The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label candi di Blitar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label candi di Blitar. Tampilkan semua postingan

Candi di Blitar

Candi Kalicilik terletak di Desa Candirejo, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur

Candi Kotes terletak di Desa Sukosewu, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur

Candi Mleri terletak di Desa Bagelenan, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur

Candi Pemandian Penataran terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur

Candi Penataran terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur

Candi Plumbangan terletak di Desa Plumbangan, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur

Candi Sawentar terletak di Desa Sawentar, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur

Candi Simping terletak di Dusun Simping, Desa Sumberjati, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur

Candi Tepas terletak di Dusun Dawung RT. 02 RW. 03 Desa Tepas, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur
Share:

Candi Tepas

Berbagai kerajaan besar pernah menancapkan pengaruhnya di Kabupaten Blitar, mulai dari Mataram Kuno di Jawa Tengah, Kerajaan Kediri, Singosari sampai dengan Majapahit. Oleh karena itu, di daerah Kabupaten Blitar ditemukan warisan cagar budaya, baik berupa prasasti, arca-arca, gapura maupun candi.  Salah satu tinggalan candi yang terdapat di Kabupaten Blitar adalah Candi Tepas. Candi ini terletak di Dusun Dawung RT. 02 RW. 03 Desa Tepas, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur. Lokasi candi ini berada ± 200 meter sebelah barat laut Pasar Tepas, atau tepatnya berada di samping Pura Surya Darma. Dari Jalan Raya Blitar-Malang berjarak sekitar 3 kilometer ke arah utara dengan jalan menanjak, sedangkan dari Kota Blitar berjarak 22 kilometer ke arah timur.
Alvin Abdul Jabbaar Hamzah dalam skripsinya yang berjudul Identifikasi Bentuk Arsitektur Candi Tepas (FIB UI, 2011) menerangkan, bahwa penelitian terhadap Candi Tepas ini baru sebatas inventarisasi. Hal ini didapatkan dari catatan inventarisasi yang dilakukan oleh R.D.M. Verbeek dalam Oudheden van Java pada tahun 1891 dengan nomor inventarisasi 553. Dalam inventarisasi Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur dicatat dengan nomor 176/BLT/95. Selain itu, candi ini juga pernah ditulis oleh N.J. Krom dalam Inleiding tot de Hindoe-Javanische Kunst pada tahun 1923.
Dalam pencatatan tersebut, sebagian besar hanya menjelaskan secara singkat tentang keadaan candi pada waktu ditemukan. Ketika pertama kali ditemukan, candi ini memang sudah dalam keadaan runtuh. Dalam reruntuhan tersebut, tidak ditemukan tulisan angka tahun, arca, relief, dan batunya pun sudah mulai aus.


Candi Tepas ini terbuat dari susunan batu trasit dan batu bata (misra). Material batu trasit ini untuk batuan yang menyusuni candi, sedangkan bahan isian dari candi ini serta pondasinya terbuat dari batu bata. Batu trasit adalah batuan vulkanik yang terbentuk di luar perut bumi atau setelah terjadi erupsi. Batuan ini berwarna putih, abu-abu terang dan coklat terang, dan termasuk jenis batuan yang berpori sehingga sangat mudah aus dan lapuk.
Hal ini yang menyebabkan kapan candi tersebut didirikan sulit dipastikan. Kronologinya hanya didasarkan pada temuan fisik candi maupun dari sumber lainnya. Dilihat dari ukuran bata pada candi, dapat diperkirakan bahwa Candi Tepas berasal dari masa Majapahit. Informasi lain yang memperkuat dugaan tersebut berasal Kitab Negarakertagama, yang dirunut dari latar keagamaan Candi Tepas. Pada pupuh 76: 1-4 dari Kitab Negarakertagama berisi tentang wilayah-wilayah yang termasuk dari Dharmadhyaksa ring Kasogatan. Dharmadhyaksa ring Kasogatan merupakan salah satu pejabat dalam pemerintahan masa Majapahit yang mengawasi hal yang berkenaan dengan agama Buddha. Selain Dharmadhyaksa ring Kasogatan terdapat dua pejabat lagi yaitu Dharmadhyaksa ring Kasaiwan yang mengawasi hal yang berkenaan dengan agama Hindu dan Mantri Her Haji yang mengawasi hal yang berkenaan dengan para Resi dan Pertapa.


Pada baris ketiga (stanza 3) pada pupuh 76 tertulis “iwirniŋ darmma kasogatan kawinayanu ļpas i wipularā len kuți [haji, mwaŋ yānatraya rājaḍanya kuwunātha surayaça jarak/ laguṇḍi [wadari, wewe mwaŋ packan/ pasarwwan i lmaḥ surat i pamanikan/ [srańan/ pańiktan, pańhapwan/ damalaŋ tpas/ jita waṇnaçrama jnar i samudrawela [pamuluŋ.” Artinya, lokasi dari dharmas kasogatan kawinaya lěpas (wilayah pendeta Buddhis) adalah: Wipulārama, Kuți Haji, dan Yānatraya, Rājadhānya, Kuwu Nātha, Surayasha, Jarak, Wadari, Wéwé dan Pacěkan, Pasarwwan, Lěmah Surat, Pamaṇikan, Pangitkětan, Panghapwan, Damalung, Těpas Jita, Wanāshrama, Jěnar, Samudrawela, Pamulung.
Candi Tepas disebutkan dengan Těpas Jita. Dalam naskah tersebut, Candi Tepas berada dalam wilayah tanggung jawab dari Dharmadhyaksa ring Kasogatan, yang berarti Candi Tepas memiliki latar belakang agama Buddha. Secara struktural, Candi Tepas tidak menunjukkan ciri agama Buddha bahkan Candi Tepas memiliki batu tegak yang menyerupai lingga semu.
Dari keterangan yang termaktub dalam naskah Kitab Negarakertagama tersebut, Candi Tepas diperkirakan berdiri sekitar antara tahun 1355 M sampai dengan 1365 M. Karena Kitab Negarakertagama dibuat pada masa Hayam Wuruk dengan kronologi 1365 M, dan pada waktu Negarakertagama dituliskan, candi tersebut masih berfungsi untuk kegiatan keagamaan.
Menurut Darno, seorang juru pelihara Candi Tepas, candi ini berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 8,00 x 8, 00 meter yang berdiri di atas lahan yang sekarang berukuran 29 x 21 meter. Namun, sebenarnya areal yang dimiliki oleh candi tersebut lebih luas. Hal ini didasarkan pada 4 patok yang diketemukan di sekitar candi, yang mirip dengan lingga semu dan juga sisa pagar candi.
Sekarang, Candi Tepas ini tinggal memiliki sisa bangunan berupa kaki yang sudah tidak utuh dan tubuh yang hanya mempunyai dua lapis batu trasit. Pintu masuk candi terdapat di sebelah barat, sedangkan untuk hiasan dan relung sudah tidak dapat ditemukan, karena sudah mengalami keruntuhan dan tidak ditemukan adanya sisa batu yang membentuk hiasan di tumpukan batuan candi yang ditemukan. *** [200516]

Kepustakaan:
Alvin Abdul Jabbaar Hamzah, 2011. Identifikasi Bentuk Arsitektur Candi Tepas, dalam Skripsi di FIB UI
Ari Sapto & Mashuri, Pengembangan Wisata Terpadu Berbasis Cagar Budaya, dalam Jurnal SEJARAH dan BUDAYA, Tahun Kedelapan, Nomor 2, Desember 2014: 126
Share:

Candi Sawentar

Candi Sawentar terletak di Desa Sawentar, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Candi Sawentar terbuat dari batu andesit yang direkatkan satu sama lain dengan sistem gosok.




Denah Candi Sawentar berukuran panjang 7 m, lebar 7 m dan tinggi 10,65 m. Candi Sawentar menghadap ke barat, serta komponen bangunannya terdiri dari batur, kaki, tubuh dan atap. Atap bagian kiri, sebagian telah runtuh dan bilik candi kosong, hanya terdapat lapak berhias motif Ganesa di bagian depan. Relung semua di ketiga sisi candinya juga dalam keadaan kosong. Batu cungkup pada atap candinya juga dalam keadaan kosong. Batu cungkup pada atap candi berhias Surya Majapahit yang mengelilingi Dewa Wisnu naik kuda bertelinga panjang. Berdasarkan relief ini, para arkeolog berpendapat bahwa Candi Sawentar didirikan pada masa Majapahit. *** [240112]


Share:

Candi Pemandian Penataran

Candi Pemandian Penataran terletak di Desa Penataran, Kec. Nglegok, Kab. Blitar, Jawa Timur. Bangunan ini lebih menyerupai sebuah kolam atau petirtaan. Petirtaan dalam tradisi masyarakat kala itu merupakan semacam pemandian atau tempat air.


Lokasi Candi Pemandian Penataran kira-kira 200 meter arah timur laut kompleks Candi Penataran, dan terletak di pinggir jalan besar. Hanya saja lokasinya agak ke bawah dari pinggir jalan tersebut, sehingga kalau saat melintas sering kita tidak memperhatikan bangunan petirtaan tersebut.


Bangunan petirtaan ini masih lumayan terawat dengan baik dan airnya juga masih mengalir. Bangunan petirtaan ini terbuat dari batu andesit.


Mengenai sejarahnya, bangunan pentirtaan ini masih ada hubungannya dengan kompleks percandian Penataran secara keseluruhan. *** [120112]
              
Share:

Candi Plumbangan

Candi Plumbangan terletak di Desa Plumbangan, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Tidak seperti candi lain pada umumnya, Candi Plumbangan menyerupai paduraksa dengan puncak berbentuk kubus. Candi Plumbangan terbuat dari batu andesit yang direkatkan satu sama lain dengan sistem gosok.




Denah Candi Plumbangan berukuran panjang 4,09 m, lebar 2,27 m dan tinggi 5,6 m. Pintu gerbang candi memiliki sayap pada kanan kirinya dan tidak mempunyai relief, namun hanya mempunyai pelipit garis saja. Pada bagian atas ambang pintu terdapat pahatan angka tahun 1312 Saka atau 1390 M.





Ditinjau dari pahatan angka tahun tersebut, diperkirakan Candi Plumbangan dibangun pada era Kerajaan Majapahit pada awal pemerintahan Wikramawardana. Namun uniknya, benda-benda cagar budaya yang terdapat di sekeliling Candi Plumbangan justru berasal dari masa yang berbeda. Misalnya saja Prasasti Plubangan (Panumbangan) yang merupakan peninggalan dari era Raja Bameswara/ Kameswara (Kerajaan Kediri) pada tahun 1042 Saka atau 1120 M. Seperti halnya peninggalan dari era Bameswara yang lain, pada prasasti tersebut juga dipahatkan ornamen candrakapala (lambang Kerajaan Kediri dari era Kameswara).



Keberadaan Prasasti Panumbangan yang dipertahankan berada di sekitar Candi Plumbangan, dimungkinkan karena isinya masih relevan dengan kondisi di era Kerajaan Majapahit. Isi prasasti ini mengenai penetapan Desa Plumbangan sebagai daerah perdikan umat Buddha. *** [110121]
Share:

Candi Kalicilik

Candi Kalicilik terletak di Desa Candirejo, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Tidak seperti bangunan candi yang ada di Blitar, Candi Kalicilik terbuat dari bata yang direkatkan satu sama lain dengan system gosok. Denah bangunan berbentuk bujur sangkar dan arah hadapnya ke barat. Dahulu, pintu masuk candi dari arah barat, namun sekarang gapura pintu masuk sudah ditempati oleh rumah warga, sehingga pintu masuk candi dibuat baru dari arah selatan.



Candi Kalicilik yang secara astronomis berada di antara 07⁰ 59 898' LS dan 112⁰ 08 422' BT dikenal sebagai Candi Genengan atau Candi Puton. Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit. Sesuai pahatan angka pada candi tertera 1271 Saka (1349 M) berarti pada masa Pemerintahan Raja Tribuana Wijaya Tunggadewi.



Candi Kalicilik adalah candi Hindu karena terdapat Arca Mahakala yang merupakan perwujudan Syiwa dalam bentuk Penjaga Candi, dan Arca Syiwa Mahaguru yang berada di halaman candi. Kini, arca-arca tersebut telah raib dari tempatnya.



Candi Kalicilik pernah dipugar oleh Belanda pada tahun 1913 untuk mengantisipasi dari keruntuhan. Dan pemugaran terakhir dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada 1993. *** [100112]
Share:

Candi Mleri

Candi Mleri terletak di Desa Bagelenan, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar yang secara astronomis berada di antara 08⁰ 03 374' LS dan 112⁰ 05 099' BT. Candi  ini diyakini oleh masyarakat sekitar sebagai candi yang tertua yang ada di Kabupaten Blitar. Menurut informasi dari Suswandi – yang mengaku sebagai cucu buyut dari Kyai Tafsir Anom – kata candi berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti makam. Karena memang di kompleks tersebut yang tampak seperti makam kuno, sehingga lebih dikenal sebagai kekunaan Mleri.



Di kekunaan Mleri ini diyakini sebagai makam raja Singasari III, yang bergelar Sri Wisnu Wardhana. Nama aslinya adalah Ranggawuni, yang merupakan putra Anusapati atau cucu Tunggul Ametung dengan Ken Dedes. Makam ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 1222 M. Hal ini didasarkan kepada prasasti yang berhuruf Pallawa yang ada di kompleks makam tersebut dengan lambang kalamakara (wujud raksasa). Menurut Kitab Negarakertagama Wisnuwardhana didharmakan dengan wujud arca Siwa di Waleri (Mleri) dan dalam bentuk arca Sugata (Budha) di Jajaghu (Candi Jago).



Lebih lanjut, Suswandi mengatakan bahwa prasasti yang ada di kompleks kekunaan Mleri ini pernah diteliti oleh peneliti dari Jepang. Peneliti tersebut membersihkan prasasti tersebut lalu memotretnya untuk dianalisa di Jepang namun sampai sekarang tidak diketahui kelanjutannya.


Berbeda dengan suasana candi yang ada di Indonesia, kompleks kekunaan Mleri ini masih tampak “hidup” dengan hadirnya peziarah yang secara regular ingin “ngalap berkah”. Maka bila memasuki kompleks kekunaan Mleri ini, Anda pasti akan mencium bau wewangian dari semerbak bunga-bunga ditaburkan para peziarah (kembang setaman) serta sisa abu dari asap dupa kemenyan, kendati pengertian makam di sini merujuk kepada tempat pendarmaan abu Sang Raja. Sehingga terkesan seram dan angker (keramat). *** [100112]
Share:

Candi Kotes

Candi Kotes terletak di Desa Sukosewu, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Bangunan Candi Kotes terbuat dari batuan andesit dan memiliki arsitektur yang unik di mana dalam detail bangunan candi ini tidaklah simetris. Selain itu, Candi Kotes mempunyai sejumlah bangunan.
Candi Kotes I mempunyai ukuran panjang 360 cm, lebar 224 cm, tinggi 142 cm, dan struktur bangunan candibya hanya tinggal bagian kaki candi yang berbentuk segi empat.. Candi Kotes I arahnya menghadap ke barat dan pada bagian timur laut candi terdapat pahatan angka 1223 Saka (1301 M). Di atas kaki candi terdapat dua buah altar dan satu miniatur candi. Miniatur candi ini memiliki tiga bagian yaitu atap candi, tubuh candi dan kaki candi. Di bagian tubuh candi terdapat pintu gerbang yang menghadap ke arah barat dan di atas pintunya tersebut terdapat hiasan berupa kala, sedangkan di sisi sebelah utara, timur dan selatan tubuh candi terdapat relung-relung semu yang di atasnya juga terdapat hiasa kala. Bagian atap candi berbentuk kubus yang penuh dengan ukiran dan hiasan antefik. Candi Kotes II kondisi bangunannya masih baik dan mempunyai ukuran panjang 754 xm, lebar 537 cm dan tingginya 90 cm. Candi Kotes II berbentuk segi empat, dan bangunan yang tersisa hanya berupa dasar candi dan tangga masuk yang berada di sebelah barat, sedangkan di sisi tangga terdapat pahatan angka tahun 1222 Saka (1300 M). 



Dengan adanya yoni, dapat disimpulkan bahwa Candi Kotes adalah candi dengan latar belakang keagamaan Hindu. Sebab yoni adalah simbol aspek wanita yang juga merupakan penggambaran istri Dewa Syiwa (dewa dalam agama Hindu). Menurut penuturan masyarakat sekitar candi, sebelum terbentuk desa Kotes dahulu kala di wilayah ini merupakan hutan belantara. Pemberian nama Kotes bersumber dari seringnya di wilayah ini pada kala itu sering munculnya sumber air kecil pada setiap musim hujan. Di sumber air tersebut selalu ada ikan kecil yaitu anak dari ikan cengor (yang namanya Kotesan).
Secara historis, berdirinya Desa Kotes adalah pada zaman Belanda menjajah Indonesia. Sedangkan pada zaman kerajaan Majapahit , masyarakat Kotes membantu kerajaan Majapahit perang melawan kerajaan Daha Kediri. Pada perang tersebut yang menang Kerajaan Majapahit sehingga Kotes diberi hadiah yang berupa candi , kemudian terkenal dengan nama Candi Kotes.
Latar belakang pendirian Candi Kotes diperkirakan merupakan anugerah yang diberikan raja kepada masyarakat Kotes karena telah melindunginya selama dalam masa pelarian. Saat kutaraja Singosari jatuh dalam pemberontakan Jayakatwang, Raden Wijaya terlebih dahulu singgah di Desa Kotes sebelum akhirnya menuju Kudadu Jombang untuk menghimpun kekuatan bersama Arya Wiraraja dari Madura. *** [090112]


Share:

Candi Penataran

Saat melakukan tugas dalam tracking di Blitar, saya kebetulan memiliki responden yang rumahnya dekat dengan Kompleks Percandian Penataran. Sehingga, usai wawancara saya menyempatkan diri untuk melihat keindahan Candi Penataran. Dulu hanya sekadar mendengar nama Candi Penataran, namun pada tanggal 8 Januari 2012 saya benar-benar bisa menyaksikan kemegahan karya anak negeri ini.



Nama Candi Penataran kiranya tidak asing lagi kedengarannya di telinga kita terutama bagi masyarakat Jawa Timur. Nama tersebut sudah begitu lekat dan akrab sehingga tidak jarang dipergunakan orang sebagai nama jalan, toko, hotel, depot dan nama badan-badan usaha lainnya. Orang mempergunakan nama “Candi Penataran” (yang kadang-kadang dipergunakan tanpa kata “candi” di depannya) barangkali didorong oleh rasa kagum akan masa gemilang yang pernah dicapai oleh nenek moyang kita di masa lalu, sisa-sisa bekas kegemilangan itu masih dapat kita saksikan peninggalannya sampai sekarang. Dengan menggunakan nama ini diharapkan dapat membawa sukses besar pada pemakainya di samping untuk melestarikan nama yang mempunyai nilai historis itu. Penggunaan nama Candi Penataran memang tidak salah pilih walaupun bagi Shakespeare tidak pernah ambil peduli apakah artinya sebuah nama.


Candi Penataran yang terletak di sebelah utara Kota Blitar, adalah satu-satunya kompleks percandian terluas di kawasan Jawa Timur, hampir sepanjang hari tidak pernah sepi dari pengunjung. Menurut catatan jumlah pengunjung umum rata-rata dalam satu bulan sekitar 20.000 sampai dengan 25.000 orang, suatu jumlah yang tidak dapat dikatakan kecil sementara jumlah pengunjung candi-candi yang lain rata-rata dalam satu bulan sekitar 5.000 orang saja. Wisatawan-wisatawan asing yang datang di Jawa Timur dalam kunjungannya ke Blitar tidak lupa menyempatkan diri untuk berkunjung ke Candi Penataran. Kekunaan ini paling banyak ditulis orang, dibicarakan para ahli purbakala, menjadi obyek pemotretan, sumber inspirasi bagi para seniman, lahan yang lumayan bagi penjaja makanan dan barang-barang cendera mata.


Sebagai suaka budaya yang dilindungi undang-undang, Candi Penataran tergolong dalam monumen mati (dead monument), artinya tidak ada kaitannya lagi dengan agama atau kepercayaan yang hidup dewasa ini. Bangunan percandian tidak lagi berfungsi sebagaimana sewaktu dibangun semula. Kontak yang terjadi antara pengunjung dan kekunaan adalah dalam rangka penikmatan seni dan budaya serta ilmu pengetahuan. Candi tidak lagi sebagai tempat ibadah dan juga bukan tempat semedi atau meditasi. Pemugaran-pemugaran candi yang telah mendapat perhatian pemerintah sejak Pelita II di masa Orde Baru adalah dalam rangka menyelamatkan bangunan dari kerusakan yang lebih fatal, bukan untuk menghidupkan kembali tradisi lama.


Apabila karena sesuatu hal sebuah candi atau monument runtuh, berarti kita telah kehilangan bukti sejarah yang otentik. Kehilangan tersebut tidak akan dapat diganti oleh yang lain untuk selama-lamanya. Kini 800 tahun lebih telah berlalu, kompleks percandian Penataran masih tegak berdiri di tempatnya semula dengan penuh keanggunan dan kemegahan siap menanti kunjungan Anda setiap saat.

LOKASI
Candi Penataran terdaftar dalam laporan Dinas Purbakala tahun 1914 – 1915 nomor 2045 dan catatan Verbeek nomor 563. Bangunan kekunaan terdiri atas beberapa gugusan sehingga lebih tepat kalau disebut kompleks percandian. Lokasi bangunan terletak di lereng barat daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter di atas permukaan air laut, di suatu desa yang juga bernama Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Untuk sampai ke lokasi percandian, dapat ditempuh dari pusat Kota Blitar ke arah utara yaitu ke jurusan Makam Proklamator Bung Karno. Jarak dari Kota Blitar sampai lokasi candi, diperkirakan 12 Km, jalan mulus beraspal dan dapat ditempuh dengan berbagai jenis kendaraan. Apabila ditempuh dari Kota Blitar, setelah perjalanan mencapai 10 Km, sampailah kita di pasar Nglegok, kemudian diteruskan sampai pasar desa Penataran. Di sini jalan bercabang dua, yang belok ke kanan menuju ke Desa Modangan sedangkan yang belok ke keri yakni jalan yang menuju ke barat adalah langsung menuju ke percandian. Dari pertigaan pasar Penataran sampai ke lokasi Candi Penataran hanya tinggal 300 meter.


Bagi pengunjung yang datang dari Malang tidak perlu sampai masuk kota, sebab dapat ditempuh dengan perjalanan potong kompas lewat pertigaan Desa Garum belok kanan sejauh lebih kurang 5 Km sudah sampai di lokasi. Hanya fasilitas jalannya tidak cukup lebar.

RIWAYAT PENEMUAN
Semenjak runtuhnya Kerajaan Majapahit yang kemudian disusul dengan masuknya agama Islam, banyak bangunan suci yang berkaitan dengan agama Hindu/Budha begitu saja ditinggal oleh masyarakat pendukungnya. Lama-kelamaan bangunan-bangunan suci yang tidak lagi dipergunakan (difungsikan) itu dilupakan orang karena masyarakat sebagian besar telah berganti kepercayaan. Akibatnya bangunan-bangunan tesebut menjadi terlantar tidak ada lagi yang mengurusnya, pada akhirnya tertimbun longsoran tanah dan semak-semak belukar. Yang Nampak hanyalah puing-puing berserakan di sana-sini. Ketika daerah ini berkembang menjadi daerah pemukiman, keadaannya menjadi lebih parah lagi. Batu-batu candinya dibongkar orang dari susunannya untuk keperluan alas bangunan rumah atau pengeras jalan, sedangkan batu bata merahnya ditumbuk untuk dijadikan semen merah. Sejumlah batu-batu berhias dan juga arca-arca diambil oleh sinder-sinder perkebunan untuk pajangan halaman pabrik-pabrik atau rumah-rumah dinas milik perkebunan. Keadaan yang sungguh menyedihkan ini berlangsung cukup lama sampai datangnya  para peneliti pada sekitar permulaan abad XIX. Dengan keahlian yang dimilikinya mulailah para peneliti itu mengadakan rekonstruksi dan pemugaran.


Demikian jugalah keadaan kompleks percandian Penataran di masa lalu. Candi Penataran ditemukan pada tahun 1815 tetapi sampai tahun 1850 belum banyak dikenal. Penemunya adalah Sir Thomas Stamford Raffles (1781 – 1826), Letnan Gubernur Jendral pemerintah colonial Inggris, yang berkuasa di Negara kita pada waktu itu.
Raffles bersama-sama dengan Dr. Horsfield, seorang ahli ilmu alam, mengadakan kunjungan ke Candi Penataran. Hasil kunjungannya dibukukan dalam bukunya yang cukup terkenal “History of Java” yang terbit dalam dua jilid. Jejak Raffles ini dikemudian hari diikuti oleh para peneliti lainnya: J. Crawfurd, seorang asisten residen di Yogyakarta, selanjutnya van Meeteran Brouwer (1828), Junghun (1844), Jonathan Rigg (1848) dan N.W. Hoepermans yang pada tahun 1866 mengadakan inventarisasi di kompleks percandian Penataran. Pada tahun 1867, Andre de la Porte bersama-sama dengan J. Knebel, seorang asisten residen, mengadakan penyelidikan atas Candi Penataran dan hasil penyelidikannya dibukukan dalam bukunya yang terbit tahun 1900 yang berjudul “De ruines van Panataran”.
Dengan berdirinya badan resmi kepurbakalaan yang pada waktu itu bernama Oudheidkundige Dienst (biasa disingkat OD) pada tanggal 14 Juni 1913, maka penanganan atas Candi Penataran menjadi lebih intensif. Pada saat ini bersama-sama dengan peninggalan-peninggalan kuna yang lain yang berada di Jawa Timur, pemeliharaan, perlindungan, pemugaran dan sebagainya atas Candi Penataran berada di tangan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur yang berkantor pusat di Trowulan, Mojokerto.

SUSUNAN UMUM KOMPLEKS PERCANDIAN
Menurut catatan bangunan kekunaan menempati areal tanah seluas 12.946 m² berjajar dari barat laut ke timur kemudian berlanjut ke bagian tenggara. Seluruh halaman kompleks percandian kecuali halaman yang berada di bagian tenggara dibagi-bagi (disekat) oleh dua jalur dinding yang melintang dari utara ke selatan sehingga membagi halaman kompleks percandian menjadi tiga bagian yang untuk mudahnya berturut-turut akan disebut sebagai: halaman A untuk halaman I, halaman B untuk halaman II dan halaman C untuk halaman III. Pembagian halaman kompleks percandian menjadi tiga bagian adalah berakar pada kepercayaan lama nenek moyang kita.
Sebagaimana dapat diamati dalam peta situasi, halaman B masih dibagi lagi oleh dinding yang membujur arah timur-barat sehingga membagi halaman B menjadi dua bagian. Apakah halaman B ini dahulu tertutup oleh tembok keliling, belum diketahui dengan pasti sebab kini yang tertinggal hanya fondasi-fondasinya saja. Begitu juga tembok keliling kompleks percandian sudah sejak lama runtuh, yang Nampak sekarang adalah pagar tanaman hidup yang berfungsi sebagai batas pagar keliling kekunaan. Tembok keliling dan dinding-dinding penyekat terbuat dari bahan batu bata merah sehingga karena perjalanan waktu yang cukup lama menyebabkan keruntuhannya.
Susunan kompleks percandian Penataran memang menarik karena letak bangunan yang satu dengan yang lainnya berhadap-hadapan terus ke belakang yang sepintas kelihatannya agak membingungkan. Susunan bangunan mirip dengan susunan pura-pura di Pulau Bali. Dalam susunan seperti ini, bagian halaman yang terletak paling belakang adalah yang paling suci karena di sini terdapat bangunan pusatnya atau bangunan induknya. Juga di Bali, tempat bagi dewa-dewa berada di bagian candi yang paling belakang yakni bagian yang paling dekat dengan gunung. Di Jawa Timur, perwujudan dalam bentuk bangunan berupa bangunan candi yang berteras-teras dengan susunan makin ke atas makin kecil yang disebut punden berundak. Pintu masuk ke halaman kompleks percandian yang sementara ini juga berfungsi sebagai pintu keluar terletak di bagian barat. Dengan menuruni tangga masuk yang berupa undak-undakan sampailah kita di ruang tunggu tempat pengunjung mendaftarkan diri sebelum masuk halaman kompleks percandian. Di sini terdapat dua buah arca penjaga pintu (= dwaraphala) yang di kalangan masyarakat Blitar terkenal dengan sebutan “Mbah Bodo”. Yang menarik dari kedua arca penjaga ini bukan karena ukurannya yang besar dan wajahnya yang menakutkan (daemonis) tetapi pahatan angka tahun yang terdapat pada landasan arcanya (lapik arca). Angka tahun tersebut tertulis dalam huruf Jawa Kuna, tahun 1242 Çaka atau kalu dijadikan Masehi (ditambah 78 tahun) menjadi tahun 1320 Masehi.
Berdasarkan pahatan angka tahun yang terdapat pada kedua lapik arca penjaga tersebut, para sarjana berpendapat bangunan suci Palah (nama lain untuk Candi Penataran) diresmikan menjadi kuil Negara (state-temple) baru pada zaman Raja Jayanegara dari Majapahit yang memerintah pada tahun 1309 – 1328 AD.
Di sebelah timur kedua arca penjaga di tempat yang tanahnya agak tinggi terdapat sisa-sisa pintu gerbang dari bahan batu bata merah. Pintu gerbang tersebut masih disebut-sebutkan Jonathan Rigg dalam kunjungannya ke Candi Penataran pada tahun 1848. Dengan melalui bekas pintu gerbang ini, sampailah kita di bagian terdepan halaman A. Di sini masih dapat disaksikan sekitar 6 buah bekas bangunan, 2 buah di antaranya tidak dapat dikenali lagi bagaimana bentuknya semula. Kedua bekas bangunan yang hanya tinggal fondasinya saja itu terbuat dari bahan batu bata merah. Melihat banyaknya umpak-umpak batu yang tersisa di sini dapat diduga bahwa dahulu terdapat bangunan-bangunan yang menggunakan tiang kayu seperti yang dapat kita jumpai di Bali. Berapa banyak bangunan yang menggunakan tiang-tiang kayu belum diketahui secara pasti.
Bangunan-bangunan penting yang terletak di halaman A adalah: sebuah bangunan yang berbentuk persegi panjang yang disebut dengan nama bale agung, kemudian bangunan bekas tempat pendeta yang hanya tinggal tatanan umpak-umpak saja, sebuah bangunan persegi empat dalam ukuran yang lebih kecil dari bangunan bale agung yang disebut dengan nama pendopo teras atau batur pendopo dan bangunan yang berupa candi kecil berangka tahun yang disebut Candi Angka Tahun. Bangunan-bangunan tersebut terbuat seluruhnya dari bahan batu andesit.
Memasuki halaman B juga melewati sisa-sisa bekas pintu gerbang yang di bagian depannya dijaga oleh dua buah arca dwaraphala dalam ukuran yang lebih kecil. Kedua arca dwaraphala ini pada lapik arcanya juga terpahat angka tahun, tertulis: tahun 1214 Çaka atau 1319 Masehi. Peristiwa apa yang dikaitkan dengan angka tahun ini belum diketahui. Di halaman B masih dapat disaksikan sekitar 7 buah bekas bangunan, ada bangunan yang terbuat dari bahan batu bata merah dan ada yang dibuat dari bahan batu andesit. Dari ketujuh buah bekas bangunan tersebut, enam buah di antaranya sudah tidak dapat dikenali lagi bentuknya. Satu-satunya bangunan yang cukup terkenal adalah Candi Naga, disebut demikian karena sekeliling tubuh bangunan dililit ular atau naga. Bangunan Candi Naga seluruhnya terbuat dari batu andesit.
Halaman terakhir adalah halaman C, di sini juga terdapat bekas pintu gerbang yang di bagian depannya dijaga oleh dua buah arca dwaraphala. Ada sekitar 9 buah bekas bangunan, 2 buah yang sudah dapat dikenali adalah bangunan candi induk dan susunan percobaan sebagian dari tubuh bangunan candi induk. Bangunan-bangunan yang lain sementara ini belum terungkapkan.
Di sebelah selatan bangunan candi masih berdiri tegak sebuah batu prasasti atau batu tertulis. Melihat besarnya ukuran batu prasasti ini, para ahli menduga batu tersebut masih berada di tempat aslinya. Prasasti menggunakan huruf Jawa Kuna bertahun 1119 Çaka atau 1197 Masehi dikeluarkan oleh Raja Srengga dari Kerajaan Kediri. Karena isinya antara lain menyebutkan tentang peresmian sebuah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah maka para sarjana berpendapat bahwa yang dimaksud Palah tentunya tidak lain adalah Penataran. Andaikata dapat dibenarkan bahwa Palah adalah Candi Penataran sekarang maka usia pembangunan kompleks percandian Penataran memakan waktu sekurang-kurangnya 250 tahun, dibangun dari tahun 1197 pada zaman Kerajaan Kediri sampai tahun 1454 pada zaman Kerajaan Majapahit. Hampir semua bangunan yang dapat kita saksikan sekarang berasal dari masa pemerintahan raja-raja Majapahit. Barangkali bangunan-bangunan yang lebih tua (dari zaman Kediri) telah lama runtuh.
Masih ada dua buah bangunan lain yang letaknya di luar kompleks tentunya masih ada hubungannya dengan kompleks percandian Penataran secara keseluruhan. Bangunan tersebut berupa sebuah kolam berangka tahun 1337 Çaka atau tahun 1415 yang terletak di sebelah tenggara dan sebuah kolom lagi (petirtaan) dalam ukuran yang agak besar terletak kira-kira 200 meter di arah timur laut kompleks percandian.

URAIAN BANGUNAN-BANGUNAN YANG PENTING DAN MENARIK
Untuk memperoleh gambaran yang agak jelas kiranya perlu diuraikan beberapa bangunan yang dianggap penting dan menarik. Urut-urutan uraian sengaja dari bangunan-bangunan yang terdapat di halaman A terus ke halaman B, halaman C dan seterusnya, mengingat pada umumnya pengunjung melihat-lihat bangunan kekunaan dari bagian depan terus ke belakang. Uraian bersifat deskriptif dengan mencantumkan ukuran-ukuran supaya dapat memberikan gambaran secara dimensional apabila kita sudah tidak berada di lokasi percandian. Bangunan-bangunan tersebut adalah sebagai berikut:
1.       Bale agung
Lokasi bangunan terletak di bagian barat laut halaman A, posisinya sedikit menjorok ke depan. Bangunan seluruhnya terbuat dari batu dindingnya masih dalam keadaan polos. Pada dinding sisi selatan dan juga sisi utara terdapat tangga masuk yang berupa undak-undakan sehingga membagi dinding sisi utara maupun sisi selatan menjadi dua bagian. Begitu pula pada dinding sisi timur, ada dua buah tangga masuk yang membagi dinding sisi timur ini menjadi tiga bagian. Sekeliling tubuh bangunan bale agung dililiti oleh ular atau naga, kepala ular tersembul pada bagian sudut-sudut bangunan. Di sebelah kiri dan kanan masing-masing tangga naik terdapat arca penjaga yang berupa arca Mahakala. Arca-arca Mahakala yang terletak di sebelah kiri dan kanan tangga masuk dinding sisi timur nampaknya tidak lengkap lagi.
Bangunan bale agung berukuran panjang 37 meter, lebar 18,84 meter dan tinggi 1,44 meter. Sejumlah umpak batu yang berada di lantai atas diperkirakan dahulu sebagai penumpu tiang-tiang kayu untuk keperluan atap bangunan. Fungsi bangunan bale agung menurut N.J. Krom seperti juga di Bali, dipergunakan untuk tempat musyawarah para pendeta atau pendanda.

2.       Pendopo teras
Juga disebut batur pendopo, lokasi bangunan berada di sebelah tenggara bangunan bale agung. Berbeda dengan bangunan bale agung yang polos, bangunan pendopo teras ini dindingnya dikelilingi oleh relief-relief cerita. Pada dinding sisi barat terdapat dua buah tangga naik yang berupa undak-undakan, tangga ini tidak berlanjut di dinding bagian timur. Pada masing-masing sudut tangga masuk di sebelah kiri dan kanan pipi tangga terdapat arca raksasa kecil bersayap dengan lutut ditekuk pada satu kakinya dan salah satu tangannya memegang gada. Pipi tangga pada bagian yang berbentul ukel besar berhias tumpal yang indah. Bangunan pendopo teras berangka tahun 1297 Çaka atau 1375 Masehi. Letak pahatan angka tahun ini agak sulit mencarinya karena berbaur dengan hiasan yang berupa sulur daun-daunan, lokasinya berada di pelipit bagian atas dinding sisi timur. Seperti pada bangunan bale agung, sekeliling tubuh bangunan pendopo teras juga dililiti ular yang ekornya saling berbelitan, kepalanya tersembul ke atas di antara pilar-pilar bangunan. Kepala ular sedikit mendongak ke atas, memakai kalung dan berjambul.
Bangunan terbuat seluruhnya dari batu, berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran panjang 29,05 meter, lebar 9,22 meter dan tinggi 1,50 meter. Diduga bangunan pendopo teras ini berfungsi sebagai tempat untuk menaruh saji-sajian dalam rangka upacara keagamanaan.

3.       Candi Angka Tahun
Disebut demikian karena di atas ambang pintu masuk bangunan terdapat angka tahun: 1291 Çaka atau 1369 Masehi. Lokasi bangunan berada di sebelah timur bangunan pendopo teras dalam jarak sekitar 20 meteran. Di kalangan masyarakat lebih dikenal dengan nama Candi Brawijaya karena model bangunan ini dipergunakan sebagai lambing Kodam V Brawijaya. Kadang-kadang ada yang menyebut Candi Ganesa karena di dalam bilik candinya terdapat sebuah arca ganesa.
Pintu masuk candi terletak di bagian barat, pipi tangganya berakhir pada bentuk ukel besar (voluta) dengan hiasan tumpal yang berupa bunga-bungaan dalam susunan segitiga sama kaki. Candi Angka Tahun seperti umumnya bangunan-bangunan candi lain terdiri dari bagian-bagian yang disebut: Kaki candi, yaitu bagian candi yang bawah, kemudian tubuh candi di mana terdapat bilik atau kamar candi (gerbagerha) dan kemudian mahkota bangunan yang berbentuk kubus. Pada bagian mahkota Nampak hiasan yang meriah. Pada masing-masing dinding tubuh candi terdapat relung-relung atau ceruk yang berupa pintu semu yang di bagian atasnya terdapat kepala makhluk yang bentuknya menakutkan. Kepala makhluk seperti ini disebut kepala kala yang di Jawa Timur sering disebut banaspati, yang berarti raja hutan yang bisa berupa singa atau harimau. Penempatan kepala kala di atas relung dimaksudkan untuk menakut-nakuti roh jahat agar tidak berani masuk ke kompleks percandian.  Bangunan Candi Angka Tahun cukup terkenal seakan-akan bangunan inilah yang mewakili kompleks percandian Penataran. Di bagian atas bilik candi pada batu penutup cungkup terdapat relief “Surya Majapahit” yakni lingkaran yang dikelilingi oleh pancaran sinar yang berupa garis-garis lurus dalam susunan beberapa buah segitiga sama kaki. Relief Surya Majapahit juga ditemukan di beberapa candi lain di Jawa Timur ini dalam variasi yang sedikit berbeda.

4.       Candi Naga
Berbeda dengan bangunan-bangunan yang telah diterangkan di atas, Candi Naga berada di halaman B. Bangunan terbuat seluruhnya dari batu dengan ukuran lebar 4,83 meter, panjang 6,57 meter dan tinggi 4,70 meter. Seperti Candi Angka Tahun, pintu masuk ke bilik candi terletak di bagian barat dengan pipi tangga berhiasan tumpal. Fisik bangunan hanya tinggal bagian yang disebut kaki dan tubuh candi, bagian atapnya yang kemungkinan dibuat dari bahan yang tidak tahan lama telah runtuh. Bangunan yang kita saksikan pada saat ini adalah hasil pemugaran tahun 1917 – 1918. Disebut Candi Naga karena sekeliling tubuh candi dililit naga dan figur-figur atau tokoh-tokoh seperti raja sebanyak Sembilan buah masing-masing berada di sudut-sudut bangunan di bagian tengah ketiga dinding dan di sebelah kiri dan kanan pintu masuk. Kesembilan tokoh ini digambarkan dalam pakaian mewah dengan prabha di bagian belakangnya, salah satu tangannya memegang genta (bel upacara) sedang tangan yang lain mendukung tubuh naga yang melingkari bagian atas bangunan.
Kesembilan tokoh tersebut dalam keadaan berdiri dan menjadi pilaster bangunan. Pada masing-masing dinding tubuh candi masih dihias dengan model-model bulatan yang disebut dengan “Motif Medallion”. Di dalam bulatan terdapat relief yang menggambarkan kombinasi antara daun-daunan atau bunga-bungaan dengan berbagai jenis binatang dan burung. Di antara motif-motif medallion terdapat relief cerita binatang dalam ukuran yang lebih kecil. Sayang, cerita yang digambarkan dalam relief-relief ini belum dapat diungkapkan. Menurut orang-orang Bali yang pernah mengunjungi kompleks percandian Penataran, fungsi Candi Naga adalah sama dengan Pura Kehen di Bali sebagai tempat untuk menyimpan milik dewa-dewa. Pura Kehen itu terletak di daerah Bangli, usianya belum terlalu tua, di dalamnya terdapat arca-arca yang diduga berasal dari abad XIV. Jadi yang tua adalah koleksi-koleksinya bukan bangunannya. Barangkali lebih tepat kalau Candi Naga dibandingkan dengan Pura Taman Sari yang terletak di Kabupaten Klungkung. Pura yang ditemukan tahun 1975 ini menunjukkan pertalian yang dekat dengan Kerajaan Majapahit. Pura ini kecuali berfungsi sebagai pemujaan Kerajaan Klungkung juga dipergunakan sebagai tempat pemasupatian (pemberian kesaktian) senjata-senjata pusaka yang dibawa dari Kerajaan Majapahit. Apabila perbandingan ini dapat dibenarkan maka fungsi Candi Naga bukan hanya untuk menyimpan benda-benda upacara milik para dewa tetapi lebih tepat kalau untuk pemasupatian benda-benda milik Kerajaan Majapahit. Untuk keperluan pemasupatian tidak perlu dibawa ke Bali.

5.       Candi Induk
Bangunan Candi Induk sebagaimana telah diuraikan di muka adalah satu-satunya bangunan candi yang paling besar di antara bangunan-bangunan kekunaan yang terdapat di halaman kompleks percandian. Lokasi bangunan terletak di bagian yang paling belakang yakni bagian yang dianggap suci.
Bangunan Candi Induk terdiri dari tiga teras bersusun dengan tinggi seluruhnya 7,19 meter. Teras pertama berbentuk empat persegi dengan diameter 30,06 meter untuk arah timur barat. Pada keempat sisinya kira-kira di bagian tengah masing-masing dinding terdapat bagian yang menjorok keluar sekitar 3 meter.
Pada teras pertama dinding sisi barat terdapat dua buah tangga naik yang berupa undak-undakan.
Teras kedua bentuknya berbeda dengan teras pertama, bagian-bagian yang menjorok bukan keluar tetapi ke dalam untuk ukuran yang lebih kecil.
Adanya perbedaan ukuran antara teras pertama dan teras kedua menyebabkan terjadinya halaman kosong di lantai teras pertama sehingga orang dapat berjalan-jalan mengelilingi bangunan sambil menyaksikan adegan-adegan yang digambarkan dalam relief. Tempat kosong ini namanya selasar.
Pada teras kedua terdapat sebuah tangga naik yang letaknya hampir di tengah-tengah dinding, tangga naik ini bersambung dengan tangga yang berada di teras ketiga.
Teras ketiga bentuknya hampir bujur sangkar, dinding-dindingnya berpahatkan arca singa bersayap dan naga bersayap. Naga bersayap kepalanya sedikit mendongak ke depan sedangkan singa bersayap kaki belakangnya dalam posisi berjongkok dan kaki depannya diangkat ke atas. Pahatan-pahatan pada dinding teras ketiga selain untuk mengisi bidang yang kosong juga menjadi pilaster bangunan.
Yang menarik dari lantai teras ketiga ini adalah sewaktu diadakan pembukaan lantai dalam rangka pemugaran ternyata bagian tengah lantai teras terbuat dari bahan batu bata merah. Nampak jelas denah bangunan yang berbentuk persegi empat dengan bagian-bagian yang menjorok ke depan. Berdasarkan data-data tersebut timbul dugaan bahwa bangunan asli Candi Penataran dibuat dari bahan batu bata merah. Dalam kurun waktu berikutnya diperluas dengan menutupinya memakai batu andesit. Perluasan itu terjadi pada zaman Majapahit. Apakah bangunan yang lama yang dibuat dari bahan batu bata merah ini yang dimaksudkan dalam prasasti Palah, kiranya perlu penelitian lebih lanjut di masa yang akan datang.
Dengan sampainya di lantai teras ketiga Candi Induk, sampailah kita pada dasar kaki candi. Di sinilah seharusnya berdiri tubuh candi. Sebagian dari tubuh Candi Induk ini telah disusun dalam susunan percobaan di lapangan percandian. Karena bagian-bagian bangunan belum dapat ditemukan semuanya maka sampai saat ini bangunan tubuh Candi Induk belum dapat diselesaikan.
Pada masing-masing sisi kedua tangga naik ke teras pertama terdapat arca dwaraphala, pada alas arca terdapat angka tahun 1269 Çaka atau 1347 Masehi. Di bagian belakang arca dwaraphala ini terdapat relief cerita, relief-relief cerita juga terdapat pada dinding-dinding teras pertama dan kedua bangunan Candi Induk yang nanti akan diceritakan tersendiri.

LATAR BELAKANG KEPERCAYAAN
Sebagaimana di muka telah diuraikan bahwa kompleks percandian Penataran dibangun di lereng Gunung Kelud. Pemilihan lokasi dengan latar belakang gunung bukanlah secara kebetulan. Pendirian bangunan suci Palah dimaksudkan sebagai Candi Gunung, yakni candi yang dipergunakan untuk keperluan memuja gunung. Tujuan utamanya tidak lain adalah untuk dapat “menetralisasi” atau menghindarkan dari segala mara bahaya yang datang atau disebabkan oleh gunung. Tentunya yang dimaksudkan di sini adalah Gunung Kelud yang berkali-kali menimbulkan bahaya bagi manusia.
Dalam naskah lama, Negarakertagama, yang dikarang oleh Mpu Prapanca, ada bagian yang menceritakan perjalanan Raja Hayam Wuruk (1350 – 1389 AD) dari Majapahit yang sering melakukan kunjungan ke Palah untuk keperluan memuja Hyang Acalapati. Pemujaan kepada Hyang Acalapati adalah juga memuja kepada Raja Gunung (Girindra), jadi bersifat Siwais. *** [080112]

Sumber:
  • ·      Soeyono Wisnoewhardono, 1995, Memperkenalkan Komplek Percandian Panataran di Blitar, Mojokerto: Penerbit KPN. Purbakala.


 

               
Share:

Candi Simping


Candi Simping terletak di Dusun Simping, Desa Sumberjati, Kecamatan Kademangan, Blitar. Candi tersebut dibangun sebagai tanda peringatan atau penghormatan terhadap pendiri Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya (Sri Kertarajasa Jayawardana) yang meninggal pada tahun 1309 Masehi.



Banyak arkeolog mempercayai bahwa Candi Simping merupakan candi pertama masa Majapahit. Kitab Negarakertagama di dalam pupuh XLVII/3 menjelaskan tentang candi ini: " ... Tahun Saka mengitari tiga bulan (1231 S), Sang Prabu (Nararya Sanggramawijaya/Kertarajasa Jayawardhana) mangkat, ditanam di dalam pura Antahpura, begitu nama makam beliau, dan di makam Simping ditegakkan arca Syiwa". 
Rahasia yang terungkap, Raden Wijaya atau Raja Kertarajasa diwujudkan sebagai arca Harihara karena peranannya besar dalam sejarah Singasari sampai Majapahit. Dia dianggap sebagai Wisnu karena berhasil menyelamatkan Singasari dari kehancuran akibat serangan Jayakatwang dan dianggap sebagai Syiwa karena dia penganut Syiwa yang taat.
Arca perwujudan Raden Wijaya dinamakan Harihara, yaitu perpaduan antara Dewa Wisnu dan Dewa Syiwa. Hari adalah nama lain Dewa Wisnu, sedangkan Hara adalah sebutan lain Dewa Syiwa.
Kitab Negarakertagama dalam pupuh LXI/4 menceritakan upaya perbaikan yang dilakukan oleh Prabu Hayam Wuruk terhadap kerusakan-kerusakan yang terjadi pada candi Simping ini: " ... Meninggalkan Lodaya menuju desa Simping, ingin memperbaiki candi makam leluhur, menaranya rusak, dilihat miring ke Barat, perlu ditegakkan kembali agak ke Timur". Sementara itu di dalam pupuh LXII/1 diceritakan hal yang demikian: " ... Perbaikan disesuaikan dengan bunyi prasasti yang dibaca lagi, diukur panjang lebarnya; di sebelah Timur sudah ada tugu, asrama Gurung-gurung diambil sebagai denah candi makam, untuk gantinya diberikan Ginting, Wisnurare di Bajradara".*** [040112]
                                
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami