The Story of Indonesian Heritage

Rumah KPH Hamijoyo Santoso

Menemani anak wedok yang kecil bermain di Taman Monumen 45 Banjarsari, memberikan kesenangan tersendiri. Pasalnya, di samping membahagiakan anak wedok beraktivitas di playground dengan sesamanya, saya juga bisa ‘memuaskan’ diri dengan melihat-lihat sejumlah bangunan lawas yang melingkungi taman tersebut. Salah satu bangunan kuno yang saya lihat adalah Rumah KPH Hamijoyo Santoso. Rumah ini terletak di Jalan Nias No, 9 Kelurahan Setabelan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi rumah ini berada di samping bekas rumah dinas Residen Surakarta, atau sebelah barat laut Taman Monumen Banjarsari.
Sesuai plakat yang menempel di pintu halaman sebelah utara, rumah ini merupakan kediaman Kanjeng Pangeran Hario (KPH) Hamijoyo Santoso. Beliau adalah putra dalem dari Sri Paduka Mangkunegoro VII dengan Mas Ayu Sita Ningrum (garwo ampil). Sewaktu lahir, beliau diberi nama Bendoro Raden Mas (BRM) Santoso. Beliau menempati rumah yang berada di kawasan Taman Monumen 45 Banjarsari ini berdasarkan palilah (perkenan) dari Mangkunegoro VII.
Kawasan Taman Monumen 45 Banjarsari ini dulunya bernama Villapark, yang diambil dari bahasa Belanda, yaitu villa yang berarti rumah yang bagus, dan park yang berarti taman. Jadi, Villapark berupa kawasan perumahan yang besar dan bagus (loji) yang dikelilingi oleh taman.
Keberadaan Villapark ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintahan Mangkunegoro VI yang menyewakan lahan digunakan sebagai permukiman atau tempat tinggal elit orang-orang Eropa di sebelah utara Pura Mangkunegaran, yang sebagian besar dihuni oleh orang-orang Eropa yang bekerja di sektor perkebunan. Dengan menyewakan lahan tersebut menjadi Villapark, akan menghasilkan pemasukan finansial bagi Praja Mangkunegaran.


Semula, lahan yang disewakan selama 25 tahun dan dapat diperpanjang kembali apabila habis, merupakan tanah lapangan atau pamedan lor yang digunakan untuk latihan prajurit konstabel, yaitu prajurit meriam dari Legiun Mangkunegaran yang terdiri dari orang-orang Belanda. Di sekeliling pamedan tersebut dulunya merupakan tempat tinggal prajurit meriam tersebut. Hal ini yang kemudian daerah itu dikenal dengan Stabelan, yang diambil dari bahasa Belanda, konstabel, yang berarti pasukan penembak meriam.
Villapark dirancang oleh Ir. Herman Thomas Karsten, seorang arsitek dan perencana wilayah permukiman terkemuka di Hindia Belanda, pada saat menjadi konsultan perencanaan Kota Solo, yang pembangunannya dilakukan secara bertahap. Rencana yang dihasilkan Thomas Karsten pada prinsipnya membelah ruang terbuka yang luas menjadi persil-persil yang lebih kecil. Konsep pembuatan jalan dalam pola permukiman Villapark dibangun menurut model tata ruang Eropa yang telah meninggalkan konsep arah jalan tradisional. Daerah Villapark menunjukkan model pembangunan jalan bergaya Eropa dengan pembuatan taman-taman di antara pertigaan dan perempatan jalan.
Dengan luas sekitar 1,5 hektar, permukiman Villapark dilengkapi dengan fasilitas pendidikan, keagamaan, kesehatan dan kebudayaan. Di kawasan Villaparkweg Nordeen (sekarang Jalan Abdul Rahman Saleh), terdapat 32 villa, 2 villa dimiliki oleh NIS (Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschaapij). Selain itu di sisi utara terdapat Kantor Sindoepradja. Di kawasan Villapark Westen (sekarang Jalan Sabang), terdapat 17 villa, 2 buah lapangan olahraga, dan 1 sekolah. Di kawasan Villaparkweg Zuiden (sekarang Jalan Enggano), terdapat 20 villa, 2 buah sekolah yaitu Neutraalschool dan Frobelschool, dan lapangan bermain (Speelplaats). Selain itu di sisi selatan terdapat Kelurahan Setabelan. Di kawasan Villapark Oosten (sekarang Jalan D.I. Panjaitan), terdapat 23 villa, 2 buah lapangan tenis, dan 1 sekolah yaitu Zending Schakelschool.  Saat ini, mayoritas kawasan timur Villapark sudah menjadi sekolah. Kawasan timur Villapark dikelola oleh pihak Zending atau gereja Kristen yang bernama GKJ Margoyudan.
Pada awalnya, Villapark memang diperuntukkan bagi orang-orang Eropa. Namun, pada tahun 1930-an terjadi suatu perubahan permukiman tersebut dengan memperbolehkan golongan pribumi masuk ke dalam lingkungan itu.
Ketika Jepang menduduki Kota Solo pada tahun 1942, nama kawasan Villapark harus diganti, karena Jepang tidak menyukai nama-nama yang berbau Belanda maupun Eropa lainnya. Akhirnya, nama kawasan Villapark diganti menjadi Banjarsari. Nama Banjarsari diambil dari kata banjar dan sari. Banjar berarti ‘rumah besar’, dan Sari berarti ‘terlihat indah (sari, asri), sehingga sampai sekarang daerah itu disebut dengan Banjarsari.
Pada 31 Oktober 1973 Pemerintah Kotamadia Daerah Tingkat II Surakarta membangun monumen di kawasan taman itu, guna mengenang pertempuran dahsyat serta heroisme perjuangan rakyat Solo dalam pertempuran 4 hari di Solo. Dari situlah, taman yang dulunya dikenal dengan sebutan Villapark, sekarang berganti nama menjadi Taman Monumen 45 Banjarsari.
Setelah KPH Hamijoyo Santoso meninggal dunia pada tahun 1980, rumah yang berdiri di atas lahan seluas ± 2585 m² itu didiami oleh anak laki-lakinya bernama Kanjeng Raden Mas Hario (KRMH) Didith Soeparto HS. Sepeninggal KRMH Didith Soeparto HS pada 19 Februari 2013, rumah ini kemudian ditinggali oleh anak dan istrinya. *** [140717]

Kepustakaan:
Azaria, Ega. (2016). Mangkunegaran Kota Elit Modern di Bhumi Raja. Geschiephoria Magazine Edisi Februari-Juni 2016
Setiawan, Dody. (2013). Biografi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro VIII. Skripsi di FIB UNAIR Surabaya
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami