The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Makassar heritage. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makassar heritage. Tampilkan semua postingan

Gedung Kesenian Sulawesi Selatan

Makassar, yang pernah menjadi pelabuhan terkemuka pada masa VOC hingga Hindia Belanda, memiliki sisa-sisa peninggalan kolonial yang sampai sekarang masih bisa disaksikan. Salah satunya adalah Gedung Kesenian Sulawesi Selatan.
Gedung Kesenian Sulawesi Selatan terletak di Jalan Riburane No. 15 Kelurahan Pattunuang Kecamatan Wajo, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Lokasi gedung ini tepat berada di seberang gedung RRI, dan dekat juga dari Balai Kota Makassar.
Awalnya, gedung ini bernama Societeit De Harmonie yang dibangun pada tahun 1896. Gedung ini dulunya sebagai tempat bertemunya bagi perkumpulan dagang dari para pedagang Belanda pada masa itu, dan juga digunakan sebagai tempat menerima tamu-tamu pemerintah kolonial, baik dari Belanda maupun dari negara Eropa lainnya, termasuk di antaranya untuk pelantikan raja-raja di Sulawesi dalam pemerintahan kolonial Belanda.


Semenjak Indonesia merdeka, gedung ini pernah mengalami pergantian peruntukkannya. Pada tahun 1950, gedung ini digunakan sebagai Gedung Badan Pertemuan Masyarakat, dan pada tahun 1960 menjadi Balai Budaya. Lalu, berturut-turut pernah menjadi Gedung Veteran, LPPU Departemen Penerangan RI, Gedung DPRD Tingkat I, Gedung Pusat Penataran P4 dan akhirnya digunakan sebagai Gedung Kesenian Provinsi Sulawesi Selatan yang saat ini kerap menampilkan pagelaran seni budaya dan seni teaterikal budayawan Sulawesi Selatan.
Gedung yang memiliki luas 55,7 x 42,5 meter dan berdenah membentuk huruf L ini sudah beberapa mengalami renovasi sehingga khabarnya sudah tidak banyak menampakkan ciri kepurbakalaannya. Bangunan asli dari gedung yang terbuat dari bahan batu bata, kayu, atap seng dan kaca sudah hampir tidak tampak lagi, kecuali bangunan depan yang menggunakan pilar-pilar besar dan menara tinggi dengan atap bersusun tiga yang merupakan ciri khas arsitektur Eropa abad 19 gaya Renaissance atau Yunani Baru (Neo Griekse Stijl). Gaya ini merupakan perkembangan dari gaya Roko sebagai bangunan tua peninggalan kolonial Belanda.
Bangunan yang menjadi saksi sejarah ini tercatat dalam nomor register 343 yang dikeluarkan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara, sehingga bangunan ini harus tetap dilindungi dan dilestarikan. ***

Kepustakaan:
Drs. Ama Saing (Editor), 2008, Album Sejarah dan Kepurbakalaan Sulawesi Selatan (Wisata Kultural Historis), Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan
Share:

Museum Balla Lompua

Museum Balla Lompua terletak di Jalan Sultan Hasanuddin No. 48 Kelurahan Sungguminasa, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan, dan didirikan pada 11 Desember 1973. Konon, museum ini merupakan istana tempat kediaman raja-raja Gowa yang dibangun pada tahun 1936 oleh Raja Gowa yang ke-31, bernama Mangngi-mangngi Daeng Matutu, dengan gaya bangunan berarsitektur khas Makassar. Balla Lompua sendiri dalam bahasa Makassar berarti rumah besar atau rumah kebesaran. Rumah kebesaran ini berbentuk rumah panggung dengan sebuah tangga setinggi lebih dari 2 m untuk masuk ke ruang teras.


Struktur bangunan museum ini terbuat dari kayu ulin (eusideroxylon zwageri), yang juga dikenal dengan sebutan kayu besi yang berat dan kuat. Bangunan ini berada dalam sebuah kompleks seluas satu hektar yang dibatasi oleh pagar tembok yang tinggi.
Bangunan museum ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu ruang utama seluas 60 x 40 m dan ruang teras (ruang penerima tamu) dengan ukuran 40 x 4,5 m. Di dalam ruang utama terdapat tiga bilik, yaitu bilik sebagai kamar pribadi raja, bilik tempat penyimpanan benda-benda bersejarah, dan bilik kerajaan. Ketiga bilik tersebut masing-masing berukuran 6 x 5 m. Bangunan museum ini juga dilengkapi dengan banyak jendela yang masing-masing memiliki ukuran 0,5 x 0,5 m.


Museum ini menyimpan berbagai koleksi benda Kerajaan Gowa yang bernilai tinggi dan memiliki nilai sejarah yang panjang. Di museum ini diperkirakan terdapat 140 koleksi benda milik Kerajaan Gowa, seperti: salokoa, ponto janga-jangaya, kolara, tatarapang, berbagai sejanta tempur Makassar, 7 buah naskah lontar, dan 2 buah Kitab Suci Al Qur’an yang ditulis tangan pada tahun 1848.
Salokoa, yaitu mahkota yang terbuat dari bahan emas murni dan berbentuk kerucut bungai teratai (lima helai kelopak daun) memiliki bobot sekitar 1.768 gram yang bertabur 250 permata berlian. Salokoa merupakan wujud kebesaran yang dipakai pada upacara pelantikan/penobatan raja.
Ponto janga-jangaya, yaitu sebuah gelang tangan dari bahan emas berbentuk naga yang melingkar dengan dua kepala yang mulutnya terbuka. Ponto janga-jangaya, juga merupakan kebesaran Raja Gowa. Gelang ini digunakan pada upacara pelantikan/penobatan raja.
Kolara, yaitu rantai emas panjang seberat 270 gram, merupakan tanda kebesaran raja yang bernama I Tani Samang (yang tidak ada namanya).
Tatarapang, yaitu keris emas seberat 986,5 gram, dengan panjang 51 cm dan lebar 13 cm. Keris ini merupakan hadiah dari Kerajaan Demak.
Museum Balla Lompua pernah mengalami renovasi pada tahun 1978-1980, dan saat ini menjadi salah satu ikon di Kabupaten Gowa. Ikon yang bernuansa kekunaan dengan citra historis ini menjadi salah satu destinasi wisata yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. *** [230613]
Share:

Fort Rotterdam

Fort Rotterdam terletak di Jalan Ujung Pandang No. 1 Makassar. Lokasi benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, dan berjarak sekitar 1 Km dari Pantai Losari yang begitu terkenal di kalangan wisatawan.
Fort Rotterdam merupakan benteng pertahanan yang masih tersisa dan bisa disaksikan kemegahannya hingga kini oleh masyarakat Makassar maupun wisatawan dari luar. Benteng ini dulu dikenal dengan Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang). Orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Pannyua (penyu) yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Sebutan pannyua atau penyu mengacu pada bentuk keseluruhan Fort Rotterdam yang jika dilihat dari atas tampak menyerupai seekor kura-kura yang akan masuk ke laut.
Berdasarkan catatan sejarah yang ada, benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa IX Karaeng Tumapakrisik Kallonna. Karaeng Tumapakrisik Kallonna merupakan Raja Gowa pertama yang menyadari pentingnya pembangunan benteng pertahanan untuk menjaga dan melindungi dari serangan musuh. Hal ini menunjukkan kepandaiannya sebagai raja sekaligus ahli strategi perang, serta pemikirannya yang jauh ke depan. Semula hanya terbuat dari gundukan tanah liat, kemudian pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV, Sultan Alauddin, konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang didatangkan dari pegunungan karst di daerah Maros.


Pada awal dibangunnya benteng ini, di dalamnya terdapat rumah panggung khas Gowa di mana raja dan keluarganya tinggal. Pada saat Belanda menguasai Maluku, mereka memutuskan untuk menaklukkan Kerajaan Gowa agar armada dagang VOC dengan leluasa bisa merapat dengan mudah di Sulawesi sekaligus membuka kesempatan untuk melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah yang kala itu menjadi primadona di Eropa. Dalam usahanya menaklukkan Gowa, armada Belanda dipimpin oleh Cornelis Speelman dibantu Arung Palakka dari Bone dan Kapten Jongker dari Ambon. Selama setahun lebih benteng ini digempur, akhirnya Belanda berhasil masuk dan membumihanguskan rumah raja dan seisi benteng. Pihak Belanda memaksa Sultan Hasanuddin untuk menandatangani sebuah perjanjian yang dikenal sebagai “Cappaya Ri Bungaya” atau Perjanjian Bungaya pada hari Jum’at, 18 November 1667, di mana salah satu pasal dalam perjanjian tersebut mewajibkan Kerajaan Gowa menyerahkan Benteng Ujung Pandang kepada Belanda.
Setelah benteng ini diserahkan kepada Belanda, benteng ini dibangun dan ditata kembali sesuai dengan arsitektur Belanda yang kemudian namanya diubah menjadi Fort Rotterdam, dan dijadikan pusat penampungan rempah-rempah di Nusantara bagian timur. Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Speelman lahir di Rotterdam pada 3 Maret 1628 dengan nama lengkap Cornelius Jans Zoon Speelman. Speelman adalah Gubernur Hindia Belanda ke-14.
Di dalam kompleks benteng ini, pengunjung bisa melihat beberapa ruangan yang pernah digunakan untuk menahan Pangeran Diponegoro, sebuah gereja peninggalan Belanda, dan Museum La Galigo yang menempati beberapa bangunan yang ada. *** [230613]
Share:

Museum La Galigo

Museum La Galigo terletak di Jl. Ujung Pandang No. 1 Makassar, atau tepatnya berada di dalam Kompleks Benteng Ujung Pandang atau dikenal dengan sebutan Fort Rotterdam. Museum ini tidak jauh dari Pantai Losari yang begitu terkenal bagi pelancong.
Menurut informasi yang diperoleh dari pihak museum, keberadaan sebuah museum di Sulawesi Selatan berawal pada tahun 1938 dengan didirikannya “Celebes Museum” oleh pemerintah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda) di Kota Makassar sebagai ibukota Gouvernement Celebes en Onderhorigheden (Pemerintah Sulawesi dan Taklukannya). Museum pada waktu itu menempati bangunan dalam kompleks Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam) yakni bekas kediaman Gubernur Belanda Admiral C.J. Speelman (gedung D), koleksi yang dipamerkan antara lain keramik, piring emas, destar tradisional Sulawesi Selatan dan beberapa mata uang. Menjelang kedatangan Jepang di Kota Makassar, Celebes Museum telah menempati 3 gedung (gedung D, I dan M) koleksi yang dipamerkan bertambah antara lain: peralatan permainan rakyat, peralatan rumah tangga seperti peralatan dapur tradisional, peralatan kesenian seperti kecapi, ganrang bulo, puik-puik, dan sebagainya.


Pada masa pendudukan Jepang, Celebes Museum terhenti sampai pembubaran Negara Indonesia Timur (NIT) dan selanjutnya pada tahun 1966 oleh kalangan budayawan merintis kembali pendirian museum dan dinyatakan berdiri secara resmi pada tanggal 1 Mei 1970 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan No.182/V/1970 dengan nama “Museum La Galigo”. Pada tanggal 24 Februari 1974 Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Prof. I.B. Mantra meresmikan Gedung Pameran Tetap Museum, kemudian pada tanggal 28 Mei 1979 dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No.093/0/1979 museum in resmi menjadi “Museum La Galigo Provinsi Sulawesi Selatan”, dan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bidang kebudayaan, khususnya bidang Permuseuman. Selanjutnya di era Otonomi Daerah, Museum La Galigo berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan No. 166 Tahun 2001 tertanggal 28 Juni 2001 berubah nama menjadi UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) Museum La Galigo Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan. Selanjutnya pada tahun 2009 Organisasi Tata Kerja UPTD Museum La Galigo Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan diatur berdasarkan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan No. 40 Tahun 2009 tanggal 18 Februari 2009 sampai sekarang.

Pemberian Nama La Galigo
Penamaan “La Galigo” terhadap Museum Provinsi Sulawesi Selatan atas saran para cendekiawan dan budayawan dengan pertimbangan bahwa La Galigo atau I La Galigo adalah sebuah karya sastra klasik dunia yang besar dan terkenal, serta bernilai kenyataan cultural dalam bentuk naskah tertulis berbahasa Bugis yang disebut Sure’ Galigo. Sure’ ini mengandung nilai-nilai luhur, pedoman ideal bagi tata kelakuan dan dalam kehidupan nyata yang dipandang luhur dan suci, merupakan tuntunan hidup dalam masyarakat Sulawesi Selatan pada masa dahulu seperti dalam sistem religi, ajaran kosmos, adat istiadat, bentuk dan tatanan persekutuan hidup kemasyarakatan/pemerintahan tradisional, pertumbuhan kerajaan, sistem ekonomi/perdagangan, keadaan geografis/wilayah, dan peristiwa penting yang pernah terjadi dalam kehidupan mausia. Pada masa dahulu naskah atau sure’ yang dipandang suci ini disakralkan dan hanya dibaca pada waktu-waktu tertentu sambil dilagukan.
Pertimbangan lain penamaan Museum La Galigo adalah nama La Galigo sangat populer di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan, La Galigo seorang tokoh legendaris, putera Sawerigading Opuma Ware dari perkawinannya dengan We Cudai Daeng Ri Sompa, setelah dewasa La Galigo dinobatkan menjadi Payung Lolo (Raja Muda) di Kerajaan Luwu sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan.

Ruang Pameran Tetap
Seperti layaknya museum yang ada di Indonesia, Museum La Galigo memiliki sejumlah ruangan untuk memamerkan koleksi yang dipunyainya. Semua koleksi tersebut dipamerkan di Gedung D dan M, yang merupakan bagian dari  bangunan Fort Rotterdam:


Gedung D
Gedung D berada di sebelah kiri ketika pengunjung memasuki pintu utama Fort Rotterdam. Gedung D ini merupakan ruang pameran yang bertemakan “Simbol Kekuasaan dan Kekuatan”.
Ruang pameran di Gedung D ini terdiri atas 2 lantai, di mana lantai 1 menyajikan koleksi yang difokuskan pada tinggalan budaya yang terkait dengan jejak kerajaan-kerajaan yang pernah memiliki kekuasaan dan kekuatan di wilayah Sulawesi Selatan, seperti Kerajaan Luwu dengan sederetan silsilah kerajaan dan lukisan Andi Jemma. Sedangkan Kerajaan Gowa disajikan koleksi silsilah Kerajaan Gowa, Payung La’lang Spue dan lukisan Sultan Hasanuddin, dan Kerajaan Bone disajikan  koleksi silsilah Kerajaan Bone, Payung Teddung, Pulawengnge dan lukisan Arung Palakka. Selain itu, disajikan pula foto-foto Kepala Daerah yang pernah memimpin Sulawesi Selatan. Sedangkan untuk lantai 2 diperuntukkan ruangan pameran temporer Museum La Galigo.

Gedung M
Gedung M berada di sebelah kana ketika pengunjung memasuki pintu utama Fort Rotterdam. Gedung M ini terdiri atas 6 ruangan, yaitu:

Ruang Lobby
Ruangan ini merupakan ruangan ticketing dan informasi awal tentang Museum La Galigo berupa tulisan dan audio visual.

Ruang Pameran Tema “Kebudayaan dan Lintas Peradaban”
Ruangan ini menyajikan informasi kepurbakalaan di Sulawesi Selatan, yaitu manusia pertama dan budayanya sekitar 1,5 juta tahun yang lalu atau masa prasejarah (zaman Paleolithik, Mesolithik, Neolithik, Megalithik, dan zaman Perundagian).

Ruang Pameran Tema “Pola Perkampungan dan Adat Istiadat Masyarakat Sulawesi Selatan”
Ruangan ini menyajikan  informasi geografi dan tinggalan budaya berupa kebendaan  dan foto-foto yang menggambarkan  pola perkampungan, mata pencaharian, upacara daur hidup, dan adat istiadat tiga etnis di Sulawesi Selatan (etnis Bugis, Makassar dan Toraja) serta alat musik tradisional.

Ruang Pameran Tema “Budaya Pedalaman/Agraris di Sulawesi Selatan”
Ruangan ini menyajikan informasi di daerah pedalaman Sulawesi Selatan khususnya budaya agraris berupa pengolahan sawah dan peralatannya, perkebunan, pengolahan industri rumah tangga dan peralatannya serta informasi tata cara adat sebelum dan sesudah panen serta foto-foto kegiatan masyarakat dan alam pedalaman ag
Aris Sulawesi Selatan.

Ruang Pameran Tema “Pesisir/Bahari di Sulawesi Selatan”
Ruangan ini memberikan informasi  budaya pesisir yang didominasi kegiatan kebaharian masyarakatnya dan peralatan yang menunjang, yaitu  berupa perahu lepa-lepa, pinisi, lambo dan peralatan menangkap ikan (bagang,jala dank ail). Selain itu, disajikan pula bahan dan peralatan pada pembuatan perahu yang berasal dari Bira, Kabupaten Bulukumba yang merupakan pusat pembuatan perahu di Sulawesi Selatan.

Ruang Pameran Tema “Pola Pertumbuhan dan Perkembangan Kota”
Ruangan ini menginformasikan sejauh awal perkembangan dan keadaan masa kini 3 kota di Sulawesi Selatan, meliputi Kota Makassar, Kota Pare-pare, dan Kota Palopo. Kota-kota tersebut ditampilkan untuk mewakili kota-kota lainnya di Sulawesi Selatan. Selain itu diinformasikan pula etnis-etnis pendatang di Sulawesi Selatan.
Pada ruangan ini pula ditampilkan permainan tradisional (dende-dende dan manggalaceng) yang dapat langsung dilakukan oleh pengunjung, mengingat saat ini permainan jenis tersebut sudah jarang ditemui di masyarakat. *** [230613]
Share:

GPIB Jemaat Immanuel Makassar

Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Jemaat Immanuel Makassar terletak di Jalan Balaikota No. 1 Makassar, atau berada di samping timur Gedung Balaikota Makassar.
Gereja ini merupakan salah satu dari sekian banyak arsitektur peninggalan kolonial Belanda di Makassar. Dalam Buku Laporan Kegiatan Peringatan 100 Tahun Gedung Gereja Immanuel Ujung Pandang 15 September 1885 – 1985 dikisahkan bahwa awalnya jemaat (gemeente) didirikan dengan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda pada 17 Oktober 1852. Jemaat ini merupakan bagian dari De Protestantsche Kerk in Nederlandsch Indie (Gereja Protestan di Hindia Belanda) atau yang biasanya disingkat “Indische Kerk”. Sama dengan induknya di Negeri Belanda, gereja ini merupakan gereja negara. Pendeta diberi gaji oleh pemerintah beserta dengan anggaran-anggaran lainnya yang digunakan untuk keperluan gereja.
Pada 15 September 1885, Pendeta J.C. Knuttel meresmikan pemakaian gedung gereja yang telah dibangun kembali dengan nama resminya “Prins Hendriks Kerk” (Gereja dari Pangeran Hendrik), namun umumnya disebut dengan “Protestantsche Kerk” (Gereja Protestan) atau “Grote Kerk” (Gereja Besar). Yang akhirnya, saat ini dikenal dengan nama Gereja Immanuel.
Pada tahun1933, Indische Kerk mengadakan Grote Vergadering (pertemuan raya) yang memutuskan supaya diusahakan pemisahan administatif antara gereja dan negara. Bagian Indische Kerk di Minahasa (yang kemudian bernama Gereja Masehi Injili Minahasa disingkat GMIM) mencapai pemisahan pada tahun 1934. Bagian Indische Kerk di Maluku (yang kemudian bernama Gereja Protestan Maluku disingkat GPM) mencapai hal serupa dengan GMIM pada tahun 1935, bersamaan dengan bagian Indische Kerk di sebelah barat (yang kemudian disebut sebagai Gereja Protestan Indonesia disingkat GPI). Bagian Indische Kerk di Timor yang kemudian disebut Gereja Masehi Injili Timor disingkat GMIT mendapatkannya pada tahun 1947. Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada 31 Oktober 1948, bagian dari Indische Kerk di sebelah barat berdiri sendiri menjadi Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB). Lalu, GPI berubah hakikat menjadi suatu Sinode Am yang beranggotakan sinode GPIB, GMIT, dan GPM. Jemaat Immanuel Makassar, meskipun terletak di wilayah Indonesia Timur namun termasuk dalam wilayah pelayanan GPIB.


Pada tahun 1950, sinode-sinode tersebut betul-betul berdiri sendiri dengan terjadinya pemisahan keuangan antara gereja dan negara. Sejak berdirinya GPIB (1948), hanya terdapat satu Jemaat GPIB di Makassar.  Barulah pada tahun 1967 diputuskan untuk membagi jemaat yang wilayah pelayanannya sudah teramat luas ini menjadi 4 jemaat, yaitu Jemaat Immanuel, Bukit Zaitun, Bethania dan Mangamaseang. Pada tahun 1983, Jemaat GPIB di Makassar bertambah satu lagi, yaitu Jemaat Bahtera Kasih, sehingga seluruhnya hingga kini terdapat 5 jemaat.
Di seluruh Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulselra) terdapat 11 jemaat GPIB. Selain 5 jemaat di Makassar, masih terdapat jemaat GPIB di Pare-pare, Watampone, Majene, Kendari, Raba dan Bau-bau. Kesebelas jemaat ini sejak tahun 1978 dikoordinasikan kerjasamanya oleh suatu badan yang disebut musyawarah pelayanan (mupel) jemaat GPIB di wilayah Sulselra, yang biasa disingkat Mupel GPIB Sulselra. Badan ini merupakan jembatan dinamis di antara jemaat-jemaat dan Majelis Sinode yang berkedudukan di Jakarta. *** [220613]
Share:

Museum Kota Makassar

Museum Kota Makassar terletak di Jalan Balaikota No. 11 Kelurahan Baru, Kecamatan Ujungpandang, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Sebelah utara berbatasan dengan kompleks perumahan perwira Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat, sebelah timur dengan SMPN 6 Makassar, sebelah selatan dengan kanal dan sebelah barat dengan Balaikota Makassar.
Bangunan museum ini bergaya arsitektur zaman kolonial Belanda yang dibangun pada tahun 1918. Dulu, bangunan museum ini merupakan Kantor Perwaklian Pemerintah Hindia Belanda yang berkedudukan di Makassar. Pertama kali digunakan sebagai Kantor Walikota oleh J.E. Dan Brink, walikota Makassar tahun 1918-1927.


Namun sejak 7 Juni 2000, bangunan tua bergaya arsitektur neo klasik ini atas prakarsa Walikota Makassar, Drs. H.B. Amiruddin Maula, SH., M.Si, dialih fungsikan sebagai Museum Kota Makassar. Bangunan yang menempati lahan seluas 2.709 m² berbentuk segi empat, bertingkat dengan konstruksi beton yang terdiri dari bangunan utama dan bangunan pendukung.
Museum Kota Makassar hadir untuk melayani kebutuhan masyarakat akan informasi mengenai identitas Kota Makassar, sejarah dan budaya penduduknya yang plurallistik.


Museum ini memiliki beberapa koleksi kuno yang tidak dimiliki oleh museum lain yang ada di Indonesia, di antaranya Grand Piano Steinway Model C-211 yang diproduksi di Kota Hamburg, Jerman, pada tahun 1927, peralatan kamera TVRI tempo dulu, peta bumi kuno yang dibuat untuk kelancaran misi perdagangan dan politik di Hindia Belanda pada masa silam, patung dan relief potret Ratu Wilhelmina dan Yuliana, meriam, peralatan sehari-hari, foto peristiwa dan bangunan sejarah, foto reproduksi naskah, serta koleksi numismatika.
Museum Kota Makassar menawarkan pelayanan khusus kepada lembaga seperti sekolah atau organisasi yang ingin berkunjung dalam rangka mendapatkan informasi secara lebih terfokus dan seksama mengenai koleksi Museum Kota Makassar. Pelayanan yang diberikan berupa pemberian ceramah atau kunjungan terpogram. *** [220613]
Share:

Museum Kupu-Kupu

Museum Kupu-Kupu terletak di Kelurahan Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan, atau tepatnya berada di dalam Taman Wisata Alam Bantimurung. Bantimurung sebagai obyek wisata memiliki panorama keindahan alam yang menarik untuk dikunjungi. Kawasan ini vegetasinya subur serta memiliki air terjun yang spektakuler. Area ini juga menjadi habitat yang ideal berbagai spesies kupu-kupu, burung, dan serangga langka.


Pada tahun 1856-1857, seorang naturalis Inggris terkemuka bernama Alfred Russel Wallace pernah tinggal di kawasan ini untuk menikmati pemandangan alam Bantimurung. Ia juga meneliti 150 jenis kupu-kupu langka yang tidak dijumpai di daerah lain. Jenis kupu-kupu langka itu adalah Papillo androcles.
Wallace juga menjuluki kawasan in sebagai kerajaan kupu-kupu (the kingdom of butterfly), karena keanekaragaman jenis kupu-kupu yang ada di sini.
Keanekaragaman jenis kupu-kupu yang dimiliki kawasan ini, mengilhami didirikannya sebuah museum mungil untuk menyimpan berbagai koleksi kupu-kupu yang pernah hidup di daerah Bantimurung maupun yang berada di daerah lain. Pada tahun 1993, museum ini resmi berdiri dan melayani kunjungan umum setiap harinya.


Saat ini, museum ini telah menyimpan sekitar 500 ekor kupu di mana setengah koleksinya ditemukan di Sulawesi Selatan. Koleksi ini diperkirakan akan kian bertambah mengingat di samping museum telah didirikan tempat penangkaran kupu-kupu Bantimurung.
Untuk menuju museum ini tidaklah terlalu sulit. Kira-kira 12 Km dari Kota Maros dengan menyusuri jalan mulus ber-hot mix, dan setiap pengunjung akan dipungut biaya sebesar Rp 5.000 per orang. *** [200613]
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami