-
Istana Ali Marhum Kantor
Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)
-
Gudang Mesiu Pulau Penyengat
Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]
-
Benteng Bukit Kursi
Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]
-
Kompleks Makam Raja Abdurrahman
Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]
-
Mesjid Raya Sultan Riau
Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]
Tampilkan postingan dengan label Tujuan Wisata di Gorontalo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tujuan Wisata di Gorontalo. Tampilkan semua postingan
Kota Jin
Budiarto Eko KusumoSenin, Desember 16, 2013Ghost City, Gorontalo Heritage, kekunaan, Kota Jin, Ota lo jin, Tujuan Wisata di Gorontalo
Tidak ada komentar

Ketika
diajak teman untuk melihat Kota Jin, sepintas terlintas bayangan yang seram,
menakutkan dan mencekam. Nama yang tidak lazim ini, ternyata memang benar-benar
ada di suatu daerah di Bumi Gorontalo.
Kota
Jin merupakan salah satu situs taman purbakala yang berada di Desa Kota Jin
Utara, Kecamatan Atinggola, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.
Lokasi ini berbatasan dengan Laut Sulawesi di bagian utara, berbatasan dengan
Desa Monggupo dan Pinotoyonga di bagian selatan, berbatasan dengan Sungai
Andagile di bagian timur, yang menjadi tapal batas dengan Kabupaten Bolaang
Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara atau sekitar 100 kilometer dari Kota
Gorontalo.
Kota
Jin merupakan tumpukan batu yang memiliki goa di dalamnya. , atau dalam bahasa
setempat disebut Ota lo jin. Ota berarti benteng atau istana,
sedangkan lo jin adalah miliknya para
jin, sehingga Ota lo jin berarti
benteng atau istananya para jin.
Farha
Daulima dan Hapri Harun dalam bukunya, Mengenal
Situs/Benda Cagar Budaya di Provinsi Gorontalo (2007), mengisahkan
bahwa perkampungan Kota Jin semula
berupa dataran yang menyatu dengan lembah sebuah pegunungan, dan sebagiannya
masih berupa lautan. Pada 1800, ketika lautan itu kering, maka hamparan yang
dulunya berupa lautan berubah menjadi rawa-rawa yang ditumbuhi semak belukar.
Tahun
1850, mulailah berdatangan orang-orang dari luar wilayah untuk membuka ladang
dan perkebunan. Kesuburan tanah membuatnya bertambahnya penduduk, sehingga
dataran tersebut berubah menjadi sebuah perkampungan.
Pada 1868, perkampungan tersebut menjadi satu desa di bawah pemerintahan raja Andagile, Raja Yahya van Gobel. Namun ketika itu namanya bukan Desa Kota Jin, melainkan negeri Kota Jin dengan pimpinannya bernama Wannopulu (Wala’opulu).
Menurut
cerita turun temurun dari masyarakat setempat, penduduk asli di daerah ini
berasal dari Ternate yang ikut dengan dua orang putera raja Ternate, Mosambe
dan Sanggi Bula yang pergi meninggalkan kerajaan lantaran kecewa karena tidak
terpilih menjadi raja. Malahan adiknya yang bungsu, Sanggi Bulawa, yang
terpilih dan dinobatkan menjadi raja Ternate. Hal ini tidak terlepas dari
intervensi Belanda kala itu. Ceritanya bermula dari kopiah yang dikirim oleh Belanda kepada raja Ternate
yang sudah tua sebagai penentu siapa di antara ketiga putera raja tersebut yang
bakal menjadi raja. Apakah Mosambe, Sanggi Bula ataukah Sanggi Bulawa. Siapa
yang tepat dengan ukuran kepalanya, dialah yang berhak menjadi raja,
menggantikan ayahandanya yang sudah tua.
Ternyata
kopiah itu tepat ukurannya dengan kepala Sanggi Bulawa, sehingga Sanggi Bulawa
dinobatkan menjadi raja Ternate.Kedua saudaranya, Mosambe dan Sanggi Bula
sangat kecewa. Lalu, mereka membawa sebagian penduduk kerajaan Ternate yang
setia kepada mereka menuju ke Pulau Batang Dua, sebagian lagi ke Pulau Lembe
(Bitung), lalu ke Manado, Bolaang Mangondow, Suwawa, Bulango hingga ke
Atinggola.
Di
Atinggola, mereka mulai membuka hutan untuk bercocok tanam, membaur dengan
penduduk asli, dan kemudian ada yang menikah dengan penduduk asli di daerah
tersebut sehingga kemudian mereka menetap di Kota Jin sampai beranak pinak.
Secara
geologis, bongkahan batu besar yang berada di tengah sawah milik penduduk yang
diyakini sebagai istana jin, terbentuk oleh alam secara alamiah. Batu karst (batu kapur) mengalami pelarutan
dengan terbentuknya goa-goa kecil paska muncul di daratan usai lautan kering.
Namun bagi mereka yang masih kental dengan kepercayaan animisme, mereka
mengandalkan tumpukan batu “yang dihuni oleh jin tersebut” dapat menyembuhkan
orang yang sakit, dan sekaligus melindungi mereka dari jin-jin pembawa
penyakit. Maka mereka tak segan-segan meletakkan sesaji (sajen) di depan goa sebelum beraktivitas.
Ota lo jin berada di pinggir jalan Trans
Sulawesi sekitar 500 meter, terlihat tumpukan batu yang berdiri kokoh di tengah
sawah, dan di tengahnya terdapat mulut goa sebagai pintu masuk. Di dalam
ruangan situs purbakala ota lo jin
ini terdapat Sembilan kamar yang terbuat dari batu alam dan sepasang meja-kursi
yang terbuat dari bebatuan yang bahannya berupa stalagtit dan stalagnit.
Melalui jalan masuk dalam goa tersebut terdapat hamparan bersih, yang konon merupakan tempat para jin tersebut berzikir. Ketika syiar Islam berkembang di daerah tersebut sekitar tahun 1880, goa ini pernah menjadi tempat berkhalwat bagi para penyebar agama Islam. Itulah sebabnya bagi yang memiliki indera keenam, dapat mendengar lantunan zikir.
Pernah
ada kunjungan dari sekolahan dalam rangka wisata, anggota rombongan siswa masuk
ke dalam goa ini. Ketika mereka keluar, salah seorang temannya tertinggal di
dalam. Ketika dicari di dalam goa tersebut, ternyata ia masih khusyu’ berzikir
di atas batu altar tersebut.
Menurut
siswa tersebut, ia tidak sendirian di dalam goa, namun banyak para Syech yang
bersorban putih dan hijau juga khusyu’ berzikir. Salah seorang dari mereka lalu
mengajak siswa tersebut duduk bersama mereka untuk melantunkan zikir.
Kota
Jin akan sangat meriah jika dikunjungi pada hari Rabu di akhir bulan Safar,
karena seluruh penduduk Desa Kota Jin dan masyarakat Atinggola pada umumnya
akan melakukan ritual Mandi Safar di Sungai Andagile yang menjadi batas antara
Provinsi Gorontalo dengan Provinsi Sulawesi Utara. Menurut kepercayaan
setempat, hari Rabu di akhir bulan Safar adalah hari naas yang harus
dibersihkan dengan cara mandi di sungai. ***
[221113]
Danau Limboto
Budiarto Eko KusumoJumat, Desember 06, 2013Asal Usul Danau Limboto, Danau Limboto, kekunaan, Legenda Danau Limboto, Limboto Lake, Tujuan Wisata di Gorontalo
Tidak ada komentar

Danau
Limboto berada di Provinsi Gorontalo. Danau ini menjadi sumber penghidupan
hampir sebagian rakyat di sekitar Gorontalo. Paling tidak bagi penduduk di lima
kecamatan (Limboto, Telaga, Telaga Biru, Batudaa, dan Kota Barat) atau di 27 desa
di sekitarnya. Mereka hidup sebagai nelayan darat, pemburu burung liar, petani
di tanah timbul di pesisir danau serta penjualan jasa angkutan penyebarangan
maupun pariwisata.
Dulu,
menurut masyarakat yang telah lanjut usia yang berdiam di sekitarnya, bermacam-macam
ikan air tawar dapat kita jumpai di danau ini. Kini yang tersisa hanyalah
mujair, nila, gabus atau sepat. Ikan nila dan mujair amat populer dalam menu
orang Gorontalo. Umumnya ikan ini dibakar dan disantap dengan dabu-dabu. Atau dapat juga dimasak pakai
bumbu bawang merah, bawang putih, cabai dan sebagainya.
Luas
Danau Limboto kini tinggal 2.357 hektar dengan kedalaman 2,5 meter. Hal ini
disebabkan oleh pengaruh sedimentasi dan enceng gondok yang mempengaruhi proses
pendangkalan dan penyempitan luasan danau saat ini. Adalah David Henley,
seorang ahli Sulawesi ternama yang menulis buku Food, Fertility and Fever yang
berhasil merangkum data lingkungan, penduduk dan ekonomi di kawasan utara dan
tengah Sulawesi periode 1600 – 1930.
Dalam
buku ini, data Danau Limboto cukup lengkap ditabelkan, termasuk kondisi
lingkungan Gorontalo secara luas. Di buku ini tidak terdapat data danau 1932
yang menunjukkan luasnya 8 ribu hektar, dan kedalamannya 30 meter. Yang ada
datanya adalah tahun 1934, di mana luas permukaan Danau Limboto sekitar 70
kilometer persegi, dengan kedalaman sekitar 14 meter, serta pada tahun 1939
luas permukaan danau sempat mencapai 100 kilometer persegi. Dan, jauh
sebelumnya, tahun 1863, luas permukaan danau sekitar 80 kilometer persegi, dengan
kedalaman 4,5 meter. Data yang ditemukan bukti-bukti dokumennya oleh David
Henley memperlihatkan angka-angka tersebut, sekaligus menyatakan bahwa faktor
musim sangat menentukan perubahan permukaan Danau Limboto, dan hanya pada
beberapa tahun tertentu saja yang jelas laporannya tentang kedalaman danau ini,
misalnya yang terdalam adalah data tahun 1934 (14 meter) dengan luas 70
kilometer persegi.
Legenda Danau Limboto
Tempo
dulu Limboto masih berupa lautan. Yang muncul di permukaan laut hanyalah dua gunung,
yaitu gunung Boliohuto dan gunung Tilongkabila. Di atas kedua gunung itu diam
manusia pertama. Dapat dikatakan yang di sebelah barat dan yang di sebelah
timur. Ketika air telah surut, maka terjadilah daratan dan tumbuh
pohon-pohonan,
Pada
waktu itu turunlah orang dari barat dan orang dari timur. Orang dari barat
mengembara di dalam hutan. Ia mencari tempat untuk dijadikan tempat tinggal.
Tiba-tiba ia menemui tujuh orang bidadari.
Diperhatikannya,
betapa cantik bidadari itu, maka disembunyikannya sayap dari salah seorang
bidadari. Setelah menyembunyikan maka ia pun mendekat kepada bidadari yang
sedang mandi itu. Ketika bidadari mengetahui ada orang, mereka pun terbang ke
khayangan. Hanya seorang yang tidak dapat terbang lagi.
Ia
didekati oleh orang dari barat itu. “Engkau dari mana dan siapa namamu?”
“Aku
ini dari khayangan, dan namaku Buqi-buqingale. Aku adalah anak ke tujuh dari
raja khayangan”.
Lalu
kata orang dari barat: “Mari kita hidup bersama”. Dipanggilnya bidadari itu ke
suatu tempat.
Pada
suatu ketika Buqi-buqingale itu mendapat kiriman dari khayangan. Kiriman itu
seperti mustika. Besarnya seperti telur itik. Dicarikannya air tempat menyimpan
mustika itu. Tepat di depan tempat itu ada sebuah mata air. Disimpan di situ
mustika itu.
Tidak
berapa lamanya mereka di tempat itu, datanglah orang dari timur. Diketemukannya
sebuah mata air yang tertutup dengan tudung, lalu dikatakannya sebagai
miliknya. Katanya: “Kamilah pemilik mata air ini”. Mereka itu empat orang.
Buqi-buqingale
pada saat itu datang melihat mustikanya. Setelah berhadapan dengan mereka, maka
berkatalah Buqi-bungale: “Kenapa kamu menjaga mata airku?”
Dijawab
oleh salah seorang: “Mata air ini milik kami”.
“Kalau
benar ini milik kamu mana tandanya?”
“Tandanya
bahwa itu milik kami adalah pohon besar itu”.
“Bagiku
bukan hanya pohon besar. Tandanya bahwa ini milikku, ada yang tersembunyi di
dalam mata air ini. Selain dari itu adalah kapuk”.
Maka
kata mereka itu: “Tidak ada kebenarannya apa yang kau katakana itu”.
“Kalau
tidak benar, coba kamu buktikan apa yang kamu katakana. Panggillah air ini.
Panggillah ia agar bertambah banyak. Kalau kamu bisa lakukan seperti itu, benar
yang ini adalah milik kamu”.
Dicoba
oleh salah seorang dari yang datang dari timur permintaan itu. Dipanggilnya air
laut: “Hai air, engkau membesarlah”. Tidak berhasil.
Orang
kedua: “Hai mata air, lebarlah”. Tidak berhasil.
Yang
ketiga: “Hai air, memancarlah”. Tetap tidak berhasil.
Akhirnya
yang keempat: “Hai air mata air, membesarlah”. Namun tidak juga berhasil.
Mereka
pun berkata. “Kami benar-benar tidak sanggup. Tetapi cobalah engkau
memanggilnya, kalau benar ini milikmu. Kalau benar ini milikmu, tentu engkau
mampu memperbesar mata air ini”.
“Baiklah.
Tetapi sebelum aku memanggil air ini, akan aku perlihatkan kepadamu mustikaku
yang tersimpan di dalam mata air itu”.
Lalu
diambilnya mustika itu dari mata air. Ketika mustika itu telah berada di
telapak tangan Bu’i Bungale, maka pecahlah mustika itu dan keluarlah seorang
perempuan. Perempuan itu, pada saat itu juga, menjadi gadis, dan betapa
cantiknya. Ia diberi nama si Tolangohula. Perempuan itu segera diberikannya
kepada ayahnya, orang dari barat.
Kemudian
kata Bu’i Bungale: “Sekarang aku akan memanggil. Dan kamu saksikan akan menjadi
besar mata air ini. Kamu segera lari ke pohon besar yang menjadi tanda bagimu.
Dan aku dengan suami dan anakku akan pergi ke kapuk itu”.
“Cobalah
kau panggil”. Kata keempat orang itu.
Maka
dipanggillah oleh Bu’i Bungale. “Hai air membesarlah kau, agar menjadi sumber
hidup bagi orang di belakangku”.
Menjadi
besarlah air itu. Bertambah besar air itu, dan diiringi ejekan dari Bu’i
Bungale: “Membesarlah kau, membesarlah kau”.
Adapun
karena air itu makin bertambah besar, maka mereka itu pun memanjat pohon yang
besar. Bu’i Bungale, suami dan anaknya naik di atas kapuk. Mereka hanya
terapung-apung. Air itu bertambah terus, sehingga melewati puncak pohon besar
itu. Keempat orang itu minta ampun, sebab mereka akan tenggelam. Mereka
berkata: “Kami minta ampun kepadamu. Sudah jelas bagi kami bahwa mata air milikmu.
Kami akan mati”.
Bu’i
Bungale berkata: “Karena kamu sudah mengaku, maka aku sampaikan di situ air
ini. Sehingga air ini menjadi danau bagi semua orang. Hai air berhentilah kamu,
agar kamu akan menjadi sumber hidup bagi manusia”.
Begitulah,
maka telah terjadi sebuah danau.
Setelah
danau itu telah ada, maka timbul lagi masalah mencarikan nama danau itu. Kata
suami Bu’i Bungale: “Apa nama yang akan kau berikan pada danau yang kau buat
itu?”
Sementara
mereka memikirkan nama danau itu, tampaklah oleh mereka lima biji buah yang
bulat. Mereka ambil biji yang bulat itu. Dicubit sedikit oleh Bu’i Bungale lalu
diciumnya biji itu. Ternyata ada baunya. Katanya: “Baunya seperti bau buah
sebatang kayu yang ada di khayangan yang bernama “Limu” (limau). Kalau demikian
ini benar-benar limau. Tapi ujungnya seperti puting susu payudara atau “tutu”.
Itulah
mulanya danau itu diberi nama “Limutu” yaitu dari “Limututu” atau limu puting
susu/payudara.
Kepustakaan:
Basri Amin, 2012, Memori Gorontalo: Teritori, Transisi dan
Tradisi, Yogyakarta: Penerbit Ombak
Farha Daulima, 2008, Antalogi Cerita Rakyat Daerah
Gorontalo, Limboto: Forum Suara Perempuan LSM Mbu’i Bungale
Benteng Otanaha
Budiarto Eko KusumoRabu, Desember 04, 2013Benteng di Gorontalo, Benteng Otanaha, Fort Otanaha, Gorontalo Heritage, kekunaan, Tujuan Wisata di Gorontalo
Tidak ada komentar

Benteng
Otanaha adalah sejarah bangunan peninggalan monumen kuno warisan pada masa lalu
dari suku Gorontalo. Benteng ini terletak di Kelurahan Dembe I, Kecamatan Kota
Barat, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Lokasi berada sekitar 8 kilometer
dari pusat kota Gorontalo ke arah Batudaa, Kabupaten Gorontalo, dan bisa
ditempuh dengan angkutan berwarna biru muda dengan trayek Kota Gorontalo –
Batudaa.
Menurut
sejarawan Gorontalo, Dungga A.H., mengungkapkan bahwa berdirinya benteng itu terkait
dengan adanya berita akan terjadinya perang antara Portugis dan Spanyol dalam
perebutan wilayah kekuasaannya di Kepulauan Maluku termasuk Tidore, Halmahera,
Makian, Bacan dan Sulawesi yang merupakan penghasil rempah-rempah dan jalur
utama perekonomian wilayah Indonesia Timur pada kurun waktu abad 15 – 17.
Berita itu sampai kepada raja Hulontalo dan timbullah kekhawatiran raja
Hulontalo yang pada waktu itu sedang menghadapi perang dengan Kerajaan Limutu.
Untuk itulah raja Hulontalo mendirikan benteng Otanaha dan Otahiya pada tahun
1525.
Dengan adaya benteng Otanaha dan Otahiya yang didirikan oleh raja Hulontalo, maka raja Limutu mendirikan pula benteng Ulupahu yang letaknya tidak jauh dari kedua benteng itu.
Induk
benteng, yaitu benteng Otanaha, dibuat berbentuk angka delapan, letaknya
memanjang dari Timur Laut ke Barat Daya. Kedua bulatan itu berbentuk lonjong
atau bulat panjang. Garis tengah ruangan dalam menurut panjang, pada bulatan
besar 17 meter dan pada bulatan kecil 4,9 meter.
Bagian
dalam dibuatkan teras dengan jarak dari dinding benteng 1,1 meter, tinggi 10 cm
dari langit. Pintu masuk pada benteng ini terdapat pada bagian bulatan kecil,
menghadap ke Barat Laut. Lebarnya 1,5 meter dan tingginya 1,8 meter. Jarak
antara mulut pintu sebelah luar dan dalam 2,1 meter. Pada benteng induk ini
terdapat 7 buah jendela, dengan ukuran tidak sama pada masing-masing jendela.
Jendela yang terdapat pada bulatan kecil, mempunyai lebar 0,35 meter dan
tingginya 1 meter. Tebal dinding rata-rata 1,6 meter, kecuali pada jendela
tebal dinding hanya 1 meter. Tinggi dinding dari lantai sebelah ruangan 1,8
meter, sedangkan bagian luarnya 4,75 meter.
Bangunan
benteng yang kedua, yang saat ini disebut benteng Otahiya didirikan setelah
benteng induk selesai. Sebagaimana pada benteng induk, benteng ini juga
mempunyai pintu yang berfungsi sebagai pintu masuk. Bentuk benteng bulat
panjang atau lonjong, letaknya membujur dari Barat Laut ke Tenggara. Garis
tengah ruangan dalam, mempunyai panjang 15 meter dan lebar 13 meter. Pintu
gerbang atau pintu masuk dibuat menghadap ke Barat Laut. Pintu ini berbentuk
terowongan yang panjangnya 6,15 meter, dengan lebar 1,7 meter, dan tinggi
ruangan 2,25 meter. Tebal beton yang menutupi dinding pintu gerbang sebelah
atas 0,8 meter, dan tebal dinding samping 0,65 meter.
Benteng Otahiya mempunyai tujuh buah jendela dengan lebar 0,55 meter dan tingginya 0.9 meter. Tebal dinding pada jendela ini 0,6 meter. Sebagaimana benteng induk, ukuran jendela-jendela ini tidak sama. Salah satu dari jendela-jendela yang lain, yaitu yang menghadap ke tenggara. Di bagian dinding sebelah dalam terdapat beton bertingkat dan yang difungsikan sebagai bangku. Pada tingkat pertama bangku itu tebal 0,7 meter, dan pada tingkat dua tebal dan lebar 0,5 meter. Di bawah bangku yang bertingkat dua itu terdapat saluran air yang dimanfaatkan sebagai alat pembuangan kotoran.
Benteng
yang ketiga disebut Benteng Ulupahu. Benteng ini lonjong atau bulat panjang,
dengan ukuran panjang 16,5 meter dan lebar 14 meter. Sebelah dalam sekeliling
dinding terdapat semacam trotoar dengan lebar 1,65 meter dan tinggi 0,5 meter
dari lantai. Pintu masuknya menghadap ke Barat Laut, dengan lebar 1,3 meter dan
tinggi 1,9 meter. Pada benteng ini terdapat Sembilan buah jendela, dengan lebar
0,5 meter dan tinggi 0,9 meter. Tebal dinding rata-rata 1,6 meter, tinggi
dinding dari atas lantai 1,65 meter sedangkan tingginya sebelah luar 4,5 meter.
Ketiga buah benteng ini merupakan bangunan raksasa yang bertengger di atas bukit di zaman itu, yang menurut penuturan masyarakat sekitar benteng, bahwa bahan bangunan itu terbuat dari batu pasir, dan kapur yang direkatkan dengan putih telur burung maleo sebagai bahan pengganti semen. Burung maleo adalah burung endemik yang keberadaannya hanya di Pulau Sulawesi. Burung maleo besarnya seperti seekor ayam namun telurnya lima kali lebih besar dari telur ayam. Sehingga, setiap bertelur, burung maleo biasanya akan mengalami pingsan terlebih dahulu.
Untuk
menuju ke benteng tersebut dari pintu masuk, pengunjung harus menaiki bukit
yang telah dibuatkan tangga-tangganya. Jumlah anak tangga tidak sama untuk
setiap persinggahan. Dari dasar ke tempat persinggahan satu terdapat 52 anak
tangga, ke persinggahan dua terdapat 83 anak tangga, ke persinggahan tiga
terdapat 53 anak tangga, dan selanjutnya, ke persinggahan empat memiliki 89
anak tangga. Sementara ke area benteng terdapat 71 anak tangga, sehingga jumlah
keseluruhan anak tangga yaitu 348 buah anak tangga.
Di
lingkungan ketiga benteng tersebut masih rimbun dengan pepohonan besar yang
seolah-olah menghilangkan benteng-benteng tersebut dari pandangan orang. Di
situ, juga masih banyak dijumpai pohon serut yang besar-besar.
Ketiga
benteng yang berada di atas perbukitan tersebut, yaitu benteng Otanaha, Otahiya,
dan Ulupahu, menjadi kesatuan nilai jual dalam kepariwisataan di Gorontalo
dengan label “Taman Purbakala Benteng Otanaha”, dan lokasi tersebut telah
ditetapkan sebagai Situs Benda Cagar Budaya. Dalam upaya pelestariannya, sebuah
peninggalan sejarah tidak diperkenankan dirubah atau dimodifikasi karena akan merubah nilai
estetika atau historis yang telah ada sebelumnya. *** [161113]
Kepustakaan:
Farha Daulima, 2004, Tragedi Benteng Otanaha,
Limboto: Forum Suara Perempuan LSM Mbu’i Bungale
Farha Daulima & Hapri Harun, 2007, Mengenal
Situs/Benda Cagar Budaya Di Provinsi Gorontalo, Limboto: Forum Suara
Perempuan LSM Mbu’i Bungale