The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Bondowoso Heritage. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bondowoso Heritage. Tampilkan semua postingan

Stasiun Kereta Api Prajekan

Stasiun Kereta Api Prajekan (PRJ) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Prajekan, merupakan salah satu stasiun kereta api kelas III/kecil yang berada di bawah manajemen PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 9 Jember dengan ketinggian +90 m di atas permukaan laut. Stasiun ini terletak di Dusun Lor Sawah Barat, Desa Lumutan, Kecamatan Botolinggo, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Lokasi stasiun ini berada di sebelah timur laut PG Prajekan ± 900 m, atau selatan Puri Prajekan Regency ± 230 m.
Pembangunan Stasiun Prajekan bersamaan dengan pengerjaan jalur rel kereta api Kalisat-Situbondo-Panarukan sepanjang 59 kilometer. Pengerjaan jalur rel maupun stasiun dilakukan oleh perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen (SS), sebagai bagian dari proyek jalur kereta api untuk jalur timur yang kelas 2 (Oosterlijnen-2).

Stasiun Prajekan (Foto: Fachrul Rozi)

Jalur rel ini dibuka untuk umum dan sekaligus peresmian untuk stasiun yang berdiri di sepanjang jalur tersebut pada 1 Oktober 1897, termasuk salah satunya adalah Stasiun Prajekan ini.
Pembangunan jalur rel Kalisat-Situbondo-Panarukan ini terealisir atas inisiatif dari George Birnie, pemilik Naamloze Vennootschap Landbouw Maatschappij Oud Djember (NV LMOD). Karena jalur tersebut ditujukan untuk menunjang pengembangan industri perkebunan tembakau, kopi, tebu maupun indigo yang terdapat di sepanjang jalur tersebut, yang mulai marak pada awal abad ke-19 di Karesidenan Besuki.
Selain itu, diversifikasi dalam bisnis juga dilakukan oleh LMOD pada waktu itu, yaitu dengan membuka gudang kopi dan perusahaan transportasi, Panarukan Maatschappij. Birnie adalah pemegang saham terbesar dari sebuah pabrik gula, Prajekan, pemilik Panarukan Maatschappij, dan ia juga memiliki perusahaan transportasi laut dan perkebunan tanaman komersial, seperti kopi dan coklat.

Emplasemen Stasiun Prajekan (Foto: Fachrul Rozi)

Sehingga, bisa dimengerti bila keberadaan Stasiun Prajekan ini menunjang pengangkutan gula menuju ke Panarukan dan terus dibawa dengan kapal menuju ke Belanda maupun daratan Eropa lainnya. Pada waktu itu komoditas gula juga merupakan komoditas yang booming di pasaran internasional.
Tak hanya pengangkutan hasil pertanian maupun perkebunan saja, dalam perjalanannya stasiun ini juga melayani pemberangkatan kereta api dari Jember-Panarukan, dan sebaliknya. Dari wilayah Jember itu, penumpang bisa melanjutkan perjalanan dengan kereta api menuju ke Surabaya maupun Banyuwangi.

Stasiun Prajekan di antara rerimbunan pepohonan (Foto: Fachrul Rozi)

Pada tahun 2004, Stasiun Prajekan ini ditutup lantaran peralatan penunjang dalam perkeretapian yang terdapat di jalur rel tersebut sudah mulai usang dimakan usia, dan tidak ada perbaikan. Sehingga hal ini mengakibatkan transportasi kereta api mulai kalah bersaing dengan moda transportasi darat lainnya, baik angkutan pribadi maupun angkutan umum. Begitu juga dengan angkutan yang digunakan oleh Pabrik Gula Prajekan, mereka memilih menggunakan truk.
Stasiun Prajekan hanya memiliki dua jalur kereta api dengan jalur 2 digunakan sebagai sepur lurus. Arah utara menuju ke Stasiun Widuri, dan arah selatan menuju ke Stasiun Tapen. Sedangkan jalur 1 digunakan untuk persusulan atau persilangan antarkereta api.
Dilihat dari lokasinya, stasiun ini mempunyai satu peron sisi dan satu peron pulau yang sama-sama rendah. Emplasemen stasiun itu tidak beratap.
Stasiun ini sekarang dalam posisi mangkrak. Bangunan stasiunnya masih bisa dikenal dengan mudah, akan tetapi kondisinya tidak terawat. Bangunan stasiun ini malah digunakan oleh warga sekitar untuk menyimpan kayu bakar, kumuh, dan bila dilihat dari kejauhan bangunan stasiun itu seolah-olah tersembul dari rimbunnya semak belukar yang mengitarinya. *** [270320]

Kepustakaan:
Oegema, J.J.G. (1982). De Stoomtractie op Java en Sumatra. Deventer-Antwerpen: Kluwer Technische Boeken
Sterling Evans, Embedding Agricultural Commodities: Using Historical Evidence, 1840s–1940s. Edited by Willem van Schendel, Western Historical Quarterly, Volume 48, Issue 3, Autumn 2017, Pages 320–321, https://doi.org/10.1093/whq/whx015
http://www.studiegroep-zwp.nl/halten/Halte-13-Trajecten2.htm
Share:

Stasiun Kereta Api Bonosare

Stasiun Kereta Api Bonosare (BNS) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Bonosare, merupakan salah satu stasiun kereta api kelas III/kecil yang berada di bawah manajemen PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 9 Jember dengan ketinggian +230 m di atas permukaan laut. Stasiun ini terletak di Jalan Stasiun Bonosare, Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Lokasi stasiun ini berada di sebelah timur Kantor Desa Wonosari, atau sekitar 120 m dari Kantor Polsek Wonosari.

Emplasemen Stasiun Bonosare (Foto: Fachrul Rozi)

Keberadaan stasiun ini bersamaan dengan pengerjaan jalur rel kereta api Kalisat-Situbondo-Panarukan, yang diresmikan pada tanggal 1 Okotber 1897. Pengerjaan jalur rel maupun stasiun dilakukan oleh perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen (SS), sebagai bagian dari proyek jalur kereta api untuk jalur timur yang kelas 2 (Oosterlijnen-2).
Dilihat sepintas, bangunan Stasiun Bonosare ini mirip dengan Stasiun Tamanan. Berbentuk limasan memanjang. Tak hanya itu, kedua stasiun itu juga memiliki sisi historis yang hampir sama di jalur rel Kalisat-Situbondo-Panarukan.

Stasiun Bonosare (Foto: Fachrul Rozi)

Penamaan nama stasiun terlihat sedikit berbeda dengan stasiun-stasiun lainnya yang satu jalur dengannya. Akan tetapi sesungguhnya bernama yang sama dengan wilayah di mana stasiun tersebut berdiri. Nama Bonosare diambil nama Desa Wonosari tetapi ditulis dalam dialek Madura, karena Kecamatan Wonosari ini kebanyakan dihuni oleh orang-orang Madura.
Stasiun Bonosare ini dulu digunakan untuk mengangkut komoditas hasil pertanian maupun perkebunan yang ada di Kecamatan Wonosari dan sekitarnya. Bahkan pada masa pendudukan Jepang, stasiun ini dipakai untuk mengirim beras sebagai salah satu kebutuhan logistik perangnya. Kurasawa-Inomata Aiko (1996: 651) memperlihatkan permintaan dan pengiriman beras dari Stasiun Bonosare pada April-Oktober 1944 dengan tingkat pengiriman (deliveries rate) 74,2%.

Jalur rel dekat Stasiun Bonosare (Foto: Fachrul Rozi)

Dilihat dari lokasi emplasemen stasiunnya yang tak beratap, diketahui bahwa stasiun ini memiliki dua jalur rel dengan jalur 2 sebagai sepur lurus. Arah utara menuju ke Stasiun Tapen dan arah selatan menuju ke Stasiun Tangsil.
Pada tahun 2004, Stasiun Bonosare sudah tidak digunakan lagi karena penonaktifan. Hal ini disebabkan oleh semakin uzur atau usangnya peralatan perkeretapian yang terdapat di stasiun maupun jalur tersebut, sehingga dalam kesehariannya kalah bersaing dengan moda transportasi darat lainnya pada waktu itu.
Mangkraknya stasiun ini menyebabkan bangunan stasiun peninggalan kolonial Belanda ini tidak terawat dengan baik. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerusakan yang lebih parah terhadap stasiun yang menjadi aset PT KAI (Persero) dengan nomor registrasi 069/09.68282/BNS/BD ini. Bukan hanya itu saja, terlihat beberapa jalur ada yang berubah menjadi garasi truk atau menjadi halaman rumah warga. *** [270320]

Kepustakaan:
AIKO, K. (1996). Rice shortage and transportation. Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde, 152(4), 633-655. Retrieved March 31, 2020, from www.jstor.org/stable/27864799
Oegema, J.J.G. (1982). De Stoomtractie op Java en Sumatra. Deventer-Antwerpen: Kluwer Technische Boeken
https://gramho.com/explore-hashtag/Jalurmati
http://www.studiegroep-zwp.nl/halten/Halte-13-Trajecten2.htm

Share:

Stasiun Kereta Api Bondowoso

Stasiun Kereta Api Bondowoso (BO) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Bondowoso, merupakan salah satu stasiun kereta api kelas I yang berada di bawah manajemen PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 9 Jember dengan ketinggian +253 m di atas permukaan laut. Stasiun ini terletak di Jalan Imam Bonjol No. 13 Kelurahan Kademangan, Kecamatan Bondowoso, Kabupaten bondowoso, Provinsi Jawa Timur. Lokasi stasiun ini berada di sebelah barat daya Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Bondowoso, dan tak jauh dari Terminal Bondowoso.
Pembangunan stasiun ini bersamaan dengan pembangunan jalur rel kereta api Kalisat-Situbondo-Panarukan. Jalur tersebut dibuka untuk umum pada tanggal 1 Oktober 1897, dan sekaligus Stasiun Bondowoso diresmikan penggunaannya. Pembangunannya dilakukan oleh perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen (SS), sebagai bagian dari proyek jalur kereta api untuk jalur timur yang kelas 2 (Oosterlijnen-2).

Emplasemen Stasiun Bondowoso (Foto: Fachrul Rozi)

Jalur rel Kalisat-Situbondo-Panarukan ini inisiatif dari George Bernie, pemilik Naamloze Vennootschap Landbouw Maatschappij Oud Djember (NV LMOD). Pada waktu itu Karesiden Besuki banyak bermunculan industri dan perkebunan tembakau, kopi, tebu, indigo maupun beras di sepanjang jalur tersebut.
Tujuan pembangunan stasiun kereta api kala itu sebagai alat transportasi yang cukup penting untuk mengangkut hasil perkebunan menuju ke Penarukan guna dikapalkan menuju ke Belanda dan daratan Eropa lainnya, serta digunakan untuk angkutan penumpang karyawan perkebunan-perkebunan milik orang Belanda yang ada di Karesidenan Besuki.

Gerbong Maut (Foto: Fachrul Rozi)

Selain itu, Stasiun Bondowoso juga difungsikan untuk mengembangkan infrastruktur Kota Bondowoso saat itu sebagai ibu kota kabupaten. Oleh karena itu, pada jalur Kalisat-Situbondo-Penarukan, Stasiun Bondowoso dibangun dengan megah ketimbang stasiun-stasiun lainnya.
Bangunan stasiun ini merupakan produk arsitektur kolonial Belanda. Dilihat dari fasadnya, Stasiun Bondowoso memiliki langgam Indische Empire Style. Untuk gaya Indische Empire Style pada bangunan stasiun ini telah disesuaikan dengan iklim, teknologi dan bahan bangunan setempat. Langgam tersebut juga telah mengalami perubahan karena pada abad ke-19 Kota Bondowoso makin padat, sehingga gaya Indische Empire Style yang memerlukan lahan yang luas tersebut terpaksa harus menyesuaikan dengan keadaan. Detail-detail elemen arsitekturnya pun mengalami perubahan sesuai dengan kemajuan zaman, seperti tidak adanya pilar-pilar pada beranda depannya, dan penggunaan seng gelombang yang didatangkan dari Belanda (pada waktu itu) untuk melindungi jendela-jendela.

Jalur rel di Stasiun Bondowoso (Foto: Fachrul Rozi)

Pada awal dibangun, stasiun ini memiliki 5 jalur. Akan tetapi sekarang terlihat tinggal dua jalur saja, di mana jalur 2 sebagai sepur lurus dan jalur 1 digunakan apabila ada persilangan atau persusulan antarkereta api. Arah utara menuju ke Stasiun Tangsil dan arah selatan menuju ke Stasiun Nangkaan.
Stasiun Bondowoso dinonaktifkan pada tahun 2004 karena semakin usangnya prasarana perkeretapian yang ada. Hal ini mengakibatkan kalah bersaing dengan moda angkutan darat lainnya pada saat itu..
Pada 17 Agustus 2016, bangunan Stasiun Bondowoso difungsikan sebagai museum kereta api (Bondowoso Rail & Train Museum). Salah satu koleksi yang cukup melegenda adalah sebuah gerbong yang dikenal dengan sebutan gerbong maut Bondowoso.
Peristiwa gerbong maut merupakan peristiwa kemanusiaan yang terjadi di Bondowoso pada saat pemindahan tahanan dari penjara Bondowoso menuju penjara Surabaya dengan menggunakan sarana kereta api (gerbong kereta barang yang atapnya terbuat dari plat besi dan tidak berventilasi) sehingga memakan banyak korban. *** [270320]

Kepustakaan:
Oegema, J.J.G. (1982). De Stoomtractie op Java en Sumatra. Deventer-Antwerpen: Kluwer Technische Boeken
Surojo, Ardiansyah & Antariksa, Noviani & Suryasari,. (2011). PELESTARIAN BANGUNAN STASIUN BONDOWOSO. arsitektur e-Journal. 4. 106-122.
Yusmita, R., Sugiyanto, S., & Budiyono, B. (2013). SEJARAH PERISTIWA GERBONG MAUT DI BONDOWOSO TAHUN 1947 DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN. Pancaran Pendidikan, 2(4), 187-195. Retrieved from https://jurnal.unej.ac.id/index.php/pancaran/article/view/795

Share:

Stasiun Kereta Api Grujugan

Stasiun Kereta Api Grujugan (GRJ) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Grujugan, merupakan salah satu stasiun kereta api kelas III/kecil yang berada di bawah manajemen PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 9 Jember dengan ketinggian +286 m di atas permukaan laut. Stasiun ini terletak di Jalan HOS Cokroaminoto No. 97 Dukuh Krajan Tengah, Desa Grujugan Kidul, Kecamatan Grujugan, Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa Timur. Lokasi stasiun ini berada di sebelah barat SD Negeri Grujugan Kidul 03 ± 100 m.

Stasiun Grujugan (Foto: Fachrul Rozi)

Bangunan stasiun ini merupakan bangunan peninggalan kolonial Belanda, yang didirikan bersamaan dengan pengerjaan jalur rel kereta api Kalisat-Situbondo-Panarukan. Jalur tersebut dibuka untuk umum pada tanggal 1 Oktober 1897. Pembangunannya dilakukan oleh perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen (SS), sebagai bagian dari proyek jalur kereta api untuk jalur timur yang kelas 2 (Oosterlijnen-2).
Pembangunan jalur rel Kalisat-Situbondo-Panarukan ini terealisir atas inisiatif dari George Bernie, pemilik Naamloze Vennootschap Landbouw Maatschappij Oud Djember (NV LMOD). Karena jalur tersebut ditujukan untuk menunjang pengembangan industri perkebunan tembakau, kopi, tebu maupun indigo yang terdapat di sepanjang jalur tersebut, yang mulai marak pada awal abad ke-19 di kawasan Karesidenan Besuki.

Emplasemen Stasiun Grujugan (Foto: Fachrul Rozi)

Pada waktu itu, di Tamanan dan Grujugan berdiri perkebunan tembakau milik NV Besoeki Tabak Maatschappij Amsterdam. Produksi tembakaunya biasanya diangkut dengan kereta api melalui Stasiun Tamanan dan Stasiun Grujugan. Sehingga, seperti dengan keberadaan Stasiun Sukowono dan Stasiun Tamanan, pembangunan Stasiun Grujugan ini juga dilatarbelakangi kepentingan ekonomi perkebunan yang ada di wilayah itu. Produksi tembakau dan kopi akan dibawa ke Penarukan sebelum akhirnya diangkut dengan kapal menuju ke Belanda maupun daratan Eropa lainnya.

Pemandangan emplasemen saat ini (Foto: Fachrul Rozi)

Stasiun Grujugan dinonaktifkan pada tahun 2004 karena prasarananya sudah banyak yang usang, sehingga di kemudian hari kalah bersaing dengan angkutan pribadi maupun angkutan umum lainnya.
Stasiun Grujugan ini dulunya memiliki dua jalur rel dengan jalur 1 sebagai sepur lurus. Arah utara menuju ke Stasiun Nangkaan, dan arah selatan menuju ke Stasiun Tamanan.
Nasib Stasiun Grujugan sama dengan Stasiun Tamanan, sama-sama terbengkelai. Bangunan stasiunnya masih terlihat wujudnya, akan tetapi banyak jendela dan pintu yang raib. Emplasemennya tertutup semak belukar sehingga sisa rel yang ada tidak kelihatan.
Sungguh sangat disayangkan keberadaan stasiun yang memiliki nilai sejarah dan kecagarbudayaan di Kabupaten Bondowoso ini. Mangkrak dan seram di kala malam hari. *** [270320]

Kepustakaan:
Oegema, J.J.G. (1982). De Stoomtractie op Java en Sumatra. Deventer-Antwerpen: Kluwer Technische Boeken
https://eudl.eu/pdf/10.4108/eai.18-7-2019.2290313
https://www.studiegroep-zwp.nl/halten/Halte-13-Trajecten2.htm
https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:FQlCavif1LwJ:https://scharrelaar-p3.leidenuniv.nl/view/item/981995/datastream/OCR/download+&cd=5&hl=id&ct=clnk&gl=id


Share:

Stasiun Kereta Api Tamanan

Stasiun Kereta Api Tamanan (TMN) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Tamanan, merupakan salah satu stasiun kereta api kelas III/kecil yang berada di bawah manajemen PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 9 Jember dengan ketinggian +345 m di atas permukaan laut. Stasiun ini terletak di Jalan Stasiun Tamanan, Desa Tamanan Timur, Kecamatan Tamanan, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Lokasi stasiun ini berada di dekat Pasar Hewan Tamanan.

Stasiun Tamanan (Foto: Fachul Rozi)

Bangunan stasiun ini merupakan bangunan peninggalan kolonial Belanda, yang didirikan bersamaan dengan pengerjaan jalur rel kereta api Kalisat-Situbondo-Panarukan. Jalur tersebut dibuka untuk umum pada tanggal 1 Oktober 1897. Pembangunannya dilakukan oleh perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen (SS), sebagai bagian dari proyek jalur kereta api untuk jalur timur yang kelas 2 (Oosterlijnen-2).

Stasiun Tamanan (Foto: Fachrul Rozi)

Sama dengan Stasiun Sukowono, pembangunan Stasiun Tamanan ini dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi. Daerah Tamanan merupakan salah satu daerah penghasil tembakau dan kopi di wilayah Bondowoso ketika itu masih berada di bawah Karesidenan Besuki. Produksi tembakau dan kopi akan diangkut melalui kereta api menuju ke Pelabuhan Penarukan, yang selanjutnya akan dikapalkan menuju ke Belanda maupun Negara Eropa lainnya.

Emplasemen Stasiun Tamanan (Foto: Fachrul Rozi)

Stasiun Tamanan dinonaktifkan pada tahun 2004 seiring meredupnya kereta api yang konon diperkirakan kalah bersaing dengan angkutan pribadi maupun angkutan umum lainnya. Hal ini juga terjadi pada sejumlah stasiun yang berada pada jalur rel Kalisat-Situbondo-Panarukan, yaitu sebuah jalur rel kereta api yang terealisir atas inisiatif dari George Bernie, pemilik Naamloze Vennootschap Landbouw Maatschappij Oud Djember (NV LMOD).
Mangkraknya bangunan stasiun yang berlarut-larut tersebut menyebabkan kerusakan terhadap bangunan stasiun tersebut. Bangunan stasiun terlihat kusam, plester dinding mulai terkelupas, dan sebagian lokasinya sering dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah bagi pedagang pasar yang ada tak jauh dari stasiun ini.
Dari lokasi emplasemennya diketahui bahwa stasiun ini memiliki dua jalur rel dengan jalur 2 sebagai sepur lurus. Arah utara menuju ke Stasiun Grujugan dan arah selatan mengarah ke Stasiun Sukowono.
Sungguh sangat disayangkan keberadaan stasiun yang lokasinya berada di paling selatan Kabupaten Bondowoso ini. Mangkrak tanpa terawat dengan baik. Bangunannya seakan dibiarkan digerogoti dengan kelapukan. *** [270320]

Kepustakaan:
Aprianto, T.C. (2011). Dekolonisasi Perkebunan Di Jember, Tahun 1930an-1960an. Thesis. FIB UI.
Izzah, Latifatul. (2016). Dataran Tinggi Ijen: Potongan Tanah Surga Java Coffee. Yogyakarta: Jogja Bangkit Pusblisher
Oegema, J.J.G. (1982). De Stoomtractie op Java en Sumatra. Deventer-Antwerpen: Kluwer Technische Boeken

Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami