The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Bali. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bali. Tampilkan semua postingan

Daftar Bangunan Kuno di Tabanan

Berikut ini adalah daftar bangunan kuno atau peninggalan sejarah lainnya yang terdapat di Tabanan:

Kawasan Wisata Ulun Danu Beratan
Kawasan ini terletak di Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanab, Provinsi Bali

Pura Tanah Lot
Pura Tanah Lot ini terletak di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali

 

Share:

Sepenggal Kisah Antonio Blanco

“I spent my years in Bali, my beloved island, mixing my life with paint or maybe also mixing my paint with love, creating ‘Reflections of my soul’, which people call paintings”.

Bagi yang pernah mengunjungi The Blanco Renaissance Museum, di Ubud, Bali, tentu pernah ber-sirobok dengan kalimat tersebut di salah satu sudutnya. Museum yang menyimpan ribuan koleksi lukisan maupun hasil karya sang maestro seni Antonio Blanco itu memang lebih dari sebuah museum. Di sinilah tempat Blanco mencurahkan seluruh isi pikiran, hati, dan jiwanya ke dalam sebuah karya seni, sekaligus tempat ia mencurahkan rasa cintanya pada sang istri, seni, dan keempat anaknya.

Blanco dan Ubud
Kehadiran Blanco ke Ubud menambah panjang deretan nama maestro seni dunia yang akhirnya menetap di pusat budaya dan seni Bali itu. Setelah berkeliling ke berbagai negara, putra Spanyol yang lahir di Filipina ini melabuhkan kaki di Bali, pada tahun 1952.
Di sini, ia bertemu dengan seorang penari Bali bernama Ni Ronji, yang membuat Blanco jatuh hati hingga akhirnya memilih untuk tinggal di pulau eksotis ini dan meminang sang penari.
Sementara itu, Raja Ubud, yang dikenal sebagai kenalan dekatnya, memberinya sebuah tanah untuk dijadikan rumah sekaligus studio yang berada di atas Sungai Campuhan, yang menjadi pertemuan dua sungai suci. Rumahnya sendiri menampilkan paduan barat dan timur, yang segera terasa begitu melangkah masuk ke gerbangnya. Gaya Spanyol dan Bali berpadu harmonis dalam tiap sudutnya.
Bagi Blanco, rumahnya adalah dunianya, tempat ia bergulat sehari-hari menghasilkan karya-karya seni yang kemudian diburu para kolektor dan pecinta seni.
Hasil karyanya pun mendapat banyak penghargaan dan dinilai tinggi dalam berbagai pelelangan internasional. Karya-karyanya pun begitu identik dengan tiga hal, humoris, filosofis, dan pengagum perempuan.
Blanco mengabadikan berbagai sisi perempuan dan berhasil memulas keindahan perempuan dengan caranya sendiri yang menggabungkan gaya ekspresionis-romatisme. Meski banyak di antaranya yang merupakan lukisan nude, tetapi hal itu tidak menjadikannya terlihat vulgar. Sebaliknya, justru semakin terlihat eksotis.
Yang paling banyak, tentu saja lukisan diri Ni Ronji. Karyanya pun kerap mengandung makna filosofi tinggi, seperti lukisannya yang berjudul “Eve and Apple”. Di sisi lain, Blanco juga seorang pribadi yang humoris. Kolase Mick Jagger dan Michael Jakcson, misalnya, yang selalu berhasil mengundang senyum bagi siapa pun yang melihatnya.
Di antara beberapa museum seni yang kini terdapat di Ubud, The Blanco Renaissance Museum ini pun menjadi salah satu kunjungan wajib yang sayang untuk dilewati. Selain mengamati sebuah konsep keindahan ala Blanco, suasana di sekitar museum sendiri begitu menyenangkan dan membuat betah siapa pun untuk berlama-lama.
Bagi yang ingin mereguk sebuah petualangan berlibur dalam ketenangan dan pemandangan alam yang indah, Ubud memang menjadi sebuah pilihan tepat. Kegiatan berselancar atau larut dalam pikuk malam khas urban yang terlanjur melekat dengan Bali pun berganti dengan keluar masuk galeri seni, berburu barang-barang antic dan berseni, sembari mereguk suasana tenang yang menghanyutkan. [ADT]

 
Sumber:
KOMPAS edisi Sabtu, 4 Agustus 2012 hal. 42.
 
Share:

Pelabuhan Kuta dan Tuban (Bali)

Pelabuhan Kuta di Bali sangat strategis. Pasalnya, di sebelah selatan terdapat tanjung kecil yang melebar ke utara dan berbukit-bukit, yang dinamai Bukit Kapur. Lekukan itu melingkar sedemikian rupa sehingga perahu yang berlabuh dapat terhindar dari gangguan angin. Sebagai pelabuhan alam, situasinya sangat bergantung pada angin. Pada bulan April hingga Oktober, angin bertiup dari arah tenggara. Pada musim ini Pelabuhan Kuta banyak disinggahi kapal-kapal dari seberang lautan.
Munculnya Kuta sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan di Bali selatan (Kerajaan Badung) ditunjang oleh hubungan politik antara Pemerintah Belanda dan raja-raja di Bali pada tahun 1808. Ketika itu, di Bali berlaku hukum Tawan Karang, suatu hak yang dipunyai oleh raja dan rakyat pantai untuk merampas kapal beserta isinya, jika kandas di perairan mereka. Beberapa kali kapal Belanda mengalaminya, hingga kapal dan segala muatannya di sita.
Namun hal ini justru membuat Pemerintah Belanda semakin giat berhubungan dengan Bali. Pencarian calon serdadu oleh Belanda, sangat mempengaruhi perdagangan budak dan perdagangan lainnya, yang sudah berlangsung sejak abad XVII. Sebelumnya, Pelabuhan Kuta dikenal sebagai pelabuhan transit. Perang Buleleng di Bali utara (1846-1849), disusul Perang Jagaraga, berpengaruh buruk bagi perdagangan di Kuta yang membuat tingkat perdagangannya semakin merosot.
Sekitar tiga kilometer dari Pelabuhan Kuta, terdapat Pelabuhan Tuban (Bali). Pantainya memiliki teluk  sehingga kapal atau perahu dapat berlabuh dengan mudah. Pada musim penghujan, Oktober hingga April, angin bertiup dari arah barat, sehingga kapal-kapal memilih untuk berlabuh di pantai timur, yaitu Pelabuhan Tuban. Sebenarnya keadaan Tuban memang kurang menguntungkan bagi perdagangan dibandingkan pantai barat (Kuta), banyak batu karang yang terjal di pantainya, sehingga hanya kapal kecil yang dapat berlabuh. Kapal berukuran lebih besar harus berlabuh di tengah, segala muatan kemudian dibawa dengan perahu kecil untuk merapat ke pelabuhan. ***
Share:

Masyarakat Pegunungan Penjaga Tradisi

Di Pulau Bali masyarakat pegunungan sering mendapat sebutan Bali Aga atau Mula. Beberapa desa yang digolongkan sebagai desa Bali Aga, antara lain, Trunyan, Sembiran, Cempaga, Sidetapa, Pedawa, Tigawasa, dan Tenganan. Istilah Bali Aga berarti orang Bali pegunungan, sedangkan Bali Mula mengandung arti Bali asli.
Antropolog James Danandjaja dalam bukunya Kebudayaan Petani Desa Trunyan menuliskan, penduduk pegunungan di Bali sendiri tidak menyukai sebutan Bali Aga. Nama Bali Aga diperoleh dari penduduk Bali lainnya yang menyebut diri mereka sebagai orang Bali Hindu dan mereka ini merupakan penduduk mayoritas orang Bali.
Orang Trunyan lebih senang disebut orang Bali Mula dan lebih suka lagi disebut orang Bali Turunan. Orang Trunyan yang tinggal di dalam kepundan purba Gunung Batur meyakini leluhur mereka turun dari langit ke bumi Trunyan.
Mereka menganggap diri mereka berbeda dengan orang Bali Hindu yang mereka panggil dengan sebutan Bali Suku karena orang Bali Suku bukan penduduk asli Pulau Bali, melainkan pendatang dari Pulau Jawa yang masuk ke Pulau Bali dengan suku atau kaki, dengan kata lain berjalan kaki.
Orang Bali Aga dianggap sebagai penduduk asli yang memang beragama Hindu, tetapi tidak mendapatkan pengaruh Jawa. Pengaruh Majapahit meluas di Bali sekitar abad ke-14.
Mengutip Negarakertagama, penulis Pura Besakih; Pura, Agama, dan Masyarakat Bali, David J Stuart menuliskan, pasukan Gajah Mada masuk ke Bali tahun 1343. Majapahit pun menanamkan pengaruhnya, termasuk dalam aspek religi.
Patih Gajah Mada didampingi  sejumlah bangsawan (arya) Majapahit menguasai pasukan di daerah strategis. Namun, populasi daerah pegunungan di bagian tengah dan timur terus melawan.
James Danandjaja sendiri berkesimpulan, kebudayaan di Desa Trunyan juga terkena pengaruh kebudayaaan Hindu Bali dan Hindu Jawa Majapahit dari Jawa Timur. Namun, dalama bidang agama, pengaruh dari kedua kebudayaan itu hanya berupa sentuhan kulitnya saja.
Itu dilihat dari dewa-dewa yang dipuja di kuil utama Trunyan mtelah merupakan leluhur yang sudah telah meninggal yang dihindukan, bukan dewa-dewa Hindu dari India.
Arkeolog dari Balai Arkeologi Denpasar, Bali, I Made Geria, mengatakan, orientasi spiritual masyarakat Trunyan berbeda dengan masyarakat Hindu Bali dataran. Dalam konsep agama Hindu, dewa yang tertinggi adalah Trimurti, yakni Brahmana, Wisnu dan Siwa.
“Orientasi spiritual masyarakat Trunyan kepada Bathara Datonta yang merupakan peninggalan zaman megalitik dan masih bertahan sampai sekarang,” ujar Geria.
Thomas A Reuter dalam bukunya Custodians of the Sacred Mountains menyebutkan, bagi orang Hindu yang menganggap diri mereka sebagai orang beradab yang mendapatkan pengaruh kebudayaan Jawa-Majapahit, hal yang tidak terpengaruh kebudayaan Jawa-Majapahit dianggap kasar dan tidak beradab. Pandangan demikian meminggirkan orang Bali Aga.
Padahal, dia menuliskan, orang Bali Aga tetap sangat diperlukan, wakil dari Bali “yang lebih tua” lebih asli, dan dalam beberapa hal lebih suci.
Mereka memilih melanjutkan tradisinya di daerah pegunungan dan mempertahankan hubungan dengan nenek moyang.
Namun, menurut Reuter, tradisi Bali Aga tak pernah mengalami kemacetan. Mereka tetap menyediakan ruang bagi pendatang dan pengetahuan baru dari luar. ***

*) KOMPAS edisi Sabtu, 17 Desember 2011 hal. 40
Share:

Penyucian Agung, Konservasi Berbalut Budaya

Masyarakat Bali kuno dikenal sebagai masyarakat agraris dengan kultur spiritual yang kuat. Tanpa menyebutnya dengan konservasi, sumber-sumber air disucikan untuk melindungi para petani dari bencana kekeringan.
Sejak zaman raja-raja berkuasa di Bali, penyucian dilakukan di hampir semua kawasan vital bagi para petani, seperti gunung, danau, dan hutan. Kawasan itu sangat penting bagi berlangsungnya tradisi agraris masyarakat Bali.
Gunung-gunung yang membentang di tengah-tengah Pulau Bali mulai dari barat hingga timur adalah kawasan vital bagi pertanian Bali. Di bentangan gunung itu, rakyat dan raja-raja di Bali mendirikan pura hingga jumlahnya tak kurang dari 1.000 bangunan, baik pura kecil maupun pura besar.
Gunung Agung adalah gunung terbesar di Bali yang sangat disucikan penduduknya. Hal ini dibuktikan dengan dibangunnya pura terbesar di Bali, Pura Besakih di Kecamatan Rendang, dan beberapa pura besar lainnya, seperti Pasar Agung di Kecamatan Selat. Gunung Agung adalah sumber air terbesar bagi masyarakat petani zaman dulu.
Antropolog Universitas Udayana, Ida Bagus Gede Puja Astawa, mengatakan, pada zaman raja-raja, mereka tak pernah menyebut kegiatan penyucian sebagai kegiatan konservasi. “Rasionalitas konservasi itu dibalut dalam selubung budaya. Mereka hanya  di menyebutkan pantangan untuk tidak merusak dan mengganggu kelangsungan ekosistem di gunung,” kata Astawa.
Pada zaman raja-raja itu pulalah, berkembang konsep spiritual mengenai Gunung Agung yang menyebutkan bahwa gunung tak ubahnya seperti kepala manusia. Dalam penghayatan masyarakat Bali kuno, kepala adalah organ tubuh yang paling suci karena merupakan bagian tubuh yang paling penting. Gunung harus dihormati seperti layaknya menghormati dan menyucikan kepala.
“Konsepsinya sederhana, kalau kepala rusak, semua tubuh manusia tidak akan berfungsi baik. Demikian pula dengan gunung, yang kalau dirusak akan menimbulkan bencana bagi masyarakat Bali ketika itu, yaitu masyarakat petani. Bencana bagi masyarakat petani kala itu yang paling ditakuti adalah kekeringan,” kata Puja Astawa.
Masyarakat Bali memiliki pandangan bahwa hidup kita akan tenang kalau kepala dijaga dengan baik. “Kepala sangat dihargai, sangat dihormati. Kalau kepala pusing, akan pengaruhi hidup kita. Kalau Gunung Agung itu dieksploitasi, sama dengan mengobok-obok kepalanya Pulau Bali. Itulah kenapa ada pura besar dan banyak pura kecil lain di Gunung Agung. Itu adalah cara masyarakat Bali kuno menghormati dan melindungi Gunung Agung,” kata Puja Astawa.
Sampai sekarang, di Bali masih berkembang tradisi bagi para petani untuk memberikan sesajen ke pura di sekitar sumber air di Gunung Agung.
Konsep penyucian alam yang menjadi tempat hidup masyarakat Bali bahkan diperkirakan sudah ada sejak zaman megalitikum. “Dari konsep orientasi spiritual mereka, mereka sudah mengenal penyucian alam yang dianggap sebagai buana agung karena akan memberikan berkah dan rahmat kepada manusia sebagai buana alit,” kata Geria.
Bandesa Adat Desa Sebudi, Kecamatan selat, Kabupaten Karangasem Mangku Gede Umbara, mengatakan, masyarakat sangat menghormati Gunung Agung karena merasa sebagai pusat kehidupan yang harus disucikan. “Masyarakat menghormati Gunung Agung yang telah memberi air. Tidak banyak yang tahu bahwa cara menghormati gunung itu adalah cara menjaga air yang sejak dulu diwariskan nenek moyang kami,” kata Umbara. ***

*) KOMPAS edisi Sabtu, 17 Desember 2011 hal. 37
Share:

Asal Mula Danau Batur

Kebo Iwa adalah seorang raksasa yang bertubuh besar. Tubuhnya gendut dan doyan makan. Makin hari tubuhnya bertambah besar. Makanannya banyak sekali. Ia suka membantu penduduk desa membuat rumah, mengangkat batu besar dan membuat sumur. Ia tidak minta imbalan apa-apa, hanya saja penduduk desa harus menyediakan makanan yang cukup untuknya.
Jika sampai dua hari Kebo Iwa tidak makan maka ia akan marah. Jika marah ia akan mengamuk dan merusak apa saja yang ada di depannya. Tak peduli rumah atau pura akan dirusaknya. Kebun dan sawah juga dirusaknya.
Karena tubuhnya sangat besar, makannya pun sangat banyak. Porsi makan Kebo Iwa sama seperti menyiapkan makanan seratus orang. Walau penduduk desa sudah tidak membutuhkan tenaganya, mereka harus tetap menyediakan makanan untuk Kebo Iwa. Karena jika Kebo Iwa lapar ia akan marah dan menghancurkan apa saja.
Hingga tibalah musim kemarau. Semua lumbung padi milik penduduk mulai kosong. Beras dan bahan makanan lain mulai sulit diperoleh. Setelah sekian lama, hujan tidak kunjung dating. Penduduk mulai khawatir keadaan Kebo Iwa. Sebab, jika ia lapar pasti akan mengamuk.
Benar saja kekhawatiran penduduk. Suatu hari Kebo Iwa merasa lapar, tapi makanan belum siap karena persediaan penduduk desa sudah habis. Jangankan untuk Kebo Iwa, untuk mereka makan sendiri saja sudah tidak ada.
Kebo Iwa pun marah dan mengamuk. Ia menghancurkan rumah-rumah milik penduduk. Pura sebagai tempat ibadah juga tidak luput dari amukan Kebo Iwa.
Penduduk melarikan diri ke desa tetangga. Tapi Kebo Iwa terus mengejar sambil berteriak-teriak, “Mana makanan untukku! Atau kalian lebih suka kuhancurkan!”
Kebo Iwa semakin ganas. Ia tidak hanya menghancurkan bangunan, tetapi juga memakan hewan-hewan ternak milik penduduk. Para penduduk pun juga menjadi korban keganasan Kebo Iwa.
Melihat kerusakan yang ditimbulkan Kebo Iwa maka penduduk menjadi kesal dan marah. Mereka mengatur siasat untuk membunuh Kebo Iwa. Mereka mengajak berdamai Kebo Iwa. Dengan segala macam cara akhirnya mereka bisa mengumpulkan makanan yang banyak lalu mendekati Kebo Iwa.
Pada saat itu Kebo Iwa baru saja menyantap seekor kerbau. Ia kekenyangan dan berbaring di atas rumput.
“Hai Kebo Iwa …!” tegur Kepala Desa.
“Ada apa? Mau apa kalian mendekatiku?” tanya Kebo Iwa dengan curiga.
“Sebenarnya kami masih membutuhkan tenagamu. Rumah-rumah dan pura banyak yang kau hancurkan. Bagaimana kalau kau membantu kami membangunnya kembali. Kami akan menyediakan makanan yang banyak untukmu sehingga kau tak kelaparan lagi,” kata Kepala Desa.
“Makanan …? Kalian akan menyediakan makanan yang enak untukku?” mata Kebo Iwa berbinar mendengar kata makanan.
“Aku setuju … aku akan buatkan untuk kalian!”
Kebo Iwa senang, tidak curiga sedikit pun. Keesokan harinya, Kebo Iwa mulai bekerja. Dengan waktu yang terhitung singkat, beberapa rumah selesai dikerjakan oleh Kebo Iwa. Sementar itu, para warga sibuk mengumpulkan batu kapur dalam jumlah bear. Kebo Iwa merasa bingung mengapa para warga sangat banyak mengumpulkan batu kapur. Padahal kebutuhan batu kapur untuk rumah dan pura sudah cukup.
“Mengapa kalian mengumpulkan batu kapur begitu banyak?” tanya Kebo Iwa.
“Ketahuilah Kebo Iwa. Setelah kamu selesai membuat rumah dan pura milik kami, kami akan membuatkanmu rumah yang besar dan sangat indah,” kata Kepala Desa.
Kebo Iwa sangat senang mendengarnya. Tidak ada kecurigaan sedikit pun darinya. Ia semakin semangat membantu warga. Hanya dalam beberapa hari, rumah-rumah dan pura milik penduduk selesai dikerjakan. Pekerjaannya hanya tinggal menggali sumur besar. Pekerjaan ini memakan waktu cukup lama dan memerlukan lebih banyak tenaga. Kebo Iwa menggunakan kedua tangannya yang besar dan kuat untuk menggali tanah sampai dalam. Semakin hari lubang yang dibuatnya semakin dalam. Tubuh Kebo Iwa pun semakin turun ke bawah. Tumpukan tanah bekas galian yang berada di mulut lubang pun semakin menggunung. Karena kelelahan, Kebo Iwa berhenti untuk istirahat dan makan. Ia makan sangat banyak. Karena kelelahan setelah makan ia mengantuk, ia pun tertidur dengan mengeluarkan suara dengkuran yang sangat keras.
Suara dengkuran Kebo Iwa terdengar oleh para penduduk yang sedang berada di atas sumur. Akhirnya, para penduduk segera berkumpul di tempat lubang sumur tersebut. Mereka melihat Kebo Iwa sedang tertidur pulas di dalamnya. Pada saat itulah Kepala Desa memimpin warganya untuk melemparkan batu kapur yang sudah mereka siapkan sebelumnya ke dalam sumur. Karena tertidur lelap, Kebo Iwa belum tidak menyadari dirinya dalam bahaya.
Ketika air di dalam sumur yang bercampur kapus sudah mulai meluap dan menyumbat hidung Kebo Iwa, barulah raksasa itu tersadar. Namun, lemparan batu kapur dari para warga semakin banyak. Kebo Iwa tidak dapat berbuat apa-apa. Meskipun memiliki badan sangat besar dan tenaga yang sangat kuat, ia tidak mampu melarikan diri dari tumpukan kapur dan air sumur yang kemudian menguburnya hidup-hidup. Kebo Iwa menggelepar-gelepar selama beberapa saat, gerakannya menimbulkan gempa sesaat tapi kemudian reda dan diam. Kiranya Kebo Iwa telah tewas terkubur di dalam sumur.
Sementara itu air sumur semakin lama semakin meluap. Air sumur itu membanjiri desa dan membentuk danau. Danau itu kini dikenal dengan nama Danau Batur. Sedangkan timbunan tanah yang cukup tinggi membentuk bukit menjadi sebuah gunung dan disebut Gunung Batur. ***

Sumber:
MB. Rahimsyah, Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara 33 Provinsi, Surabaya: Serba Jaya. Hal. 102 – 106.
Share:

Asal Mula Singaraja

Dahulu kala di Pulau Bali. Tepatnya di daerah Klungkung. Hiduplah seorang raja yang bergelar Sri Sagening. Ia mempunyai isteri yang cukup banyak. Isteri yang terakhir bernama Ni Luh Pasek. Ni Luh Pasek berasal dari Desa panji dan merupakan keturunan Kyai Pasek Gobleg. Namun malang nasib Ni Luh Pasek, sewaktu ia mengandung, ia dibuang secara halus dari istana, ia dikawinkan dengan Kyai Jelantik Bogol oleh suaminya.
Kesedihannya agak berkurang berkat kasih saying Kyai Jelantik Bogol yang tulus. Setelah tiba waktunya ia melahirkan anak laki-laki. Bayi laki-laki itu diberi nama I Gusti Gede Pasekan.
Bayi bernama I Gusti Gede Pasekan makin hari makin besar, setelah dewasa ia mempunyai wibawa besar di Kota Gelgel. Ia sangat dicintai oleh pemuka masyarakat dan masyarakat biasa.
Ia juga disayang oleh Kyai Jelantik Bogol seperti anak kandungnya sendiri. Pada suatu hari, ketika ia berusia dua puluh tahun, Kyai Jelantik Bogol memanggilnya.
“Anakku,” panggil Kyai Jelantik Bogol. “Sekarang pergilah engkau ke Den Bukit di daerah Panji.”
“Mengapa saya harus pergi ke sana, Ayah?” tanya I Gusti Gede Pasekan. “Anakku, itulah tempat kelahiran ibumu.”
“Baiklah, Ayah. Saya akan pergi ke sana.”
Sebelum berangkat, Kyai Jelantik Bogol berkata kepada anaknya, “I Gusti, bawalah dua senjata bertuah ini, yaitu sebilah keris bernama Ki Baru Semang dan sebatang tombak bernama Ki Tunjung Tutur. Mudah-mudahan engkau akan selamat.”
“Baik, Ayah!”
Dalam perjalanan ini, I Gusti Gede Pasekan diiringkan oleh empat puluh orang di bawah pimpinan Ki Dumpiung dan Ki Tengah Malam, tiba-tiba datang makhluk gaib penghuni hutan. Dengan mudah sekali I Gusti Gede Pasekan diangkat ke atas pundak makhluk gaib itu sehingga ia dapat melihat pemandangan lepas dari lautan dan daratan yang terbentang di depannya.
Ketika ia memandang ke timur dan barat laut, ia melihat pulau yang amat jauh. Sedangkan ketika ia memandang kea rah selatan, pemandangannya dihalangi oleh gunung. Setelah makhluk gaib itu lenyap, didengarnya suara bisikan.
“I Gusti, sesungguhnya daerah yang baru engkau lihat itu akan menjadi daerah kekuasaanmu.”
I Gusti Gede Pasekan sangat terkejut mendengar suara gaib itu. Namun ia juga merasa senang, bukankah suara itu adalah pertanda bahwa suatu ketika ia akan mendapat kedudukan yang mulia, menjadi penguasa suatu daerah yang cukup luas.
Memang untuk mencapai kemuliaan orang harus menempuh berbagai kesukaran terlebih dahulu.
Ia menceritakan apa yang didengarnya secara gaib itu kepada ibunya.
Ibunya memberi semangat untuk terus melakukan perjalanan. Keesokan harinya rombongan I Gusti Gede Pasekan melanjutkan perjalanan yang penuh dengan rintangan. Walaupun perjalanan ini sukar dan jauh, akhirnya mereka berhasil juga mencapai tujuan dengan selamat.
Pada suatu hari ketika ia berada di desa ibunya terjadilah peristiwa yang menggemparkan. Ada sebuah perahu Bugis terdampar di pantai Panimbangan. Pada mulanya orang Bugis meminta pertolongan nelayan di sana, tetapi mereka tidak berhasil membebaskan perahu yang kandas.
Nakhoda perahu Bugis sudah putus asa, tapi tetua kampung nelayan datang mendekatinya.
Tuan berhasil mengangkat perahu kami, sebagian isi muatan perahu akan kami serahkan kepada Tuan sebagai upahnya.”
“Kalau itu memang janji Tuan, saya akan mencoba mengangkat perahu yang kandas itu,” jawab I Gusti Gede Pasekan.  Untuk melepaskan perahu besar yang kandas itu, I Gusti Gede Pasekan mengeluarkan dua buah senjata pusaka warisan Kyai Jelantik Bogol.
Ia memusatkan pikirannya. Tak lama kemudian muncullah dua makhluk halus dari dua buah senjata pusaka itu.
“Tuan, apa yang harus hamba kerjakan?”
“Bantu aku menyeret perahu yang kandas itu ke laut lepas!” suruh I Gusti Gede Pasekan. “Baik, Tuan!” jawab kedua makhlus halus itu.
Dengan bantuan dua mkhluk halus itu ia pun berhasil menyeret perahu dengan mudah.
Orang lain jelas tak mampu kehadiaran si makhluk halus, mereka hanya melihat I Gusti Gede Pasekan menggerak-gerakkan tangannya menunjuk ke arah perahu.
Karena senangnya, orang Bugis itu pun menepati janjinya. Di antara hadiah yang diberikan itu terdapat dua buah gong besar. Karena I Gusti sekarang sudah menjadi orang kaya, ia digelari sebutan I Gusti Panji Sakti.
Sejak kejadian itu, kekuasaan I Gusti Panji Sakti mulai meluas dan menyebar ke mana-mana. Ia pun mulai mendirikan suatu kerajaan baru di daerah Den Bukit.
Kira-kira pada pertengahan abad ke-17, ibukota kerajaan itu disebut orang dengan nama Sukasada.
Semakin hari kerajaan itu makin luas dan berkembang, lalu didirikanlah kerajaan baru. Letaknya agak ke utara dari Kota Sukasada. Sebelum dijadikan kota, daerah itu banyak sekali ditumbuhi pohon buleleng. Oleh karena itu, pusat kerajaan baru itu disebut Buleleng. Buleleng adalah nama pohon yang buahnya sangat digemari oleh burung perkutut. Di pusat kerajaan baru itu didirikan istana megah, yang diberi nama Singaraja. ***

Sumber:
  •       MB. Rahimsyah, ____, 27 Cerita Rakyat Nusantara, Surakarta: CV. Bringin 55
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami