The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Sejarah Maritim Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Maritim Indonesia. Tampilkan semua postingan

Cilacap Merupakan PelabuhanTerbesar Di Pantai Selatan Jawa

Posisinya berada di luar jalur pelayaran antarbangsa. Namun, Pelabuhan Cilacap menjadi gerbang ekspor terkemuka di masa Pemerintahan Hindia Belanda. Cilacap juga menjadi pelabuhan militer Belanda, yang dilengkapi dengan benteng pendem di sebelah timurnya.
Pelabuhan ini unik karena terletak di luar tradisi pelayaran dan perdagangan antarpulau dan antarbangsa yang berlangsung di pantai utara Jawa. Kegiatan pelayaran pantai selatan Jawa tidak seramai di kawasan pantai utara. Hal ini disebabkan oleh jalur pelayaran yang memang sangat tergantung pada musim angin tenggara.
Pelabuhan Cilacap mulai berkembang pada 1830, saat pemerintah Hindia Belanda menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel) . Tahun 1847, secara resmi Pelabuhan Cilacap dibuka dalam skala kecil.  Produksi pertanian hasil tanam paksa yang melimpah mendorong pemerintah kolonial kian giat mengekspor hasilnya ke pasar dunia. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengubah Cilacap menjadi pelabuhan modern dengan membangun jalur kereta api dari Yogykarta ke Cilacap dan menyambungkan daerah Cilacap dengan Cicalengka.
Dari sebuah pelabuhan terpencil yang nyaris tidak dikenal, Cilacap kemudian berkembang menjadi gerbang ekspor terkemuka di selatan Jawa Tengah. Mulai tahun 1900, posisi pelabuhan Cilacap sudah menggeser dominasi Pelabuhan Cirebon.
Selain sebagai pelabuhan perdagangan, Cilacap juga memiliki karakteistik pelabuhan pertahanan militer. Pembuatan benteng di ujung timur jalan masuk pelabuhan, dikenal dengan nama ‘benteng pendem’, menunjukkan pentingnya letak Cilacap dalam strategi pertahanan Hindia Belanda. Ketika tentara Jepang menyerang dan menguasai Jawa pada awal 1942, pelabuhan ini menjadi tempat evakuasi orang-orang Belanda yang akan meninggalkan Jawa menuju Australia. ***
Share:

Amanna Gappa: Aturan Main Di Laut

Meskipun berbatas ombak dan angkasa, para pelaut sejak dulu telah memiliki hukum yang berlaku di laut. Amanna Gappa (abad ke-17) dan Undang-Undang Malaka (abad ke-15), menjadi acuan dan tuntunan para pelayar. Di sini ditentukan antara lain, syarat-syarat menjadi nakhoda.
Raja Gowa pada tahun 1676 mengundang para Matoa (ketua) dan tokoh masyarakat yang dianggap berpengalaman dalam bidang pelayaran untuk berunding. Mereka membicarakan aturan-aturan dan tata tertib yang harus dipatuhi dalam pelayaran dan perdagangan. Perundingan ini dipimpin oleh Amanna Gappa, Matoa Wajo, sehingga disebut hukum laut Amanna Gappa. Peraturan ini ditulis dengan bahasa Bugis dalam bentuk lontar-lontar. Tahun 1961 hukum ini masih diterbitkan di Makassar dan masih digunakan oleh para pelaut Bugis sampai sekarang.
Dalam hukum laut yang terdiri yang terdiri dari 21 pasal ini, beberapa bagian sangat rinci menjelaskan mengenai ketentuan-ketentuan dalam pelayaran. Antara lain, cara berdagang dalam pelayaran, susunan birokrasi di kapal, syarat-syarat untuk menjadi nakhoda, pembagian petak dalam kapal, serta empat macam orang atau awak kapal: sawi tetap (kelasi tetap), sawi loga (kelasi bebas), sawi manumpang (kelasi mnumpang), dan tommanumpang (orang yang menumpang kapal).
Jauh sebelum itu, pada masa betahtanya Sultan Malaka, Muzzafar Syah (1445-1458) telah dibuat Undang-Undang Malaka, yang ketentuannya berlaku di sekitar Selat Malaka. Salah satu bagiannya, ‘Undang-Undang Laut’, memuat empat bagian penting.
Bagian pertama, mengenai peranan nakhoda dan pegawai dalam kapal. Bagian kedua, berkenaan dengan keselamatan dalam kapal, tugas anak (awak) kapal, penyewaan dan penumpangan kapal dagang. Ketiga, antara lain mengenai hak nakhoda memiliki barang yang ditemui di laut. Keempat, menerangkan tentang kuasa nakhoda menghukum orang yang melawannya.
Selain hukum laut yang dibuat para penguasa pelabuhan dan pelayaran, terdapat pula hukum laut yang dibuat kaum adat dan masih berlaku hingga sekarang. Hukum laut ini biasanya menyangkut tentang kepemilikan hak atas suatu wilayah, jenis sumber daya, teknologi, dan tingkat eksploitasi. ***
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami