Dahulu kala hiduplah seorang Brahmana yang bernama Sidi Mantra. Sidi Mantra merupakan orang yang sangat terkenal di Kerajaan Daha karena kesaktiannya. Selain sakti, Sidi Mantra juga taat dan patuh sekali menjalankan perintah Batara Guru atau Sanghyang Widhi. Karena ketaatan dan kepatuhan Sidi Mantra, maka Batara Guru memberikan banyak hadiah. Hadiah tersebut di antaranya adalah harta benda yang sangat banyak dan seorang isteri yang cantik. Tak lama setelah Sidi Mantra menikah, maka lahirlah anak laki-laki yang tampan parasnya. Lengkap sudah kebahagiaan pasangan suami isteri tersebut. Anak laki-laki tampan tersebut kemudian diberi nama Manik Angkeran.
Mnik Angkeran tumbuh dalam keluarga yang sangat bersahaja. Ayah dan ibunya sangat menyayanginya. Apapun yang ia minta selalu dikabulkan dan dipenuhi oleh orangtuanya. Manik Angkeran sangat dimanja oleh kedua orangtuanya, karena Manik Angkeran hidup di keluarga yang berkelebihan harta benda.
Manik Angkeran keil kini sudah tumbuh menjadi pria dewasa yang semakin tampan parasnya. Banyak gadis yang jatuh hati padanya. Tetapi tidak pernah ia hiraukan. Ia lebih senang bergaul dengan teman-temannya sesame laki-laki. Namun saying, Manik Angkeran salah dalam memilih teman. Ia memiliki teman yang suka berjudi, sehingga Manik Angkeran pun jadi ketularan suka berjudi. Ia jarang sekali menang, kalaupun menang ia pasti telah kalah lebih banyak. Uang yang ia bawa selalu habis, bahkan ia harus meminjam dulu pada temannya untuk terus ikut bermain judi.
Lama-kelamaan, karena selalu kalah dalam berjudi, maka harta orangtuanya pun yang dahulu begitu banyak, sekarang sudah mulai habis. Hal ini disebabkan harta milik orangtunay selalu dibuat judi oleh Manik Angkeran. Kini hidup keluarga Manik Angkeran tidak seperti dulu lagi. Mereka kini jatuh dalam kemiskinan dan kekurangan harta untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Setelah lama tidak bermain judi dan jarang sekali berkumpul dengan teman-temannya karena sudah tidak memiliki uang lagi untuk berjudi, kini giliran teman-teman Manik Angkeran yang mengunjungi rumahnya untuk menagih utang-utangnya yang semakin hari semakin menumpuk saja. Tetapi saying, Manik Angkeran tidak dapat membayar utang. Dan dia kini dikejar-kejar oleh teman-temannya.
Karena sudah tidak kuat lagi selalu ditagih utang, Manik Angkeran akhirnya meminta tolong pada ayahnya, Sidi Mantra untuk melunasi utang-utangnya. Tetapi Sidi Mantra sudah tidak punya apa-apa lagi, sehingga tidak dapat membantu anaknya untuk melunasi utangnya.
Manik Angkeran bersujud dan memohon pada ayahnya, Sidi Mantra untuk membantunya terbebas dari utang dengan cara apapun. Manik Angkeran berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya berjudi itu.
Akhirnya, Sidi Mantra luluh juga hatinya melihat buah hatinya yang begitu memelas meminta bantuannya. Sidi Mantra kemudian berdoa memohon pada para dewa untuk mencarikan jalan keluar dan petunjuk dari masalah yang menimpa anaknya saat ini. Sidi Mantra berdoa dan berpuasa siang dan malam demi anaknya.
Tidak lama setelah berdoa, kemudian terdengar suara aneh yang mengagetkan Sidi Mantra.
“Hai, Sidi Mantra, jika kau menginginkan harta benda, maka pergilah engkau ke kawah Gunung Agung, di sana akan kau temukan seekor naga yang bernama Naga Besukih. Mintalah sedikit harta benda pada Naga Besukih, maka engkau akan diberinya.” Kata suara aneh itu. Setelah mendengar suara tersebut, Sidi Mantra diam dalam kebingungannya. Apa yang harus diperbuatnya??
Setelah lama berdiam diri, maka Sidi Mantra memanggil anaknya, Manik Angkeran dan isterinya, “Manik anakku, tadi baru saja ayah diutus oleh dewa untuk pergi ke kawah Gunung Agung,” kata Sidi Mantra.
“Untuk apa Ayah ke Gunung Agung?” Tanya Manik Angkeran pada ayahnya.
“Ayah pergi ke Gunung Agung untuk meminta sedikit harta benda pada Naga,” jawab Sidi Mantra.
“Pada Naga, Ayah? Jangan Ayah, nanti Ayah dimakan oleh Naga itu.”
“Tidak apa-apa anakku, Naga itu baik, namanya Naga Besukih,” jawab Sidi Matra.
“Hati-hati ya Suamiku, aku takut kalau terjadi apa-apa pada dirimu,” cemas sang isteri.
“Tidak apa-apa isteriku, Aku akan menjaga diri baik-baik selama perjalanan menuju kawah Gunung Agung. Kepergianku ini juga untuk kebaikan keluarga kita agar keluarga kita berkecukupan lagi seperti dahulu. Dan kau, Manik, jaga ibumu di rumah, jangan sampai kau sakiti dirinya,” pesan Sidi Mantra pada isteri dan anaknya.
Tak lama setelah itu, akhirnya Sidi mantra pamit pada isteri dan anaknya. Sidi Mantra pergi dengan membawa golok dan genta serta bekal seadanya. Isteri dan anaknya menangis melepas kepergian orang yang sangat mereka sayangi.
“Hati-hati di jalan ya, Yah,” seru Manik Angkeran. Sidi Mantra hanya tersenyum dan melambaikan tangan pada isteri dan anaknya.
Sidi Mantra mulai berjalan menerobos hutan yang begitu lebat. Pohon-pohon yang menghalangi langkahnya dibabat dengan cekatan oleh Sidi Mantra. Di dalam hutan memang banyak sekali binatang buas yang mengganggu perjalanannya. Namun, karena Sidi Mantra memiliki kesaktian yang hebat, maka binatang buas yang menghalangi langkahnya dapat dikalahkan dengan mudah.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan banyak rintangan yang harus dihadapi, sampailah Sidi Mantra di tepi kawah Gunung Agung yang merupakan tujuannya. Di tepi kawah Gunung Agung, Sidi Mantra mulai duduk bersila sambil membaca mantra dan membunyikan genta yang dibawanya dari rumah, seraya memanggil nama Naga Besukih.
Tidak lama setelah Sidi Mantra berdoa dan membunyikan genta, maka keluarlah Naga Besukih. Sidi Mantra kaget sekali, karena dihadapannya kini telah ada Naga yang besar sekali.
“Ada apa kau membangunkan tidurku?” Tanya Naga Besukih.
Maaf, Naga Besukih, maksud kedatangan hamba ke sini adalah disuruh oleh Batara Guru untuk meminta sedikit harta yang kau miliki,” jawab Sidi Mantra.
Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra, maka Naga Besukih berpesan pada Sidi Mantra.
“Kau dapat mengambil emas dan intan yang keluar dari sisiku setelah aku menggeliat nanti, tetapi secukupnya saja.”
“Baiklah Naga Besukih, akan aku turuti perintahmu,” jawab Sidi Mantra.
Kemudian Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan. Sidi Mantra begitu terpana melihat emas dan intan yang keluar dari sisik Naga Besukih. Tetapi Sidi Mantra tidak tinggal diam saja. Ia kemudian mengambil emas dan intan dari sisik naga Besukih secukupnya saja. Setelah dirasa cukup, maka Sidi Mantra mohon pamit dan mengucapkan terima kasih pada Naga Besukih.
“Terima kasih Naga Besukih atas pertolonganmu yang begitu banyak ini. Aku tidak dapat memberikan apa-apa padamu,” kata Sidi Mantra.
“Tidak apa-apa Sidi Mantra, aku bahagia dapat membantumu mengatasi kesulitan rumah tanggamu. Lekaslah kau pulang, karena isteri an anakmu menunggumu di rumah,” pinta Naga Besukih.
Dalam sekejap mata, Naga Besukih menghilang ke dalam kawah Gunung Agung. Dan Sidi Mantra pun pulang ke rumahnya.
Perjalanan ke rumahnya memakan waktu yang lama. Di samping itu, ia juga harus hati-hati jika di tengah jalan nanti ia bertemu dengan orang yang berniat jahat yang akan mengambil emas dan intan yang ia miliki. Begitu juga nyawanya dalam intaian binatang buas, yang sewaktu-waktu dapat menerkamnya.
Sesampainya di rumah, Sid Mantra disambut gembira oleh anak dan isterinya.
“Bagaimana suamiku, tentunya perjalananmu cukup melelahkan, bukan?” Tanya isteri Sidi Mantra.
“Tidak isteriku, rasa letihku terobati sudah dengan melihat kalian berdua,” jawab Sidi Mantra.
“Ayah, bagaimana, dapat apa tidak harta karunnya?” Tanya Manik Angkeran.
“Sabarlah sedikit anakku, di dalam kantongku ini ada emas dan intan dari Naga Besukih. Ambillah,” jawab Sidi Mantra.
Betapa girangnya hati Manik Angkeran mendengar emas dan intan ada di dalam kantong ayahnya. Segera Manik Angkeran mengambil secukupnya untuk melunasi utang pada teman-temannya. Emas dan intan yang masih tersisa kemudian dijual. Dan uang hasli penjualan digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan membeli barang-barang kebutuhan rumah tangga. Kini keluarga itupun hidup bahagia kembali, karena kini mereka sudah hidup berkecukupan harta seperti dulu kala. Dan Manik Angkeran berjanji tidak akan berjudi dan bergaul kembali dengan teman-temannya yang suka berjudi.
Namun saying, janji tinggallah janji. Manik Angkeran lupa pada janjinya untuk tidak berjudi lagi. Ia kini bergaul lagi dengan teman-temannya dan mulai bermain judi lagi. Dan seperti dulu lagi, Manik Angkeran pun sering kalah dan utangnya pun mulai menumpuk lagi.
Manik Angkeran meminta bantuan lagi pada ayahnya. Tetapi ayahnya sudah tidak mau lagi membantu Manik Angkeran, karena Sidi Mantra sudah habis kesabarannya untuk menasihati Manik Angkeran yang bandel itu.
Tetapi dasar anak bandel, Manik Angkeran tak kehabisan akal. Ia mencuri genta yang dibawa ayahnya ketika menemui Naga Besukih di kawah Gunung Agung. Ia mengambil genta ketika ayahnya sedang tidur.
Akhirnya dengan tekad bulat untuk melunasi utang pada teman-tmannya, Manik Angkeran pergi seorang diri dengan membawa genta dan golok menuju ke kawah Gunung Agung. Ia tidak pamit pada ayah dan ibunya.
Sesampainya di tepi kawah, Manik Angkeran membunyikan gentanya. Kemudian keluarlah Naga Besukih. Manik Angkeran begitu terkejut melihat Naga Besukih yang sangat besar. Sehingga genta yang dibawanya terlempar.
“Ada apa kau membangunkan tidurku, anak muda” Tanya Naga Besukih.
“Ampun tuanku Naga Besukih, hamba hanya meminta sedikit harta untuk melunasi utang-utang hamba pada teman-teman hamba,” jawab Manik Angkeran.
“Baiklah, aku akan memberikan sedikit hartaku, tetapi kamu harus berjanji untuk tidak mengulanginya perbuatanmu lagi untuk bermain judi,” pesan Naga Besukih.
“Baiklah tuanku Naga Besukih. Bagaiman aku harus mengambil harta milikmu?” tanya Manik Angkeran.
“Begini, nanti kalau aku menggeliat, dari sisikku akan keluar emas dan intan. Kamu dapat mengambil emas dan intan itu secukupnya saja,” perintah Naga Besukih pada Manik Angkeran.
Kemudian Naga Besukih mulai menggeliat, dan keluarlah emas serta intan dari sisiknya. Dasar Manik Angkeran memang suka berbohong dan tidak menepati janji. Ia memiliki niat jahat untuk mengambil semua emas dan intan yang ada di sisik Naga Besukih. Secepat kilat ia memotong ekor Naga Besukih dan mengambil semua emas dan intan yang berada di sisiknya. Kemudian ia lari sekencang-kencangnya.
Naga Besukih memang sakti. Meskipun ekornya terpotong, ia tetap dapat hidup dan menjilat jejak kaki Manik Angkeran. Akhirnya Manik Angkeran terbakar karena jilatan api Naga Besukih. Manik Angkeran terbakar dan dalam sekejap mata berubah menjadi abu.
Berhari-hari ayah dan ibu Manik Angkeran mencarinya, tetapi tidak ditemukan juga anaknya. Hingga pada suatu hari, Sidi Mantra mendengar bahwa anaknya, Manik Angkeran telah mati. Betapa sedih perasaan ayah dan ibu Manik Angkeran ditinggal mati anak tunggal yang sangat mereka sayangi.
Sidi Mantra kemudian pergi menghadap ke Naga Besukih dan memohon menghidupkan kembali anaknya, Manik Angkeran. Akhirnya permohonan Sidi Mantra dikabulkan oleh Naga Besukih.
Naga Besukih mau menghidupkan kembali Manik Angkeran, asalkan ekornya yang diptong Manik Angkeran dapat kembali lagi seperti sediakala. Dan akhirnya dengan kesaktian yang dimiliki oleh Sidi Mantra, maka ia dapat mengembalikan lagi ekor Naga Besukih yang telah dipotong oleh Manik Angkeran.
Karena telah mengembalikan ekor Naga Besukih, maka Naga Besukih pun menghidupkan kembali Manik Angkeran. Manik Angkeran dapat hidup kembali dan ia berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya yang jelek. Dan ia akan merubah dirinya menjadi orang baik.
Sidi mantra tahu, bahwa anaknya sudah insyaf dan bertobat, tetapi dia juga sadar, bahwa mereka berdua tidak dapat hidup lagi bersama seperti dulu kala.
“Manik Angkeran, anakku, kamu sekarang harus memulai hidup yang baru, tetapi tidak di sini. Duniamu sudah lain dengan ayah,” kata Sidi Mantra.
Dalam sekejap mata Manik Angkeran menghilang dan di tempat di mana Sidi Mantra berdiri, muncullah sebuah sumber air yang semakin lama semakin besar sehingga berubah menjadi laut. Dengan menggunakan tongkat saktinya, Sidi Mantra membuat garis yang memisahkan dirinya dengan anaknya. Sekarang tempat itu disebut Selat Bali, yaitu selat yang memisahkan antara Pulau Jawa dengan Pulau Bali. Begitulah asal mula Selat Bali. ***
Sumber:
- Frida N, 2007, Kumpulan Cerita Rakyat Indonesia Cerita Rakyat Bali, Jakarta: CV. Sinar Cemerlang Abadi. Hal. 1 - 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar