The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Anthropology. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Anthropology. Tampilkan semua postingan

Kekunaan

Kekunaan adalah sebuah blog yang diluncurkan pada 25 Juli 2010 di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia. Kekunaan dibuat dengan konsep sederhana dengan tujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat luas mengenai benda cagar budaya, yang pada akhirnya akan turut andil dalam mengembangkan archeotourism di Indonesia. Oleh karena itu, Kekunaan berbasis pada arkeologi, antropologi, dan histori.
Berbekal ala pengelana (backpacker) yang didukung oleh sejumlah studi kepustakaan menjadi motivasi dalam menuangkan ke dalam bentuk tulisan.
Slogan Kekunaan adalah kekinian berawal dari kekunaan. Sadar menjadi manusia modern berarti sadar akan tempaan kekunaan yang telah berlangsung dalam hidup manusia. Kekunaan muncul dalam segala aspek kehidupan manusia. Menghargai kekunaan berarti mengerti menjadi modern.

***
Share:

Masyarakat Pegunungan Penjaga Tradisi

Di Pulau Bali masyarakat pegunungan sering mendapat sebutan Bali Aga atau Mula. Beberapa desa yang digolongkan sebagai desa Bali Aga, antara lain, Trunyan, Sembiran, Cempaga, Sidetapa, Pedawa, Tigawasa, dan Tenganan. Istilah Bali Aga berarti orang Bali pegunungan, sedangkan Bali Mula mengandung arti Bali asli.
Antropolog James Danandjaja dalam bukunya Kebudayaan Petani Desa Trunyan menuliskan, penduduk pegunungan di Bali sendiri tidak menyukai sebutan Bali Aga. Nama Bali Aga diperoleh dari penduduk Bali lainnya yang menyebut diri mereka sebagai orang Bali Hindu dan mereka ini merupakan penduduk mayoritas orang Bali.
Orang Trunyan lebih senang disebut orang Bali Mula dan lebih suka lagi disebut orang Bali Turunan. Orang Trunyan yang tinggal di dalam kepundan purba Gunung Batur meyakini leluhur mereka turun dari langit ke bumi Trunyan.
Mereka menganggap diri mereka berbeda dengan orang Bali Hindu yang mereka panggil dengan sebutan Bali Suku karena orang Bali Suku bukan penduduk asli Pulau Bali, melainkan pendatang dari Pulau Jawa yang masuk ke Pulau Bali dengan suku atau kaki, dengan kata lain berjalan kaki.
Orang Bali Aga dianggap sebagai penduduk asli yang memang beragama Hindu, tetapi tidak mendapatkan pengaruh Jawa. Pengaruh Majapahit meluas di Bali sekitar abad ke-14.
Mengutip Negarakertagama, penulis Pura Besakih; Pura, Agama, dan Masyarakat Bali, David J Stuart menuliskan, pasukan Gajah Mada masuk ke Bali tahun 1343. Majapahit pun menanamkan pengaruhnya, termasuk dalam aspek religi.
Patih Gajah Mada didampingi  sejumlah bangsawan (arya) Majapahit menguasai pasukan di daerah strategis. Namun, populasi daerah pegunungan di bagian tengah dan timur terus melawan.
James Danandjaja sendiri berkesimpulan, kebudayaan di Desa Trunyan juga terkena pengaruh kebudayaaan Hindu Bali dan Hindu Jawa Majapahit dari Jawa Timur. Namun, dalama bidang agama, pengaruh dari kedua kebudayaan itu hanya berupa sentuhan kulitnya saja.
Itu dilihat dari dewa-dewa yang dipuja di kuil utama Trunyan mtelah merupakan leluhur yang sudah telah meninggal yang dihindukan, bukan dewa-dewa Hindu dari India.
Arkeolog dari Balai Arkeologi Denpasar, Bali, I Made Geria, mengatakan, orientasi spiritual masyarakat Trunyan berbeda dengan masyarakat Hindu Bali dataran. Dalam konsep agama Hindu, dewa yang tertinggi adalah Trimurti, yakni Brahmana, Wisnu dan Siwa.
“Orientasi spiritual masyarakat Trunyan kepada Bathara Datonta yang merupakan peninggalan zaman megalitik dan masih bertahan sampai sekarang,” ujar Geria.
Thomas A Reuter dalam bukunya Custodians of the Sacred Mountains menyebutkan, bagi orang Hindu yang menganggap diri mereka sebagai orang beradab yang mendapatkan pengaruh kebudayaan Jawa-Majapahit, hal yang tidak terpengaruh kebudayaan Jawa-Majapahit dianggap kasar dan tidak beradab. Pandangan demikian meminggirkan orang Bali Aga.
Padahal, dia menuliskan, orang Bali Aga tetap sangat diperlukan, wakil dari Bali “yang lebih tua” lebih asli, dan dalam beberapa hal lebih suci.
Mereka memilih melanjutkan tradisinya di daerah pegunungan dan mempertahankan hubungan dengan nenek moyang.
Namun, menurut Reuter, tradisi Bali Aga tak pernah mengalami kemacetan. Mereka tetap menyediakan ruang bagi pendatang dan pengetahuan baru dari luar. ***

*) KOMPAS edisi Sabtu, 17 Desember 2011 hal. 40
Share:

Penyucian Agung, Konservasi Berbalut Budaya

Masyarakat Bali kuno dikenal sebagai masyarakat agraris dengan kultur spiritual yang kuat. Tanpa menyebutnya dengan konservasi, sumber-sumber air disucikan untuk melindungi para petani dari bencana kekeringan.
Sejak zaman raja-raja berkuasa di Bali, penyucian dilakukan di hampir semua kawasan vital bagi para petani, seperti gunung, danau, dan hutan. Kawasan itu sangat penting bagi berlangsungnya tradisi agraris masyarakat Bali.
Gunung-gunung yang membentang di tengah-tengah Pulau Bali mulai dari barat hingga timur adalah kawasan vital bagi pertanian Bali. Di bentangan gunung itu, rakyat dan raja-raja di Bali mendirikan pura hingga jumlahnya tak kurang dari 1.000 bangunan, baik pura kecil maupun pura besar.
Gunung Agung adalah gunung terbesar di Bali yang sangat disucikan penduduknya. Hal ini dibuktikan dengan dibangunnya pura terbesar di Bali, Pura Besakih di Kecamatan Rendang, dan beberapa pura besar lainnya, seperti Pasar Agung di Kecamatan Selat. Gunung Agung adalah sumber air terbesar bagi masyarakat petani zaman dulu.
Antropolog Universitas Udayana, Ida Bagus Gede Puja Astawa, mengatakan, pada zaman raja-raja, mereka tak pernah menyebut kegiatan penyucian sebagai kegiatan konservasi. “Rasionalitas konservasi itu dibalut dalam selubung budaya. Mereka hanya  di menyebutkan pantangan untuk tidak merusak dan mengganggu kelangsungan ekosistem di gunung,” kata Astawa.
Pada zaman raja-raja itu pulalah, berkembang konsep spiritual mengenai Gunung Agung yang menyebutkan bahwa gunung tak ubahnya seperti kepala manusia. Dalam penghayatan masyarakat Bali kuno, kepala adalah organ tubuh yang paling suci karena merupakan bagian tubuh yang paling penting. Gunung harus dihormati seperti layaknya menghormati dan menyucikan kepala.
“Konsepsinya sederhana, kalau kepala rusak, semua tubuh manusia tidak akan berfungsi baik. Demikian pula dengan gunung, yang kalau dirusak akan menimbulkan bencana bagi masyarakat Bali ketika itu, yaitu masyarakat petani. Bencana bagi masyarakat petani kala itu yang paling ditakuti adalah kekeringan,” kata Puja Astawa.
Masyarakat Bali memiliki pandangan bahwa hidup kita akan tenang kalau kepala dijaga dengan baik. “Kepala sangat dihargai, sangat dihormati. Kalau kepala pusing, akan pengaruhi hidup kita. Kalau Gunung Agung itu dieksploitasi, sama dengan mengobok-obok kepalanya Pulau Bali. Itulah kenapa ada pura besar dan banyak pura kecil lain di Gunung Agung. Itu adalah cara masyarakat Bali kuno menghormati dan melindungi Gunung Agung,” kata Puja Astawa.
Sampai sekarang, di Bali masih berkembang tradisi bagi para petani untuk memberikan sesajen ke pura di sekitar sumber air di Gunung Agung.
Konsep penyucian alam yang menjadi tempat hidup masyarakat Bali bahkan diperkirakan sudah ada sejak zaman megalitikum. “Dari konsep orientasi spiritual mereka, mereka sudah mengenal penyucian alam yang dianggap sebagai buana agung karena akan memberikan berkah dan rahmat kepada manusia sebagai buana alit,” kata Geria.
Bandesa Adat Desa Sebudi, Kecamatan selat, Kabupaten Karangasem Mangku Gede Umbara, mengatakan, masyarakat sangat menghormati Gunung Agung karena merasa sebagai pusat kehidupan yang harus disucikan. “Masyarakat menghormati Gunung Agung yang telah memberi air. Tidak banyak yang tahu bahwa cara menghormati gunung itu adalah cara menjaga air yang sejak dulu diwariskan nenek moyang kami,” kata Umbara. ***

*) KOMPAS edisi Sabtu, 17 Desember 2011 hal. 37
Share:

Perkawinan Adat Suku Buol

Di dalam proses upacara perkawinan adat suku Buol, ada beberapa tahapan yang harus dilalui sebagai rangkaian adat perkawinan, sebagai berikut:

Mongoyokapo ialah langkah pertama dari orangtua sang jejaka mengadakan pendekatan dengan orangtua sang gadis. Bilamana mendapat sambutan yang baik dan bilamana sang gadis belum ada calon tunangan, maka disambung dengan langkah berikutnya.

Modolyo Sunangano ialah usaha memperkenalkan kedua remaja yaitu oleh orangtua mereka dibawa berjalan-jalan semacam piknik seperti pergi makan buah-buahan untuk melihat apakah kedua remaja ada saling tertarik satu sama lain. Bilaman jelas mereka saling mencinta, maka barulah diadakan peminangan yang disebut molyako nikah.

Molyako Nikah. Di sini acara peminangan terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah penyampaian pinangan dan bila diterima akan disusul dengan tahap kedua yaitu penentuan (motaanduano).
Penentuan yang dimaksud ialah penentuan mengenai:

  • ·         Besar kecilnya tingkat kebangsawanan
  • ·         Besar kecilnya mas kawin (mohar) dan berupa apa (emas, pohon kelapa dan lain-lain)
  • ·         Perabot rumah tangga yang perlu diadakan
  • ·         Rumah tempat perkawinan diadakan
  • ·         Waktu pelaksanaan
Dalam tahap kedua sudah diundang pula Hukumo Duiyanobutako yaitu Tilo Bubato (Pemerintah setempat) dan Tilo Rlebi (Pejabat Agama) untuk menyaksikan dan meresmikan adanya perkawinan tersebut.

Mogundudo. Mendahului hari perkawinan diadakan acara Mogundudo yaitu mengantar sirih pinang ditambah beberapa macam buah-buahan dan sedekah untuk pejabat adat dan agama (Doyino Kurlipu).

Mogundudo Totombu. Pada hari perkawinan acara pertama adalah mogundudo totombu yang maksudnya mengantar mas kawin yang telah disepakati bersama oleh keluarga kedua calon mempelai. Orangtua pihak perempuan memeriksa hantaran/totombu tersebut apakah sudah sesuai dengan apa yang sudah disepakati. Bila cocok semuanya maka barulah pihak perempuan menyatakan sudah siap untuk kedatangan pengantin laki-laki untuk menerima akad-nikah (nikah batin).

Nikah Batin. Pada nikah batin ini kedua mempelai belum memakai pakaian adat lengkap (biasa juga memakai pakaian Haji) di mana dilaksanakan pembacaan akad-nikah kemudian monobwu unggago (batal wudhu) yaitu pengantin laki-laki meletakkan ibu jari/jempol kanannya di tengah dahi pengantin perempuan, kemudian kedua mempelai duduk bersanding sebentar. Untuk memasuki kamar pengantin perempuan maka pengantin laki-laki harus melemparkan sejumlah uang ke pintu supaya pintu dibuka (bwuko nobomo), demikian pula di depan ranjang pengantin laki-laki harus melempar uang ke depan kelambu supaya kelambu dibuka yang biasa disebut bwuko no boso.

Nikah Hadat. Kedua mempelai pada hari kawin adat berpakaian adat lengkap. Mempelai laki-laki turun dari rumah pengantin laki-laki dengan diusung  atau dalam kereta yang sengaja dibuat dan dihiasi dengan diiringi bunyi-bunyian  seperti rebana dan gambus. Acara pertama adalah monidoko umu. Umu adalah semacam sunting rambut pengantin khas Buol, pengantin laki-laki memegang sunting itu berarti bahwa ia telah mempersunting perempuan itu menjadi isteri. Setelah itu kedua mempelai duduk bersanding di pelaminan yang sudah tersedia dengan disaksikan oleh seluruh hadirin dan hidangan disajikan/santap bersama. Acara berikut kedua mempelai diusung/diarak ke rumah pengantin laki-laki diiringi keluarga dan undangan serta bunyi-bunyian. Setelah dijamu di rumah pengantin laki-laki arak-arakan ini kembali lagi ke rumah pengantin perempuan. Pengantin laki-laki sudah dapat tidur di rumah pengantin perempuan.

Biantono. Dihadapan keluarga kedua mempelai, dalam acara doa keselamatan kedua mempelai diberikan nasihat oleh seorang pejabat atau orangtua terkenal tentang bagaimana seharusnya berumah tangga yakni nasihat perkawinan yang disebut biantono.

Mogolya Mongaano. Acara ini ialah undangan makan bersama di rumah pengantin laki-laki. Kedua mempelai kembali lagi ke rumah pengantin laki-laki.

Mogolya Nopol Yongo. Terakhir adalah kedua mempelai dijemput untuk bermalam di rumah pengantin laki-laki sehari dua. Pada waktu itu kedua mempelai merundingkan di mana mereka akan tinggal menetap, apakah di rumah orangtuanya perempuan atau di rumah orangtuanya pengantin laki-laki ataukah sudah akan berdiri sendiri.
Pesta perkawinan menurut adat asli Buol dirayakan secara besar-besaran. Sebelum hari perkawinan, telah diadakan perhelatan sedikitnya tujuh hari tujuh malam malahan kadang-kadang sampai empat puluh hari empat puluh malam yang biasanya dilaksanakan oleh keluarga raja atau orang-orang berada.
Hari-hari sebelum perkawinan itu diisi dengan acara-acara, antara lain:

  • ·         Moisilamo yaitu khitanan bagi para putra-putri yang masih di bawah umur.
  • ·         Morleado yaitu memotong gigi bagi para remaja putra-putri.
  • ·         Molyugu yaitu berkeramas rambut dengan kelapa dan wangi-wangian.
  • ·         Mongol yondigi yaitu memerahi kuku dengan sejenis ramuan daun.
Dalam perhelatan itu ditabuh bunyi-bunyian seperti kulintang, gambus dan rebana. Bagi orang-orang kaya ada pula diadakan judi. Dengan adanya tingkatan penggolongan seperti telah disebut di atas, maka besar kecilnya mohar seseorang juga didasarkan tingkat kebangsawanan , apakah termasuk:

  • ·         Orang Dua Belas (Tau Mopulyu Agu Duiya) – bangsawan/raja.
  • ·         Orang Delapan (Tau Uwal Yu) – bangsawan lainnya.
  • ·         Orang Enam (Tau Onomo) – para pejabat atau orang terkemuka.
  • ·         Orang Empat (Tau Opato) – rakyat biasa.
Pembagian tingkatan dan golongan itu telah hilang dengan sendirinya sejak zaman kemerdekaan. Adapun mohar (mas kawin) dalam perkawinan biasanya diganti dengan pohon kelapa (dapat juga diganti dengan dusun sagu) di samping perhiasan emas. Mengenai ongkos  atau biaya pesta perkawinan di dalam adat sebenarnya tidak ada. Pelaksanaan maupun semua kebutuhan untuk perhelatan/pesta ditanggulangi bersama-sama oleh semua keluarga mempelai secara gotong-royong. ***

Sumber:
  • Tjoek Soedarmadji, 1983, Mengenal Buol Tolitoli, Tolitoli: Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Buol Tolitoli. Hal. 52-54

Share:

Perkawinan Adat Suku Tolitoli

Kegiatan adat perkawinan suku Tolitoli diawali dengan acara moniok yang maksudnya pihak laki-laki mendatangi keluarga perempuan untuk menyampaikan maksud meminang dengan kata-kata sindirian. Jumlah utusan keluarga laki-laki yang mendatangi pihak perempuan berjumlah antara 5 sampai 7 orang. Setelah ada tanda-tanda jawaban menerima dari pihak keluarga perempuan, maka pihak laki-laki kembali ke tempatnya dengan diberikan tempo 3 hari sampai satu minggu untuk membicarakan segala sesuatunya dalam masalah kegiatan selanjutnya yang disebut monuu.
Monuu artinya meminang, yang merupakan kegiatan tindak lanjut dari hasil moniok. Pada tahapan ini sudah dibicarakan secara tuntas tentang persetujuan dari pihak keluarga perempuan tentang diterimanya peminangan dari pihak keluarga laki-laki.
Moguntudan. Untapan Silih Pinang yang maksudnya menyerahkan sirih pinang. Dalam tahapan ini sudah termasuk di dalamnya mengantar seperangkat pakaian calon pengantin wanita seperti cincin. Dibicarakan juga tentang mohar (mas kawin), perkawinan secara adat dan lain sebagainya. Setelah segala sesuatunya yang menyangkut persiapan adat telah dapat dipenuhi maka di tempat kediaman calon pengantin wanita dibunyikan kulintang dengan iramanya yang khas.
Mengantar. Dalam tahapan ini segenap keluarga calon pengantin perempuan mempersiapkan segala sesuatu menurut adat untuk menyambut kedatangan pengantin laki-laki bersama rombongannya yang terdiri dari keluarga dekat, sahabat-sahabat karib dan handai taulan serta undangan khusus yang serba berpakaian adat.
Nampak pengantin laki-laki berjalan perlahan-lahan di bawah naungan payung kebesaran didahului oleh pembawa mohar yang diapit oleh orang-orang yang dituakan dan diiringi oleh pengantar yang membawa buah-buahan dan peralatan pakaian calon pengantin perempuan.
Adapun buah-buahan serta jenis makanan yang dibawa oleh pihak calon pengantin laki-laki tersebut ialah terdiri dari antara lain:
  • ·         Satu rumpun tebu sekaligus akarnya
  • ·         Batang pisang emas yang telah cukup tua
  • ·         Gula merah 14 biji
  • ·         Kelapa kuning satu tandan yang muda tetapi sudah dapat dimakan
  • ·         Dodol 14 bungkus besar
  • ·         Kue baje 14 bungkus
Arti yang terkandung dalam keanekaragaman buah-buahan tadi bagi kedua calon mempelai adalah kedamaian batin untuk membina rumah tangga yang kokoh dan kekal. Karena kita semua tahu bahwa secara alami ada buah-buahan yang manis tapi ada pula yang gurih, ada kulitnya yang berbulu dan bahkan berduri namun isinya manis. Demikianlah arti filosofis yang tersirat dalam keanekaragaman buah-buahan yang dipersembahkan oleh calon pengantin laki-laki.
Bahan-bahan tersebut di atas diusung di atas usungan di mana duduk dua orang anak kecil yang bepakaian adat lengkap yang diikuti dengan bunyi-bunyian rebana. Apabila calon pengantin memasuki ruangan maka kedua anak kecil tersebut mendampingi calon pengantin laki-laki dan dituntun secara pelan-pelan memasuki ruangan. Cara ini mengandung filosofi bahwa keluarga calon pengantin perempuan menyambut calon pengantin laki-laki dengan sepenuh hati yang tulus ikhlas seperti polosnya jiwa sang anak kecil yang diusung tadi.
Setelah selesai acara tersebut di atas maka calon pengantin laki-laki langsung duduk di pelaminan, menanti saat yang telah ditentukan untuk melaksanakan akad-nikah yang dilakukan oleh seorang imam atau penghulu. Bilaman tiba saatnya akad-nikah, pengantin laki-laki mengucapkan syahadat secara Islam. Kalimat syahadat inilah yang menjadi kata pembuka bagi pengantin laki-laki sebelum mengucapkan secara Islam dengan secara lisan bahwa ia telah menerima mengawini/menyetujui perempuan tersebut sebagai isterinya.
Acara selanjutnya adalah pengantin laki-laki berdiri untuk menjemput pengantin perempuan yang telah menjadi isterinya lalu bersama-sama menuju pelaminan untuk duduk bersanding dihadapan para tamu yang ingin menyaksikan acara tersebut. Bila kedua mempelai telah duduk bersanding di atas pelaminan yang bertatahkan warna-warni yang gemerlapan, berarti acara ramah-tamah dan hiburan segera dimulai di mana acara ini berlangsung sampai larut malam.
Keesokan harinya kedua mempelai dijemput oleh keluarga laki-laki yang selanjutnya dibawa ke rumah pihak laki-laki yang disebut mandale. Pada saat itu terjadi dua acara adat yakni:
  • ·         Pengantin perempuan memegang sebutir telur di telapak tangannya yang selanjutnya akan diambil oleh pihak pengantin laki-laki dengan syarat harus memenuhi permintaan dari pihak perempuan yang biasanya nilai sebutir telur tersebut diganti dengan nilai 25 pohon kelapa yang diberikan kepada pihak perempuan.
  • ·         Acara selanjutnya adalah yang disebut monguit yaitu mencungkil dengan ujung pisau setiap persendian kedua pengantin seperti lutut, siku, tetapi hanya dilakukan dengan gerakan isyarat saja. Maksudnya agar kedua mempelai tersebut sulit akan dihinggapi penyakit urat atau penyakit tulang. Setelah kedua acara ini selesai, maka kedua mempelai kembali ke rumah keluarga pihak pengantin perempuan.
Kemudian dua hari lamanya diadakan pesta sederhana di rumah pihak perempuan dan pada hari ketiga pesta sederhana di rumah pihak laki-laki yang disebut magala mangaan. Kemudian pada malam harinya bertempat di rumah pihak pengantin perempuan mengundang para Alim-Ulama untuk mengajarkan soal agama terutama masalah junub, istinja dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan kehidupan suami-isteri. Setelah masalah tersebut rampung dibicarakan, barulah kedua suami-isteri tersebut diperkenankan tidur bersama-sama. Dengan demikian berakhirlah acara perkawinan tersebut. ***

Sumber:
Tjoek Soedarmadji, 1983, Mengenal Buol Tolitoli, Tolitoli: Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Buol Tolitoli. Hal. 73-74
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami