The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Ngawi Heritage. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ngawi Heritage. Tampilkan semua postingan

Stasiun Kereta Api Paron

Stasiun Kereta Api Paron (PA) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Paron, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen  PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 7 Madiun yang berada pada ketinggian + 56 m di atas permukaan laut. Stasiun Paron terletak di Jalan Raya Paron, Desa Paron, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur. Lokasi stasiun ini berada di sebelah barat laut Bank Jatim Paron ± 100 m, atau barat laut Kantor Pos Paron .
Bangunan Stasiun Paron ini merupakan bangunan peninggalan masa Hindia Belanda, hanya saja sudah ada beberapa penambahan atau renovasi. Sebelum stasiun ini dibangun, terlebih dulu dilakukan pembangunan jalur rel kereta api Madiun-Paron-Sragen-Solobalapan. Pembangunan jalur tersebut dimulai pada tahun 1883 dan selesai pada tahun 1884 oleh Staatsspoorwegen, perusahaan kereta api milik pemerintah di Hindia Belanda, sepanjang 97 kilometer yang merupakan bagian dari proyek Oosterlijnen (lintas timur).
Stasiun ini memiliki 3 jalur dengan jalur 1 sebagai sepur lurus arah barat menuju Stasiun Kedunggalar dan arah timur menuju Stasiun Geneng. Jalur 2 dan 3 digunakan sebagai jalur persilangan atau persusulan dengan kereta yang lain yang akan melintas stasiun ini.
Meski tergolong sebagai stasiun kelas II, Stasiun Paron merupakan stasiun terbesar dan sekaligus paling ramai di Kabupaten Ngawi karena letaknya yang berdekatan dengan Kota Ngawi, yaitu sekitar 9 kilometer. Layanan kereta api yang berhenti di stasiun ini meliputi kereta api eksekutif, campuran, dan ekonomi. *** [210717]
Share:

Stasiun Kereta Api Walikukun

Stasiun Kereta Api Walikukun (WK) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Walikukun, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen  PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 7 Madiun yang berada pada ketinggian + 74 m di atas permukaan laut. Stasiun Walikukun terletak di Jalan Stasiun Walikukun, Desa Walikukun, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur. Lokasi stasiun ini berada di sebelah timur palang sepur Walikukun, dan berjarak sekitar 650 m dari Pasar Walikukun.


Bangunan Stasiun Walikukun ini merupakan bangunan peninggalan masa Hindia Belanda. Sebelum stasiun ini dibangun, terlebih dulu dilakukan pembangunan jalur rel kereta api Madiun-Paron-Sragen-Solobalapan. Pembangunan jalur tersebut dimulai pada tahun 1883 dan selesai pada tahun 1884 oleh Staatsspoorwegen, perusahaan kereta api milik pemerintah di Hindia Belanda, sepanjang 97 kilometer yang merupakan bagian dari proyek Oosterlijnen (lintas timur). Peresmian jalur ini dilakukan pada 24 Mei 1884.
Stasiun ini memiliki 3 jalur dengan jalur 1 sebagai sepur lurus arah barat menuju Stasiun Kedubangteng dan arah timur menuju Stasiun Kedunggalar. Jalur 2 dan 3 digunakan sebagai jalur persilangan atau persusulan dengan kereta yang lain yang akan melintas stasiun ini. Selain itu masih ada satu jalur tambahan sebagai sepur badug atau jalur buntu yang terletak di sebelah bangunan stasiun.
Meski tergolong sebagai stasiun kelas III atau stasiun kecil, Stasiun Walikukun masih beruntung bila dibandingkan dengan stasiun kecil lainnya, karena di stasiun ini terlihat aktivitas menaikkan maupun menurunkan penumpang. Layanan kereta api yang berhenti di stasiun ini meliputi kereta api ekonomi jarak jauh, seperti Sri Tanjung, Logawa, Pasundan, Brantas, Gaya Baru Malam Selatan, Krakatau, Majapahit, dan lain-lain. *** [130617]
Share:

Pabrik Gula Soedhono Ngawi

Pernahkan Anda naik bus ekonomi dari Surabaya menuju Solo? Rutenya tidak akan lewat Karangjati, melainkan lewat Maospati. Ketika perjalanan bus sudah melewati Maospati menuju Ngawi, Anda bisa menyaksikan pabrik gula peninggalan kolonial Belanda.
Tepat wilayah perbatasan antara Magetan dan Ngawi, Anda akan menyaksikan perempatan kecil yang di sudut barat laut terdapat pajangan lokomotif lori. Di situlah, Anda akan bisa membaca papan nama penunjuk arah Pabrik Gula (PG) Soedhono ke arah barat dari situ. Pabrik gula ini terletak di Jalan PG Soedhono, Desa Tepas, Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur. Lokasi pabrik gula ini berada di sebelah utara Stasiun Kereta Api Geneng. Pabrik gula ini berbatasan dengan Desa Tempuran di sebelah utara, dengan Desa Tambakromo di sebelah selatan, dengan Desa Sambirobyong di sebelah timur, dan dengan Desa Satrean di sebelah barat.
Berdasarkan catatan dari Dorrepal & Co. di Semarang, selaku kantor asuransi penjamin PG Soedhono, diterangkan bahwa pabrik gula ini didirikan pada 1 Maret 1888 oleh perusahaan Verenigde Vorsendsche Cultuur Maatschappij yang berkantor pusat di Semarang.


Pada awal berdiri, pengelolaan pabrik gula ini masih mengekor sebuah perusahaan Belanda yang memiliki pabrik gula Kali Bagor di Banyumas (Jawa Tengah). Hanya terkadang kalau pas menemui masalah yang sedikit agak pelik dalam pengelolaannya, permasalahannya akan di bawa ke kantor induknya yang berada di Semarang. Namun, seiring perkembangannya akhirnya pabrik gula mulai melakukan produksi gula sendiri pada tahun 1924 dan sekaligus membentuk perusahaan sendiri yang diberi nama Suikerfabriek Soedhono van de Cultuur Maatschappij der Vorstenlanden bij Ngawi, atau yang kemudian dikenal dengan PG Soedhono saja.
Pada waktu Jepang menduduki Hindia Belanda, PG Soedhono ini sempat diambil alih oleh pasukan Jepang. Tapi setelah Indonesia merdeka, semua aset pabrik gula ini direbut oleh pejuang Indonesia dari cengkeraman pasukan Jepang, dan kemudian difungsikan kembali sebagai PG Soedono, yang mengolah tebu menjadi gula pasir.
Ketika Belanda berusaha kembali untuk menjajah Indonesia lagi pada tahun 1949, pabrik gula ini menjadi rebutan antara pasukan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) dengan para pejuang Indonesia. Merasa kalah dalam persenjataan, pejuang Indonesia akhirnya membumihanguskan pabrik gula tersebut agar tidak digunakan oleh Belanda lagi.
Pada 1951, pabrik gula ini dibangun kembali dan kemudian mulai beroperasi untuk memproduksi gula lagi yang dipimpin oleh Keyman. Selang tiga tahun, Keyman digantikan oleh Leyssius. Setelah terjadi perlawanan dari pejuang Indonesia secara gerilya dan terus menerus, akhirnya memaksa Belanda untuk hengkang dari Indonesia. Aset prabik gula ini akhirnya dinasionalisasi oleh Pemerintah Republik Indonesia.


Pada 10 Desember 1957 dilakukan beberapa perombakan kepengurusan. Direksi sebagai pimpinan tertinggi Perusahaan Negara (PN) yang berpusat di Jakarta melakukan perubahan struktur organisasi perkebunan dari sentralisasi menjadi desentralisasi dan status PG Soedhono menjadi Perusahaan Perkebunan Negara (PPN). Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1/1962 dan Nomor 2/1962 tentang Perusahaan Negara (PN) maka PG Soedhono berubah dari PPN menjadi Perusahaan Negara Perkebunan (PNP). Pada perubahan ini kepemimpinan PG Soedhono dipegang oleh Doeri Djogowirono.
Terus secara berturut-turut terjadi pergantian kepemimpinan pabrik gula ini. Pada 1969 pimpinan pabrik gula ini dipegang oleh R. Soenjoto Reksodimuljo, lalu pada 1973 Pamujo, BSc menjadi Direktur PG Soedhono, dan kemudian pada 1977 R. Pangesoe dipercaya sebagai Kepala PG Soedhono.
Pada 2 Mei 1981 berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1972 (Lembaran Negara RI Nomor 7 Tahun 1972) yang menetapkan pengalihan bentuk PNP XX menjadi Persero, sehingga terjadi perubahan status dari PN menjadi Persero PTP XX (Perseroan Terrbatas Perkebunan). Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Pengesahan dari Menteri Kehakiman RI Nomor C2-7749-HT-01-01 Tahun 1983, telah disahkan berdirinya PTP XX menjadi badan hukum untuk waktu 75 tahun terhitung sejak tanggal 3 Desember 1983. Pada saat perubahan ini, kepemimpinan pabrik gula dipegang oleh R. Soebono yang menggantikan R. Soekartiko.
Dalam Surat Edaran Nomor XX-SURED/96.001, dengan berdasar pada PP Nomor 16/1996 tanggal 14 Februari 1996 maka PTP XX dan PTP XXIV-XXV (Persero) telah dibubarkan dan tanggal 11 Maret 1996 dibentuk perusahaan baru dengan nama PTP Nusantara XI (Persero) dengan alamat di Jalan Merak 1 Surabaya.
PG Soedhono memiliki luas tanah dan bangunan pabrik sekitar 5.000 m² yang terdiri dari luas bangunan industri dan fasilitas lain sebesar 3.500 m² dan luas tanah yang tidak tertutup sebesar 1.500 m². Dari luas tersebut, PG Soedhono masih bisa mengoperasikan pabriknya hingga sekarang bahkan bisa meningkat. Selain menghasilkan gula pasir sebagai hasil utama, juga menghasilkan hasil sampingan berupa tetes tebu, ampas tebu, blotong, dan abu ketel. Tetes tebu dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan Monosodium glutamat (MSG) dan dalam pengolahan tetes tebu ini PG Soedhono bekerja sama dengan berapa pabrik pembuat MSG yaitu Cil Cedang, Ajinomoto, dan Sasa. Ampas tebu diolah menjadi bahan bakar mesin yang digunakan untuk proses produksi gula pasir. Blotong dan abu ketel dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan pupuk kompos yang dikelola oleh koperasi karyawan. *** [040715]

Kepustakaan:
Nita Dwi Kartika Sari, 2012. Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Bebu dalam Pembuatan Gula Pasir di Pabrik Gula Soedhono Kabupaten Ngawi, dalam Skripsi di FU UNS
http://www.albert-gieseler.de/dampf_de/firmen8/firmadet83995.shtml
http://www.ptpn-11.com/pg-soedhono.html
Share:

Stasiun Kereta Api Kedunggalar

Stasiun Kereta Api Kedunggalar (KG) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Kedunggalar, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen  PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 7 Madiun yang berada pada ketinggian + 75 m di atas permukaan lain. Stasiun Kedunggalar terletak di Jalan Stasiun, Dusun Pulorejo RT. 03 RW. 08 Desa Kedunggalar, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur. Lokasi stasiun ini berada di sebelah barat palang sepur Kedunggalar.


Bangunan Stasiun Kedunggalar ini merupakan bangunan peninggalan masa Hindia Belanda. Sebelum stasiun ini dibangun, terlebih dulu dilakukan pembangunan jalur rel kereta api Madiun-Paron-Sragen-Solobalapan. Pembangunan jalur tersebut dimulai pada tahun 1883 dan selesai pada tahun 1884 oleh Staatsspoorwegen, perusahaan kereta api milik pemerintah di Hindia Belanda, sepanjang 97 kilometer.
Stasiun ini memiliki 4 jalur dengan jalur 2 sebagai sepur lurus arah barat (menuju Sragen) dan timur (menuju Madiun). Stasiun Kedunggalar ini merupakan stasiun kelas III/kecil, berbentuk persegi panjang dengan bangunan stasiun berukuran 222 m². Stasiun ini tercatat sebagai aset PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dengan nomor register 001/7.63254/KG/BD.
Meski tergolong stasiun kecil, Stasiun Kedunggalar memiliki halaman depan yang cukup luas, dan mempunyai aktivitas menaikkan maupun menurunkan penumpang. Layanan kereta api yang berhenti di stasiun ini meliputi kereta api Malioboro Ekspres, Gaya Baru Malam, Matarmaja, dan Logawa. *** [141215]
Share:

Klenteng Sien Hien Kiong Ngawi

Pada tahun 2013 saya pernah membocengkan anak perempuan melalui Jalan Sultan Agung ini untuk mengunjungi Benteng Van Den Bosch yang berada di Kelurahan Pelem, Kecamatan Ngawi, namun tak terbayangkan jika di jalan yang kami lalui tersebut berdiri megah sebuah klenteng. Baru pada tahun 2015 ini ketika saya  mendapat libur panjang dari kantor, saya sempat mengunjungi klenteng tersebut. Klenteng tersebut bernama Klenteng Sien Hien Kiong. Klenteng ini terletak di Jalan Sultan Agung No. 76 Kelurahan Ketanggi, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur. Lokasi klenteng ini berada di selatan Pasar Besar Ngawi ± 50 meter.
Sesuai dengan documentary board yang ada di dinding, klenteng ini didirikan pada tahun 1892, dan kemudian berubah nama menjadi Tempat Ibadat Tri Dharma (TITD). Lalu, klenteng ini pindah ke lokasi sekarang ini pada penanggalan 6 Sha Gwee 2530 atau bertepatan dengan 2 April 1979.


Klenteng ini memiliki halaman yang cukup luas dan memanjang, sedangkan kiri kanan berdiri deretan toko. Sehingga, kalau sedang melintas Jalan Sultan Agung tidak memelankan laju kendaraan klenteng tersebut akan terlewat. Karena pintu gerbang klenteng terlihat biasa saja, berbentuk paduraksa tanpa ornamen khas Tiongkok dan bercat merah serta pagarnya berbentuk pasak suji (terbuat dari deretan besi).
Memasuki halaman klenteng, pengujung akan menjumpai dua pohon beringin yang letaknya berjajar mengapit jalan utama menuju ke dalam klenteng. Dari lokasi pohon beringin, pengunjung sudah bisa menyaksikan fasade bangunan klenteng secara jelas. Atap klenteng yang khas model Ngang Shan seperti pelana kuda ini banyak ditemui di Indonesia. Hanya saja, atap klenteng di Ngawi ini tampak polos. Tidak seperti kebanyakan pada bangunan klenteng yang ada di pesisir Pantai Utara Jawa, pada umumnya dihiasi ornamen khas Tiongkok seperti mutiara bola api milik Sang Buddha (huo zhu) yang diapit oleh sepasang naga yang saling berhadapan (xing long).


Sebelum sampai pintu utama bangunan klenteng, pengunjung bisa menyaksikan dua buah bangunan berbentuk pagoda yang digunakan untuk tempat pembakaran kertas persembahyangan (kim lo). Tepat di depan pintu utama, ada hiolo (tempat menancapkan hio) yang diapit oleh dua patung singa (hanzi) berwarna kuning. Hiolo yang terbuat dari kuningan ini diletakkan di atas meja ukiran yang berbahan dasar pangkal bawah kayu jati. Pada hiolo tersebut terdapat aksara Tiongkok yang betuliskan Sien Hien Kiong, sedangkan di atas kumpulan abunya dupa persembahyangan (hio) terdapat tulisan Tuhan Yang Maha Esa berwarna kuning berlatar warna merah.
Pada bangunan klenteng ini hanya terdapat satu pintu masuk ke dalam bangunan utama dari depan. Pintu utamanya diberi tralis yang bisa dibuka dan ditutup serta diapit oleh dua jendela yang cukup besar dan lebar. Di depan jendela bagian kiri, terdapat bedug dan lonceng.
Di Klenteng Sien Hien Kiong ini terdapat sekitar 15 patung dewa. Dewa utama yang dipuja di klenteng ini adalah Wang Mu Niang Niang, atau biasa disebut juga dengan Ong Bu Nio Nio. Wang Mu Niang Niang dikenal sebagai dewi penguasa langit bagian barat, dewi kekayaan, umur panjang, dan kebahagiaan abadi. Dewi Wang Mu Niang Niang dipercaya mengurusi semua wanita Taois di seluruh alam semesta.
Altar Wang Mu Niang Niang letaknya berada dalam satu altar dengan altar Mak Co Thian Siang Sing Bo, dan di sebelah kanannya terdapat altar Kong Co Hok Tek Ceng Sin, Dewa Bumi. *** [141215]
Share:

Stasiun Kereta Api Geneng

Stasiun Kereta Api Geneng (GG) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Geneng, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen  PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 7 Madiun yang berada pada ketinggian + 53 m di atas permukaan lain, dan merupakan stasiun kereta api yang berada di daerah paling selatan Kabupaten Ngawi.
Stasiun Geneng terletak di Jalan PG Soedhono, Desa Tepas, Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur. Lokasi stasiun ini berada dekat dengan Pabrik Gula (PG) Soedhono.


Bangunan stasiun Geneng ini merupakan bangunan peninggalan masa Hindia Belanda. Diperkirakan stasiun ini dibangun setelah jalur rel kereta apinya terpasang. Jalur kereta api yang melintas di stasiun Geneng ini merupakan jaringan rel kereta api yang menghubungkan Madiun – Paron – Sragen yang dikerjakan oleh Perusahaan Kereta Api milik Pemerintah, Staatsspoorwegen, dari tahun 1883 dan selesai pada tahun 1884.
Stasiun ini memiliki 3 jalur dengan 1 jalur sebagai sepur lurus, yang digunakan sebagai stasiun untuk simpangan kereta api. Awal berdirinya stasiun ini sangat memiliki arti untuk mengangkut komoditas gula dari PG Soedhono menuju ke daerah lain.
Mengenai bentuk bangunan stasiun ini dikatakan hampir sama dengan bentuk bangunan stasiun yang memiliki tipe yang sama. Bangunan stasiun Geneng tidaklah begitu besar, hanya berukuran 125,9 m², dan telah ditetapkan sebagai aset PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dengan nomor register 001/7.63271/GG/BD.
Kendati, pada saat ini stasiun ini berfungsi untuk stasiun simpangan antar kereta api, namun ke depannya seiring dengan makin banyaknya commuter line yang melaju dari Madiun ke Solo dan sebaliknya, stasiun ini akan memiliki peran yang baik sebagai stasiun penyangga untuk menurunkan/menaikkan penumpang jarak dekat di Kabupaten Ngawi. *** [040715]

Share:

Benteng Van Den Bosch

Benteng Van Den Bosch terletak di Kelurahan Pelem, Kecamatan Ngawi, Kabuapten Ngawi, Jawa Timur. Lokasi benteng ini mudah dicapai, karena terletak di Kota Ngawi. Dekat dengan Pasar Ngawi dan Alun-Alun Ngawi, atau ± 2 Km dari Kantor Pemerintahan Kabupaten Ngawi. Hanya saja, bagi pengunjung yang bukan berasal dari Kota Ngawi akan sedikit bingung lantaran letak benteng tidak persis di tepi jalan, melainkan sedikit masuk dan tidak ada penanda lokasi keberadaan benteng tersebut.


Sebenarnya letak benteng ini berada di pertemuan Jalan Untung Suropati dan Jalan Diponegoro, atau di seberang Taman Makam Pahlawan Dr. Radjiman Wedyodingrat Ngawi, namun karena di situ ada pintu gerbang Kompleks Batalyon Artileri Medan 12/ KONSTRAD “Angicipi Yudha” maka pengunjung dari luar Kota Ngawi akan bertanya di mana keberadaan benteng tersebut. Karena memang setelah tahun 1962, benteng ini pernah dijadikan sebagai markas Yon Armed yang berkedudukan di Rampal, Malang. Dulunya, benteng ini merupakan kawasan yang terlarang karena sempat dijadikan sebagai gudang amunisi. Akan tetapi setelah Yon Armed dipindahkan ke Jalan Siliwangi lantaran kawasan benteng tersebut dipandang sudah tidak representatif lagi sebagai Kompleks Militer, kini kawasan benteng tersebut dibuka untuk umum.
Benteng ini dinamakan Fort Van Den Bosch karena benteng ini dibangun atas prakarsa Gubernur Jenderal Van Den Bosch pada tahun 1839. Letak benteng Van Den Bosch sangat strategis karena berada di sudut pertemuan Sungai Bengawan Solo dan Sungai Madiun, lokasi benteng sengaja dibuat rendah dari tanah sekitar yang dikelilingi oleh tanah tinggi (tanggul) sehingga terlihat dari luar tampak terpendam. Oleh karena itu, benteng ini oleh masyarakat sekitar dikenal juga dengan sebutan benteng pendem.


Dipilihnya lokasi itu sebagai pembangunan benteng mengingat Sungai Bengawan Solo dan Sungai Madiun kala itu merupakan jalur lalu lintas sungai yang dapat dilayari oleh perahu-perahu yang cukup besar sampai jauh ke bagian hulu. Perahu-perahu tersebut memuat berbagai macam hasil bumi yang berupa rempah-rempah dan palawija dari Surakarta-Ngawi menuju Bandar Gresik, demikian juga Madiun-Ngawi dengan tujuan yang sama. Pada abad 19, Kota Ngawi menjadi salah satu pusat perdagangan  dan pelayaran di Jawa Timur dan dijadikan pusat pertahanan para pejuang di Kabupaten Madiun, Ngawi, dan sekitarnya. Perlawanan melawan Belanda yang berkorbar di daerah, dipimpin oleh kepala daerah setempat. Di Kabupaten Madiun, dipimpin oleh Bupati Kerto Dirjo, dan di daerah Ngawi dipimpin oleh Adipati Judodiningrat dan Raden Tumenggung Surodirjo, serta salah satu pengikut Pangeran Diponegoro bernama Wirontani pada tahun 1825, Kota Ngawi berhasil direbut dan dan diduduki. Untuk mempertahankan kedudukan dari fungsi strategis Kota Ngawi serta menguasai jalur perdagangan,  Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membangun sebuah benteng pada tahun 1839, dan selesai pembangunannya pada tahun 1845, yaitu Benteng Van Den Bosch yang dihuni oleh tentara Belanda sebanyak 250 orang bersenjatakan bedil, 6 meriam api, dan 60 orang kavaleri yang dipimpin oleh Van Den Bosch.
Bangunan benteng ini masih terlihat kokoh meski telah dimakan usia. Menempati lahan seluas ± 1 hektar, bangunan benteng ini terdiri dari pintu gerbang utama, ratusan kamar untuk para tentara,  ruangan untuk seorang kolonel dan ruang komando yang depanya berupa halaman rumput, dan beberapa ruangan yang dulunya diyakini sebagai kandang kuda.
Kendati usia benteng ini sudah ratusan tahun lebih, namun bangunan benteng ini belum pernah diperbaharui sama sekali. Sungguh sayang, bangunan cagar budaya yang bernilai sejarah tinggi ini kurang terawat.*** (070413)
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami