Memasuki gerbang Rowobendo, Taman Nasional Alas Purwo (TNAP), bagaikan menyelami lorong waktu yang membawa kita ke dimensi spiritual masa lalu Jawa. Di kiri dan kanan jalan beraspal yang membelah hutan lebat, pepohonan mahoni (Swietenia macrophylla) berdiri tegak, menyambut pengunjung dalam suasana yang tenang dan wibawa.
Tak jauh dari gerbang utama, terdapat sebuah pura yang menyimpan kisah kuno, yaitu Situs Kawitan. Terletak di Resor Rowobendo, wilayah administrasi Desa Kendalrejo, Kecamatan Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi, situs ini bukan sekadar tempat persembahyangan umat Hindu, melainkan sebuah penanda awal, jejak purba yang menghubungkan manusia dengan asal-usulnya.
![]() |
Fasad Pura Situs Kawitan di Alas Purwo, Banyuwangi |
Konon, dalam perjalanan spiritualnya dari Jawa ke Bali, Mpu Bharada singgah di kawasan Alas Purwo, sebuah kawasan hutan yang secara etimologis berarti "hutan pertama atau awal". Hal ini dikarenakan kata "alas" berarti hutan, dan "purwo" berarti awal dalam bahasa Jawa Kuno. Oleh karena itu, Alas Purwo diyakini sebagai daratan pertama yang tercipta di Pulau Jawa.
Demikian pula, nama Situs Kawitan berasal dari kata "kawitan" yang berarti asal atau tempat bermula. Sebuah tempat yang tak hanya menyimpan reruntuhan batu tua, tetapi juga menyimpan makna spiritual tentang awal mula peradaban dan pencarian makna hidup manusia.
![]() |
Di samping gapura Pura Situs Kawitan terlihat patung kodok dengan dipayungi aneka warna |
Penelitian mengaitkan reruntuhan ini dengan masa Kerajaan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di Jawa yang berkuasa pada abad ke-14 Masehi. Dugaan ini diperkuat oleh Prasasti Balawi (1305 M) yang pertama kali menyebutkan nama Blambangan. Sebelum ditemukan, lokasi situs ini dulunya merupakan kebun-kebun labu milik penduduk setempat.
Sementara itu, penemuan cangkang kerang di gua-gua di daerah Alas Purwo juga mendukung teori bahwa pendaratan pertama manusia Austronesia di Jawa terjadi di daerah ini sekitar 3500 SM. Sebuah jejak kuno yang memperdalam makna kawitan sebagai awal kehidupan dan spiritualitas.
![]() |
Peziarah dari Dusun Krajan, Desa Kedunggebang, Kecamatan Tegaldlimo - Pa Dhe Suparno dan Bu Dhe Mardiyati - dan keponakannya sedang bermeditasi di halaman tengah Pura Situs Kawitan |
Memasuki pura Situs Kawitan, pengunjung bisa menyaksikan bongkahan batu karst berukuran besar yang tersusun rapi dan terbungkus kain kuning. Di atas batu tersebut, sebuah persembahan diletakkan sebagai ungkapan rasa syukur dan permohonan keselamatan. Di sinilah spiritualitas bertemu dengan sejarah. Situs Kawitan menjadi gerbang kadéwan, tempat manusia memohon bimbingan Sang Pencipta.
Setiap 210 hari sekali, umat Hindu berkumpul untuk melaksanakan Upacara Pagerwesi, yang jatuh pada hari Rabu Kliwon, Wuku Sinta. Sebuah ritual untuk menyelamatkan ilmu pengetahuan dari para dewa agar tidak dikuasai oleh raksasa kegelapan. Kata "Pagerwesi" sendiri berarti benteng besi, simbol kekuatan spiritual dan perlindungan diri.
![]() |
Gerbang Pura Situs Kawitan dilihat dari dalam pura |
Situs Kawitan bukan sekadar batu tua yang sunyi. Ia adalah penanda zaman, saksi spiritual, dan monumen budaya yang masih hidup dalam denyut Hinduisme masyarakat Banyuwangi. Dalam kesunyian Alas Purwo, di balik rindangnya pepohonan mahoni, Situs Kawitan berdiri sebagai pengingat tentang asal-usul dan pencarian makna hidup. Bukan hanya tempat suci umat Hindu, melainkan juga titik temu antara sejarah, spiritualitas, dan alam yang tak terjamah.
Melangkah ke Situs Kawitan bukan hanya menapaki menuju sebuah gapura tua bagi peziarah, tetapi juga menyusuri jejak leluhur yang merayakan kehidupan, ilmu pengetahuan, dan hubungan sakral dengan semesta.
![]() |
Storyboard Situs Kawitan dipasang di pelataran yang dekat dengan jalan beraspal mulus |
Maka tak heran jika di jantung hutan purba ini, kita merasa lebih dekat - bukan hanya dengan alam, tapi juga dengan spiritualitas, berupa diri manusia, pepohonan, dan binatang. *** [130725]