The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Magelang Heritage. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Magelang Heritage. Tampilkan semua postingan

Stasiun Kereta Api Mayong

Stasiun Kereta Api Mayong (MAY) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Mayong, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen  PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 4 Semarang. Stasiun Mayong ini awalnya terletak di Kelurahan Pelemkerep, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah.
Bangunan Stasiun Mayong ini merupakan bangunan peninggalan masa Hindia Belanda. Sebelum stasiun ini dibangun, terlebih dahulu dilakukan pembangunan jalur kereta api Kudus-Mayong-Pecangaan. Pembangunan jalur tersebut dimulai pada tahun 1887 dan selesai pada tahun 1895 oleh Semarang-Joana Stoomtram-Maatschappij (SJS). SJS merupakan salah satu perusahaan kereta pai atau trem di Hindia Belanda yang mendapat konsensi dari tahun 1882 hingga 1923 untuk membangun jalur kereta api kelas 2 sejauh 415 kilometer yang menghubungkan Semarang dengan Demak, Kudus, Juana, Rembang, Blora, dan Purwodadi. Setelah selesai jalurnya, barulah didirikan beberapa stasiun yang ada di sepanjang jalur rel kereta api tersebut, di antaranya adalah Stasiun Mayong ini, yang diperkirakan dibangun pada tahun 1887.


Stasiun Mayong ini dibangun untuk mengangkut tebu, kayu, batu, bahan makanan dan penumpang. Pada waktu itu, di daerah Mayong terdapat sejumlah kebun tebu yang cukup luas. Tebu-tebu tersebut kemudian diangkut menggunakan kereta uap guna memasok bahan dasar dalam pembuatan gula ke beberapa pabrik gula yang ada di Jepara. Setelah menjadi gula, komoditas ini juga diangkut melalui kereta uap menuju ke Semarang.
Selain untuk mengangkut barang, Stasiun Mayong ini juga digunakan untuk mengangkut dan menurunkan penumpang saat itu. Raden Ajeng Kartini pernah melakukan perjalanan ke luar daerah bersama ayahnya melalui stasiun ini juga. Gerbong-gerbong kereta ini melewati beberapa daerah, yaitu Mayong, Pecangaan, Welahan, Kudus, Juana, Rembang, dan Semarang. Di kereta ini, Kartini kerap mengungkapkan batinnya melalui tulisan-tulisannya. Begitu pula, bila ayahnya mau menyambut tamu, Kartini sering diajak ke stasiun ini. Dulu, dari Stasiun Mayong ini terdapat 3 percabangan jalur kereta. Ke arah utara menuju ke Pecangaan dan yang ke barat ke arah Welahan. Sedangkan, yang ke arah selatan menuju ke Kudus. Dari Kudus itulah, jalur rel kereta ini bisa terhubung dengan Semarang maupun Rembang.


Pengoperasian kereta di stasiun berjalan lancar semenjak diresmikan hingga awal kemerdekaan tahun 1945. Sekitar tahun 1980, aktivitas stasiun ini mulai redup lantaran adanya pelebaran jalan dan kendaraan bermotor semakin banyak. Akhirnya, stasiun ini dihentikan operasinya pada tahun 2001. Tanah bekas stasiun ini sekarang sudah menjadi pertokoan di Jalan Jepara-Kudus Km 21 Mayong, atau tepatnya berada di depan SMP Negeri 1 Mayong. Sedangkan, bangunan stasiunnya dijual kepada seorang pengusaha Italia bernama Gabriella Teggia. Bangunan stasiun tersebut kemudian dibongkar dulu, dan kemudian diangkut dengan empat truk pada suatu malam di tahun 2001 menuju ke Jalan Losari, Desa Losari, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi tersebut merupakan Losari Spa Retreat & Coffe Plantation Resort. Gabriella Teggia sengaja memboyong bangunan Stasiun Mayong untuk ditempatkan di lokasi resort miliknya dengan tetap mempertahankan bentuk aslinya. Bekas bangunan stasiun tersebut difungsikan sebagai reception (penerima tamu) atau dengan sebutan Mayong Reception. Suasana stasiun tempo doeloe masih terasa dengan pintu gesernya (barn door) yang khas. Pengunjung yang akan menginap di resort dengan nuansa lawas ini tentu akan menuju ke Mayong Reception.


Hotel resort yang berdiri di atas lahan seluas 22 hektar ini sekarang sudah dibeli oleh Sandiaga Uno pada tahun 2011. Dari 22 hektar tersebut, 11 hektar lahannya masih tetap dipertahankan sebagai perkebunan kopi, dan nama resort berganti menjadi MesaStila Resort and Spa, sebuah 5 Star Luxury Resorts and Spa di Magelang.
Bila ditilik dari bentuk dan ukuran bangunannya, Stasiun Mayong ini memiliki kemiripan dengan Stasiun Maywood di New Jersey, Amerika Serikat yang dibuka pada tahun 1872. Nasibnya pun hampir serupa, sama-sama sudah tidak beroperasi lagi. Bedanya, keberadaan Stasiun Maywood masih in situ dan sekarang menjadi The Maywood Station Museum yang dikelola oleh Maywood Station Historic Committee semenjak 2002, sehingga nostalgia yang historis masih terasa adanya. Sedangkan, untuk Stasiun Mayong telah ex situ. Bentuk bangunan stasiunnya masih menunjukkan aslinya dan yang jelas terawat keberadaan fisiknya. Hanya saja ruh heritage kereta apinya sudah menguap. *** [290517]

Foto : Adi Sasmito
Share:

Rumah Bundar Magelang

Berbekal informasi dari penjual soto di depan SMAN 3 Magelang, penulis mendapatkan dan sekaligus bisa menyaksikan sebuah bangunan kuno yang masih berdiri hingga saat ini yang lokasinya berada di daerah Pecinan Magelang. Bangunan tersebut begitu menonjol dengan daerah sekitarnya karena bentuknya yang berbeda sendiri. Fasade melengkung atau setengah bulatan, yang kurang lazim di Magelang pada waktu itu. Bangunan tersebut dikenal sebagai gedung atau rumah bundar.
Rumah bundar tersebut terletak di Jalan Sriwijaya No. 56 Kelurahan Rejowinangun Utara, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi rumah bundar ini berada di sebelah timur SMAN 3 Magelang, dan jaraknya tidak terlalu jauh.
Rumah dengan luas bangunan 350 m² yang berdiri di atas lahan 1.705 m² ini dibangun oleh seorang saudagar Tionghoa yang kaya raya dari Magelang, bernama Tan Gwat Ling. Sebagai agen komoditas konsumsi, seperti teh, kopi, gula maupun tembakau, yang lumayan besar di Magelang pada waktu itu, mengharuskan Tan Gwat Ling kerap berkeliling untuk memperoleh barang-barang dagangannya tersebut guna dijual kembali. Salah satu kota tujuan yang sering didatangi adalah Bandung.


Pada saat di Bandung inilah, Tan Gwat Ling tertarik pda desain Villa Isola milik seorang hartawan Belanda bernama Dominique Willem Berretty yang dirancang oleh arsitek Belanda yang bekerja di Hindia Belanda, Prof. Charles Prosper Wolf Schoemaker. Terinspirasi akan keindahan Villa Isola tersebut, Tan Gwat Ling berkeinginan membangun rumah miliknya dengan mengadopsi karya Schoemaker tersebut.
Pada tahun 1934, Tan Gwat Ling benar-benar mewujudkannya dengan memulai proses pembangunan rumah yang kelak di kemudian hari dikenal sebagai rumah bundar. Dilihat dari fasadenya, rumah bundar ini memiliki aksen bulatan pada tiga bidang depannya, dan tampak megah lantaran berdiri dengan dikelilingi halamana yang begitu luas. Bentuk silinder (bundar), tampilan sederhana dan ditandai dengan ornamen lengkung mengisyaratkan bahwa gaya arsitektur dari rumah bundar ini adalah langgam art deco yang banyak berkembang di Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, rumah bundar ini sempat dirampas untuk dijadikan sebagai salah satu markas pasukannya dengan memenjarakan Tan Gwat Ling. Namun ketika Jepang meninggalkan Magelang dan digantikan kembali kekuasaannya kepada Belanda, tidak serta merta mengembalikan rumah bundar tersebut kepada pemiliknya. Baru pada tahun 1951, Pemerintah RI mengembalikan rumah bundar tersebut kepada Tan Gwat Ling lagi.
Pada tahun 1970-an, rumah bundar ini sempat difungsikan sebagai tempat kos. Namun, sekarang rumah bundar telah dikembalikan oleh keturunan Tan Gwat Ling, sebagai rumah tinggal dan tempat perisitirahatan bila anak cucunya ingin ke Magelang. Komitmen keluarga besar Tan Gwat Ling ini patut diacungi jempol karena masih mau merawat dan melestarikan rumah moyangnya seperti awal dibangunnya. Karena bagaimanapun, rumah bundar tersebut telah memenuhi kriteria sebagai bangunan cagar budaya (BCB) yang ada di Kota Magelang. *** [201214]
Share:

Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Magelang

Perjalanan menuju Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Magelang dari arah Alun-Alun melalui Jalan Laksda Yos Sudarso, memberikan sensasi tersendiri. Deretan bangunan kuno peninggalan Belanda banyak dijumpai dalam jalur perjalanan tersebut. Salah satunya adalah Gedung Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Magelang. Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Magelang merupakan kantor dinas yang melakukan tugas pokok melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang kependudukan dan pencatatan sipil (disdukcapil) berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Gedung Kantor Dinas ini terletak di Jalan Laksda Yos Sudarso No. 31C RT. 01 RW.09 Kelurahan Magelang, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi gedung ini berada di sebelah barat Gereja Katolik Santo Ignatius Magelang.


Dulu, sebelum difungsikan sebagai Kantor Disdukcapil, gedung tersebut merupakan bangunan sekolah yang bernama Kweekschool Voor Inlandsche Ambtenaren. Kweekschool ini merupakan sekolah calon guru yang diperuntukkan bagi bumiputera. Sekolah ini awalnya berada di Surakarta, kemudian dipindahkan ke Magelang pada 1875. Namun, gedungnya Kweekschool sendiri baru dibangun pada 1899.
Kweekschool yang berlangsung di Magelang ini merupakan Hoogere Kweekschool (HKS). HKS lebih tinggi dari Hollandsch-Inlandsche Kweekschool (HIK). Muridnya dipilih dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau dari HIK. Selama tiga tahun murid-murid HKS dididik dan dilatih dengan bahasa Belanda, dan mendapatkan pelajaran ilmu mendidik, ilmu pengetahuan umum serta harus tinggal dalam asrama dengan pengawasan ketat.


Oleh karena itu, wajar bila bangunan gedung Kweekschool ini cukup luas. Luas tanah yang terpampang dalam papan berwarna biru muda tersebut menunjukkan bahwa luas tanahnya adalah 8.992 m². Pembangunan kompleks gedung Kweekschool ini pun juga tidak langsung jadi namun bertahap yang memerlukan waktu puluhan tahun karena saking luasnya. Di dalam kompleks tersebut terdapat ruang kepala sekolah, ruang guru, asrama, dan lain-lain.
Perkembangan Kweekschool sedikit terhambat dengan kehadiran Middlebare Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (MOSVIA) pada 1927 yang lebih dikhususkan bagi golongan ningrat, sehingga terpaksa harus ditutup pada tahun 1932. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, gedung Kweekschool ini kemudian difungsikan sebagai Kantor Dinas Bupati Magelang dari tahun 1948 hingga tahun 1983. Setelah itu, Kantor Dinas Bupati Magelang menempati bangunan gedung yang baru, gedung Kweekschool ini difungsikan sebagai Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Magelang.
Dalam Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 7 Tahun 2013 tentang Cagar Budaya di Kota Magelang, dijelaskan bahwa kompleks Catatan Sipil (eks Kweekschool) ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya (BCB) sebagai kompleks sekolah yang memakai gaya arsitektur Indis. *** [201214]
Share:

GPIB Magelang Kebon Polo

GPIB Magelang Kebon Polo merupakan gereja Protestan yang tergolong tua yang ada di Kota Magelang. Bangunan dengan arsitektur yang khas ini masih berdiri kokoh dengan menara lonceng di atasnya. Siapa yang melintas di daerah tersebut, akan tertarik melihatnya.
GPIB ini terletak di Jalan Urip Sumoharjo No. 17 Kelurahan Wates, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi gereja ini di sebelah kanannya berbatasan dengan RSUD Tidar Bagian Kebidanan, dan di sebelah kirinya berbatasan dengan Jalan Sumba menuju SMPN 19 Magelang. Gereja ini menghadap ke selatan atau ke arah Jalan Urip Sumohardjo.
Berdasarkan prasasti yang terbuat dari batu marmer dengan menggunakan bahasa Belanda, diketahui bahwa nama resmi gereja ini adalah Deze Maleische Protetantsche Kerk. Artinya, gereja Protestan untuk orang-orang pribumi yang berasal dari Maluku.


Peletakan batu pertama pembangunan gereja ini dilakukan oleh Azing Bakker pada tanggal 12 November 1923 dan selesai pada tahun 1927 dengan bantuan dari warga Protestant dan tentara Hindia Belanda. Bangunan gereja ini merupakan karya arsitek kondang pada masa itu yang bernama Van Melle. Hal ini ditegaskan pada prasasti yang berada di timur pintu gereja, yaitu: Architecten van Melle en Klomp Magelang.


Bangunan gereja seluas 225 m² yang berdiri di atas lahan seluas 980 m² ini memiliki langgam Neo-Gothic yang hampir serupa dengan GPIB Magelang Alun-Alun dengan fasade yang menjulang. Dengan konstruksi pintu dan jendela yang tinggi nampak sebagai ciri arsitektur yang dikembangkan oleh arsitek Belanda yang disesuaikan dengan iklim tropis lembab yang ada di Kota Magelang. Di atas pintu masuk utama gereja yang terbuat dari kayu jati berkualitas ini, terdapat balkon. Balkon ini dibangun pada tahun 1927 yang digunakan untuk tempat musik pengiring kebaktian.
Sesungguhnya, pembangunan gereja ini merupakan perluasan dari GPIB yang berada di sebelah utara Alun-Alun Kota Magelang. Dulu, GPIB Magelang Alun-Alun diperuntukkan bagi orang-orang Eropa, sedangkan GPIB Magelang Kebon Polo digunakan untuk jemaat pribumi yang kebanyakan dari tentara KNIL dan keluarganya yang pada umumnya berasal dari Ambon atau Maluku. Karena itulah, di kemudian hari gereja ini juga dikenal dengan sebutan Gereja Ambon, dan lokasinya pun berada di sebelah utara dari Kompleks Kaderschool (kini dikenal dengan Rindam IV/Diponegoro). *** [201214]
Share:

Rumah Sakit Tentara Dr. Soedjono

Ketika mau berkunjung ke SMAN 2 Magelang melalui plengkung baru, tampak terlihat bangunan kuna nan megah. Bangunan tersebut adalah Rumah Sakit Tentara (RST) Dr. Soedjono. Sesuai namanya, RST ini merupakan rumah sakit milik TNI AD ini bertugas memberikan pelayanan kepada anggota TNI AD, PNS beserta keluarganya dan sekaran juga melayani kesehatan bagi masyarakat umum.
Rumah Sakit Tentara tersebut terletak di Jalan RST Soedjono No. 7 Kampung Kalisari RT.05 RW.08 Kelurahan Wates, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi RST ini berada di Kompleks Rindam IV/Diponegoro, dan memiliki kesan monumental bangunan rumah sakit sebagai “focal point” dari lingkungan kompleks militer tersebut sangat kuat.
Sejak didirikan, RST ini memang berfungsi sebagai rumah sakit. Dulu namanya Militaire Hospitaal yang dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1917 sebagai salah satu fasilitas militer yang memberikan pelayanan medis bagi militer Belanda dan anggota keluarganya yang bertugas di Magelang.


Pada masa pendudukan Jepang (1942), rumah sakit ini diambil alih dan difungsikan untuk merawat tentara Jepang (Dai Nippon). Kemudian, setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, rumah sakit ini berubah menjadi Rumah Sakit (RS) Palang Merah Indonesia (PMI) Magelang. Lalu, pada 1 Januari 1947. RS PMI berganti nama menjadi RSU Wates.
Pada 1 Maret 1948, RSU Wates diserahterimakan kepada Kepala Dinas Kesehatan Tentara (DKT) Divisi III, dan sejak 1 November 1973 nama rumah sakit ini diganti menjadi RST Dr. Soedjono. Hal ini untuk mengabadikan nama Letkol Dr. Soedjono, seorang dokter Brigade Kuda Putih yang gugur ditembak Belanda di Desa Pogalan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang.
Bangunan seluas 2.300 m² ini memiliki gaya arsitektur transisi. Karena pada masa itu memang terjadi perubahan yang berlangsung cukup singkat dari akhir abad 19 sampai awal abad 20. Awal abad ke 20 merupakan puncak kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia. Modernisasi dilakukan di semua bidang, tak terkecuali sarana fisik dalam kompleks militer. Modernisasi tersebut terjadi pada kompleks militer di Batavia serta kota-kota garnizun yang besar, seperti Cimahi, Magelang, dan Malang.


Yang menarik bagi dunia arsitektur waktu itu adalah pembaharuan secara total model arsitektur yang sebelumnya mempunyai gaya Indische Empire mengalami perubahan dengan gaya arsitektur Kolonial Modern yang disesuaikan dengan iklim setempat. Kaum militer Belanda menyadari betul akan iklim setempat, sehingga mereka menamakan kompleksnya dengan istilah tropenkampementen (kompleks militer daerah tropis).
RST Dr. Soedjono yang tergolong sebagai rumah sakit terbesar di Pulau Jawa, selain RS Dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Cimahi tak luput dari transisi arsitektural tersebut. Namun demikian, sejak didirikan, bangunan setinggi 12 m ini sampai tahun 1980 tidak mengalami perubahan atau pun penambahan. Kalau pun ada, sifatnya hanya pemeliharaan atau perbaikan bangunan yang ada saja. Baru mulai tahun 1981, ada beberapa penambahan bangunan, antara lain bangunan poliklinik (tahun 1981), dan kamar bedah sentral (tahun 1986), dan yang baru adalah renovasi UGD serta dibukanya pintu gerbang timur yang bertujuan tidak saja untuk melayani anggota TNI saja tetapi juga penderita umum. *** [201214]
Share:

Gereja Katolik Santo Ignatius Magelang

Gereja Katolik Santo Ignatius merupakan salah satu tempat peribadatan umat Katolik di Kota Magelang. Bangunan peninggalan Kolonial Belanda ini menjadi saksi sejarah perkembangan umat Katolik di Kota Magelang.
Gereja ini terletak di Jalan Laksda Yos Sudarso No. 6 Kelurahan Magelang, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi gereja ini berada di sebelah barat Telkom Magelang dan menjadi satu halaman dengan pastoran (pastorij).


Awalnya, lahan Gereja Katolik Santo Ignatius merupakan lahan yang dibeli oleh Romo F. Voogel SJ pada tahun 1890. Dalam lahan tersebut kebetulan sudah ada sebuah bangunan (sekarang pastoran) yang dijadikan tempat tinggal sekaligus peribadatan. Baru selang sembilan tahun menetap di Magelang, Romo F. Voogel mulai melakukan peletakan batu pertama untuk mendirikan gereja sederhana yang berada di samping pasturan (sekarang gereja) di bawah guyuran derasnya hujan. Setahun kemudian, gereja tersebut sudah dapat digunakan untuk persembahan misa kudus pada 22 Agustus 1900. Sedangkan, pemberkatan gedung gereja secara meriah dilaksanakan pada 30 September 1900 dalam Misa Konselebrasi yang dipimpin oleh Mgr. E. Luypen SJ dari Batavia dengan didampingi Romo Mutzaers SJ dari Cirebon, dan Romo Asselbergs SJ dari Yogyakarta. Romo Paroki Magelang pada waktu itu adalah Romo Heuvel SJ. Beliau menggantikan Romo F. Voogel SJ yang pulang ke Negeri Belanda karena alasan kesehatan.
Selain itu, hadir pula Residen Kedu, Petinggi Militer Belanda di antaranya Kolonel Van der Dussen, tokoh masyarakat Tionghoa, dan tokoh masyarakat pribumi lainnya. Sedemikian meriahnya untuk ukuran saat itu, sehingga pemberkatan itu memancing kekaguman masyarakat Magelang tidak terbatas pada umat Katolik saja.
Saat bersejarah terjadi pada 27 Juni 1913 ketika seorang anak dari keluarga suku Jawa, yaitu Pak Ahmad dan Ibu Sanah, bernama Soewini (14 tahun) menerima sakramen permandian dengan nama Margaretha. Kemudian diikuti oleh Bapak Martawiardja dan Ibu Amini yang membaptiskan bayinya, Maria Moerjati.


Tanggal 15 September 1923 ada 12 siswa Hollandsch-Inlandsche School (HIS) dipermandikan oleh Romo B. Hagdoorn SJ. Sekolah ini sekarang menjadi SDK Pendowo. Bertambahnya masyarakat Jawa yang memeluk agama Katolik ini merupakan buah kerja keras para misionaris yang namanya pantas ditorehkan dengan tinta emas, di antaranya Romo Van Lith SJ dan Romo J. Hovenaars SJ.
Perkembangan jumlah umat (jemaat) yang kian meningkat dari tahun ke tahun memunculkan pemikiran untuk memperluas bangunan gereja. Gereja yang semula dibangun hanya berdaya tampung 300 jemaat itu harus diperluas. Maka pada 15 Agustus 1926 dimulailah perluasan gedung gereja dengan menambah sayap selebar 3,5 meter ke kiri dan kanan.
Hasil perluasan bangunan gereja tersebut usai perluasan adalah bangunan yang bisa disaksikan saat ini. Bangunan gereja yang berdiri di atas lahan seluas 13.000 m² ini, sebelumnya bercorak arsitektur Neo-Gothic sehingga fasade sudah berbeda jauh dari bangunan semula. *** [191214]

Share:

Pintu Gerbang Kerkhof Magelang

Memasuki pusat Kota Magelang dari arah Yogyakarta, Anda akan melewati Bukit Tidar yang sejuk dengan panorama hutan pinus dan gemercik air sungai yang berada di sebelah timur bukit. Menyusuri terus ke arah utara lagi, jalan akan membelah menjadi dua yang di tengahnya dibatasi oleh sungai. Jalan yang berada di sebelah barat sungai adalah Jalan Ikhlas yang terdiri atas deretan toko. Memang di bagian lembah Bukit Tidar sebelah utara ini merupakan salah satu pusat perekonomian yang ada di Kota Magelang.
Sepintas memang tampak deretan toko, tapi ketika perjalanan berhenti sejenak di Toko Waluyo Photo akan terasa sedikit berbeda, dan Anda akan bertanya-tanya karena tepat di depan toko tersebut masih berdiri bangunan megah menjulang. Bangungan tersebut adalah Pintu Gerbang Kerkhof Magelang (de Poort van de Vroegere Grote Begraafplaats van Magelang).


Pintu Gerbang Kerkhof tersebut menghadap ke timur, sehingga bisa dipastikan bahwa di sebelah barat atau di belakang pintu gerbang tersebut merupakan Kerkhof Laan (Tanah Pemakaman Belanda), atau biasa juga dikenal sebagai De Europese Begraafplaats te Magelang. Jadi, deretan toko tersebut sesungguhnya adalah bekas kerkhof (makam Belanda). Konon, pemakaman Belanda tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu bagian depan dan bagian belakang. Tiap bagian tersebut masih terbagi lagi menjadi empat kelas. Bagian depan diperuntukkan bagi orang Eropa, sedangkan bagian belakang digunakan untuk orang Timur Asing dan Pribumi yang beragama Kristen. Dari Kerkhof Laan tersebut yang masih bisa dilacak petilasannya tinggal kompleks makam Johannes van der Steur (misionaris dan pejuang kemanusiaan berkebangsaan Belanda) bersama dengan anak-anak asuhnya dan Gerbang Makam tersebut. Karena pada tahun 1980an, area pemakamam Belanda tersebut dipindahkan ke Giriloyo oleh Pemkot Magelang. Ada juga yang dipindahkan oleh ahli warisnya ke negeri Belanda.
Pintu Gerbang Kerkhof tersebut diperkirakan dibangun pada tahun 1906 dengan luas 16,8 m² dan memiliki tinggi 8,5 m. Bangunan pintu gerbang tersebut memiliki gaya arsitektur Roman yang ditopang oleh empat pilar jenis Tuscan yang mengadopsi dari pilar kuil Romawi.
Melihat kemegahan gerbang makam Belanda tersebut, bisa dibayangkan keberadaan kerkhof yang berada di Kota Magelang pada waktu itu. Terlebih Magelang juga terpilih menjadi Kota Garnizun yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda, yang nota bene banyak orang Belanda yang masih asli maupun blasteran (KNIL) yang bermukim di Kota Magelang kala itu. *** [201214]
Share:

Rumah Dinas Rindam IV/Diponegoro

Sesudah tahun 1880, ada pergeseran dalam strategi pertahanan di Jawa. Sistem pertahanannya dialihkan kepada musuh dalam negeri dan bukan dari serbuan bangsa Eropa (Portugis, Inggris, dan sebagainya) seperti masa lalu. Untuk menjaga pertahanan di daerah pedalaman P. Jawa maka dipilih kota-kota garnizun pada tiap-tiap provinsi. Malang untuk Provinsi Jawa Timur. Magelang untuk Provinsi Jawa Tengah, dan Bandung dengan garnizun di Cimahi untuk Jawa Barat.
Garnizun secara harafiah berarti kelompok pasukan dalam jumlah besar yang menetap dalam sebuah kota atau benteng. Jadi, Kota Garnizun secara harafiah bisa berarti sebuah kota di mana terdapat kelompok pasukan dalam jumlah besar yang menetap di kota tersebut.
Magelang pada awalnya bukan dirancang sebagai kota militer, tapi baru kemudian hari dijadikan kota garnizun dan sekaligus sebuah pusat pendidikan militer. Di Magelang, kompleks militernya dibangun pada salah satu sisi kota, yaitu di sebelah utara. Kompleks garnizunnya pada tata ruang kota secara keseluruhan tidak mendominasi sebagai kota tersendiri atau bagian kota yang khusus. Hal ini disebabkan oleh karena pada waktu garnizun dibangun, pemerintah setempat telah memutuskan, akan melanjutkan pembangunan berdasarkan karakteristik berdasarkan jalan kota yang sudah ada.


Kompleks militer yang menjadi bagian dari Kota Garnizun di Magelang kini berubah menjadi Kompleks Resimen Induk Kodam IV/Diponegoro, atau yang biasa dikenal dengan Rindam IV/Diponegoro. Rindam IV/Diponegoro adalah komando pelaksana yang bertugas menyelenggarakan pendidikan pertama Bintara/Tamtama, Diktuk Ba Reguler dan Dikspes Ba/Ta, menyelenggarakan dan memberikan asistensi latihan kepada satuan jajaran Kodam IV/Diponegoro. Di samping itu, juga pengajar, pengawas, pengembangan/pengaturan daerah latihan di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta serta membantu pengajar pembinaan satuan jajaran Kodam IV/Diponegoro.
Kompleks militer ini memiliki lahan yang begitu luas sehingga membentuk sebuah kawasan tersendiri. Bila berkunjung ke kompleks militer ini, Anda akan menyaksikan sejumlah bangunan heritage yang di dalam kompleks tersebut. Salah satunya adalah Rumah Dinas Rindam IV/Diponegoro yang terletak di Jalan dr. Koesen Hirohoesodo Timur, RT. 02 RW. 01 Kelurahan Gelangan, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi ini tepat di sebelah timur lapangan Rindam IV/Diponegoro.
Nama Jalan dr. Koesen Hirohoesodo Timur merupakan nama nama jalan baru pengganti dari nama Jalan Kesatrian Wetan yang pada masa Hindia Belanda dikenal dengan Ooster-Kampemenstlaan. Penggantian nama jalan ini diresmikan pemakaiannya oleh Walikota Sigit pada hari Minggu, 17 Agustus 2014 usai upacara HUT RI ke-69 di Kota Magelang. Brigjend Dr. Koesen Hirohoesodo merupakan mantan dokter pribadi Panglima Besar Jenderal Soedirman. Dia selalu mendampingi Jenderal Soedirman selama memimpin perang gerilya melawan Belanda pada tahun 1948 hingga tahun 1950.
Rumah Dinas Rindam IV/Diponegoro ini merupakan salah satu fasilitas militer yang terdapat di kompleks Rindam IV/Diponegoro. Rumah Dinas ini acapkali menjadi perhatian bagi orang yang melintas di timur lapangan Rindam IV/Diponegoro lantaran bentuk arsitekturnya yang khas. Oleh masyarakat sekitar, rumah dinas tersebut dikenal dengan nama Pondok Sriti.
Menurut catatan sejarah yang ada, Pondok Sriti ini dibangun pada tahun 1900-an. Bangunan Pondok Sriti yang sekarang menjadi Rumah Dinas IV/Diponegoro ini dulunya merupakan bangunan de Hoofdwacht Militaire Auditie atau Markas Pengawas Militer di zaman kolonial Belanda.
Bangunan seluas 963 m² ini merupakan bagian dari fasilitas militer yang ada di kompleks militer yang telah dibangun oleh Jenderal Hendrik Merkus Baron de Kock setelah memindahkan markas besar tentara dari Surakarta ke Magelang pada tanggal 13 Maret 1828 guna memadamkan Perang Jawa (1825-1830).
Menilik tahun pembuatannya, bangunan Pondok Sriti manandai gaya arsitektur periode peralihan. Perubahan gaya arsitektur pada zaman peralihan atau transisi (antara tahun 1890 sampai tahun 1915) merupakan peralihan dari gaya arsitektur Indische Empire (abad 18 dan 19) menuju arsitektur Kolonial Modern (setelah tahun 1915). Dalam disertasi Dr. Charles Thomas Nix (1949), yang berjudul Bijdragen Tot Vormleer Van De Stedebouw In Het Bijzonder Voor Indonesia (Sumbangan Tentang Pengetahuan Bentuk Dalam Perancangan Kota Terutama di Indonesia) dijelaskan bahwa gaya arsitektur transisi (1890-1915) itu sebagai jiplakan gaya arsitektur Romantiek di Eropa.

Kepustakaan:
Handinoto, 2004. Kebijakan Politik dan Ekonomi Pemerintah Kolonial Belanda yang Berpengaruh pada Morfologi (Bentuk dan Struktur) Beberapa Kota di Jawa, dalam Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 32 No. 1, Juli 2004.
Samuel Hartono dan Handinoto, 2006. ‘Arsitektur Transisi” di Nusantara dari Akhir Abad 19 ke Awal Abad 20, dalam Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 34 No. 2, 2006.
http:/id.m.wikipedia.org/wiki/Resimen_Induk_Kodam_IV/Diponegoro
Share:

Museum Sudirman

Beberapa koleksi milik Jenderal Sudirman tersebar di sejumlah museum yang ada di Indonesia. Hal ini dikarenakan perjalanan gerilya yang pernah dijalankan oleh Jenderal Sudirman di beberapa tempat. Di Purbalingga, rumah tempat kelahirannya menjadi semacam museum yang menyimpan permulaan riwayat hidup Jenderal Sudirman. Di Yogyakarta, ada dua museum yang menampilkan koleksi Jenderal Sudirman, yaitu Sasmitaloka dan Monumen Jogja Kembali. Di Pacitan juga terdapat rumah yang pernah menjadi basis gerilya Jenderal Sudirman menjadi monumennya, dan juga ada beberapa koleksi Jenderal Sudirman yang dipajang di Museum Satria Mandala Jakarta. Sedangkan, di Kota Magelang, rumah yang pernah menjadi kediamannya dan sekaligus sebagai rumah wafatnya juga dijadikan menjadi sebuah museum. Museum tersebut dikenal dengan Museum Sudirman.
Museum ini terletak di Jalan Ade Irma Suryani C.7 Kelurahan Potrobangsan, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi museum ini tepat berada di selatan Taman Badaan (Badaan Plein).


Dulu, di daerah Badaan ini dikenal sebagai kawasan perumahan untuk para perwira militer Hindia Belanda di Magelang (Nieuwe Officiers Kampement). Rumah dinas para perwira militer tersebut didirikan pada tahun 1930. Pada waktu itu, kawasan ini masih banyak ditumbuhi pohon cemara yang tinggi menjulang, dan dari rumah tersebut masih bisa melihat keindahan Gunung Sumbing di sebelah barat. Keindahan ini semakin terasa, ketika di kawasan perumahan tersebut juga dibangun Taman Badaan. Sehingga, Taman Badaan itu bisa dikatakan pembangunannya seusia dengan Nieuwe Officiers Kampement.
Pada masa perang kemerdekaan, salah satu rumah dinas perwira Hindia Belanda tersebut pernah menjadi kediaman Jenderal Sudirman. Sudirman mengawali kariernya sebagai guru di HIS Muhammadiyah Cilacap pada tahun 1930. Kemudian kedatangan Jepang di Tanah Air, menyebabkan Sudirman ikut terpanggil untuk mengangkat senjata dengan bergabung ke dalam Pembela Tanah Air (PETA). Ia pernah diangkat sebagai Daidanco PETA di Kroya.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Sudirman diangkat menjadi Kepala Badan Keamanan Rakyat (BKR) untuk wilayah Karesidenan Banyumas. Pada 5 Oktober 1945, ia diangkat sebagai Kepala Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Banyumas Divisi V Purwokerto dengan pangkat Kolonel. Ia kemudian terpilih menjadi Panglima Besar TKR pada 12 November 1945 berpangkat Jenderal sebagai peletak dasar-dasar moral, mental, serta kepemimpinan dan kepribadian TNI.
Pada Clash II, Sudirman pernah memimpin dalam Pertempuran Ambarawa, dan Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Ia memilih memimpin gerilya dengan keluar masuk hutan, turun naik gunung dan jurang ketimbang menyerah kepada Belanda kendati mengalami sakit parah. Jenderal Sudirman adalah sosok patriot yang tidak kenal menyerah. Walaupun dalam keadaan sakit dan harus ditandu namun sebagai Panglima Besar, beliau senantiasa menanamkan semangat juang yang tinggi. Ia pernah dirawat di Rumah Sakit (RS) Panti Rapih di Yogyakarta sebelum kemudian beristirahat di Magelang hingga menghembuskan nafas terakhir pada 29 Januari 1950.


Sesuai catatan yang ada di museum ini, Museum Sudirman diresmikan oleh Walikota Magelang pada tahun 1986 dan pengelolaan awalnya dikelola oleh Seksi Kebudayaan pada Dinas Pendidikan Kota Magelang. Pada tahun 2000, museum ini dikelola oleh Kantor Kebudayaan dan Pariwisata, dan saat ini dikelola oleh Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Disporabudpar) Kota Magelang.
Museum yang memiliki luas bangunan 285 m² di atas areal tanah seluas 1.329 m² ini, memiliki beberapa ruangan di bangunan utamanya. Ruang paling depan merupakan ruang tamu yang berisi satu set meja tamu yang dilatarbelakangi riwayat hidup Jenderal Sudirman. Di sebelah kiri, terdapat ruang kerja. Ruang kerja ini merupakan ruang kantor yang digunakan oleh Jenderal Sudirman untuk memegang garis komando gerilya. Bersebelahan dengan ruang kerja, terdapat ruang perawatan yang di dalamnya ada tandu gotongan dari kursi yang dipergunakan untuk bergerilya. Kemudian mengarah ke pintu belakang dari bangunan utama ini terdapat kamar pribadi. Kamar pribadi ini digunakan sebagai kamar tidur, yang di dalamnya terdapat tempat tidur hingga meninggalnya beliau.
Di belakang ruang tamu, terdapat ruang istirahat yang digunakan Jenderal Sudirman untuk bersantai, dan yang terakhir adalah ruang makan yang digunakan untuk makan bersama anak buahnya. Pada ruang tamu, ruang istirahat dan ruang makan banyak terpampang lukisan maupun foto-foto di masa perjuangan beliau serta Magelang tempo dulu.
Setelah bangunan utama, di belakangnya terdapat bangunan penunjang. Bangunan penunjang ini merupakan deretan ruangan yang berada di belakang bangunan utama dan dihubungkan oleh teras penghubung. Dari deretan ruangan tersebut terdiri atas perpustakaan, wisma tamu (dulu merupakan Kamar Soperdjo Roestam, ajudan Jenderal Sudirman), kamar mandi, dan dapur. *** [201214]
Share:

Masjid Agung Magelang

Segelas wedang ronde di seputaran alun-alun Kota Magelang, telah cukup menghangatkan badan, setelah menempuh perjalanan dari Kota Solo menuju Kota Magelang di malam hari. Sambil menikmati hangatnya wedang ronde, selurus pandangan mata ke arah barat tampak sebuah masjid dengan menara yang menjulang. Namun sayang, penulis tidak bisa mengambil gambar pada saat itu karena waktu menjelang larut malam.
Baru selang dua hari, penulis bisa berkunjung ke masjid tersebut usai mendampingi FGD di Kantor Dinas Pendidikan Kota Magelang. Masjid tersebut adalah Masjid Agung Magelang.
Masjid ini terletak di Jalan Alun-alun Barat No. 2 Kelurahan Cacaban, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi masjid ini berada di sebelah barat alun-alun Kota Magelang, dan tidak begitu jauh dari Menara Air Magelang.
Awalnya, masjid ini hanyalan berupa mushala kecil yang dibangun oleh Kyai Mundzakir, seorang ulama dari Jawa Timur, pada tahun 1650. Atap mushala masih berbentuk tumpang dua dan bangunan ruang utamanya masih terbuka dengan tembok setengah tinggi manusia.


Pada tahun 1797, bangunan mushala tersebut dipugar guna menampung jamaah yang semakin hari semakin bertambah. Selain memperluas bangunan mushala, dalam pemugaran tersebut juga diiringi dengan menambah mimbar untuk khotbah dan soko guru (tiang utama) dari kayu jati yang sengaja didatangkan dari Bojonegoro. Pemugaran ini diabadikan dalam prasasti bertuliskan dengan bahasa Arab dan Belanda. Prasasti dwi bahasa tersebut sampai sekarang masih terawat dengan baik, dan berada di dalam masjid.
Ketika Alwi bin Said Abdurrahim Basyaiban dikukuhkan menjadi bupati pertama oleh Sir Thomas Stamford Raffles dengan gelar Mas Ngabei Danukromo pada tahun 1812, mushala tersebut diperbesar menjadi sebuah masjid dengan sebutan Masjid Jami’ Magelang (Grote Moskee te Magelang). Kebijakan ini dilakukan sembari membangun alun-alun, dan rumah bupati (regentwoning) di utara alun-alun.
Lalu, sejarah juga mencatat bahwa setiap ada pergantian pemerintahan dari bupati yang lama ke bupati berikutnya, bangunan masjid tersebut mengalami pemugaran dengan penambahan-penambahan bangunan pendukung lainnya. Seperti pada tahun 1871, semasa pemerintahan Bupati ke III, yaitu Adipati Danuningrat III (cucu dari Mas Ngabei Danukromo), masjid tersebut ditambah serambi muka dan menara kecil.
Baru pada masa pemerintahan Muhammad bin Said Basyaiban, Bupati ke V dengan gelar Raden Tumenggung Danusugondo, masjid ini mengalami renovasi besar-besaran yang dilakukan pada tahun 1934. Dalam pemugaran tersebut, bertindak sebagai ketua pembangunan langsung dipegang oleh Bupati Danusugondo. Tak tanggung-tanggung, beliau menggunakan bantuan biro arsitek berkebangsaan Belanda, yaitu Heer H Pluyter. Hasil rancangan Pluyter tersebut menghasilkan bangunan masjid seperti yang disaksikan sekarang, kecuali bangunan menaranya yang baru didirikan pada tahun 1991 semasa walikota Bagus Panuntun. Sekaligus menandai berubahnya dari Masjid Jami’ Magelang menjadi Masjid Agung Magelang.


Dilihat dari fisik bangunan, tata ruang dari masjid ini merupakan tipologi masjid yang ada di Jawa pada umumnya. Ruang dibagi menjadi tiga, yaitu ruang utama, serambi kanan dan serambi kiri. Ditambah lagi, selasar yang berada di depan yang berfungsi pula sebagai serambi depan. Selasar yang lapang ini juga kerap dimanfaatan oleh para jamaah untuk beristirahat sambil merebahkan diri.
Ciri arsitektur Jawa lainnya juga ditemukan pula pada bentuk atap masjid yang bercorak tajuk atau bersusun. Menurut filosofi Jawa, atap bercungkup tiga ini menyimbolkan kehidupan manusia yang terdiri atas alam purwo (ketika berada di rahim ibu), alam madyo (saat manusia berada di dunia), dan ketiga adalah alam wusono yang merepresentasikan kehidupan manusia di alam baka atau akhirat. Filosofi ini kemudian diadopsi oleh Walisongo dengan menerjemahkan filosofi tersebut ke dalam bahasa agama. Atap satu (terbawah) disebut atap panitih yang melambangkan syariah. Atap dua disebut atap pananggap yang melambangkan thariqat, dan atap ketiga disebut atap brunjung yang melambangkan hakikat. Sedangkan puncak yang menjadi bagian tertinggi dari Masjid Agung Magelang, dinamakan mustoko yang melambangkan ma’rifat. Mustoko berwarna kuning, dan menyambung dengan tulisan Allah.
Di dalam ruang utama masjid ini terdapat mimbar khotbah model timur tengah yang dipengaruhi gaya India yang berada di sebelah kanan, sedangkan di sebelah kiri mihrab terdapat bangunan semacam mimbar tanpa tempat duduk yang dulunya merupakan tempat shalat Bupati Magelang. Tahun pembuatannya diukir di salah satu sudut, 1797.
Masjid yang didominasi warna hijau ini merupakan masjid kebanggaan masyarakat Kota Magelang. Kemegahan bangunan masjid ini selaras dengan perjalanan sejarahnya yang cukup panjang. ***[191214]

Kepustakaan:
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/01/15/mgnqdt-masjid-agung-magelang-dominasi-arsitektur-jawa-1
Share:

Wisma Diponegoro 2 Magelang

Magelang merupakan salah satu kota yang ditetapkan sebagai kota garnizun pada masa Hindia Belanda selain Malang dan Cimahi. Sebagai kota garnizun, Magelang memiliki banyak bangunan yang berhubungan dengan keberadaan militer pada waktu itu. Tidak hanya berupa barak saja namun juga fasilitas pendukung lainnya. Salah satunya adalah Wisma Diponegoro 2.
Wisma Diponegoro 2 terletak di Jalan Ahmad Yani No. 6 Kampung Poncol, Kelurahan Gelangan, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi wisma ini berada tidak jauh dari kompleks RINDAM IV Diponegoro.


Dulu, Wisma Diponegoro 2 ini merupakan rumah dinas yang diperuntukkan bagi pejabat militer Hindia Belanda di Magelang, yang dibangun pada tahun 1920. Dalam sejumlah literatur lawas, menyebutkan bahwa Dr. Johan Woutar Bijleveld bersama keluarga pernah tinggal di rumah pejabat ini (het huis van de familie J.W. Bijleveld). J.W. Bijleveld adalah seorang kolonel yang bertugas di bagian pelayanan medis militer, dan pernah bertugas di Militair Hospitaal Magelang (kini bernama Rumah Sakit Tentara dr. Soedjono). Istrinya bernama Reina Hendrika Wilhelmina Helena Visser, dan berprofesi sebagai dokter gigi.


Rumah dinas ini memiliki luas bangunan 450 m² di atas lahan seluas 1.200 m². Dengan gaya arsitektur Indische Empire ini, bangunan ini terlihat kokoh dan mempesona. Arsitektur Indische Empire adalah gaya arsitektur yang berkembang pada abad ke 19 di Hindia Belanda. Gaya arsitektur tersebut dipopulerkan oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) yang diadopsi dari gaya Empire di Perancis yang kemudian disesuaikan dengan iklim dan gaya hidup di Hindia Belanda. Kekhasan gaya arsitektur ini bisa dilihat dari denahnya yang berbentuk simetri penuh. Di tengah terdapat apa yang disebut sebagai “Central Room” yang terdiri dari kamar tidur utama dan kamar tidur lainnya. Central Room tersebut berhubungan langsung dengan teras depan dan teras belakang (Voor Galerij dan Achter Galerij). Teras tersebut biasanya sangat luas dan diujungnya terdapat barisan kolom yang bergaya Yunani atau Romawi. Kamar mandi, gudang dan daerah layanan lainnya merupakan bagian yang terpisah dari bangunan utama dan letaknya ada di bagian belakang. Kadang-kadang di samping bangunan utama terdapat paviliun yang digunakan sebagai kamar tidur tamu. Kalau rumah tersebut berskala besar biasanya terletak pada sebidang tanah yang luas dengan kebun di depan, samping dan belakang. Gaya arsitektur Indische Empire, atau yang dikenal juga dengan The Dutch Colonial ini mulai menghilang pada awal abad ke 20 di Hindia Belanda.
Seiring perjalanan sang waktu, rumah dinas masa Hindia Belanda ini pernah menjadi guest house. Kemudian dilakukan pemugaran, dan  difungsikan menjadi Wisma Diponegoro 2 yang diresmikan pada hari Sabtu, 4 April 1998 oleh Panglima Komando Daerah Militer IV/Diponegoro, Mayor Jenderal Mardiyanto. Sehingga, sekarang ini tidak hanya untuk menginap bagi tamu-tamu militer tapi juga bisa digunakan untuk wedding party bagi masyarakat umum dengan menawarkan nuansa kolonial yang memorable. *** [201215]

Kepustakaan:
Handinoto, 2008. Daendels dan Perkembangan Arsitektur di Hindia Belanda Abad 19, dalam Journal DIMENSI Vol. 36 No. 1 Juli 2008
http://media-kitlv.nl/image/7efbbc1a-793b-4ba7-b230-e47da3177af9
Share:

GKJ Magelang

Kawasan Bayeman merupakan kawasan permukiman tua yang berada di Kota Magelang. Sisa-sisa bangunan kuno bercorak Indis banyak menghiasi kawasan Bayeman yang dibelah oleh Jalan Tentara Pelajar (dulu namanya Bajemanweg). Salah satu bangunan kuno nan menawan yang masih bisa disaksikan hingga kini adalah Gereja Kristen Jawa (GKJ) Magelang.
Gereja ini terletak di Jalan Tentara Pelajar No. 106 Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang. Lokasi gereja ini berada di sebelah selatan Gedung Serba Guna Graha Adiguna atau berada di sebelah utara SDN Kemirirejo 1.
Berdasarkan catatan sejarah yang ada, keberadaan GKJ ini tidak terlepas dengan zending yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda kala itu. Misionaris Protestan juga disebut sebagai zendeling (dari bahasa Belanda yang artinya pengutusan). Zending ditujukan untuk penyebaran agama Kristen melalui kabar keselamatan yang diberikan Allah kepada seluruh dunia.
Adalah Ds. A Markelijn yang semula menjadi Pendeta di Jemaat Schoodijke Amsterdam (Belanda) yang pada 25 Mei 1911 ditetapkan menjadi Pendeta Utusan (missionair predikant), dan kemudian dikirim ke tanah Jawa untuk melakukan pekabaran Injil. Pada bulan Februari 1912, Markelijn tiba di Yogyakarta. Ia tinggal selama beberapa saat sambil mempersiapkan diri untuk bertugas di Magelang dan sekitarnya dalam wilayah Kedu.


Markelijn tiba di Magelang pada 3 September 1912 dan bermukim di Kampung Jambon untuk segera melaksanakan tugas. Dari tempat itulah dimulai pelaksanaan kebaktian meski pada saat itu belum memiliki gedung gereja untuk kebaktian. Di rumah Markelijn di Kampung Jambon dilaksanakan kebaktian yang diikuti sekitar 7 sampai 10 orang jemaat. Pada tahun 1913 dengan semakin banyaknya jemaat yang kerap melakukan kebaktian maka di sebelah rumah Markelijn dibangun ruangan memanjang yang terbuat dari bambu, dan difungsikan sebagai tempat ibadah setiap hari Minggu, kursus bahasa Belanda maupun pertemuan-pertemuan lainnya. Di dalam misinya, Markelijn senantiasa berupaya untuk mengenal lingkungan dan mengadakan pendekatan dengan semua pihak, termasuk Jemaat Kerasulan. Makin banyaknya orang-orang yang senang menerima berita keselamatan yang dibawakan oleh Markelijn dan adanya kursus bahasa Belanda maka hal ini semakin menumbuhkan keinginan untuk mendirikan sekolah Kristen sebagai salah satu sarana pekabaran Injil.
Pada 2 September 1913 dibuka Hollandsch Chineesche School (sekarang SMK Wiyasa), kemudian Hollandsch Javansche School met de Bijbel (sekarang SDN Cacaban 4), dan Christelijke Schakelschool (sekarang SD Kristen 1 Kemirikerep). Dengan dibukanya ketiga sekolah tersebut, perkembangan jemaat Kristen Jawa semakin maju sehingga ruangan memanjang yang pernah dibangun tersebut, sudah tidak menampung jemaat lagi.


Semula diupayakan meminjam gedung sekolah Hollandsch Javansche School met de Bijbel atau terkadang juga meminjam Hollandsch Chineesche School sebagai tempat untuk melakukan ibadah atau kebaktian. Seiring dengan didewasakan jemaat Tionghoa yang menjadi GKI Pajajaran, jemaat Jawa pun juga segera mendewasakan diri. Baru pada 7 Maret 1921, jemaat tersebut memiliki gereja setelah melewati masa-masa yang panjang dengan dua lantai. Lantai satu difungsikan sebagai kantor zending, dan lantai dua digunakan untuk tempat ibadah kebaktian. Secara resmi, gereja diperuntukkan untuk jemaat Belanda dan Jawa ini bernama Gereformeerde Kerk te Magelang.
Sepintas dilihat dari depan, gereja tampak tidak bertingkat. Hal ini disebabkan oleh kontur tanah yang lebih rendah dari jalan raya di bagian depannya, sehingga yang kelihatan adalah lantai duanya yang sejajar dengan jalan raya. Dulu, di samping kiri dan kanannya pada lantai satu terdapat tangga naik untuk menuju pintu masuk gereja yang ada di lantai dua. Namun, sekarang tinggal satu karena yang berada di sebelah utara gereja telah diongkar untuk pembangunan gedung serba guna Graha Addiguna.
Gereja yang memiliki luas bangunan sekitar 198 m² dengan tinggi 10 m ini, pernah mengalami kerusakan akibat gempa yang pernah melanda magelang pada tahun 1943. Menara yang ada di fasad gereja runtuh. Dalam perbaikan berikutnya, menara tersebut tidak dibangun lagi sehingga gereja ini tanpa menara. Bentuknya bisa dilihat seperti sekarang ini.
Karena dulu gereja ini dibangun untuk jemaat Jawa yang mendewasakan diri maka setelah orang-orang Belanda yang juga dulu campur dengan jemaat Jawa tersebut kembali ke negaranya lantaran Indonesia telah merdeka, gereja ini berubah nama menjadi GKJ Magelang. *** [201215]
Share:

Rumah Sakit Jiwa Prof. dr. Soeroyo

Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Prof. dr. Soeroyo merupakan Rumah Sakit Jiwa terbesar dan tertua di Jawa Tengah. RSJ ini menjadi Pusat Rujukan Nasional di bidang kesehatan jiwa dengan pelayanan unggulan Tumbuh Kembang Anak.
RSJ Prof. dr. Soeroyo terletak di Jalan Ahmad Yani No. 169 Kelurahan Kramat Utara, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi RSJ ini berjarak 4 Km dari pusat Kota Magelang ke arah utara, dan berada di tepi jalan raya yang menghubungkan Yogyakarta dengan Semarang.
Menurut sejarahnya, Rumah Sakit Jiwa ini dibangun pada tahun 1916. Ir. Scholtens membangun Rumah Sakit Jiwa ini membutuhkah waktu 7 tahun lamanya sambil meyakinkan Pemerintah Hindia Belanda akan keberadaan rumah sakit ini karena memang pada waktu pendirian rumah sakit ini tidak seperti biasanya, yaitu menunggu sampai seluruh bangunan selesai. Setiap bangsal yang selesai segera dihuni. Hal ini disebabkan karena datanngnya pasien yang terus-menerus dari berbagai daerah. Bahkan ada yang dikirim dari Rumah Sakit Jiwa Lawang dan Bogor (Krankzinnigengestich te Buitenzorg) yang keduanya sudah didirikan jauh sebelumnya, sehingga terasa sekali kurangnya ruangan bagi mereka. Menurut rencana, seluruh bangunan rumah sakit harus sudah selesai pertengahan tahun 1923. Untuk mencapai target tersebut, para pasien dikerahkan, seperti untuk menggali tanah dan mengangkat batu secara estafet dari Kali Progo. Dapat dikatakan, cara membangun rumah sakit ini seperti para transmigran yang harus membuka lahan dan sebagainya terlebih dahulu. Kala itu, yang diutamakan adalah pembangunan jalan dan bangsal.


Sumbangsih para pasien dalam pembangunan rumah sakit ini memang relatif cukup besar, namun dari segi medis mereka agak termarginalkan karena dengan cara pengerahan pasien seperti itu, terapi yang diterapkan hanya terapi kerja massal. Beberapa tahun kemudian, setelah pembangunan sudah dianggap selesai dan memadai, barulah diterapkan kerja individual. Tetapi jenis ini, waktu itu merupakan pertama kalinya diterapkan di Hindia Belanda oleh dr. J.C. Van Andel. Peresmian bangunan walaupun belum sepenuhnya selesai akhirnya dilaksanakan juga oleh direktur pertama rumah sakit tersebut, yaitu dr. Engelhard pada pertengahan tahun 1923, dan diberi nama Krankzinningengistcht te Magelang (Rumah Sakit Jiwa Magelang). Pasiennya waktu itu sudah lebih dari 1.400 orang dengan tenaga kerja yang terdiri orang-orang Belanda. Rumah sakit ini juga sempat dikunjungi oleh psikiater ternama Kraeplin.
Pada waktu itu, RSJ Magelang dikenal juga dengan sebutan Krankzinningengistcht Kramat. Dinamakan Kramat karena di daerah ini terdapat makam Kyai Ponggol yang dianggap keramat (angker).
Dipilihnya Magelang kala itu untuk lokasi rumah sakit ini didasarkan akan keindahan dan kesuburan daerah tersebut serta sejuk, yang dikelilingi gunung Merapi, Merbabu, Andong, dan Telomoyo di sebelah timur, Ungaran di sebelah utara, Sumbing, Sindoro serta Menoreh di sebelah barat dan bukit Tidar di sebelah selatan.
Sepanjang berdirinya, rumah sakit ini cukup banyak mengalami pasang surut dalam perjalanannya.
Ketika Jepang menduduki Magelang, semua tenaga kerja rumah sakit ini yang orang Belanda termasuk direkturnya dr. P.J. Stigter, ditahan oleh tentara Jepang sehingga terjadi kekosongan yang melumpuhkan pengelolaan rumah sakit tersebut. Sebelum diangkat dr. Soeroyo oleh Jepang menjadi pimpinan rumah sakit tersebut.


Rumah sakit ini juga pernah menjadi Pos PMI Cabang Magelang Utara pada saat terjadi pendudukan kembali oleh Belanda (NICA), dan rumah direktur digunakan sebagai markas TKR pada waktu pertempuran di Secang maupun Ambarawa. Kemudian, sempat juga menjadi asrama ALRI maupun tempat penampungan keluarga Kereta Api. Selain itu, rumah sakit ini juga pernah dijadikan Kantor  Hygiene.
Lalu, sejak ada Repelita, keadaan rumah sakit ini mulai berangsur-angsur membaik praktis di segala bidang setelah sekian lama dalam ketelantaran pengelolaan. Pada tahun 1978, rumah sakit ini ditetapkan oleh Pemerintah sebagai RSJ Pusat Magelang kelas A dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan RI No. 135/Menkes/SK/IV/1978. Sebagai Unit Pelaksana Teknis dari Departemen Kesehatan (sekarang Kementerian Kesehatan), RSJ Magelang ini mempunyai tugas menyelenggarakan dan melaksanakan pelayanan kesehatan, pencegahan gangguan jiwa, pemulihan dan rehabilitasi di bidang kejiwaan.
Pada tanggal 6 April 2001, secara resmi nama Rumah Sakit Jiwa Magelang berubah menjadi Rumah Sakit  Jiwa Prof. dr. Soeroyo berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan No. 1684/Menkes-Kessos/SK/XI/2000. Nama baru ini diambil untuk menghormati dr. Soeroyo selaku direktur bangsa Indonesia pertama RSJ Magelang.
RSJ Prof. dr. Soeroyo yang memiliki lahan seluas 409.450 m² dengan luas bangunan 27.724 m² ini merupakan bangunan kuno peninggalan kolonial Belanda yang masih berdiri kokoh dan masih terawat dengan baik. Bangunan RSJ ini terdiri dari beberapa bangunan, di antaranya bangunan administrasi, rawat inap, rawat jalan, instalasi, dan ruang lainnya serta lapangan sepak bola. Bangunan lawas yang terdapat di kompleks RSJ Prof. dr. Soeroyo ini, umumnya memiliki jendela-jendela tinggi berbentuk persegi panjang.
RSJ ini tercatat dalam Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 7 Tahun 2013 tentang Cagar Budaya di Kota Magelang sebagai bangunan cagar budaya (BCB). Pada halaman 38 tertulis kawasan Rumah Sakit Jiwa sebagai kawasan rumah sakit dengan dominasi bangunan bercorak Indis dan konteks pengembangannya berbasis lingkungan alam. *** [201214]

Kepustakaan:
Ani Rahmayanti, 2008, Bimbingan Rohani Terhadap Kondisi Mental Pasien (Studi Kasus di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang), dalam Skripsi di Jurusan Tasawuf Psikoterapi, Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo, Semarang
http://rsjsoerojo.co.id/index.php?action=generic_content.main&id_gc=187
Share:

Museum BPK

Museum Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia merupakan museum umum milik Pemerintah Pusat. Sebagai museum umum, museum ini dikelola oleh BPK Perwakilan Provinsi Jawa Tengah pada unit kerja Sub Bagian Umum. Sementara itu, bangunan yang digunakan sebagai museum berstatus pinjam pakai. Artinya, BPK hanya meminjam dan memakai salah satu gedung dan sebagian ruangannya untuk museum. Aset tanah dan gedungnya tetap milik hak pakai pemerintah daerah Tingkat I Provinsi Jawa Tengah melalui Kantor Badan Koordinasi Wilayah II (Bakorwil) II Kedu dan Surakarta.
Museum ini terletak di Jalan Diponegoro No. 1 Kelurahan Magelang, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi museum ini berada di dalam kompleks Kantor Bakorwil II Kedu dan Surakarta atau eks Karesidenan Kedu.
Ide awal untuk membangun museum BPK ini sebetulnya sudah ada sejak kepemimpinan BPK dipegang oleh M. Yusuf, namun baru terealisasi pada masa kepemimpinan J.B. Sumarlin. Dipilihnya Kota Magelang untuk lokasi museum ini karena kota ini mempunyai nilai sejarah bagi lahirnya BPK. Seperti diketahui bahwa setelah pemerintah menerbitkan Penetapan Pemerintah 1946 No. 11/OEM tertanggal 28 Desember 1946, maka BPK secara resmi didirikan pada Januari 1947.
Pada hari yang sama, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pengangkatan R. Soerasno sebagai Ketua BPK, Dr. Aboetari sebagai Anggota, dan Djunaedi sebagai Sekretaris BPK. Ketiganya mulai bekerja per 1 Januari 1947 bersamaan dengan pendirian BPK tersebut.


Awalnya, Kantor BPK menempati bekas Gedung ANIEM (Algemeene Nederlandsch-Indische Electriciteits Maatschappij). Gedung ANIEM adalah bekas kantor perusahaan listrik umum Hindia Belanda, yang sekarang telah berubah menjadi sekolah yang dikelola oleh Yayasan Pendidikan Kristen Pantekosta di Jalan Tentara Pelajar No. 64 Kelurahan Cacaban, Kecamatan Magelang Tengah.
Tak berselang lama di gedung tersebut, Kantor BPK dipindahkan ke Gedung Bea Cukai Magelang yang berada di Jalan Diponegoro No. 36, yang masih satu kompleks dengan eks Karesidenan Kedu. Kemudian setelah Agresi Militer I Belanda, Kantor BPK kembali berpindah tempat. Kantor yang kemudian menjadi Kantor BPK berada di bangunan sayap sebelah kiri di Gedung Karesidenan Kedu. Pada saat itu, BPK hanya menempati dua ruangan.
Tak lama dari sana, Kantor BPK kembali dipindahkan ke Gedung Klooster yang terletak di Jalan Ahmad Yani No. 20 Kelurahan Panjang, Kecamatan Magelang Tengah. Klooster dalam bahasa Indonesia berarti biara, atau tempat para suster misionaris belajar dan bertempat tinggal. Gedung tersebut sekarang pengelolaannya diserahkan kepada Yayasan Pendidikan Tarakanita Magelang.
BPK berkantor di Magelang tak lama. Pada September 1947, BPK membuka kantor cabangnya di Yogyakarta. Tak berselang lama, Pemerintah pada 6 November 1947 menerbitkan Penetapan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1948 tentang Kedudukan BPK. Berdasarkan Penentapan Pemerintah tersebut, kedudukan BPK Pusat dipindahkan ke Yogyakarta. Mengingat, pada saat itu, seluruh kementerian dan kantor-kantor pemerintahan penting lainnya telah berada di Yogyakarta. Sekarang, BPK Pusat menetap di Jakarta.


Dalam Nota Kesepakatan Bersama antara Pemda Tingkat I Provinsi Jawa Tengah dengan BPK pada Jumat, 4 April 1997, sekitar delapan bulan sebelum peresmian museum BPK ini di Magelang, pihak Pemda Tingkat I Provinsi Jawa Tengah selaku pihak yang punya hak atas gedung eks Karesidenan Kedu, bersedia meminjamkan kepada BPK sebagian gedung dan ruangannya, yang dulu pernah menjadi Kantor BPK sebagai Museum BPK. Padahal, gedung dan ruangan tersebut saat itu sudah digunakan sebagai Gedung Dharma Wanita Sub Unit Kantor Pembantu Gubernur Wilayah Kedu di Magelang.
Akhirnya, Museum BPK berhasil diwujudkan, dan diresmikan pada 4 Desember 1997 oleh Prof. J.B. Sumarlin selaku Ketua BPK pada saat itu. Semula hanya dua ruangan yang digunakan, namun pada waktu itu BPK mengajukan permohonan lagi utnuk penambahan dan perluasan ruangan museum. Dua ruangan tambahan sebelumnya ditempati Kantor Kelistrikan Desa Cabang Kedu. Sehingga akhirnya, dua ruangan tersebut dikosongkan dan dialihkan penggunaannya untuk penambahan dan perluasan Museum BPK.
Dengan demikian, sekarang ini Museum BPK menempati ruangan yang memiliki panjang 29,95 meter dan lebar 19,5 meter. Ruangan-ruangan tersebut berada di bangunan sayap kiri kompleks Karesidenan Kedu. Jika dilihat dari lokasi alun-alun Kota Magelang, posisinya berada di sebelah kanan kompleks eks Karesidenan Kedu. Tepat setelah memasuki gapura Bakorwil II Kedu dan Surakarta.
Museum BPK, seperti museum-museum kebanyakan, memiliki beberapa ruang pameran untuk memajang koleksi-koleksi yang dimiliki.

Ruang Pamer 1
Ruang Pamer 1 berada di bagian depan, memiliki ukuran panjang 16, 3 meter dan lebar 6 meter. Di ruang ini ditampilkan koleksi foto dan lukisan batik. Koleksi foto yang dipasang pada ruang ini, mengenai sejarah perjalanan BPK sendiri, pada waktu BPK berkantor di magelang, Yogyakarta, Bogor sampai berkantor di Jakarta.
Lukisan batik yang dipasang lumayang besar. Lukisan batik ini dibuat oleh Koeswadji (almarhum) pada tahun 1980 atas ide Ketua BPK periode 1973-1983, Umar Wirahadikusumah. Lukisan tersebut mempunyai makn filosofi yang terjabarkan dalam segmen-segmen yang tersirat dalam lukisan tersebut. Lukisan tersebut menggambarkan filosofi Pelaksanaan Tugas Pokok BPK dan mengilhami motto BPK: Tri Dharma Arthasantosha.

Ruang Pamer 2
Ruang pamer 2 adalah ruang pamer berikutnya setelah ruang pamer 1. Ruang ini berukuruan 8 x 6,05 meter. Ruang ini menampilkan meja dan kursi Ketua BPK pada waktu berkantor di Karesidenan Kedu tahun 1947, mesin ketik yang terletak di atas meja, pesawat telepon dan kamera. Jumlah semuanya ada 14 item.
Baik meja, kursi, almari, mesin ketik dan pesawat telepon diletakkan seperti ketika BPK berkantor di ruangan ini.

Ruang Pamer 3
Ruang pamer 3 adalah ruang pamer berikutnya setelah ruang pamer 2. Ruang ini berukuran 6,05 x 4,35meter. Di ruang ini ditampilkan patung Ketua BPK pertama R. Soerasno, tanda pangkat, dan bendera-bendera daerah (pattaka).
Pattaka yang ada di museum ini merupakan simbol yang menunjukkan luas wilayah pemeriksaan BPK.

Ruang Audio Visual
Dalam ruang audio visual , para pengunjung akan disuguhi tontonan sejarah BPK dan selayang pandang perjalanan BPK secara audio visual.
Audio visual merupakan penjelasan koleksi-koleksi di museum ini. Audio visual digunakan agar masyarakat mengetahui BPK secara utuh. Tidak hanya barang-barang koleksi yang ada di sini saja tetapi juga BPK itu apa, tugasnya seperti apa, dan lain-lain.

Kepustakaan:
Buku Museum BPK Bercerita yang diperbanyak oleh BPK Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Jawa Tengah, 2011
Share:

GPIB Magelang Alun-Alun

Kota Magelang dikenal memiliki bangunan-bangunan peninggalan masa kolonial Belanda yang beberapa di antaranya masih terawat dengan baik. Salah satunya adalah GPIB Magelang Alun-Alun (Istilah ini hanya untuk membedakan dengan GPIB Magelang yang berada di Kebon Polo).
GPIB ini terletak di Jalan Alun-alun Utara No. 4 Kelurahan Magelang, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi gereja ini berada di sebelah utara Alun-alun Kota Magelang, atau berdekatan dengan Menara Air Magelang.
Dulu, ketika alun-alun ini dibangun oleh Adipati Danuningrat I atas restu Sir Thomas Stamford Raflles, Gubernur Jenderal Hindia Belanda masa kekuasaan Inggris, merupakan jantung Kota Magelang dan menjelma menjadi medan simbol yang diperebutkan para penguasa. Setelah kembali ke pangkuan Kerajaan Belanda lagi dari hasil Traktat London, kawasan alun-alun berkembang. Pemerintah Hindia Belanda pun memilih  kawasan tersebut untuk mendirikan tempat ibadah bagi penganut agama Kristen. Tempat ibadah tersebut sengaja dibangun guna memenuhi kebutuhan rohani komunitas Eropa yang mukim di sekitar kawasan tersebut. Tempat ibadah tersebut dikenal dengan nama De Protestantse Kerk te Magelang.
Menurut info dari salah seorang staf Kantor GPIB, gereja ini dibangun pada zaman pemerintahan Hindia Belanda pada 1817. Angka tahun tersebut, didapat dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah yang telah menelitinya, dan telah dipasang di halaman depan gereja dengan tulisan “Magelang Heritage 1817.”


Gereja yang memiliki bangunan seluas 291 m² di atas lahan seluas 2.312 m² dengan tinggi bangunan sekitar 15 m² ini, memiliki langgam arsitektur yang khas , yaitu gaya asitektur Gothic. Beberapa ciri khas yang amat terlihat dari bangunan dengan genre Gothic adalah proporsi tinggi dan lebar bangunan. Bangunan Gothic memiliki tinggi bangunan yang tidak proposional dibanding dengan luas tapak bangunannya, ditandai dengan adanya lebar bangunan yang langsing dengan menara yang tinggi. Selain itu, bagian dalam bangunan gereja juga terdapat ruangan umat di tengah (nave) dengan jumlah jendela yang begitu banyak yang didominasi kaca patri berlukis, sehingga cahaya sinar matahari bisa menerangi ruangan tersebut di kala siang.
Ciri lain yang bisa dilihat dalam arsitektur Gothic ini adalah pada pintu masuk utama dan jendelanya berbentuk melengkung. Meski bentuk lengkung ini telah ada pada arsitektur sebelumnya namun pada arsitektur Gothic ini bentuknya cenderung lebih meruncing.
Sejak bangunan bergaya arsitektur Gothic ini dibangun hingga kini masih berfungsi sebagai Gereja Protestan, hanya terdapat pergeseran nama saja. Sekarang gereja Protestan ini dikenal sebagai Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB). GPIB merupakan salah satu gereja yang merangkum warga jemaatnya dalam kemajemukan etnis dan budaya dari seluruh penjuru Nusantara yang sedang berdomisili di wilayah Indonesia Bagian Barat. GPIB adalah bagian dari GPI (Gereja Protestan Indonesia) yang pada zaman Hindia Belanda bernama De Protestantse Kerk in Westelijk Indonesië, atau ada juga yang menyebut dengan De Indische Kerk. GPIB didirikan pada 31 Oktober 1948 berdasarkan Tata Gereja dan Peraturan Gereja yang dipersembahkan oleh proto Sinode kepada Badan Pekerja Am (Algemene Moderamen) Gereja Protestan Indonesia.
GPIB Magelang memang sangat cantik. Sebuah seni arsitektur yang telah dilabeli sebagai Magelang Heritage ini telah menjadi salah satu ikon tersendiri bagi Kota Magelang. *** [171214]
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami