The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Situs Banten Lama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Situs Banten Lama. Tampilkan semua postingan

Benteng Speelwijck

Benteng ini terletak di Kampung Pamarican, dekat Pabean. Lokasi Benteng Speelwijk ini tidaklah terlalu jauh dari Masjid Agung Banten, sekitar 500 meter ke arah utara.  Bangunan benteng ini sudah tidak utuh lagi, hanya sebagian temboknya yang masih utuh, terutama yang terletak di sebelah utara.


Meskipun tidak utuh lagi, beberapa sudut benteng ini meninggalkan bentuk bangunan yang masih bisa dinikmati. Pada bagian utara, walaupun tidak utuh tetapi masih dapat dilacak fungsi dan kegunaannya. Ruangan bawah tanah diduga merupakan ruangan yang dipakai sebagai kamar tahanan khusus dan tahanan biasa. Di bagian tembok masih berdiri sebuah bangunan pengintai yang menempel di atas tembok itu. Tembok benteng itu, diduga mempunyai dua fungsi, yakni sebagai pertahanan dan pemukiman. Di salah satu sisinya tampak sebuah lobang bekas hantaman peluru meriam.


Benteng ini didirikan pada tahun 1682 oleh Belanda, mengalami perluasan pada tahun 1685 dan 1731. Benteng ini untuk mengontrol segala kegiatan yang berkaitan dengan Kesultanan Banten dan juga sebagai tempat berlindung/bermukim bagi orang Belanda. Benteng ini semakin mengokohkan posisi Belanda dalam usahanya memonopoli perdagangan lada yang berasal dari Lampung Selatan untuk kemudian dijual lagi kepada pedagang-pedagang asing yang berasal dari Cina, Malaysia, Arab, India dan Vietnam. *** [230612]
Share:

Masjid Pacinan Tinggi

Masjid ini terletak di Kampung Pacinan, Desa Banten, Kecamatan Kaseman, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Masjid ini hanya tinggal reruntuhannya saja, yang terlihat hanya mihrab dan sisa bangunan menara yang berdenah bujur sangkar. Menara ini terbuat dari bata dan dengan pondasi dan bagian bawahnya terbuat dari batu karang, bagian atas menara ini sudah hancur.


Menurut catatan sejarah yang ada, para pedagang Cina mulai memasuki Banten pada tahun 1522. Pada awalnya orang Cina ini datang ke Banten dengan tujuan untuk berdagang. Mereka membawa barang-barang khas dari negaranya untuk diperdagangkan di pasar Karangantu. Antara lain, orang Cina berdagang sutera, beludru, porselin, peti yang indah, kertas emas, kipas. Barang-barang tersebut ditukarkan dengan rempah-rempah. Orang Cina membutuhkan rempah-rempah untuk dijadikan bumbu, campuran minuman dan obat-obatan.


Karena proses bongkar muatan kapal yang membutuhkan waktu yang lama, akhirnya pedagang Cina tersebut, tinggal di Banten. Lambat laun terbentuklah perkampungan Cina atau lebih dikenal dengan Kampung Pacinan. Dalam kehidupan bermasyarakat para pedagang Cina tersebut berbaur dengan penduduk Banten, sehingga banyak diantara orang Cina yang menikah dengan penduduk setempat. Kemudian dibangunlah Masjid Pacinan Tinggi, yang dibangun pada masa Sultan Syarif Hidayatullah. Masjid ini dibangun di tengah perkampungan Cina. Masjid Pacinan Tinggi dibangun pada tahun 1523-1524, Masjid Tinggi ini berfungsi sebagai sarana ibadah dan musyawarah.
Tak jauh di sebelah kanan terdapat makam suami-istri yang berasal dari Desa Yin-Shao dan batu nisan tersebut didirikan tahun 1843, mungkin keduanya pemuka agama (saat itu) sehingga dimakamkan di dalam area masjid. *** [230612]
Share:

Situs Keraton Surosowan

Situs Keraton Surosowan terletak di Desa Banten, Kecamatan Kaseman, Kabupaten Serang. Lokasinya berdekatan dengan Masjid Agung Banten Lama.


Kompleks keraton ini sekarang sudah hancur, yang masih nampak adalah tembok benteng yang mengelilingi dengan sisa-sisa bangunannya. Sisa-sisa bangunan ini berupa pondasi dan tembok-tembok dinding yang sudah hancur, termasuk sisa-sisa bangunan Balekambang. Tembok benteng masih tampak berdiri dengan ketinggian antara 0,5 meter hingga 2 meter, dengan lebar sekitar 5 meter. Pada beberapa bagian, terutama di bagian sebelah selatan dan timur, tembok benteng ini bahkan ada yang sudah hancur.


Kompleks Keraton Surosowan ini berbentuk segi empat dengan luas kurang lebih 3 hektar. Pintu utama masuk ke Keraton Surosowan terletak di sebelah utara, menghadap ke alun-alun. Berdasarkan sejarah Banten, Keraton Surosowan yang disebut juga Gedung Kedaton Pakuan, dibangun pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sedangkan tembok benteng dan gerbangnya yang terbuat dari bata dan batu karang dibangun oleh Sultan Maulana Yusuf (1570-1580).
Salah satu bagian di dalam keraton yang menarik perhatian adalan Pancuran Mas. Pancuran yang sebenarnya terbuat dari tembaga dan bukan emas itu dahulu biasa digunakan untuk mandi para pejabat dan juga abdi kerajaan. begitu terkenalnya nama Pancuran Mas sehingga orang-orang yakin bahwa pancuran itu memang terbuat dari emas.
Keraton Surosowan telah tiga kali dibangun akibat hancur karena perang. Terakhir, keraton dihancurkan oleh Daendels pada tahun 1808. Banten Lama atau Surosowan adalah situs yang berkelanjutan. Di sana ada peradaban pra-sejarah dan berlanjut ke zaman klasik (Hindu-Budha), lalu beralih ke kebudayaan Islam pada abad ke-16. *** [230612]
Share:

Sejarah Banten

Tidak banyak yang diketahui mengenai peninggalan sejarah dari kerajaan yang terdapat di bagian paling barat dari pulau Jawa ini, terutama pada masa sebelum masuknya Islam. Keberadaan Banten sdikit dihubungkan dengan masa kejayaan maritim Kerajaan Sriwijaya yang menguasai Selat Sunda, menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera. Begitu juga kaitannya dengan keberadaan Kerajaan Sunda Pajajaran, yang berdiri pada abad ke-14 dengan ibu kotanya Pakuan dan berlokasi di dekat kota Bogor sekarang. Menurut catatan, Kerajaan ini mempunyai dua pelabuhan utama, yaitu Pelabuhan Kalapa (Sunda Kelapa), yang sekarang dikenal Jakarta, dan Pelabuhan Banten.
Dari beberapa data mengenai Banten yang tersisa, dapat diketahui, lokasi awal dari Banten tidak berada di pesisir  pantai, melainkan sekitar 10 kilometer masuk ke daratan, di tepi sungai Cibanten, di bagian selatan dari Kota Serang sekarang ini. Wilayah ini dikenal dengan nama “Banten Girang” atau Banten di atas sungai. Nama ini diberikan berdasarkan posisi geografisnya. Kemungkinan besar, kurangnya dokumentasi mengenai Banten dikarenakan posisi Banten sebagai pelabuhan yang penting dan strategis di Nusantara, baru diketahui setelah masuknya Dinasti Islam pada permulaan abad ke-16.
Di mata otoritas Banten, bangsa Portugis menawarkan perlindungan ganda. Bangsa Portugis saat itu sangat anti Islam dan armada laut mereka sangat kuat serta menguasai perairan di sekitar Banten. Di sisi lain, Banten dapat menawarkan komoditas lada kepada Portugis. Negoisasi tentang kesepakatan ini dimulai tahun 1521 Masehi.
Pada tahun 1522 Masehi, Portugis di Malaka, yang sadar akan pentingnya urusan ini, mengirim utusan ke Banten yang dipimpin oleh Henrique Leme. Perjanjian dibuat antara kedua belah pihak.
Sebagai ganti dari perlindungan yang diberikan kepada Banten, Portugis akan diberikan akses tak terbatas untuk mendapatkan persediaan lada serta diperkenankan untuk membangun benteng di muara sungai Cisadane. Kesepakatan yang sangat tidak menguntungkan ini menggarisbawahi tingginya tingkat kesulitan yang dihadapi Banten. Pemilihan pembuatan benteng di daerah Tangerang tidak diragukan lag untuk dua alasan. Yang pertama, agar Portugis dapat menahan kapal yang berlayar dari Demak, dan yang kedua untuk mencegah agar armada Portugis yang sangat kuat pada saat itu tidak terlalu dekat dengan kota Banten. Aplikasi dari perjanjian ini adalah adanya kesepakatan kekuasaan yang tak terbatas bagi Portugis. Lima tahun kemudian akhirnya armada Portugis tiba juga di pesisir Banten, di bawah pimpinan Fransisco de Sa, yang bertanggung jawab akan pembangunan benteng.
Putra Sunan Gunung Jati, Hasanudin kemudian memimpin operasi militer di Banten dan berhasil mengambil alih kekuasaan pada tahun 1527 Masehi, bertepatan dengan datangnya armada Portugis. Sadar akan adanya pernjanjian antara Portugis dengan penguasa sebelumnya, pasukan Banten Islam mencegah siapapun untuk merapat ke Banten. Kelihatannya Kaum Muslim menguasai secara serempak kedua pelabuhan utama Sunda, yaitu Kalapa dan Banten, penguasaan yang tidak lagi dapat ditolak oleh Pakuan. Sebagaimana telah sebelumnya dilakukan di Jawa Tengah, Kaum Muslim, sekarang merupakan kelas social baru, yang memegang kekuasaan politik selain ekonomi yang telah lebih dahulu dikuasai.
Putera Sunan Gunung Jati, Hasanudin dinobatkan sebagai Sultan Banten oleh Sultan Demak, yang bahkan juga menikahkan adiknya dengan Hasanudin. Sejak itu, sebuah dinasti baru telah terbentuk pada saat yang sama kerajaan yang baru didirikan. Dan Banten dipilih sebagai ibukota kerajaan baru. Sementara itu, situasi politik telah sangat berubah sehingga armada Portugis gagal untuk merapat ke daratan. Seorang ulama yang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, pada saat itu telah menetap di Banten Girang dengan tujuan utama menyebarkan ajaran agama Islam.
Walaupun pada awalnya kedatangan Sunan Gunung Jati diterima dengan baik oleh pihak penguasa, akan tetapi secara diam-diam dia tetap meminta agar Kerajaan Demak mengirimkan pasukan untuk menguasai Banten begitu ia menilai sudah tiba waktunya yang tepat. ***

Sumber:
  • Buku Benteng Heritage The Pearl of Tangerang Museum Warisan Budaya Peranakan Tionghoa Tangerang (2011)
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami