The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Bangunan Kuno di Bogor. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bangunan Kuno di Bogor. Tampilkan semua postingan

Wisma Tamu Nusa Indah

Di dalam Kebun Raya Bogor terdapat fasilitas untuk penginapan maupun sebagai tempat penyelenggaran kegiatan keluarga (family event), yaitu Wisma Tamu Pinus (Pinus Guest House) yang terletak di samping Pintu 3 (Gate 3) yang berada di sebelah timur dari Kebun Raya ini, dan Wisma Tamu Nusa Indah (Nusa Indah Guest House) yang terletak di samping Laboratorium Treub atau Museum Zoologi.
Secara administratif, lokasi Wisma Tamu Nusa Indah ini terletak di Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat.


Dulu, bangunan bergaya kolonial ini merupakan rumah peristirahatan atau rumah dinasnya para petinggi Kebun Raya. Namun karena yang menempati rumah tersebut cukup lama adalah Prof. Dr. Melchior Treub, seorang ahli botani berkebangsaan Belanda yang juga menjadi Direktur Kebun Raya Bogor kala itu hampir 30 tahun maka rumah peristirahatan tersebut dikenal juga sebagai rumah peristirahatan Treub.
Rumah ini berada di lingkungan yang asri karena dikelilingi oleh taman yang menjadi bagian dari Kebun Raya, dan tidak berpagar. Rumah ini memiliki jendela yang lumayan besar di mana di atasnya diberi ornamen berupa lengkungan.
Rumah yang berwarna putih nan megah ini memiliki tujuh kamar berukuran besar di mana yang empat kamar dihubungkan dengan pintu penghubung (connecting door).
Kini, bangunan rumah tersebut difungsikan sebagai salah satu wisma Kebun Raya Bogor dengan nama Wisma Tamu Nusa Indah (Nusa Indah Guest House). Wisma tamu ini dikelola oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) selaku pengelola Kebun Raya Bogor juga.
Menilik dari sisi historis bangunan ini, semestinya bangunan ini bisa diklasifikasikan sebagai bangunan cagar budaya (BCB) yang harus dilindungi dan dilestarikan. *** [260514]
Share:

Monumen dan Museum PETA

Kesepakatan para founding father, yaitu Soekarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantoro, Ki Ageng Suryomataram, Gatot Mangkuprojo, K.H. Mas Mansyur, K.H. Agus Salim, agar bangsa Indonesia mendapat latihan kemiliteran merupakan ide pembentukan  tentara pembela tanah air (PETA). Secara de facto dan de jure pembentukan PETA berdasarkan maklumat Osamu Seirei No. 44 tanggal 3 Oktober 1943 yang diumumkan Panglima Tentara ke-16 Jepang Letnan Jenderal (Letjen) Kumakichi Harada untuk membantu tentara Jepang sebagai kekuatan cadangan.
Pelatihan tentara PETA dipusatkan di Boei Gyugun Resentai Bogor dengan materi taktik dan teknik tempur dari tingkat Daidancho (Danyon), Chudanco (Danki) dan Shodancho (Danton) dengan instruktur Jepang. Bila ditelisik sudah banyak peran yang dilakukan tentara PETA, dalam proses mempersiapkan, merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan RI. Hal ini dapat dilihat di mana pada 16 Agustus 1945, PETA mengamankan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok karena di Jakarta diisukan akan terjadi revolusi. Pada saat proklamasi kemerdekaan RI, PETA berperan mengamankan wilayah, sarana telepon, dan Chudancho Latief Hendraningrat dipercaya sebagai pengibar bendera Merah Putih. PETA juga berperan dalam mempertahankan kemerdekaan RI dan berbagai pertempuran seperti Palagan Ambarawa yang dipimpin Kolonel Sudirman, dibantu komandan lapangan (Letkol Gatot Subroto, Mayor A. Yani, Mayor Soeharto dan Mayor Sarwo Edhie Wibowo), Palagan Surabaya (Dr. Mustopo, Letkol Sungkono), Palagan Palembang (Bambang Utoyo, Makmun Murod, Ratu Alamsyah Prawiranegara), Palagan Bali (I Gusti Ngurah Rai). Adapun tentara PETA yang berhasil menjadi tokoh TNI AD dan pemimpin bangsa, antara lain Jenderal Sudirman, Jenderal A. Yani, Jenderal Soeharto, Jenderal Umar Wirahadikusumah dan Letjen Sarwo Edhie Wibowo.
Untuk menghormati dan mengabdikan nilai-nilai kepahlawanan, patriotism, nasionalisme, militansi perjuangan PETA, atas prakarsa Yayasan (YAPETA) PETA Bogor dan mantan PETA, situs yang ada pada masa kolonial Belanda digunakan sebagai Markas Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL), pada masa pendudukan Jepang digunakan sebagai Boei Gyugun Kanbu Kyo Iku Tai (Markas Komando Pusat Pendidikan Perwira Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa) dan pada tanggal 15 April 1950 diserahkan oleh KNIL kepada Indonesia dan difungsikan sebagai Sekolah Genie yang kemudian dirancang dan direnovasi sebagai Monumen dan Museum PETA.
Peletakan batu pertama dilakukan oleh mantan PETA Jenderal TNI (Purn) Umar Wirahadikusuma yang pernah menjabat Wakil Presiden RI tanggal 14 November 1993. Selanjutnya Monumen dan Museum PETA diresmikan oleh Presiden RI ke-2 Jenderal Soeharto tanggal 18 Desember 1995 dan dibuka untuk umum.
Pada tanggal 9 Agustus 2010 dilaksanakan serah terima Monumen dan Museum PETA dari YAPETA Bogor kepada Pemerintah, dengan penandatanganan Berita Acara Serah Terima Monumen dan Museum PETA oleh Ketua YAPETA Bogor, H. Tinton Soeprapto, diserahkan kepada Menteri Pertahanan (Menhan) RI cq Dirjen Kuanthan Kemhan Mayjen TNI (Purn) Suryadi, M.Sc dan dari Dirjen Kuanthan Kemhan dierahkan kepada Kasad cq Kadisjarahad Brigjen TNI Marsono. Dilanjutkan dengan peresmian patung Shodancho Supriyadi dan penandatangan prasasti oleh Menhan Prof. Dr. Purnomo Yusgiantoro.


Monumen dan Museum PETA terletak di Jalan Jenderal Sudirman No. 35 Kelurahan Pabaton, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi Monumen dan Museum PETA ini berada di sebelah utara Markas Kodim 0606 Bogor.
Monumen dan Museum PETA ini menempati bangunan peninggalan Belanda. Bangunan ini dibangun bersamaan dengan pembangunan Istana Bogor pada tahun 1745. Dulu bangunan ini merupakan gedung yang dipergunakan pengawal Gubernur Jenderal dan pegawai yang lainnya.
Kemudian penggunaan bangunan ini silih berganti beralih penggunaannya seiring perkembangan zaman. Bermula dari tangsi militer bagi pengawalan Gubernur Jenderal menjadi zeni Belanda atau militair kampement, lalu berganti menjadi tangsi atau pusat pelatihan tentara PETA dan kini menjadi zeni Indonesia.
Dari keseluruhan lahan yang digunakan oleh Zeni AD ini seluas 13,7 hektar, hanya 2,150 m² lahan yang dipakai untuk Monumen dan Museum PETA di mana luas bangunan untuk museumnya sendiri seluas 1.733,59 m².
Di halaman depan museum terdapat patung Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Shodancho Supriyadi, batu prasasti serta 2 unit tank AMX-13. Lalu, memasuki pintu gerbang yang cukup besar terdapat lorong sebelum memasuki Museum PETA. Pada lorong yang dikenal dengan sebutan lorong among tamu, dinding kanan terdapat relief pembentukan PETA, tokoh-tokoh PETA dan Daidan PETA Blitar; Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945; mantan PETA yang menjadi tokoh nasional, sedangkan pada dinding kiri lorong terdapat relief perjuangan dan pemberontakan PETA di Blitar, Palagan Ambarawa, dan PETA sebagai salah satu cikal bakal TNI.
Ada 2 bangunan cagar budaya (BCB) yang difungsikan sebagai Museum PETA, Di bagian sayap kanan gedung utama museum merupakan Ruang Supriyadi, dan bagian sayap kiri gedung utama museum merupakan Ruang Sudirman.
Pada Ruang Supriyadi, koleksi yang dipamerkan sebagai bukti sejarah perjuangan para tokoh bangsa Indonesia dan pendiri tentara PETA berupa diorama, vitrin, foto-foto maupun maket Markas KNIL, sedangkan pada Ruang Sudirman, koleksi yang dipamerkan berupa diorama sejarah perjalanan cikal bakal TNI, vitrin, foto-foto mantan PETA dan sebagainya.
Usai melihat pajangan koleksi yang dipamerkan di dalam museum, pengunjung bisa menuju ke halaman belakang. Di sana terdapat Monumen PETA yang berbentuk dinding oval di atas selasar bundar. Pada dinding dalam memuat organisasi dan nama Perwira PETA yang dididik di Boei Gyugun Renseitai Bogor dan dinding luar berupa relief sejarah perjuangan PETA. *** [140514]

Kepustakaan:
Brosur Monumen dan Museum PETA yang dikeluarkan oleh Dinas Sejarah Aangkatan Darat
Share:

Gedung Badan Pertanahan Nasional Bogor

Bogor sebagai kota kolonial berawal ketika Gubernur Jenderal Gustaaf van Imhoff pada tahun 1743-1750 mendirikan tempat peristirahatan di Buitenzorg. Pemilihan lokasi dibangunnya Istana Bogor dikarenakan basis ekologisnya yang sangat kondusif, pemandangan alam yang indah, tanah yang subur, iklam yang sejuk, serta letak geografis yang strategis. Selain itu, setelah Istana Bogor dibangun, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels dibuatlah Jalan Raya Pos (Groote Postweg) yang melintasi Istana Bogor dan menghubungkan Batavia dengan Buitenzorg.
Kota Buitenzorg (nama lama Kota Bogor) memiliki makna sebagai kota istirahat sehingga hal ini banyak mempengaruhi berdirinya bangunan kolonial yang digunakan untuk pemukiman orang-orang Belanda yang salah satunya adalah Gedung Badan Pertanahan Nasional Bogor.


Gedung Badan Pertanahan Nasional (BPN) ini terletak di Jalan Salak No. 2 Kelurahan Sempur, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi bangunan gedung ini berada di depan Istana Bogor agak ke timur.
Awalnya, gedung BPN ini merupakan bangunan untuk tempat tinggal yang dihuni oleh keluarga Belanda. Diperkirakan keluarga tersebut juga merupakan keluarga yang mempunyai kedudukan di kalangan masyarakat Belanda yang tinggal di Batavia. Bangunan ini didirikan pada tahun 1938, dan dikenal dengan sebutan Gedung Blenong.
Gedung ini memiliki luas bangunan 807,50 m² di atas lahan seluas 1.744,20 m². Bagian atapnya memiliki kubah yang terbuat dari beton, sedangkan bagian depan terdapat tiang penyangga atap yang membentuk serambi.
Gedung Blenong, yang semula merupakan bangunan pemukiman orang Belanda, sekarang ini status kepemilikannya dipegang oleh Negara, dalam hal ini adalah BPN. Sehingga, di halaman depan terpampang Badan Pertanahan Nasional RI sebagai penanda bahwa bangunan gedung ini kini dipergunakan sebagai Kantor BPN Bogor. *** [260514]
Share:

SMA YZA 2 Bogor

Melintasi kawasan Kebon Kelapa menuju ke arah Semplak, terdapat beberapa bangunan kuno yang ada di sepanjang jalan. Salah satunya adalah bangunan sekolah milik Yayasan Zelani Al-Mansyur (YZA). Di dalam kompleks sekolah ini sebenarnya terdapat banyak sekolahan yang dikelola oleh YZA, seperti SMP YZA 2 Bogor, SMA YZA 2 Bogor, SMK YZA 3 Bogor, dan SMK YZA 4 Bogor. Namun, masyarakat sekitar lazim mengenalnya sebagai Gedung SMA YZA 2 Bogor.
Gedung SMA YZA 2 terletak di Jalan DR. Semeru No. 59 Kelurahan Kebon Kelapa, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi bangunan sekolahan ini tidak begitu jauh dengan Pusat Grosir Bogor (PGM).


Awalnya, bangunan gedung sekolah ini merupakan rumah tinggal yang dikelilingi kompleks asrama atau tangsi tentara dahulu digunakan sebagai tempat pemantauan daerah kompleks tersebut melalui menaranya yang menyatu dengan rumah tersebut. Sesuai dengan penanda yang ada di atas genteng, bangunan gedung SMA YZA 2 ini diperkirakan dibangun pada tahun 1906.
Bangunan bercorak kolonial ini memilik luas bangunan 607 m² di atas lahan seluas 3.310 m², dengan status kepemilikan ada pada YZA.
Gedung SMA YZA 2 Bogor ini merupakan bangunan yang telah ditetapkan sebagai salah satu bangunan cagar budaya (BCB) yang ada di Kota Bogor. Oleh karena itu, dilindungi dengan UU sehingga bangunan sekolah ini harus tetap dijaga keaslian dan tetap dilestarikan. *** [190514]
Share:

Hotel Pasar Baroe

Hotel Pasar Baroe merupakan salah satu hotel tua yang ada di Kota Bogor. Umurnya setara dengan Hotel Salak The Heritage yang cukup terkenal. Hotel Pasar Baroe terletak di Jalan Klenteng No. 88 RT.02 RW.07 Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi bangunan hotel ini berada di sebelah selatan rumah luitenant Lie Beng Hok, atau tepat berada di sebelah timur tempat sampah Pasar Bogor.
Sekarang bangunan hotel ini kosong. Yang menempati hanyalah orang-orang yang mengais rezeki di pasar tersebut, seperti pedagang kecil di pasar maupun buruh. Melihat sepintas bangunan ini terlihat tidak terawat dan terkesan dibiarkan saja oleh pemiliknya. Bahkan, sekarang telah terpampang sebuah spanduk warna kuning dan merah yang bertuliskan “DIJUAL”. Spanduk tersebut berasal dari Top Agent Properti.


Siapa sangka bahwa bangunan yang mau dijual ini, dulunya adalah bangunan Hotel Pasar Baroe yang lumayan terkenal di Kota Bogor pada waktu itu. Hotel Pasar Baroe ini dibangun bersamaan dengan Hotel Belavue dan Hotel Salak pada tahun 1873 oleh seorang Tionghoa bernama Tan Kwan Hong.
Hotel Pasar Baroe memiliki arsitektur perpaduan antara gaya Eropa dan Tiongkok yang bercorak arsitektur Indis, berdiri di atas lahan seluas 1,2 hektar serta berlantai dua. Dulu, hotel ini menjadi primadona bagi para pelancong yang mayoritas terdiri dari warga Tionghoa, Arab dan bumiputera, karena Hotel Salak dan Hotel Belavue ketika itu tergolong sangat mewah sehingga hanya dapat dinikmati oleh warga Belanda dan Eropa lainnya.
Hotel Pasar Baroe pada waktu itu terletak di kawasan pertemuan antara Klentengweg (Jl. Klenteng) dan Pasarweg (Jl. Pasar). Sesudah masa kemerdekaan, hotel ini kemudian dihuni oleh sejumlah keluarga dari Angkatan Udara RI (AURI) hingga berakhirnya peristiwa pemberontakan PKI pada tahun 1966.


Konon, Hotel Pasar Baroe ini sudah dua kali berpindah tangan dari pemilik pertamanya. Awalnya hotel ini milik Tan Kwan Hong. Kemudian berpindah tangan dari keluarga Tan Kwan Hong yang sekarang tinggal di Jalan Perintis Kemerdekaan (Jl. Merdeka), hotel ini dijual kepada keluarga Lim dan Lie. Mereka adalah Lim Siang Yang, Lim Siang Yin, Lie Bun Kian dan Lie Bun Kwat. Ketiga orang yang disebut terakhir sudah meninggal dunia sehingga saat ini, Hotel Pasar Baroe diurus oleh Lim Siang Yang dan anaknya.
Letak hotel ini memang tersembunyi di belakang Plaza Bogor, namun keberadaannya tidak bisa diabaikan begitu saja. Salah seorang pendiri Syarikat Islam (SI), Tirto Adhi Soerjo, pernah menjalani kegiatan politiknya di Bogor dan menginap di Hotel Pasar Baroe. Tidak hanya itu saja, ketika penulis berkunjung ke bekas Hotel Pasar Baroe ini, diberi tahu oleh salah seorang pedagang yang menitipkan barang-barangnya di bangunan hotel itu, bahwa di depan hotel ini terdapat sebuah prasasti. Lalu, penulis dibantu oleh orang tersebut membersihkan prasasti tersebut dengan disiram air lalu penulis gosok dengan sabut kelapa agar tulisan tersebut bisa dibaca:

Hier Rust
Jacoba Jonker
Innig Celiefde Echtgenoote
Van
G.G. Kolff. C.Lz
Geboren te Pondok Gedeh den 25 Mei 1841
Overleden te Buitenzorg den 2 Mei 1888
Rust in Vreden Mijn Schat
En
Antje Kolff
Geboren Jon Jonker
Geboren 24 Juli 1843
Overleden 25 Juni 1911

Prasasti ini sepertinya mirip batu nisan pada umumnya yang ditemui di kerkhof (pemakaman orang Belanda) tapi kenapa bisa berada di depan Hotel Pasar Baroe. Kata orang yang menemani membersihkan nisan tersebut, dulunya nisan ini berada di belakang hotel terus dipindahkan di depan sini.
Pertanyaan kemudian menggelayuti penulis, apa hubungan batu bertuliskan bahasa Belanda tersebut berada di lahan hotel ini? Dan siapakah G.G. Kolff itu?
Seandainya bangunan bekas hotel ini jadi terbeli, dikhawatirkan informasi keterkaitan prasasti nisan dengan keberadaan hotel ini akan menguap begitu saja. Tidak hanya itu saja, Bogor akan merasa kehilangan salah satu sumber sejarahnya yang pernah berdiri megah. *** [240514]
Share:

Pasar Bogor

Semasa Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra berkuasa di Hindia Belanda dari 15 Mei 1761 hingga 28 Desember 1775, ia membuka kesempatan kepada siapa saja yang ingin menyewa tanah milk VOC untuk urusan ekonomi. Pada saat itu, sebenarnya Bogor dirancang sebagai tempat peristirahatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan para pegawai tinggi kolonial, sehingga masyarakat selain Eropa tidak diizinkan untuk tinggal maupun melakukan kegiatan di kawasan elit Eropa. Akan tetapi, melihat bisnis sewa tanah yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal sebelumnya laku keras dan mendatangkan pemasukan yang lumayan besar, Van der Parra kian bersemangat dan mengabulkan pendirian sebuah pasar di Buitenzorg (nama lawas Bogor).
Pasar Bogor tersebut terletak di Jalan Surya Kencana No. 3 Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi pasar ini berada di seberang Kebun Raya Bogor, atau tepatnya berada di sebelah selatan Vihara Dhanagun (Klenteng Hok Tek Bio) atau di sebelah barat rumah luitenant Lie Beng Hok maupun Hotel Pasar Baroe.


Diperkirakan Pasar Bogor sudah mulai beroperasi sekitar tahun 1770. Pada waktu itu lokasi pasar tersebut berdekatan dengan Kampung Bogor yang sudah membentuk sebuah pemukiman, dan tidak jauh dengan Kantor Kabupaten Kampung Baru. Sehingga, pasar tersebut dinamakan Pasar Bogor karena selain pemukiman Kampung Bogor dan Istana Buitenzorg, di daerah sekitarnya masih berupa hutan.
Awalnya, pasar ini merupakan pasar pekan yang hanya dibuka seminggu sekali. Namun, seiring menggeliatnya perekonomian kala itu, waktu operasi pasar ini pun mulai ditambah menjadi dua kali seminggu, yaitu setiap hari Senin dan Jumat. Dari hasil bisnis sewa tanah ini, Gubernur Jenderal Van der Parra meraup keuntungan yang lumayan besar. Pada waktu itu, walaupun hanya dibuka dua kali seminggu, Gubernur Jenderal berhasil mendapatkan keuntungan sebesar 8.000 ringgit dari hasil sewa pasar ini. Karena semakin ramai, Pasar Bogor ini menarik banyak orang untuk berdagang, termasuk dari orang-orang Tionghoa.
Kemudian sejak rampungnya jalur kereta api yang menghubungkan Batavia-Buitenzorg sepanjang 60 kilometer pada tahun 1873, menjadikan status pasar ini meningkat dari pasar pekan menjadi pasar lokal dan kemudian menjadi pasar regional. Waktu operasi pasar pun sudah berubah menjadi setiap hari. Hal ini menyebabkan semakin tingginya kegiatan perekonomian yang ada di Pasar Bogor. Komoditas yang ada di Pasar Bogor yang diangkut ke Batavia adalah hasil bumi, seperti kopi, gula, kentang, kacang, beras, tepung, minyak sayur, minyak, dan kina. Sayur-sayuran segar yang berasal dari perkebunan di Puncak merupakan komoditi yang terkenal juga di pasar ini.


Magnet dari pasar ini yang kemudian membuat para pedagang untuk memutuskan menetap di daerah sekitar Pasar Bogor. Awalnya, masyarakat dari berbagai daerah tinggal di daerah sekitar pasar, akan tetapi karena keuletan pedagang dari kalangan orang Tionghoa semakin mendominasi maka daerah sekitar Pasar Bogor ini lambat laun membentuk sebuah perkampungan Tionghoa, atau yang dikenal sebagai Pecinan. Ciri khas kawasan Pecinan ini adalah bangunan rukonya yang berdempet rapat dengan chimcay di dalamnya dan tidak adanya halaman pada bangunan. Menurut Setiadi Sopandi (2008), Chimcay sendiri pada awalnya merupakan area umum yang berfungsi sebagai pusat dari berbagai aktivitas sehari-hari seperti memasak, mandi, mencuci, bersosialisasi, maupun praktek ritual dan tradisi (dengan keberadaan altar leluhur). Karena berubahnya pandangan mengenai kebersihan dan kesehatan maka fungsi-fungsi yang ‘kotor’ dan ‘basah’ (seperti dapur, jamban, dan kamar mandi) akhirnya dipindahkan ke bagian belakang. Selain sebagai pusat kegiatan, chimcay merupakan elemen yang esensial karena berfungsi sebagai tempat pertukaran udara dan masuknya sinar matahari ke bangunan ruko yang gelap. Chimcay juga kadang berfungsi sebagai tempat sumur dan penampungan air hujan. Fisik ruko pun bervariasi seiring dengan perkembangan waktu dan letak geografis. Karena tingginya curah hujan di Bogor, misalnya, mengakibatkan chimcay yang sering dijumpai di ruko-ruko di kota lain jarang ditemukan. Sebagai gantinya, ‘ruang tengah’ ditutupi oleh atap yang diangkat untuk tetap membiarkan aliran udara dan sinar matahari tetap masuk.
Bila dilihat dari kaca mata tempo doeloe, bangunan pasar ini sudah tidak ada lagi. Karena, telah didirikan Plaza Bogor yang telah berlantai lima yang menggantikan Pasar Bogor lama sebagai pusat aneka perniagaan. Akan tetapi, bila kita menyusuri keberadaan Plaza Bogor ke arah belakang, kita masih menemukan suasana tempo doeloe. Suasana ini bisa dirasakan ketika kita menyaksikan deretan ruko-ruko yang dulunya merupakan kios-kios milik orang Tionghoa yang melingkungi pasar tersebut, dan tentunya bau busuk yang menyengat manakala menyusuri kawasan pasar tersebut. *** [240514]
Share:

Gedung Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Bogor

Ketika membangun het gebouw van Planologie van het Ministerie van Bousbouw in Butenzorg atau yang sekarang menjadi Gedung Badan Planologi Kehutanan Bogor, bersamaan dengan itu Pemerintah Kolonial Belanda juga membangun Hoofdkantoor van Het Boswezen te Buitenzorg.
Gedung Hoofdkantoor van Het Boswezen te Buitenzorg (kini bernama Gedung Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam/PHKA) terletak di Jalan Ir. H. Juanda No. 15 Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi bangunan gedung ini tepat berada di samping Pintu 1 Kebun Raya Bogor, atau berseberangan dengan Gedung Badan Planologi Kehutanan Bogor.
Gedung PHKA ini didirikan pada tahun 1912 oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan tujuan untuk menangani permasalahan kehutanan yang ada di Kota Bogor dan sekitarnya. Sewaktu didirikan, gedung ini bernama Hoofdkantoor van Het Boswezen te Buitenzorg. Tulisan nama gedung ini pun menempel di atas lengkungan pintu masuk utama ke bangunan gedung tersebut beserta tahun pendiriannya. Kemudian gedung ini sempat berganti-ganti nama ke dalam bahasa Indonesia, hingga pada akhirnya menjadi Gedung PHKA seperti sekarang ini berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010 tanggal 25 Agustus 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan.


Gedung yang berada di bawah wewenang Direktorat Jenderal (Ditjen) Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan ini, mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan konservasi alam, dengan fungsi perumusan kebijakan di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam sesuai peraturan perundang-undangan; pelaksanaan kebijakan di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam sesuai dengan peraturan perundang-undangan; penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam sesuai dengan peraturan perundang-undangan; pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan pelaksanaan administrasi Dirjen PHKA.
Struktur bangunan gedung ini mirip dengan Gedung Badan Planologi Kehutan Bogor, berdenah persegi panjang di tengah-tengahnya terdapat areal kosong yang digunakan untuk taman maupun parkir kendaraan bermotor. Sedangkan di belakang bangunan gedung ini sudah menyatu dengan areal Kebun Raya Bogor.
Berdasarkan riwayat historis yang dimiliki, gedung PHKA ini tergolong sebagai bangunan cagar budaya (BCB) yang harus dijaga, dirawat serta dilindungi. Sejak didirikan hingga sekarang ini, fungsi gedung ini masih tetap sama, yaitu menangani dan mengelola masalah kehutanan yang ada di Kota Bogor dan sekitarnya. *** [120514]
Share:

Gedung Badan Planologi Kehutanan

Setelah membangun S’Land Plantentuin atau yang kini dikenal dengan nama Kebun Raya Bogor, Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu mendirikan sejumlah lembaga riset atau kantor yang berkenaan dengan kelangsungan akan bintang, tanaman maupun hutan yang ada di S’Land Plantentuin tersebut. Awalnya seperti itu, namun lambat laun, lembaga-lembaga tersebut tidak hanya fokus pada plantentuin saja melainkan melebar ke semua hutan yang ada di Bogor dan sekitarnya.
Salah satu lembaga yang didirikan berkenaan dengan masalah tersebut adalah mengenai planologi kehutanan yang gedungnya terletak di Jalan Ir. H. Juanda No. 100 Kelurahan Gudang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi gedung ini berada di depan Hoofdkantoorvan het Boswesen te Buitenzorg.


Gedung ini bernama Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan, atau yang biasa dikenal sebagai Gedung Badan Planologi Kehutanan. Gedung ini didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1912. Awalnya, gedung ini bernama het gebouw van Planologie van het Ministerie van Bousbouw in Butenzorg. Akan tetapi setelah Indonesia merdeka, gedung ini dinasionalisasi dengan fungsi dan peruntukkan yang sama semenjak dibangunnya gedung ini, yaitu planologi kehutanan. Dalam lingkup Departemen Kehutanan, penanggungjawab terwujudnya kemantapan prakondisi pengelolaan hutan adalah Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, atau bisa dikatakan bahwa Dirjen tersebut merupakan executing agency bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan kehutanan yang akan dilakukan oleh instansi-instansi di bawah Departemen Kehutanan lainnya.
Bangunan gedung ini berdenah persegi panjang dengan areal kosong di tengahnya. Areal kosong ini menjadi plaza bagi bangunan ini yang dimanfaatkan sebagai ruang terbuka di tengah bangunan gedung ini, seperti taman maupun areal perpakiran. Selain itu, pada sejumlah dinding dari gedung ini terdapat sejumlah relief yang menggambarkan aktivitas berkenaan dengan hutan, seperti tanaman maupun binatang yang ada di hutan maupun kegiatan pengolahan hasil hutan.
Dilihat dari sisi historisnya, bangunan gedung bergaya kolonial ini tergolong bangunan cagar budaya (BCB) yang tetap harus dijaga, dirawat dan dilindungi. *** [120514]
Share:

Gedung Pulasara

Melintas Jalan Roda di Bogor, memberikan nuansa tersendiri. Bangunan-bangunan yang ada di Jalan Roda memiliki arsitektur bangunan bergaya Tiongkok. Keberadaannya mengukuhkan akan adanya pemukiman yang khusus dibuat untuk masyarakat Tionghoa di zaman itu. Dulu Jalan Roda ini merupakan jalan sekunder dari Handelstraat (kini menjadi Jalan Surya Kencana). Salah satu bangunan khas yang masih ada di Jalan Roda adalah gedung milik Yayasan Kematian Pulasara.
Gedung ini terletak di Jalan Roda No. 65 dan No. 84 RT.05 RW. 02 Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Yayasan kematian ini memiliki dua bangunan yang letaknya saling berseberangan.
Gedung Pulasara ini, awalnya bernama gedung Fond Miskin yaitu gedung yang dipergunakan untuk mengurus dan merawat serta melayani orang yang meninggal. Bangunan ini didirikan pada tahun 1930, dan merupakan peninggalan perkumpulan orang-orang Tionghoa pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda.


Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), bangunan gedung ini dijadikan sebagai poliklinik. Namun, akhirnya poliklinik tersebut dipindahkan ke tempat lain sesuai dengan keinginan Pemerintah Daerah Bogor pada waktu itu.
Pada tahun 1968, Fond Miskin berubah nama menjadi Pulasara hingga saat ini. Sehingga, nama gedung ini pun dikenal sebagai Gedung Pulasara.
Bentuk bangunan ini tidak mengalami banyak perubahan, baik penataan ruangnya maupun fisik bangunan lainnya. Hanya saja, pada tahun 1970 dilakukan pembangunan tempat penitipan jenazah yang berada tepat di depan bangunan Pulasara sehingga bangunan tersebut sedikit mengalami renovasi.
Dari sejak dibangun hingga sekarang, bangunan ini masih digunakan sebagai tempat mengurus orang yang meninggal. Kondisi gedung Pulasara masih terjaga dan terawatt dengan baik oleh Yayasan Kematian Pulasara.
Ditinjau dari aspek historis yang dimiliki, gedung Pulasara ini tergolong sebagai bangunan cagar budaya (BCB) di mana bentuk bangunan dan keaslian bangunan ini harus tetap dipertahankan, dijaga dan dilestarikan. *** [240514]
Share:

Rumah Luitenant Lie Beng Hok

Banyak emigran Tionghoa dari Tiongkok yang berdatangan ke Bogor jauh sebelum orang Eropa menginjakkan kaki di Buitenzorg (kini menjadi Bogor). Biasanya mereka melakukannya dengan menyusuri sebuah sungai, dan akan menetap di situ di sebuah keramaian yang bernama pasar.
Daerah Pasar Bogor yang sudah ada semenjak Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Bogor sebagai kota untuk istirahat para pejabatnya, merupakan salah satu tujuan bagi pendatang Tionghoa yang rela meninggalkan kampung halamannya di Tiongkok guna untuk mencari penghidupan yang lebih baik di tanah baru tersebut. Kepiawaiannya dalam hal berdagang menyebabkan orang-orang Tionghoa berhasil membentuk sebuah komunitas di daerah perdagangan tersebut. Sehingga, kawasan Pasar Bogor pada akhirnya banyak bermunculan bangunan milik pendatang yang menjadi pedagang dari Tiongkok tersebut.


Bangunan-bangunan milik orang Tionghoa tersebut akhirnya memberikan nuansa kuat sebagai kawasan Pecinan (Chineseche Kamp). Bangunan ala Tiongkok maupun yang sudah dipadukan dengan gaya arsitektur Eropa maupun lokal Sunda, banyak menghiasi di seputaran pasar tersebut. Salah satunya adalah Rumah Luitenant China.
Rumah ini terletak di ujung Jalan Klenteng (Klentengweg) Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi rumah berada di sebelah timur Plaza Bogor, yang dulunya merupakan Pasar Bogor.
Menurut sejarahnya, rumah Luitenant China ini adalah milik Luitenant (Letnan) Lie Beng Hok yang menjabat dari tahun 1912-1913 semasa Kapiten Tan Tjoen Tjiang. Letnan yang dimaksud di sini bukan menunjuk jabatan letnan dalam kepangkatan militer atau kepolisian meski memang menjiplaknya dari situ, akan tetapi menunjuk kepada jabatan yang diberikan kepada orang Tionghoa yang memiliki kedudukan di tengah etnis Tionghoa untuk memimpin sekumpulan etnis tersebut. Jabatan ini yang memberikan adalah Pemerintah Hindia Belanda. Karena pada zaman itu, semua etnis yang tinggal di Hindia Belanda dilakukan cluster agar supaya Pemerintah Hindia Belanda mudah mengontrolnya.
Rumah besar warna putih itu masih berdiri sesuai dengan bentuk aslinya, megah dan kokoh. Namun, tampaknya rumah itu tidak dihuni oleh keturunan keluarga Lie lagi. Sebagai rumah kuno yang memiliki memori historis, bangunan ini hendaknya dirawat dan dilindungi sehingga kelestarian dari bangunan ini akan bisa disaksikan oleh generasi berikutnya sepanjang masa. *** [240514]
Share:

Rumah Abu Keluarga Thung

Kawasan Pecinan (Chineseche Kamp) di sepanjang Jalan Surya Kencana memang menyimpang memori bagi representasi keberadaan orang Tionghoa di Bogor. Beberapa bangunan ala Tiongkok menghiasi Jalan Surya Kencana, yang dulu dikenal dengan Handelstraat atau Jalan Perniagaan. Salah satunya yang masih bisa disaksikan hingga sekarang adalah Rumah Abu Keluarga Thung.
Rumah Abu ini terletak di Jalan Surya Kencana No. 184 Kelurahan Gudang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi Rumah Abu ini berada sebelah utara Klinik dan Apotik Rosalina, dan tidak begitu jauh dengan Rumah Keluarga Thung.


Rumah Abu yang dimiliki oleh Keluarga Thung ini didirikan oleh Kapiten Thung Tjoeng Ho (1869-1922). Sebelum menjadi Rumah Abu, tempat ini dikenal sebagai Kioe Seng Tong dan digunakan sebagai kantor oleh Kiong Seng Liong (9 Thung Bersaudara).
Setelah beberapa lama, beberapa tidak digunakan lagi sebagai kantor dan dibiarkan kosong atau mangkrak, akhirnya atas inisiatif keluarga Thung, rumah tersebut dipakai untuk menyimpan abu jenazah leluhur. Hal inilah akhirnya menyebabkan rumah ini dikenal sebagai Rumah Abu Keluarga Thung.
Setiap hari, rumah ini akan tampak sepi dan seolah-olah senantiasa terkunci sehingga tidak setiap orang bisa menyaksikan interior dari rumah ini. Rumah ini akan terbuka manakala keluarga besar Thung melakukan pertemuan keluarga besarnya pada bulan-bulan tertentu.
Sebagai tempat perkumpulan keluarga besar Thung, bangunan ini masih terawat dengan baik dan arsitektur asli bangunan ini masih dipertahankan. Rumah ini tetap memiliki pintu sebanyak tiga buah dan tinggi, di mana pintu utamanya yang berada di tengah. Tidak ada jendela sama sekali di bagian depan rumah, hanya ada kaca kecil di atas pintu samping. *** [240514]
Share:

Rumah Keluarga Thung

Di antara rumah Kapiten Tan dan Rumah Abu Keluarga Thung, terdapat rumah yang cukup besar. Rumah yang menyerupai villa ini mendapat pengaruh Eropa, sehingga tampak megah dan kokoh dari kejauhan. Rumah ini dkenal sebagai Rumah Keluarga Thung.
Rumah ini terletak di Jalan Surya Kencana No. 192 Kelurahan Gudang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi rumah ini tepat berada di sebelah selatan Klink dan Apotik Rosalina.
Keluarga Thung merupakan keluarga yang terkenal kaya raya dan dihormati oleh masyarakat kala itu. Salah satu anggota keluarga yang terkenal adalah Thung Tjoen Pok (1874-1943), seorang tuan tanah dan anggota Volksraad pada zaman kolonial Belanda. Peninggalan lainnya yang masih bisa dilihat hingga sekarang adalah Pasar Cunpok yang berada di dekat Gang Aut dan Padasuka.


Pemilik rumah ini diketahui bernama Thung Tjiang Pek, salah seorang cucu dari Thung Tjoen Pok. Thung Tjiang Pek mempunyai seorang adik bernama Thung Thiang Kwee yang diketahui sebagai pemilik Panorama Tour.
Bangunan rumah ini tergolong masih terawat dengan baik, dan memiliki halaman yang sangat luas. Umumnya rumah di kawasan Pecinan (Chineseche Kamp) tidak memiliki halaman dan saling berdempet rapat. Pepohonan yang tumbuh rindang di halaman rumah ini memberi kesan teduh dan asri.
Rumah yang masih didiami oleh keluarga Thung ini merupakan salah satu bangunan cagar budaya (BCB) yang ada di Kota Bogor sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2005 oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bogor.
Untuk tahun ini, tampaknya rumah ini akan difungsikan juga sebagai Kidzmania, semacam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang terbagi menjadi tiga kriteria umur yaitu Baby Kidz (1-2 years), Toodler (2-3 years) dan Kidzmania (3-4 years). Oleh karena itu, diperlukan sebuah kearifan tersendiri dalam menyikapinya lantaran dalam kenyataannya akan terjadi pertemuan antara kepentingan komersial dan kepentingan heritage. *** [240514]

Share:

Klenteng Hok Tek Bio

Dalam setiap daerah yang banyak terkonsentrasi orang Tionghoa, dipastikan bahwa daerah tersebut biasanya merupakan daerah kekuatan ekonomi yang ada di dalam daerah tersebut. Kebanyakan orang akan menyebutnya sebagai Pecinan.
Dalam kawasan Pecinan, biasanya akan dijumpai klenteng sebagai tempat peribadatannya. Besar kecilnya sebuah klenteng akan tergantung pada kekuatan umatnya untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaannya. Di Kota Bogor, kawasan Pecinannya di seputaran Pasar Bogor atau yang dulu dikenal dengan Handelstraat atau yang kini menjadi Jalan Surya Kencana, menggambarkan hal tersebut. Di daerah tersebut terdapat sebuah tempat peribadatan orang Tionghoa yang dinamakan Klenteng Hok Tek Bio. Nama Hok Tek Bio berasal dari kata Hok yang berarti rezeki, Tek berarti kebajikan, dan Bio adalah rumah ibadah, sehingga Hok Tek Bio memiliki rumah ibadah mendatangkan rezeki dan kebaikan.


Klenteng Hok Tek Bio terletak di Jalan Surya Kencana No. 1 Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi klenteng ini berada di samping Plasa Bogor atau di sebelah selatan Pintu 1 Kebun Raya Bogor.
Bangunan klenteng ini didirikan pada tahun 1872 yang semula hanya berukuran 180 m, namun kemudian diperluas hingga mencapai bentukmya seperti sekarang dengan luas bangunan 635,50 m² di atas lahan seluas 1.397 m². Pada awalnya, Klenteng Hok Tek Bio merupakan sebuah klenteng yang dibangun oleh orang Tionghoa sebagai tempat peribadatan kepercayaan Kong Hu Chu. Akan tetapi, pada masa pemerintahan Orde Baru (Orba), klenteng ini mengalami tekanan sehingga pihak klenteng harus merelakan nama klentengnya diubah menjadi Vihara Dhanagun agar keberadaannya tetap diperbolehkan.
Ketika Orba tumbang dan digantikan oleh kepemimpinan baru, yaitu Presiden Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur, angin segar mulai menyejukkan kembali pihak klenteng karena pada masa pemerintahan Gus Dur, diterbitkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 6 Tahun 2006 tentang pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967, nama Klenteng Hok Tek Bio boleh digunakan kembali dan berbagai perayaan masyarakat Tionghoa lainnya juga diperbolehkan, seperti perayaan Imlek, Cap Go Meh dan atraksi barongsai.
Klenteng yang memiliki gaya arsitektur khas perpaduan budaya (China, Indonesia, dan Belanda) ini, terdiri atas beberapa bagian, yaitu halaman, bangunan utama, dan bangunan tambahan. Halamannya yang luas bisa digunakan untuk parkir umatnya yang akan melakukan sembahyang, maupun untuk acara lainnya. Sedangkan bangunan utamanya, dibagi dalam tiga bagian, yaitu teras, ruang tengah, dan ruang suci utama. Pada bagian belakang bangunan utama terdapat bangunan yang berfungsi sebagai ruang makan rohaniwan, ruang dapur, dan toilet.
Pada tembok klenteng yang berada di halaman sebelah selatan yang berbatasan dengan tembok halaman Plaza Bogor, terpasang sebuah peringatan berdasarkan Monumenten Ordonantie dan Undang-Undang (UU) RI Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Hal ini sengaja dipasang oleh pengurus klenteng untuk memberitahukan agar semua pengguna klenteng sudi menjaga dan tidak merusak kelestarian bentuk klenteng. *** [120514]
Share:

Gedung Balai Besar Industri Agro Bogor

Kehadiran Lands Plantentuin atau yang sekarang dikenal dengan nama Kebun Raya Bogor, memberikan berkah tersendiri bagi Kota Bogor. Karena dengan adanya Kebun Raya Bogor tersebut diperlukan pengelolaan yang tidak sederhana. Diperlukan sejumlah Sumber Daya Manusia (SDM) dalam setiap lini, mulai dari pelaksana harian di kebunnya itu sendiri sampai kepada peneliti-peneliti yang berkompeten terhadap masalah pertanian maupun kehutanan. Salah satunya adalah dibangunnya Gedung Balai Besar Industri Agro (BBIA).
Gedung BBIA terletak di Jalan Ir. H. Juanda No. 11 Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi gedung ini bersebelahan dengan Museum Zoologi, dan berhadapan dengan Gedung Balai Penelitian Tanah.
Menurut sejarahnya, untuk mengantisipasi akan kebutuhan pengelolaan Kebun Raya Bogor, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah bangunan pada tahun 1890 yang menjadi cikal bakal BBIA, dengan nama Agricultuur Chemisch Laboratorium (ACL) yang berada dalam lingkungan Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel. Tujuannya untuk melayani para ahli dan sarjana pertanian dalam meneliti tanaman-tanaman tropis terutama yang ada di Kebun Raya serta ekonomi dari tanaman-tanaman tersebut, serta memeriksa atau menguji barang-barang dan bahan untuk instansi pemerintah terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan sebagainya.


Pada tahun 1909, nama ACL diganti menjadi Bureau voor Landbouw en Handal-analyse berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 29 Januari 1909. Keputusan tersebut kemudian dipublikasikan dalam Javasche Couran sebagai Besluit van Directuur voor Landbow Nomor 3952 tanggal 27 Mei 1909.
Lalu, pada tahun 1911 namanya diganti menjadi Handels Laboratorium, dan pada tahun 1918 diganti lagi menjadi Analytisch Laboratorium. Kemudian pada tahun 1934, terjadi peleburan diri dari Laboratorium Kimia Tumbuh-Tumbuhan (Phytochemisch Laboratorium) dalam lingkungan Kebun Raya dan balai penelitian yang tergabung dalam Balai Besar Penyelidikan Pertanian (Algemeen Proefstation voor de Landbouw) ke dalam Analytisch Laboratorium  menjadi nama Laboratorium voor Scheikundig Onderzoek (Balai Penyelidikan Kimia), yang terdiri atas Laboratorium Analitika, Kimia Tumbuh-Tumbuhan, Kimia Pertanian, Harsa dan Minyak Atsiri. Laboratorium hasil leburan itu ternyata dalam kiprahnya pernah menjadi laboratorium terkemuka di Hindia Belanda.
Akan tetapi pada masa pendudukan Jepang, Balai Penyelidikan Kimia tersebut diganti namanya menjadi Gunsaikanbu Kagaku Kenkyusyu dengan tugas melakukan penelitian terapan, yang kelak menjadi ciri Balai seterusnya.
Pada tahun 1980, nama Balai Penyelidikan Kimia diganti lagi menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian (BBPPIHP), yang berada di bawah naungan Departemen Perindustrian. Kemudian pada tahun 2002, BBPPIHP diganti namanya lagi menjadi Balai Besar Industri Agro (BBIA) hingga sekarang.
Gedung BBIA ini berdenah persegi panjang dengan memiliki luas bangunan sekitar 1.210 m² di atas lahan Kebun Raya Bogor yang menghadap ke jalan umum. Corak bangunan gedung ini bercirikan kolonial dengan ditandai pintu dan jendela yang cukup besar dan tinggi dengan atap berbentuk segitiga. *** [120514]
Share:

Gedung Balai Penelitian Tanah Bogor

Bogor memang terkenal memiliki banyak peninggalan sejarah di bidang pertanian maupun kehutanan. Banyak gedung peninggalan kolonial Belanda terkait hal itu terdapat di Bogor. Salah satunya adalah Gedung Balai Penelitian Tanah.
Gedung ini terletak di Jalan Ir. H. Juanda No. 98 Kelurahan Pamoyanan, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi bangunan gedung ini tepat berada di depan Balai Besar Industri Agro (BBIA), atau bersebelahan dengan Gedung Badan Planologi Kehutanan.
Gedung Balai Penelitian Tanah ini dibangun pada tahun 1905. Dulunya, gedung ini bernama Laboratorium Voor Agrogeologie en Grond Onderzoek, sebagai bagian dari Lands Plantentuin atau yang kini kesohor dengan nama Kebun Raya Bogor.
Dalam perjalanannya, gedung ini pernah berganti-ganti nama. Gedung ini sempat menjadi Bodemkundig Instituut hingga masa pendudukan Jepang pada tahun 1942. Oleh Jepang, gedung tersebut diganti namanya menjadi Dozyoobu. Namun, setelah Indonesia merdeka, nama Bodemkundig Instituut kembali digunakan.


Pada tahun 1950, nomenklatur Bodemkundig Instituut diganti menjadi Balai Peneyelidikan Tanah, dan pada tahun 1961 menjadi Lembaga Penyelidikan Tanah. Setahun kemudian, namanya berubah lagi menjadi Lembaga Penyelidikan Tanah dan Pemupukan, dan pada tahun 1976 diganti lagi menjadi Lembaga Penelitian Tanah, dan menjadi Pusat Penelitian Tanah pada tahun 1981.
Pada 29 September 1988, gedung ini juga pernah diresmikan berdirinya Museum Tanah yang bekerjasama dengan International Soil Reference and Information Centre (ISRIC) Wageningen Belanda.
Pada tahun 1990 mandat penelitian diperluas ke bidang agroklimatologi. Konsekuensinya, nama institusi ini  dirubah menjadi Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak). Setelah Otonomi Daerah, yakni pada tahun 2001 nama ini berubah lagi menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak). Pada tahun 2002 Puslitbangtanak mempunyai tiga balai penelitian. Salah satunya adalah Balai Penelitian Tanah (Balittanah).
Balai Penelitian Tanah (Balittanah) bertugas melakukan penelitian untuk menghasilkan teknologi dan informasi sumberdaya dan pengelolaan tanah serta memberikan pelayanan dalam bidang analisis tanah, air, tanaman, dan pupuk, pemetaan, analisis data penginderaan jauh (inderaja), pelayanan basis data tabular dan spasial (menggunakan GIS), serta berbagai pelayanan lain yang berhubungan dengan informasi dan teknologi pengelolaan tanah. Sehingga, bangunan gedung ini boleh dibilang masih digunakan sebagai balai penelitian yang sama seperti ketika gedung ini didirikan.
Gedung yang memiliki luas bangunan 544,5 m² di atas lahan seluas 1.028 m² ini bergaya arsitektur kolonial Belanda, yang ditandai dengan jendela-jendela tinggi yang masih asli berbentuk persegi panjang dan terbuat dari kayu.
Pada bagian depan gedung, tepatnya di atas pintu masuk utama terdapat tulisan angka tahun dibangunnya gedung ini, dan sekaligus nama dari bangunan gedung ini. *** [120514]
Share:

Kantor Pos Bogor

Kawasan Jalan Ir. H. Juanda di Bogor merupakan kawasan yang menyimpan memori historis pada masa Hindia Belanda. Jalan ini dulu dikenal dengan Groote Post Weg atau Jalan Raya Pos, yang dibangun abad ke-18 atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels. Daendels kala itu membangun jalan yang membentang dari Anyer hingga Panarukan sejauh 1.000 kilometer.
Di bentangan jalan ini banyak berdiri bangunan peninggalan Belanda yang hingga kini masih bisa disaksikan. Salah satu bangunan peninggalan kolonial tersebut adalah Kantor Pos.
Kantor Pos ini terletak di Jalan Ir. H. Juanda No. 5 Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini berada di lingkungan kawasan Istana Bogor maupun Kebun Raya Bogor namun terpisah oleh pembatas pagar.


Menurut sejarahnya, gedung Kantor Pos ini dulunya merupakan bangunan gereja pertama di Buitenzorg (kini dikenal sebagai Bogor) yang peresmiannya dilakukan pada tanggal 13 April 1845. Gereja ini semula dimaksudkan sebagai tempat beribadat umat Protestan dan umat Katholik secara simultan atau bergiliran.
Setelah umat Katholik mendirikan Gereja Katedral, dan umat Protestan membangun Gereja Zebaoth, bangunan gereja tersebut oleh Pemerintah Belanda kemudian dijadikan kantor pos karena letaknya di pinggir Jalan Pos (Post Weg).
Bangunan ini berdenah persegi panjang dengan luas bangunan 1.161 m² di atas lahan seluas 2.087 m², dan status kepemilikannya di tangan PT. Pos Indonesia. Karena awalnya merupakan bangunan gereja, bangunan ini memiliki atap cukup tinggi dan terdapat jendela kaca berbentuk persegi empat. Hanya saja, interiornya yang dulu untuk memenuhi kebutuhan peribadatan gereja, sekarang dirombak menjadi beberapa ruangn tidak permanen sesuai keperluan kantor pos. *** [120514]
Share:

GPIB Zebaoth Bogor

Ketika Istana Bogor didirikan, keperluan akan tempat peribadatan umat Kristiani masih harus pergi ke Batavia (kini menjadi Jakarta). Menyadari akan pentingnya kehadiran bangunan untuk beribadat bagi umat Kristiani, semasa pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen dipikirkan untuk mendirikan sebuah kapel atau gereja. Hal ini dimaksudkan agar keluarga Gubernur Jenderal beserta pejabat Hindia Belanda lainnya yang setiap akhir pekan liburan ke Bogor bisa melaksanakan ibadat tanpa harus ke Batavia.
Lalu, dibangunlah sebuah gereja pertama di Buitenzorg (nama lawas Bogor) yang pemberkatannya dilakukan pada tanggal 13 April 1845. Gereja tersebut berada di antara Istana Bogor dan Kebun Raya Bogor (sekarang digunakan sebagai Kantor Pos). Gereja tersebut semula dimaksudkan sebagai tempat beribadat umat Protestan dan Katholik secara bergiliran. Pada tahun 1896, umat Katholik tidak lagi beribadat di gereja tersebut karena mereka telah memiliki gereja sendiri, yaitu Gereja Katedral yang didirikan tidak jauh dari gereja semula namun di luar lingkungan Istana Bogor.
Tak mau kalah dengan umat Katholik, umat Protestan juga berusaha mendirikan gereja untuk melaksanakan ibadatnya. Akhirnya, gereja Protestan mulai dibangun. Pembangunannya dipimpin oleh Gubernur Jenderal ke-61, Johan Paul (JP) Graaf van Limburg Stirum.
Gereja ini terletak di Jalan Ir. H. Juanda No. 3 RT.01 RW.08 Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi gereja ini masih berada di lingkungan Istana Bogor yang menghadap ke SMPN 1 Bogor, atau sekitar 100 meter arah utara bangunan gereja lama yang sekarang menjadi Kantor Pos.
Batu pertama pembangunan gereja ini diletakkan oleh van Limburg Stirum pada 30 Januari 1920. Di batu itu terukir petikan ayat Alkitab dari Mazmur 43:3 dalam bahasa Belanda:

Zend Uw Licht en Uw Waarheid
Dat Die Mij Leiden
Dat Zij Mij Brengen
Tot Den Berg Uwer Heilgheid
En tot Uw Woningen


(Suruhlah terang-Mu dan kesetiaan-Mu datang, supaya akan dituntun dan dibawa ke gunung-Mu yang kudus dan ke tempat kediaman-Mu)

Awalnya, gereja ini hanyalah untuk para Gubernur Jenderal maupun orang Eropa beribadat. Karena itu, kebaktiannya pun menggunakan bahasa Belanda. Sehingga, acapkali masyarakat menyebutnya sebagai Gereja Belanda. Sedangkan, jemaat yang non Eropa, kebaktiannya menempati gereja lama sebelum akhirnya dipindahkan ke Gereja Bethel di Jalan Jenderal Soedirman No. 44 Bogor, dengan menggunakan pengantar bahasa Indonesia.
Bangunan gereja ini kemudian dialihkan dari Belanda kepada Sinode GPIB pada tanggal 31 Oktober 1948 dengan nama Jemaat GPIB Bogor. Lalu, pada tahun 1985, nama gereja ini berubah menjadi Jemaat GPIB Zebaoth.
Bangunan gereja berdenah persegi empat dengan luas bangunan  867, 64 m² di atas lahas seluas 5.154, 24 m² ini, memiliki menara di bagian depan bangunan yang dihiasi dengan patung ayam dari besi di atasnya. Sehingga, dulu masyarakat juga ada yang menyebut gereja ini dengan istilah “Hanekerk” atau Gereja Ayam dikarenakan puncaknya terdapat patung ayam tersebut. Jendela-jendela pada bangunan ini tinggi dengan berbagai bentuk seperti persegi panjang dan persegi di bagian bawahnya kemudian di atasnya membentuk segitiga. Selain itu, pintu utama gereja atasnya berbentuk setengah bulat dan bawahnya berbentuk persegi.
Nama Zebaoth pertama kali digunakan oleh Pendeta Mattimoe pada upacara paskah tahun 1963 yang sebelumnya lebih sering disebut dengan “Hanekerk”. Kata zebaoth dalam bahasa Ibrani berarti “Allah Maha Agung yang berkuasa atas langi dan bumi.”
Selain sebagai tempat ibadah, Gereja Zebaoth juga melayani pengasuhan untuk anak-anak yang bernama ‘Bina Harapan’ dan ‘Panti Werda’ untuk para lansia. Bahkan, gereja ini memiliki sebuah klinik untuk pelayanan masyarakat. *** [120514]
Share:

SMPN 1 Bogor

SMP Negeri 1 Bogor, atau yang biasa disingkat menjadi SMPN 1 Bogor merupakan salah SMP yang tergolong tua di Kota Bogor. SMP ini terletak di Jalan Ir. H. Juanda No. 16 Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasinya berada di dekat Gereja Katedral, dan berhadapan dengan GerejaZebaoth.
Bangunan asli SMP ini masih nampak berdiri kendati di sekelilingnya telah dibangun ruangan kelas baru dan bertingkat. Hanya sayangnya bangunan yang menjadi heritage ini kurang terawat ketimbang bangunan kelas barunya. Bangunan asli SMP ini merupakan peninggalan Belanda yang dibangun pada tahun 1918. Dulu, sebelumnya adalah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang berarti Pendidikan Dasar Lebih Luas. MULO adalah Sekolah Menengah Pertama pada zaman kolonial Belanda di Indonesia di mana bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Belanda.


Setelah Indonesia merdeka, sekolah ini dinasionalisasi, dan menjadi SMP Darurat Bogor pada tahun 1948. Kemudian pada 1 Januari 1949, sekolah ini berubah menjadi SMP Bogor yang kelak menjadi SMPN 1 Bogor hingga sekarang.
Bangunan asli SMP ini berbentuk empat persegi panjang dan memiliki ciri arsitektural bergaya kolonial, yang ditandai dengan pintu dan jendela yang cukup besar. Dari tampak depan terlihat ada dua pintu dan enam jendela yang tinggi, yang terbuat dari kayu berbentuk persegi. Di depan bangunan tersebut terdapat lapangan yang dipergunakan untuk olahraga, terutama basket.
Berdasarkan akte sertifikat No. 10.71.03.02.4.00019, sekolah ini memiliki lahan seluas 3.150 m² dengan status kepemilikan bangunan adalah milik pemerintah.
Sesuai dengan nilai historis yang melekat, bangunan SMP ini tergolong sebagai salah satu benda cagar budaya (BCB) di Kota Bogor. Sehingga, para pemangku kepentingan baik di sekolahan ini pada khususnya maupun di Kota Bogor pada umumnya, hendaknya senantiasa berhati-hati dalam memperlakukan bangunan tersebut. Jangan sampai terlantar apalagi kalau terlihat bangunan baru di sampingnya lebih bagus sementara pada bangunan lamanya tampak gentingnya pada melorot.
Sebagai salah satu BCB, eksistensi dan keaslian bangunan tersebut adalah untuk mempertahankan bukti-bukti historis. Ke depannya, agar masyarakat dapat mengetahui perjalah sejarah pendidikan di Kota Bogor. *** [140514]
Share:

Gereja Katedral Bogor

Keberadaan umat Katholik di Kota Bogor telah ada sejak abad ke-18. Hal ini ditandai dengan berdirinya bangunan peribadatan yang terletak di Jalan Kapten Muslihat No. 22 Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Bangunan peribadatan tersebut dikenal dengan nama Gereja Katedral. Lokasinya berada satu lokasi dengan pastoran (pastorij) yang tidak begitu jauh dengan Balai Kota Bogor.
Awalnya, lahan Gereja Katedral ini merupakan lahan yang dibeli oleh Mgr. Adamus Carolus (A.C) Claessens pada tahun 1881, yang kemudian didirikan sebuah panti asuhan yang diberi nama Vincentius pada tahun 1886. Lalu, pada tahun 1896 salah seorang keponakan A.C. Claessens, yaitu M.Y. Dominikus Claessens, mendirikan sebuah gereja untuk umat Katholik.


Semula bangunan gereja itu masih menyatu dengan bangunan umum lainnya yang dapat digunakan untuk aula. Akan tetapi, seiring semakin bertambahnya umat yang beribadat di gereja tersebut sehingga diperlukan gereja tersendiri yang lebih besar agar bisa menampung umatnya dalam beribadah. Pada tahun 1905 dibangunlah sebuah katedral seperti yang terlihat sekarang, sedangkan gereja lama digunakan untuk pertemuan.
Di lahan itu pula, pada tahun 1926 oleh Ny. Schmutzer-Hendriks didirikan sebuah yayasan yang bernama Katholeke Jeugde Organitatie (KJO) untuk menampung kegiatan kepemudaan. Yayasan ini kemudian diubah namanya menjadi Budi Mulia.


Di dalam kompleks lahan pekarangan yang dibeli A.C. Claessens ini sekarang meliputi Gereja Katedral, Pastoran, Seminari, Sekolah, dan Bruderan Budi Mulia. Luas bangunannya sekitar 1.248 m² yang berdiri di atas lahan seluas 2.937 m².
Terkait gereja, bangunannya berdenah persegi panjang dengan bagian kiri depan gereja terdapat menara. Pintu gereja berbentuk setengah lingkaran dan terdapat geometrik pada daun pintunya serta di atasnya terdapat patung Bunda Maria. Jendela gereja berbentuk persegi panjang dan tinggi dengan berbagai hiasan dalam kacanya. Sedangkan, pada bagian atas atap gereja maupun menara terdapat tanda salib.
Keunikan bangunan gereja ini bisa disimak dari sisi kiri dan kanan. Dari tampak samping tersebut, terlihat dengan jelas bahwa bangunan gereja ini ternyata memiliki kerangka atap sebanyak tujuh berbentuk meruncing (kerucut), dan masing-masing sisi pada setiap kerangkanya terdapat jendela dengan hiasan kaca yang lumayan tinggi.
Bangunan gereja ini memiliki dua lantai dengan struktur beton yang kuat yang lantainya terbuat dari bahan tegel, dan dindingnya terbuat dari bata dengan dicat warna putih, yang memberi kesan kemegahan akan bangunan gereja ini. *** [120514]
Share:

Hotel Salak The Heritage

Hotel Salak The Heritage atau yang biasa disebut dengan Hotel Salak merupakan salah satu hotel yang berada di Kota Bogor. Sesuai namanya, hotel ini menyimpan memori akan nilai historis yang dimilikinya.
Hotel Salak terletak di Jalan Ir. H. Juanda No. 8 Kelurahan Pabaton, Kecamatan Bogor Tengah, Provinsi Jawa Barat. Lokasi hotel ini bersebelahan dengan Balaikota Bogor dan menghadap ke Istana Bogor.
Awalnya hotel ini bernama Hotel Dibbets yang didirikan oleh J. Dibbets pada tahun 1856. Lalu, pada tahun 1870 hingga tahun 1880 hotel ini diperlebar dan menjadi dua lantai. Hotel ini dibangun untuk tempat menginap tamu-tamu yang berkunjung ke istana maupun Kebun Raya Bogor.


Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), bangunan hotel ini pernah dijadikan sebagai Markas Kempetai (Polisi Militer Jepang). Setelah Indonesia merdeka, hotel ini kemudian diserahkan kepada Pemerintah Indonesia, dan pada tahun 1948 nama hotel itu diganti dengan nama Hotel Salak yang mengambil nama dari Gunung Salak sebagai gunung terbesar di Bogor.
Sekarang, nama hotel ini ditambahkan dibelakangnya dengan kata “The Heritage” sehingga nama resminya menjadi Hotel Salak The Heritage. Kata “The Heritage” tersebut sesungguhnya untuk menyatakan kepada khalayak bahwa hotel ini memang merupakan salah satu heritage yang ada di Kota Bogor.
Hotel yang memiliki luas bangunan 1.205 m² dan berdiri di atas lahan seluas 8.227 m² ini berstatus kepemilikan di tangan yayasan.
Hotel yang mengusung nuansa heritage ini memang tepat dengan nilai historis yang dimilikinya serta sekaligus keberadaan lokasinya yang memang terletak di kawasan heritage utama Kota Bogor. *** [120514]
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami