The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Situs Kawitan, Gerbang Kadéwan di Ujung Timur Jawa

Memasuki gerbang Rowobendo, Taman Nasional Alas Purwo (TNAP), bagaikan menyelami lorong waktu yang membawa kita ke dimensi spiritual masa lalu Jawa. Di kiri dan kanan jalan beraspal yang membelah hutan lebat, pepohonan mahoni (Swietenia macrophylla) berdiri tegak, menyambut pengunjung dalam suasana yang tenang dan wibawa.

Tak jauh dari gerbang utama, terdapat sebuah pura yang menyimpan kisah kuno, yaitu Situs Kawitan. Terletak di Resor Rowobendo, wilayah administrasi Desa Kendalrejo, Kecamatan Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi, situs ini bukan sekadar tempat persembahyangan umat Hindu, melainkan sebuah penanda awal, jejak purba yang menghubungkan manusia dengan asal-usulnya.

Fasad Pura Situs Kawitan di Alas Purwo, Banyuwangi

Situs ini pertama kali ditemukan dalam kondisi terkubur pada tahun 1967. Berupa reruntuhan bangunan gapura, situs ini diyakini sebagai petilasan Mpu Bharada, resi agung yang dalam sejarah spiritual Jawa dikenal sebagai guru Raja Airlangga, penguasa Kerajaan Kahuripan dari Kediri yang pernah menundukkan Calon Arang, tokoh mistik yang menciptakan kekacauan di Bali (Zulfahri et. al., 2015).

Konon, dalam perjalanan spiritualnya dari Jawa ke Bali, Mpu Bharada singgah di kawasan Alas Purwo, sebuah kawasan hutan yang secara etimologis berarti "hutan pertama atau awal". Hal ini dikarenakan kata "alas" berarti hutan, dan "purwo" berarti awal dalam bahasa Jawa Kuno. Oleh karena itu, Alas Purwo diyakini sebagai daratan pertama yang tercipta di Pulau Jawa.

Demikian pula, nama Situs Kawitan berasal dari kata "kawitan" yang berarti asal atau tempat bermula. Sebuah tempat yang tak hanya menyimpan reruntuhan batu tua, tetapi juga menyimpan makna spiritual tentang awal mula peradaban dan pencarian makna hidup manusia.

Di samping gapura Pura Situs Kawitan terlihat patung kodok dengan dipayungi aneka warna

Di pelataran Situs Kawitan, terdapat storyboard yang menceritakan temuan arkeologis berupa gerbang kuno. Struktur ini terbuat dari batu kapur, khas formasi karst yang terbentuk akibat pengangkatan dari laut dangkal. Sebuah bukti geologis bahwa Alas Purwo menyimpan lapisan sejarah yang sangat tua.

Penelitian mengaitkan reruntuhan ini dengan masa Kerajaan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di Jawa yang berkuasa pada abad ke-14 Masehi. Dugaan ini diperkuat oleh Prasasti Balawi (1305 M) yang pertama kali menyebutkan nama Blambangan. Sebelum ditemukan, lokasi situs ini dulunya merupakan kebun-kebun labu milik penduduk setempat.

Sementara itu, penemuan cangkang kerang di gua-gua di daerah Alas Purwo juga mendukung teori bahwa pendaratan pertama manusia Austronesia di Jawa terjadi di daerah ini sekitar 3500 SM. Sebuah jejak kuno yang memperdalam makna kawitan sebagai awal kehidupan dan spiritualitas.

Peziarah dari Dusun Krajan, Desa Kedunggebang, Kecamatan Tegaldlimo - Pa Dhe Suparno dan Bu Dhe Mardiyati - dan keponakannya sedang bermeditasi di halaman tengah Pura Situs Kawitan

Setelah situs tersebut ditemukan, masyarakat Hindu di sekitar Tegaldlimo kemudian menjadikannya tempat suci. Untuk menjaga kelestarian situs utama, mereka membangun Pura Luhur Giri Salaka di sebelahnya sebagai tempat ibadah yang lebih luas. Meski begitu, Situs Kawitan tetap berdiri kokoh menghadap ke timur, menyerupai pura-pura di Bali dengan jalan setapak putih yang memancarkan aura sakral.

Memasuki pura Situs Kawitan, pengunjung bisa menyaksikan bongkahan batu karst berukuran besar yang tersusun rapi dan terbungkus kain kuning. Di atas batu tersebut, sebuah persembahan diletakkan sebagai ungkapan rasa syukur dan permohonan keselamatan. Di sinilah spiritualitas bertemu dengan sejarah. Situs Kawitan menjadi gerbang kadéwan, tempat manusia memohon bimbingan Sang Pencipta.

Setiap 210 hari sekali, umat Hindu berkumpul untuk melaksanakan Upacara Pagerwesi, yang jatuh pada hari Rabu Kliwon, Wuku Sinta. Sebuah ritual untuk menyelamatkan ilmu pengetahuan dari para dewa agar tidak dikuasai oleh raksasa kegelapan. Kata "Pagerwesi" sendiri berarti benteng besi, simbol kekuatan spiritual dan perlindungan diri.

Gerbang Pura Situs Kawitan dilihat dari dalam pura

Upacara ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu pelemahan (persembahan sesaji kepada Bhatara Kala, simbol kekuatan alam), pawongan (prosesi turunnya ilmu pengetahuan dari para dewa), dan khayangan (ungkapan syukur atas pengetahuan dan kehidupan yang diberi).

Situs Kawitan bukan sekadar batu tua yang sunyi. Ia adalah penanda zaman, saksi spiritual, dan monumen budaya yang masih hidup dalam denyut Hinduisme masyarakat Banyuwangi. Dalam kesunyian Alas Purwo, di balik rindangnya pepohonan mahoni, Situs Kawitan berdiri sebagai pengingat tentang asal-usul dan pencarian makna hidup. Bukan hanya tempat suci umat Hindu, melainkan juga titik temu antara sejarah, spiritualitas, dan alam yang tak terjamah.

Melangkah ke Situs Kawitan bukan hanya menapaki menuju sebuah gapura tua bagi peziarah, tetapi juga menyusuri jejak leluhur yang merayakan kehidupan, ilmu pengetahuan, dan hubungan sakral dengan semesta.

Storyboard Situs Kawitan dipasang di pelataran yang dekat dengan jalan beraspal mulus

Seperti yang pernah dikatakan oleh John Muir, Bapak Taman Nasional, “The clearest way into the Universe is through a forest wilderness” (Jalan paling jelas menuju Alam Semesta adalah melalui hutan belantara). 

Maka tak heran jika di jantung hutan purba ini, kita merasa lebih dekat - bukan hanya dengan alam, tapi juga dengan spiritualitas, berupa diri manusia, pepohonan, dan binatang. *** [130725]



Share:

Stasiun Kalisetail: Jejak Panjang Rel di Bumi Blambangan

Stasiun Kereta Api Kalisetail (KSL) bukan sekadar titik persinggahan bagi kereta yang melintas di kawasan timur Pulau Jawa. Terletak di ketinggian +272 meter di atas permukaan laut, di Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Kabupaten Banyuwangi, stasiun ini menyimpan sejarah panjang yang terukir sejak zaman kolonial Hindia Belanda.

Bangunan utama Stasiun Kalisetail masih mempertahankan arsitektur asli warisan masa lalu meski sudah ada sedikit penambahan-penambahan, menandai jejak kehadiran Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda. 

Peron Stasiun Kalisetail

SS, yang berdiri pada tahun 1875, merupakan pionir dan pesaing kuat dari perusahaan kereta swasta NIS (Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij). Dalam ekspansinya di wilayah timur Jawa, SS membangun jalur Kalisat–Mrawan pada tahun 1902 yang dilanjutkan hingga ke Banyuwangi setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1903. 

Jalur sepanjang 58 kilometer ini menjadi bagian dari SS Oosterlijnen - wilayah operasional SS yang mencakup hampir seluruh jalur di selatan dan timur Jawa Timur serta sebagian timur Jawa Tengah.

Genta Stasiun Kalisetail di dekat ruang kontrol

Pembangunan jalur ini bukan tanpa alasan. Daerah Banyuwangi yang kaya akan hasil bumi dan memiliki potensi pelabuhan penting di ujung timur Jawa, menjadi magnet ekonomi yang harus dihubungkan ke pusat produksi dan distribusi di wilayah barat dan tengah Jawa. Maka, kehadiran Stasiun Kalisetail menjadi penting sebagai simpul penghubung dalam jaringan transportasi ini.

Berbeda dengan kemegahan stasiun besar lainnya, Stasiun Kalisetail dibangun secara sederhana. Awalnya, peronnya bahkan belum memiliki kanopi. Namun, transformasi terus dilakukan. Pada Desember 2023, stasiun ini telah dilengkapi dengan kanopi (overcapping) di peron, memberikan kenyamanan bagi penumpang yang menunggu atau naik-turun kereta api, bebas dari panas dan hujan.

KA Ijen Express memasuki Stasiun Kalisetail pada pukul 20.25 WIB di hari Selasa (17/06)

Kini, Stasiun Kalisetail dikelola oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) di bawah wilayah Daerah Operasi 9 Jember dan menyandang status sebagai stasiun kelas 1. Lokasinya yang strategis - berada di Jalan Raya Kalisetail No. 11, tak jauh dari Pasar Desa Sempu dan deretan pusat kuliner setempat - membuatnya ramai oleh lalu lintas penumpang dari berbagai daerah. 

Tiga jalur aktif melayani kegiatan operasional stasiun ini, di mana jalur 2 menjadi sepur lurus, dan jalur 1 serta 3 digunakan untuk persilangan antar kereta, baik dari yang datang dari arah barat (Stasiun Kempit) maupun dari arah timur (Stasiun Temuguruh).

Setiap dentuman roda kereta yang melintas di atas rel Stasiun Kalisetail membawa lebih dari sekadar penumpang - ia membawa memori, cerita, dan semangat perjalanan yang terus bergerak maju, menyambungkan masa lalu dengan masa depan Banyuwangi dan Indonesia. *** [270625]



Share:

Monumen Lokomotif di Halaman PG Kebon Agung: Jejak Besi di Perkebunan Tebu Malang

Pagi itu, Kamis (08/04), perjalanan dari Kepanjen menuju Kampus Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FKUB) untuk menghadiri meeting kecil di Ruang NIHR (National Institute for Health and Care Research) UB terhenti sejenak.

Di tepi Jalan Raya Kepanjen – Malang, di pelataran depan Pabrik Gula (PG) Kebon Agung, sebuah monumen tua menarik perhatian saya. Di sanalah berdiri kokoh sebuh lokomotif berwarna hitam dan kuning, diam membisu di bawah naungan langit yang sedikit mendung.

Saya memarkir motor Honda Revo warna hitam di halaman Masjid Al Abror milik PG Kebon Agung. Suasana tenang pagi itu – jalan tidak terlalu padat dan musim giling belum intensif – memberi ruang bagi saya untuk menikmati detik-detik bersama sisa sejarah yang nyaris terlupakan: sebuah lokomotif tua, yang dulu menjadi tulang punggung transportasi hasil kebun tebu dari pelosok lahan menuju PG Kebon Agung.

Monumen Lokomotif PG Kebon Agung dilihat dari sisi timur laut

Di sisi lambung lokomotif, tampak sebuah nameplate (papan nama) bertuliskan: “Henschel & Sohn G.m.b.H. Cassel 1922 – Nr. 19231.” Namun, jika dilihat dari bentuk bodi dan jumlah as roda penggeraknya yang mencapai lima, lokomotif tersebut sebenarnya adalah produksi Orenstein & Koppel (O & K), Jerman. 

Dikutip dari laman steamlocomotive.info, ada 850 lokomotif yang dibangun oleh pabrikan O & K. Salah satu di antaranya disebutkan Kebonagung Mill No. 7 0­-10-­0T+T. Kode lokomotif dijelaskan dibangun pabrikan O&K pada tahun 1922 dengan nomor konstruksi 9906 dan kode E h2t dalam Union Internationale des Chemins de fer (UIC) System.

Kode E h2t memiliki arti tersendiri. “E” menunjukkan susunan roda lokomotif menurut susunan roda Jerman yang menggunakan sistem UIC. “E” berarti lima as roda penggerak (fünf angetriebene Achsen) menunjukkan lokomotif tersebut memiliki lima as roda berpasangan tanpa as roda gandeng. Ini sesuai dengan susunan roda 0-10-0 dalam sistem notasi Whyte Inggris.

Monumen Lokomotif PG Kebon Agung dilihat dari sisi timur atau Jalan Raya Kebonagung No. 1 Dusun Sonosari, Desa Kebonagung, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang

Lalu, “h” di belakang huruf E merupakan singkatan dari Heißdampf, yang berarti uap super panas. Hal ini berlawanan dengan “n” untuk uap basah (Nassdampf). Angka 2 di belakang “h” menunjukkan bahwa lokomotif tersebut mempunya dua silinder. Sedangkan, “t” di belakang angka 2 singkatan dari Tenderlokomotive (lokomotif tangki), yaitu lokomotif yang mengangkut air dan batu bara pada rangka (tanpa tender).

Oleh karena itu, sebutan “E h2t” pada lokomotif pabrikan O&K buatan tahun 1922 dengan nomor konstruksi 9906 berarti Fünfachsige Heißdampf-Tenderlokomotive mit zwei Zylindern (Lokomotif tangki uap super panas lima poros dengan dua silinder).

Lokomotif 9906 E h2t adalah  salah satu dari banyak lokomotif jalur sempit yang dibuat oleh Orenstein & Koppel untuk digunakan di pabrik gula dan perkebunan di Indonesia. Lokomotif ini dirancang untuk mengangkut tebu dan bahan-bahan lain di jalur sempit (600 mm – 750 mm) pabrik gula dan memainkan peran penting dalam industri gula negara ini. Ia kuat, dan dirancang untuk lintasan yang memiliki tanjakan-tanjakan. Lokomotif produksi O&K ini mempunyai daya 150 PS. Kata “PS” di belakang angka 150 tersebut singkatan dari Pferdestärke (tenaga kuda).

Monumen Lokomotif PG Kebon Agung dilihat dari sisi tenggara

Dahulu, lokomotif legendaris ini digunakan untuk menarik lori-lori penuh tebu dari kebun-kebun tebu menuju PG Kebon Agung. Perlu, diketahui jaringan rel lori PG Kebon Agung memiliki panjang 50, 1 kilometer yang mencakup wilayah kebun tebu di barat daya, utara, timur dan selatan PG Kebon Agung.

Lokomotif yang dipajang di pelataran depan PG Kebon Agung mampu menarik sampai 50 lori atau pengangkut tebu. Daya tamping lori setara dengan satu truk. Bayangkan, dentuman ritmis roda besi melaju di atas rel sempit, diiringi kepulan asap yang membelah udara tropis – menjadi saksi geliat industri gula yang dulu begitu hidup.

Kini, mesin besi itu hanya berdiri sebagai monumen diam. Namun ia tak kehilangan makna. Ia adalah saksi bisu zaman, ketika rel-rel kecil menghubungkan kebun, desa, dan pabrik; ketika mesin uap menjadi simbol kemajuan, bukan sekadar peninggalan.

Sesaat sebelum kembali melanjutkan perjalanan ke FKUB, saya sempat memandangi kembali lokomotif itu – menyadari bahwa kemajuan bukan selalu tentang melaju ke depan, tapi juga tentang mengingat dari mana kita pernah datang. *** [100525



Share:

Monumen Lokomotif D 301 76 di Halaman Depan Stasiun Solo Balapan

Selasa (08/04) dini hari, Stasiun Solo Balapan terlihat ramai. Arus mudik masih mewarnai, terutama yang mengarah ke Jawa Timur, seperti Surabaya maupun Malang, karena paginya aktivitas kerja pasca liburan lebaran sudah mulai aktif kembali. 

Satu jam sebelum kedatangan kereta Gajayana dari Jakarta menuju ke Malang pada pukul 02.16 WIB, saya sudah tiba di Stasiun Solo Balapan. Sambil menanti kedatangan kereta Gajayana, saya menyempatkan berkeliling di halaman depan Stasiun Solo Balapan yang beralamatkan di Jalan Wolter Monginsidi No. 112 Kelurahan Kestalan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, atau yang dikenal juga dengan sebutan Kota Solo.

Di halaman depan itu, mata saya tertuju pada sebuah Monumen Lokomotif D 301 76. Dengan tata letak lampu yang menawan, lokomotif tua ini berkilauan indah, menambah kekaguman pada momen dini hari yang hening di luar tapi ramai di dalam stasiun itu.

Lokomotif D 301 76 dipotret dari timur laut pada Selasa (08/04) dini hari

Dengan kilau lampu yang menciptakan bayangan dramatis, monumen itu seakan-akan hidup kembali, mengingatkan pada sejarah panjang perjalanan kereta api Indonesia yang penuh kisah. Lokomotif yang sudah berusia enampuluhan tahun lebih ini, kini berdiri tegak sebagai simbol perjalanan waktu, sekaligus sebagai saksi bisu bagi ribuan orang yang melintasi stasiun ini setiap harinya.

Monumen D 301 76 diresmikan langsung oleh KGPAA Mangkunegara X dan Direktur Utama PT KAI Didiek Hartantyo, pada Sabtu (07/10/2023) di Stasiun Solo Balapan. Dengan diresmikannya Monumen Lokomotif D 301 76, maka lokomotif tersebut menjadi ikon baru yang bernuansa sejarah dari Stasiun Solo Balapan.

Lokomotif D 301 76, yang dipamerkan di di halaman depan Stasiun Solo Balapan ini, adalah lokomotif diesel hidrolik 301 yang didatangkan ke Indonesia sebanyak 80 unit. Makna penomoran D 301 76 itu memiliki arti tersendiri. 

Lokomotif D 301 76 dipotret dari sebelah barat pada Selasa (08/04) dini hari

D, menunjukkan bahwa lokomotif ini memiliki 4 roda di setiap sisi (4 roda kiri dan 4 roda kanan). Angka 3 setelah aksara D, memperlihatkan bahwa lokomotif ini menggunakan penggerak diesel hidrolik. Angka 01 menunjukkan seri lokomotif, dan angka 76 mengindikasikan bahwa ini adalah lokomotif ke-76 dari total 80 unit yang didatangkan.

Lokomotif D 301 ini merupakan lokomotif langsir dan jarak pendek yang diproduksi oleh Fried Krupp Lokomotivfabriek Essen, Jerman. Krupp merupakan pabrik industri berat yang membuat berbagai macam keperluan militer, lokomotif uap, gerbong, kereta dan juga berbagai macam barang berbahan dasar baja. Krupp adalah sebuah perusaah keluarga turun-temurun yang berdiri pada tahun 1811. Friedrich Krupp mendirikan Krupp Gusstahlfabrik (pabrik pengecoran baja) di dekat sungai Ruhr, Jerman (Prayogo et. al., 2017).

Lokomotif D 301 disebut sebagai adik dari lokomotif D 300 karena bentuknya yang sama, tetapi dengan performa yang lebih baik. Meskipun tugas utamanya adalah melayani aktivitas langsir, lokomotif D 301 juga digunakan untuk menarik kereta penumpang dan barang di beberapa jalur cabang.

Lokomotif D 301 76 dipotret dari sisi utara pada Selasa (08/04) dini hari

Lokomotif ini mulai beroperasi di Jawa Tengah pada tahun 1962. Dulu, lokomotif D 301 beroperasi di rute seperti Semarang-Demak-Rembang-Blora, Demak-Purwodadi-Gambringan, Jogja-Magelang, Jogja-Bantul, dan Purwosari-Wonogiri.

Karena lokomotif ini sering beroperasi di jalur yang berdampingan dengan jalan raya, kecepatan maksimumnya dibatasi hingga 25 km/jam. Seperti lokomotif D 301 76 ini dulu pernah melayani rute dari Stasiun Purwosari hingga Stasiun Baturetno sebelum ada Waduk Gajah Mungkur.

Dari situlah, kita menjadi paham kenapa lokomotif D 301 76 kini dipamerkan di halaman depan Stasiun Solo Balapan sebagai monumen, karena lokomotif ini memiliki hubungan sejarah dengan Solo yang pernah melaju di rel yang ada di selatan Jalan Slamet Riyadi, sebuah jalan protokol di tengah Kota Solo, dari Stasiun Purwosari, Stasiun Solo Kota, Stasiun Sukoharjo, Stasiun Pasarnguter, Stasiun Wonogiri hingga Stasiun Baturetno. *** [080425]



Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami