Perahu ini berasal dari Melayu, dulunya digunakan sebagai perahu resmi Kerajaan Siak Indra Pura. Lancang Kuning merupakan lambing kekuasaan kerajaan. Menurut legenda, perahu ini milik seorang puteri kerajaan Melayu, jika berlayar selalu didampingi oleh pengawal dan pengayuh yang berpakaian warna kuning. Saat ini Lancang Kuning hanyalah tinggal legenda, dan diabadikan menjadi mascot Pemerintah Daerah Provinsi Riau. ***
-
Istana Ali Marhum Kantor
Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)
-
Gudang Mesiu Pulau Penyengat
Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]
-
Benteng Bukit Kursi
Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]
-
Kompleks Makam Raja Abdurrahman
Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]
-
Mesjid Raya Sultan Riau
Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]
Tampilkan postingan dengan label Ancient Seafaring in the Indonesian Archipelago. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ancient Seafaring in the Indonesian Archipelago. Tampilkan semua postingan
Perahu Pada Masa Hindu-Buddha di Indonesia
Budiarto Eko KusumoSenin, Juli 09, 2012Ancient Seafaring in the Indonesian Archipelago, Boats and ships during the Hindu-Buddhist region in Indonesia, Perahu Pada Masa Hindu-Buddha di Indonesia
Tidak ada komentar

Salah satu bukti terkuat yang menggambarkan perahu tradisional Nusantara pada masa Hindu-Buddha adalah relief-relief yang dipahatkan pada Candi Borobudur. Bentuk-bentuk perahu yang terdapat pada relief Candi Borobudur antara lain:
- · Perahu-perahu besar dengan layar lebar yang dapat memuat barang dagangan sampai ratusan ton dan penumpang sekitar dua ratus orang.
- · Perahu-perahu kecil tanpa cadik atau yang disebut juga dengan perahu jukung, perahu lesung, perahu bertiang tunggal dengan cadik, perahu bertiang tunggal tanpa cadik, perahu dayung tanpa tiang, serta perahu bertiang ganda dengan cadik.
Perkembangan bentuk perahu tradisional Nusantara pada masa ini banyak dipengaruhi dari perahu jung (layar lebar) dari Cina. Datangnya perahu-perahu jung dari Cina, teknologi perahu Nusantara tidak hanya menggunakan cadik dan berbentuk sederhana, tapi juga menggunakan layar lebar. ***
Cadik Borobudur
Budiarto Eko KusumoSenin, Juli 09, 2012Ancient Seafaring in the Indonesian Archipelago, Cadik Borobudur, The Cinnamon Route
Tidak ada komentar

Perahu dibuat berdasarkan relief yang tertera di Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-8, melambangkan kejayaan bahari pada masa Kerajaan Sriwijaya. Perahu ini diinterpretasikan sebagai perahu niaga. Pada tahun 2002 dibuat replika Cadik Borobudur untuk kembali Jalur Kayumanis (The Cinnamon Route) dari Jakarta menuju Ghana Afrika Selatan, sejauh ± 11.000 mil laut dalam waktu 6 bulan. ***
Pelayaran Asing Di Kepulauan Indonesia
Budiarto Eko KusumoRabu, Juli 04, 2012Ancient Seafaring in the Indonesian Archipelago, Indonesia, Pelayaran Asing di Kepulauan Indonesia, The History of Indonesia Maritime
Tidak ada komentar

Gelombang migrasi pertama bangsa Austronesia ke Indonesia pada masa prasejarah, yaitu pada masa bercocok tanam, merupakan awal pelayaran kuno Nusantara. Mereka menggunakan perahu-perahu cadik, berlayar hingga Madagaskar di ujung barat daya Samudera Hindia sampai ke pulau-pulau Polinesia di bagian timur Samudera Pasifik. Berbagai lukisan di gua-gua prasejarah menggambarkan aktivitas pelayaran ini.
Sejarah pun mencatat, pada masa kerajaan-kerajaan kuno, pelayaran samudera sudah dikenal. Contohnya terpahat di salah satu dinding Candi Borobudur, Jawa Tengah, yang dibangun sekitar abad ke-9, di mana beberapa relief menggambarkan perahu bercadik ganda, terbuat dari kayu bulat dengan tiga penguat (penyangga cadik). Bahkan dalam sebuah prasasti berbahasa Melayu Kuno bertarikh 17 Mei 827, yang ditemukan di Gondosuli, Jawa Tengah, disebutkan bahwa prasasti ini persembahan dari seorang nakhoda kapal bernama Dang Puhawang Glis. Puhawang adalah sebutan untuk nakhoda.
Tradisi lokal juga mengenal tokoh-tokoh pelaut ulung, misalnya Hang Tuah dan kawan-kawan dalam tradisi Melayu (dikisahkan dalam Sejarah Melayu); atau Sawerigading, pelaut Bugis yang menjadi tokoh utama dalam epic I La Galigo, cerita tertulis yang terpanjang di dunia.
Para pelaut Cina juga sudah lama mengenal masyarakat maritim di Nusantara, mereka menyebutnya sebagai orang Kunlun. Dikisahkan, bahwa orang-orang Kunlun yang memiliki teknologi kemaritiman tinggi, mempunyai andil besar terhadap pelayaran yang dilakukan para pelaut Cina ke Nusantara dan India. Selain itu, para nelayan Bugis, Mandar, dan Buton selama berabad-abad telah mencapai Australia dan Selandia Baru. Mereka mencari teripang dan tinggal hingga beberapa bulan sebelum kembali ke asalnya. Bahkan suku Bajau dari Teluk Tomini, Sulawesi, yang sepanjang hidupnya tinggal di leppa (rumah perahu sepanjang sekitar 7 meter), telah dikenal sebagai orang-orang yang ahli mengarungi samudera. Pelaut Portugis menamai mereka celates atau ‘orang-orang dari selat’.
Kerajaan-kerajaan maritim pun tumbuh pesat di Nusantara, misalnya Kerajaan Sriwijaya, Pasai, Majapahit, Demak, Aceh Darussalam, Ternate, Tidore dan Gowa. Mereka didukung oleh pelabuhan-pelabuhan besar pada masanya, seperti : Pelabuhan Barus, Japara, Tuban, Makassar, Kuta, dan lain-lain. Berpuncak pada Kerajaan Majapahit, yang mampu menyebarkan pengaruhnya ke seluruh Nusantara hingga Asia Tenggara, dengan menguasai jalur perniagaan penting seperti Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Jawa, dan Laut Cina Selatan dan lain sebagainya. ***