegunungan yang berhawa sejuk, segar dan asri tersebut, ternyata hilang di balik rerimbunan pepohonan yang besar dan berusia tua. Kisah Gunung Kawi yang begitu melegenda tersebut, ternyata berasal dari makam yang ada di dalam pendopo di lereng gunung tersebut. Makam tersebut dikenal sebagai Pesarean Gunung Kawi.
Pesarean ini terletak di Dusun Wonosari No. 46 RT. 09 RW. 05 Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Lokasi pasarean ini berada di sebelah utara Pasar Desa Wonosari.
Kata pesarean diambil dari bahasa Jawa yang artinya kuburan. Jadi, Pesarean Gunung Kawi maksudnya adalah kuburan atau makam yang berada di lereng Gunung Kawi. Namun demikian, tidak semua makam yang berada di lereng Gunung Kawi termasuk ke dalam pengertian Pesarean Gunung Kawi ini.
Yang dimaksud Pesarean Gunung Kawi sesungguhnya mengacu kepada makam Kyai Zakaria II (Mbah Joego) dan Raden Mas Iman Soedjono. Kyai Zakaria II di kalangan Tionghoa disebut sebagai Taw Low She, yang artinya Guru Besar Pertama. Sedangkan, RM Iman Soedjono di kalangan Tionghoa lazim disebut sebagai Djie Low She, yang artinya Guru Besar Kedua.


Menurut R. Soelardi Soeryowidagdo dalam bukunya, Pesarean Gunung Kawi: Tata Cara Ziarah dan Riwayat Makam Eyang Panembahan Djoego, Eyang Raden Mas Iman Soedjono di Gunung Kawi (1989:8) dijelaskan bahwa, berdasarkan Surat Keterangan yang dikeluarkan oleh Pengageng Kantor Tepas Darah Dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat Nomor 55/TD/1964 yang ditandatangani oleh Kanjeng Tumenggung Danoehadiningrat pada tanggal 23 Juni 1964, diterangkan silsilah Kyai Zakaria II.
Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana I, yang memerintah Kraton Mataram dari tahun 1705 hingga 1719, memiliki putra bernama Bandoro Pangeran Haryo (BPH) Diponegoro. Pangeran ini mempunyai putra bernama Kanjeng Kyai Zakaria I. Beliau adalah seorang ulama besar di lingkungan Kraton Mataram di Kartasura ketika itu. Kemudian, Kyai Zakaria I berputra Raden Mas Soeryokoesoemo atau Raden Mas Soeryodiatmodjo.
Semasa mudanya, Raden Mas Soeryokoesoemo menunjukkan minat yang besar untuk mempelajari agama Islam. Setelah dewasa, Raden Mas Soeryokoesoemo terlihat kemampuannya yang mumpuni dan ketekunannya dalam mempelajari hal-hal keagamaan. Atas dasar itu, Sri Susuhunan Paku Buwana V berkenan mengubah nama Raden Mas Soeryokoesoemo sesuai Peparing Dalem Asmo (Pemberian Nama oleh Sri Susuhunan) menjadi Kanjeng Kyai Zakaria II.
Dalam perjalanan hidupnya, Kanjeng Kyai Zakaria II menaruh minat terhadap perjuangan Pangeran Diponegoro. Minat inilah yang kemudian menghantarkan beliau untuk bergabung dalam perjuangannya. Karena kecakapannya, Kanjeng Kyai Zakaria II masuk dalam bhayangkara atau prajurit kepercayaan Pangeran Diponegoro dalam perang besarnya melawan Kompeni Belanda, atau yang terkenal dengan Perang Jawa (20 Juli 1825 – 30 Maret 1830).
Pada saat Pangeran Diponegoro terjepit dalam perundingan dengan Kompeni Belanda di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock di Magelang pada tanggal 28 Maret 1830, beliau menyadari akan ditangkap. Sebagai seorang pimpinan perjuangan yang bertanggung jawab maka sebagai upaya final, beliau mengajukan tuntutan akhir, yaitu beliau bersama keluarga terdekat bersedia ditangkap, asalkan bhayangkara dan seluruh lascar bersama keluarganya dibebaskan, dan diberi kesempatan pulang ke daerah asalnya masing-masing. Bila tuntuntan itu tidak dipenuhi, dengan keterbatasan personil dan senjata, Pangeran Diponegoro bertekad akan berperang habis-habisan.


Menyadari bahwa charisma Pangeran Diponegoro di daerah pedalaman Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat sangat besar, dengan berbagai pertimbangan akhirnya Kompeni Belanda memenuhi tuntutan tersebut. Setelah kalah dalam perundingan yang licik dan tidak terhormat itu, selanjutnya oleh Belanda Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang dan kemudian dibawa ke Batavia. Selanjutnya beliau diasingkan ke Manado dan terakhir dipindahkan ke Makasar. Akhirnya beliau wafat di dalam benteng Rotterdam di Makasar pada tanggal 8 Januari 1855. Peristiwa ini diabadikan oleh seorang pelukis Belanda bernama Nicolaas Pieneman dalam lukisannya yang diberi judul De onderwerping van Diepo Negoro aan luitenant-generaal baron De Kock (Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Letnan Jenderal De Kock. Lukisan minyak di atas kanvas berukuran 77 cm x 100 cm tersebut sekarang disimpan di Rijksmuseum, Belanda.
Setelah peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro di Magelang, Kyai Zakaria II menyingkir untuk menghindari dari penangkapan Kompeni Belanda terhadap dirinya. Beliau menyelamatkan diri ke daerah Sleman, terus ke Nganjuk, Bojonegoro, dan kemudian ke Blitar. Pada waktu di Blitar, beliau merasa sudah jauh dari kejaran Kompeni Belanda, namun ternyata masih berdekatan dengan Kadipaten di bawah kekuasaan Belanda. Lalu, beliau menjauhkan diri lagi menuju ke Kesamben, sekitar 35 kilometer dari Kota Blitar. Kyai Zakaria II menetap di pinggiran Sungai Brantas di Dusun Sanan, Desa Jugo, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar. Di desa ini, beliau bertemu dengan Ki Tasiman. Ketika ditanya asal-usulnya, ia merasa waspada jangan-jangan kehadirannya diketahui oleh Kompeni Belanda. Akhirnya, beliau memperkenalkan diri dengan menyembunyikan jati dirinya kepada Ki Tasiman. “Kulo niki sajoego”, katanya. “Kulo niki sajoego” merupakan kata-kata yang berasal dari bahasa Jawa, yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti “saya sendirian”. Menurut penangkapan telinga Ki Tasiman yang salah pengertian dikira namanya Sajoego, yang kemudian dipanggilnya dengan Pak Joego. Hal ini dibiarkan oleh Kyai Zakaria II, sehingga beliau aman dari kejaran Kompeni Belanda, dan sejak itulah beliau dikenal juga dengan nama Mbah Joego.
Mbah Joego kemudian menghabiskan sisa hidupnya di sana dengan berdakwah agama Islam. Mbah Joego meninggal dunia di padepokannya di Dusun Sanan, Desa Jugo, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar, pada Minggu Legi malam Senin Pahing pada pukul 01.30 tanggal 1 bulan Selo (Dzulhijjah) tahun 1799 Dal, atau bertepatan dengan tanggal 22 Januari 1871. Sesudah meninggal, beliau dimakamkan di Gunung Kawi sesuai dengan wasiat beliau ketika masih hidup.
Sedangkan Raden Mas Iman Soedjono adalah keturunan dari Kanjeng Raden Tumenggung Notodipo dan Raden Ayu Tumenggung Notodipo, atau cicit dari Sri Sultan Hamengku Buwana I. Raden Mas Iman Soedjono menikah dengan anggota Laskar Langen Koesoemo yang bernama Raden Ayu Saminah, atau biasa dipanggil dengan Nyi Djuwul. Laskar Langen Koesoemo merupakan laskar prajurit wanita dalam kelaskaran Diponegoro.
Sama halnya dengan Mbah Joego, Raden Mas Iman Soedjono juga merupakan bhayangkara atau prajurit terpercaya Pangeran Diponegoro dalam mengobarkan perang besar melawan Kompeni Belanda di Jawa Tengah. Ketika Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Kompeni Belanda, Raden Mas Iman Soedjono dan Kyai Zakaria II mengembara ke berbagai daerah terpencil. Kyai Zakaria II berganti nama menjadi Mbah Joego, sedangkan Raden Mas Iman Soedjono tetap menggunakan namanya namun gelar kebangsawanannya ditinggalkannya.


Semenjak Mbah Joego yang menjadi sesepuhnya meninggal, Raden Mas Iman Soedjono memutuskan untuk menetap di Dusun Wonosari. Dalam kehidupan sehari-hari, ia mengolah lahan untuk bercocok tanam padi gogo serta tanaman lainnya, seperti jagung, singkong, pisang, ubi jalar, kacang, kopi dan teh. Selain itu, beliau juga menyempatkan diri merawat dengan tekun pusara Mbah Joego.
Di samping itu, Raden Mas Iman Soedjono juga senantiasa berdakwah kepada para pengikutnya maupun para tamu yang datang ke rumahnya sekaligus berziarah ke makam Mbah Joego. Petunjuk dan pengarahan yang sering diberikan kepada tamunya adalah dakwah yang bernafaskan Islam. Penyampaiannya diwujudkan dengan pemberian benda berupa bungkusan kecil yang dinamakan “Saren Sinandi”. Materi Saren Sinandi tersebut berisi sejimpit beras, karag atau nasi kering, dan sekeping uang logam.
Sinandi berarti kiasan. Jadi, kalau pengunjung ingin mendapat petunjuk yang baik dari Raden Mas Iman Soedjono sebagai sesepuh penerus almarhum Mbah Joego, pengunjung harus bisa menguraikan arti kiasan barang yang diberikan oleh beliau berupa “Saren Sinandi” tadi. Barang inilah yang setiap tanggal 12 Suro atau 12 Muharram (1805), yaitu pada puncak acara peringatan hari wafatnya Raden Mas Iman Soedjono (bertepatan dengan 8 Februari 1876) selalu didambakan oleh segenap pengunjung Pasarean Gunung Kawi. Saren itu oleh kalangan orang Tionghoa disebut dengan ang pauw.
Pada waktu saya berkunjung ke Pasarean Gunung Kawi menjelang khaul Raden Mas Iman Soedjono, terlihat banyak orang Tionghoa yang juga berkunjung ke Pasarean tersebut. Konon, keikutsertaan warga Tionghoa ke dalam lingkungan perziarahan di Pasarean Gunung Kawi bermula dari seseorang yang bernama Tan Kie Lam. Pada waktu itu, Tan Kie Lam sempat diobati dan disembuhkan oleh Mbah Soedjo (sebutan untuk Raden Mas Soedjono) berkat air dari guci peninggalan Mbah Joego yang ada di kompleks makam. Setelah sembuh, Tan Kie Lam pun akhirnya tinggal dan berguru di Padepokan Gunung Kawi. Sebagai seorang Tionghoa, ia mungkin merasa kurang nyaman dengan mengikuti ritual cara ritual masyarakat Jawa. Akhirnya, Tan Kie Lam mendirikan sebuah kelenteng kecil sendiri untuk bersembahyang dan sekaligus untuk menghormati kedua almarhum gurunya.
Pada tahun 1931 datang lagi seorang Tionghoa yang bernama Ta Kie Yam (Pek Yam) untuk berziarah di Gunung Kawi. Pek Yam merasa tenang hidup di Gunung Kawi dan akhirnya dia menetap di Dusun Wonosari untuk ikut mengabdi kepada Mbah Joego dan Mbah Soejo dengan cara membangun jalan dari pesarean sampai ke bawah dekat stanplat. Pek Yam pada waktu itu dibantu oleh beberapa orang temannya dari Surabaya dan juga ada seorang dari Singapura. Setelah jalan itu jadi, kemudian dilengkapi dengan gapura (bentuknya berbeda dengan gapura sekarang, telah dipugar), mulai dari stanplat sampai dengan pesarean (Prastio Wardoyo, 2009).
Tetapi kepopuleran Pesarean Gunung Kawi di kalangan orang Tionghoa konon dimulai dari kesuksesan Ong Hok Liong, yang mendirikan pabrik Rokok Bentoel setelah dia datang dan berguru di Padepokan Gunung Kawi.
Menurut Mariani Samsi (Rusdi, dkk., 2009), putri sulung Ong Hok Liong, kedua orangtuanya dulu menganut kepercayaan Gunung Kawi. Hal ini bermula dari sewaktu merintis pabrik rokoknya, hidup Ong Hok Liong tidaklah mudah. Produk awal merek “Burung”, “Kendang”, “Klabang” dan “Jeruk Manis” kurang laku. Apa lagi, sekitar tahun 1935, ekonomi dunia dilanda krisis zaman Malaise. Orang mulai sering ke Gunung Kawi, termasuk salah satunya adalah Ong Hok Liong, untuk bersemedi, mencari jalan keluar lewat petunjuk supranatural.
Ketertarikannya dengan Gunung Kawi terus berlanjut. Bagi pasangan suami istri Ong, Gunung Kawi menjadi tempat mengadu jika menghadapi kesulitan. Maka ketika tahun 1935, rokok “Jeruk Manis” milik Ong Hok Liong tidak bisa berkembang, ia naik ke Gunung Kawi untuk berziarah ke makam keramat Mbah Joego. Sepulang dari Gunung Kawi itulah, Ong Hok Liong mulai menggunakan merek “Bentoel”, yang sampai lebih 60 tahun kemudian bahkan sampai sekarang masih mampu bertahan sebagai salah satu dari lima besar industri rokok di Indonesia.
Kata Mariani Samsi, nama “Bentoel” diperoleh Ong Hok Liong lewat acara semedi yang panjang. Seingatnya, ketika Ong Hok Liong bersemedi, ia melihat banyak penjual bentoel (Jawa: ubi talas) berbondong-bondong lewat. Menurut penjaga makam keramat tersebut, itu berarti bentoel adalah ilham yang diperoleh lewat semedi, dan Ong Hok Liong dianjurkan menggunakan merek “Bentoel”. “Papa percaya dan langsung membuat rokok merek cap “Bentoel”, kenang Mariani Samsi.
Keberhasilan nama Bentoel membuat PT Bentoel memelihara tradisi berkunjung ke Gunung Kawi. Setiap tahun, pada tanggal 1 Suro. Perusahaan menyelenggarakan selamatan di Gunung Kawi, menggelar wayang kulit selama dua hari dua malam, lengkap dengan suguhan daging sapid an kambing. Untuk menokong acara selamatan Gunung Kawi, disediakan dana khusus. Semua karyawan Bentoel diajak merayakan selamatan itu.
Kabar kesuksesan Ong Hok Liong setelah berziarah ke Pesarean Gunung Kawi dengan cepat menyebar luas ke kalangan masyarakat. Selanjutnya, banyak warga yang ramai berkunjung dan berziarah di Pesarean Gunung Kawi pula. Selain itu, setiap warga yang telah merasa semakin sukses semenjak kunjungannya ke Pesarean Gunung Kawi sudah barang tentu mereka akan mengajak saudara, teman, atau relasinya.
Dari sinilah mengapa kemudian tradisi ziarah ke Pesarean Gunung Kawi semakin semarak. Dulu merupakan pesarean yang sepi, sejak tahun 1980-an Pesarean Gunung Kawi berkembang menjadi daerah tujuan wisata ziarah yang diminati oleh kalangan masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari ceritera kesuksesan dari beberapa peziarah yang kemudian dimitoskan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. Sehingga mitos pesugihan, konon mendapatkan legitimasinya di Pesarean Gunung Kawi. *** [111016]

Kepustakaan:
Rusdi, Drs., M.Hum., dkk., 2009. Sejarah Perusahaan Rokok di Kota Malang, Malang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan P2M IKIP Budi Utomo
Soeryowidagdo, R.S., 1989. Pesarean Gunung Kawi: Tata Cara Ziarah dan Riwayat Makam Eyang Panembahan Djoego, Eyang Raden Mas Iman Soedjono di Gunung Kawi, Malang: Yayasan Ngesti Gondo
Wardoyo, Prasto, Anang, & K. Anam, 2009, Gunung Kawi Fakta & Mitos: Pesugihan atau wisata religi multicultural?, Surabaya: Lingua Kata
https://id.wikipedia.org/wiki/Penyerahan_Pangeran_Diponegoro_kepada_Jenderal_De_Kock
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami