The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Kota Lama Semarang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kota Lama Semarang. Tampilkan semua postingan

Gereja Blenduk Semarang

Salah satu daya tarik Kawasan Kota Lama Semarang adalah banyaknya bangunan lawas atau kuno yang berdiri megah di dalam kawasan itu. Di antara bangunan lawas yang megah dan anggun yang terdapat di kawasan tersebut adalah Gereja Blenduk. Gereja ini terletak di Jalan Letjen Suprapto No. 32 Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Gereja ini berada di Kawasan Kota Lama Semarang, atau tepatnya berada di depan Kantor Asuransi Jiwa Sraya atau di sebelah barat Taman Srigunting.
Menurut sejarahnya, Kawasan Kota Lama (oudstad) ini awalnya merupakan lingkungan yang berada di dalam benteng de Vijfhoek van Semarang yang didirikan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Semula benteng tersebut berukuran kecil, sebatas untuk hunian pasukan VOC beserta keluarganya yang bertugas di Semarang. Kemudian diperluas seiring perkembangan penghuni di dalam benteng itu, yang diperkirakan mencapai 31 hektar.



Di dalam lingkungan benteng tersebut, VOC membangun gereja untuk tempat peribadatan umat Kristen Protestan dengan sebutan Nederlandsche Indische Kerk. Hal ini berkaitan dengan mayoritas bangsa Belanda pada waktu adalah pemeluk agama Kristen Protestan. Pada awal pembangunan tahun 1753, gereja tersebut berbentuk rumah panggung Jawa dengan atap berupa tajug.
Pada tahun 1787 bangunan gereja mengalami perombakan total. Bangunan rumah panggung dirobohkan dan diganti yang lebih permanen. Selang tujuh tahun, tepatnya pada tahun 1794 kembali diadakan perubahan kembali untuk bentuk dan ukurannya seperti sekarang, hanya saja belum memiliki menara, kolom Tuscan, gevel dan hiasan puncak.
Setelah terjadi masa peralihan dari VOC ke pemerintahaan Kerajaan Belanda yang kemudian dikenal dengan Hindia Belanda, pada tahun 1824 gerbang, menara pengawas dan tembok yang mengelilingi benteng mulai dirobohkan. Sehingga membentuk sebuah kawasan yang padat yang kelak dikenal dengan Kawasan Kota Lama.



Sejak saat itu, mulai bermunculan bangunan-bangunan baru, dan menjadikan kawasan tersebut menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan. Orang Belanda dan orang Eropa lainnya mulai menempati permukiman di sekitar Jalan Bojong (sekarang Jalan Pemuda). Pada era ini, Kota Lama Semarang telah tumbuh menjadi kota kecil yang lengkap. Banyak bangunan diperbaiki, tak terkecuali bangunan gereja.  Tahun 1894-1895 dilakukan renovasi kembali bangunan gereja oleh H.P.A. De Wilde dan W. Wetmaas dengan menambahkan menara, kolom Tuscan, gevel dan hiasan puncak juga mengganti elemen-elemen pintu dan jendela.
Pada renovasi ini, terjadi perubahan nama terhadap bangunan gereja tersebut. Dari semula bernama Nederlandsche Indische Kerk berubah menjadi Koepelkerk. Nama koepelkerk berasal dari dua kata dari bahasa Belanda, yaitu koepel dan kerk. Koepel artinya kubah atau dome, sedangkan kerk artinya adalah gereja. Jadi, koepelkerk itu maknanya gereja yang berkubah. Meskipun nama koepelkerk awalnya diambil dari dua bentuk menara yang beratap kubah, akan tetapi di mata orang Jawa, kubah gereja itu (terlebih kubah besarnya) bentuknya mblenduk atau menggelembung besar. Berawal dari penglihatan itu, kemudian gereja ini menjadi akrab dengan sebutan Gereja Blenduk. Sebenarnya nama resminya saat ini adalah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel.  Selain itu, karena sering mengalami pembaruan bangunan, gereja ini juga mendapat sebutan Hervorm de Kerk (gereja bentuk ulang), atau gereja yang sudah direnovasi.



Gereja Blenduk dengan luas bangunan sekitar 400 m² ini, memiliki kekhasan arsitektur di antara bangunan-bangunan lawas yang ada di Kawasan Kota Lama Semarang. Denah bangunan gereja ini berbentuk octagonal (segi delapan beraturan) yang tampilannya berupa bilik-bilik empat persegi panjang dan sisi sebelahnya berbentuk salib Yunani.
Bangunan Gereja Blenduk terdiri dari bangunan induk dan empat sayap bangunan. Atapnya berbentuk kubah (dome) yang diilhami dari bangunan kubah yang terkenal di Eropa, seperti kubah St. Peter’s Vatikan Roma (dalam bahasa Italia dikenal sebagai Basilica Sant Pietro in Vaticano) yang dibangun oleh seniman Michelangelo dari tahun 1506 sampai tahun 1626,  dan kubah St. Paul’s karya Sir Christoper Wren (1675-1710).
Dalam Brosur Sekilas Blenduk (2004), dijelaskan bahwa desain bangunan Gereja Blenduk ini bergaya arsitektur Pseudo Baroque (gaya arsitektur Eropa dari abad 17 – 19). Baroque sendiri sebenarnya merupakan istilah untuk mengkategorikan perkembangan peradaban manusia (termasuk seni) dalam sebuah era yang terjadi di Eropa sekitar tahun 1600-1750. Periode ini merupakan bagian akhir dari zaman renaissance dan merupakan awal gerakan Protestantism yang terjadi di Jerman bagian utara dan Belanda.
Kata Baroque diperkirakan berasal dari bahasa Portugis kuno “barroco” yang berarti mutiara yang memiliki bentuk yang tidak bundar teratur namun lekukannya sangat kompleks dan detail. Seni Baroque memiliki sifat lebih dinamis seperti denah bagian sudut diakhir lengkung atau melingkat. Sehingga, corak seni Baroque mengandung tekanan yang kuat, kekuatan emosi dan sesuatu yang elegan.
Dalam kenyataan, arsitektur Baroque yang diterapkan di beberapa negara mempunyai kemampuan adaptasi dengan pola lingkungan setempat, baik iklim maupun topografi setempat. Seperti halnya dengan Gereja Blenduk yang berakar dari seni Baroque dipadukan dengan keadaan setempat di Semarang kala itu (budaya Indis). Perpaduan ini kemudian dinamakan dengan Pseudo Baroque.
Sejak dibangun, Gereja Blenduk ini merupakan tempat peribadatan umat Kristen Protestan, hal ini berkaitan dengan mayoritas bangsa Belanda yang pada waktu itu memeluk agama Kristen protestan. Dan, sekarang pun, Gereja Blenduk ini masih berfungsi sebagai tempat ibadah jemaat Kristen Protestan.
Melihat riwayat perjalanan dan kekhasan arsitektur yang dimilikinya, Gereja Blenduk kemudian menjadi landmark Kota Semarang pada umumnya dan Kota Lama Semarang pada khusunya. Potensi yang dimilikinya ini juga menjadikan Gereja Blenduk dijadikan sebagai obyek wisata religi dan wisata budaya di Kawasan Kota Lama Semarang. *** [190418]

Fotografer: Nareisywari Yudha Kartika


Share:

Kantor Pos Besar Semarang

Jalan Pemuda merupakan salah satu jalan utama di Kota Semarang, yang membentang dari Jembatan Berok hingga Tugu Muda. Pada masa Hindia Belanda, jalan ini dikenal dengan Bodjongweg (Jalan Bodjong). Jalan ini termasuk dalam Jalan Raya Pos (de Grote Postweg) yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Dandels pada tahun 1808 sepanjang 1000 kilometer dari Anyer sampai Panarukan.
Sejarah panjang yang dimiliki oleh Jalan Pemuda, menyisakan banyak bangunan lawas di sepanjang jalan itu karena jalan itu pernah berkembang menjadi pusat perdagangan dan permukiman untuk orang-orang Eropa kalangan atas. Salah satu bangunan lawas yang masih bisa kita saksikan hingga sekarang, di antaranya adalah Kantor Pos Besar Semarang. Kantor pos ini terletak di Jalan Pemuda No. 4 Kelurahan Pandansari, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi kantor pos ini berada di sebelah barat Gedung Keuangan Negara, atau di sebelah timur laut STIE BPD Jateng ± 110 meter.
Kehadiran kantor pos di Semarang ini tidak terlepas dari peran Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke-27, Gustaaf Willem Baron van Imhoff. Setelah Baron van Imhoff memerintahkan mendirikan kantor pos pertama di Batavia, selang empat tahun juga memerintahkan untuk mendirikan kantor pos di Semarang.


Kantor pos pertama di Hindia Belanda didirikan pada 26 Agustus 1746 di Batavia, dan alamatnya pada waktu itu berada di depan Museum Bahari, daerah Pasar Ikan Jakarta Utara (waktu masih berbentuk benteng). Menyusul kemudian kantor pos kedua di Hindia Belanda, didirikan di Semarang pada 1750.
Awalnya, layanan pengiriman pos dilakukan oleh kurir-kurir yang dipekerjakan oleh Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda, yang dalam bahasa Belandanya dikenal dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Layanan pos yang dilakukan pada waktu itu masih sebatas layanan pos untuk kepentingan VOC dan warga yang ada di dalam benteng. Jadi, pengiriman pos dari Batavia ke Semarang, masih dilakukan lewat kapal dari benteng di Batavia menuju ke benteng di Semarang atau sebaliknya.
Jarak antar pos atau surat dari Batavia ke Semarang saat itu cukup panjang, bisa memakan waktu lebih dari sebulan karena tidak setiap hari ada kapal untuk pengiriman pos. Namun, setelah dibuat Jalan Raya Pos pada tahun 1808 atas perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, jarak tempuh layanan pos antar kedua wilayah itu menjadi pendek, yaitu sekitar enam hari, yang ditempuh melalui jalan darat dengan berkuda.
Porti dihitung berdasarkan berat dan jarak tempuh, biasanya antara 7,5 dan 15 sen. Pada 1813, tarif khusus ditetapkan untuk barang cetakan dan pengurangan tarif untuk surat kabar. Setelah situasi politik dan ekonomi Belanda di Hindia Belanda dirasakan aman dan mantap, pada tahun 1824, benteng dihancurkan dan menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan. Dalam wilayah bekas benteng tadi seperti pada kota-kota besar lainnya berkembang pusat kota dengan bentuk dan gaya kota-kota pada abad pertengahan. Bangunan-bangunan berdiri mengelompok membentuk kawasan, dengan bangunan-bangunan tanpa halaman depan dan terletak langsung di jalan raya. Daerah ini sekarang dikenal dengan sebutan Kota Lama Semarang.


Kemudian pada 1848 muncul kesepakatan tarif yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dengan Kerajaan Belanda untuk pengangkutan kiriman pos dari Belanda ke Hindia Belanda, atau sebaliknya. Pada waktu J.P. Theben Tervile menjabat sebagai inspektur layanan pos di Hindia Belanda (Inspekteur der posterijen in Nederlandsch-Indie) pada tahun 1862, muncul gagasan menentukan tarif pengiriman pos melalui monopoli pemerintah. Ini mulai awal layanan pos dilembagakan dengan adminstrasi yang lebih baik, baik untuk pengiriman dokumen, surat, maupun uang di mana kurir pos berasal dari rekrutan pemerintah Hindia Belanda. Kemudian menyusul diperkenalkan perangko untuk pertama kalinya pada tahun 1864.
Seiring itu pula terbersit gagasan untuk memindahkan kantor pos peninggalan VOC ke daerah lain yang masih memiliki lahan yang cukup untuk didirikan bangunan kantor pos yang lebih besar dan representatif.
Pada 1902 rancangan proyek bangunan kantor pos dan telegraf yang baru diusulkan kepada Direktur Kantor Pekerjaan Umum Sipil (directeur van der Burgelijke Openbare Werken). Usulan yang disajikan itu kemudian ditanggapi oleh pihak Burgelijke Openbare Werken (BOW) dengan disertai beberapa perubahan kecil. Hal ini kemudian direspon oleh Kepala Inspektur Layanan Pos dan Telegraf dengan meminta bantuan kepada Kepala Insinyur Legerstee untuk mengedit apa saja sesuai yang diinginkan oleh pihak BOW yang mewakili pemerintah Hindia Belanda.
Pada April 1903, otorisasi telah diberikan untuk pembangunan kantor pos dan telegraf baru di Kota Semarang, yang diperkirakan menelan biaya f 65243 atau 65.243 gulden. Kemudian pada 1904 rancangan yang telah disesuaikan oleh Kepala Insinyur (hoofdingenieur) Legerstee, mulai dibangun. Pembangunannya memerlukan lebih dari setahun, dan setelah selesai, bangunan tersebut dinamakan Kantor Pos Besar dan Telegraf (Hoofdpost-en Telegraafkantoor).
Dilihat dari fasadnya, bangunan kantor pos ini memiliki gaya arsitektur Indische Empire, sebuah perpaduan desain The Empire Style yang dipopulerkan oleh Herman Willem Daendels dengan lingkungan setempat (indische). Arsitektur Indische Empire yang ditemui pada bangunan kantor pos ini bercirikan denah simetris dan gevel yang berada tepat di atas pintu utama dari bangunan tersebut.
Di kedua sisi dari tiga pintu utama, terdapat tiga jendela. Dari enam jendela tersebut, memberi pandangan akan suasana Jalan Pemuda. Sedangkan, gevel yang dimahkotai oleh cetakan yang indah dan besar dengan tulisan Kantor Pos dengan latar warna hitam dan oranye itu dulunya bertuliskan post- en telegraafkantoor. Selain itu, di atas tulisan berbentuk lingkaran itu dulunya tempat menempatkan jam sebagai penanda waktu bagi yang melintas di depan kantor pos maupun yang mengunjunginya.
Pada tahun 1979, bangunan gedung ini mengalami renovasi dan pemugaran, sekaligus penambahan ruangan di bagian belakang gedung. Namun, secara keseluruhan, renovasi itu tidak mengubah bentuk fisik luar gedung dan dipertahankan sesuai bentuk aslinya.
Kini, bangunan gedung ini hanya digunakan sebagai kantor pos saja. Kantor Telegraf yang dulu bergabung dengan kantor pos melebur ke Kantor Telkom. Kantor pos sendiri sekarang merupakan Pos Indonesia.
Pos Indonesia ini telah beberapa kali mengalami perubahan status, mulai dari Jawatan PTT (Pos, Telegraf dan Telepon). Badan usaha yang dipimpin oleh seorang Kepala Jawatan ini operasinya tidak bersifat komersial dan fungsinya lebih diarahkan untuk mengadakan pelayanan publik. Perkembangan terus terjadi hingga statusnya menjadi Perusahaan Negara Pos dan Telekomunikasi (PN Postel).
Mengamati perkembangan zaman di mana sektor pos dan telekomunikasi berkembang pesat, maka pada tahun 1965 berganti menjadi Perusahaan Negara Pos dan Giro (PN Pos dan Giro), dan pada tahun 1978 berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pos dan Giro yang sejak itu ditegaskan sebagai badan usaha tunggal dalam menyelenggarakan dinas pos dan giro pos, baik untuk hubungan dalam maupun luar negeri. Selama 17 tahun berstatus Perum, maka pada Juni 1995 berubah menjadi Perseroan Terbatas dengan nama PT Pos Indonesia (Persero). *** [190418]

Fotografer: Nareisywari Yudha Kartika
.
Kepustakaan:
Sumalyo, Yulianto. (1995). Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia: Mengetengahkan arsitek dan biro arsitek Maclaine Pont, Thomas Karsten, C.P. Wolf Schoemaker, W. Lemei, C.Citroen, Ed. Cuypers & Hulswit, Batavia Algemen Ingenieurs Architekten. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
______. (1867). Regerings-Almanak Voor Nederlandsch-Indie 1867. Batavia: Landsdrukkerij
https://www.indischeliterairewandelingen.nl/index.php/wandelingen/200-semarang-2-bodjong#Hoofdpost-en-Telegraafkantoor
http://repository.uin-suska.ac.id/2674/3/BAB%20II.pdf 
Share:

Pemberdayaan Kota Lama

Perlu waktu lama untuk menemukan kembali koleksi buku terbitan tahun 1933 tentang sejarah kota Semarang. Membuka buku itu, saya merasa seperti napak tilas ke kawasan Kota Lama, yang pada masa lalu sebagian orang menyebutnya Outstadt.
Arsitek UNDIP Murtomo B Adji dalam Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman: Arsitektur Kolonial Kota Lama Semarang (2008) menyebutkan luas kawasan itu terpisah dari blok di sekitarnya, seperti “kota” tersendiri sehingga ada yang menyebut Little Netherland.
Hingga saat ini masyarakat masih bisa melihat sisa kebesaran kawasan itu. Sejumlah bangunan kuno yang pada masa Hindia Belanda difungsikan sebagai perkantoran masih berdiri kokoh. Ada yang terpelihara dengan baik semisal Gereja Immanuel (Gereja Blenduk), termasuk yang direfungsikan seperti kantor Bank Mandiri dan PT. Asuransi Jiwasraya.
Karena itu, saya mengapresiasi penyelenggaraan Festival Kota Lama, baru-baru ini (SM, 05/10/12), yang bertujuan antara lain melestarikan sekaligus memberdayakan kawasan itu. Festival juga terkait dengan penyambutan Visit Jateng 2013.
Upaya itu perlu kita acungi jempol mengingat ada pihak swasta berpartisipasi. Artikel saya di harian ini edisi 20 November 2007 juga menyebutkan, “Kota Lama harus kita manfaatkan untuk tempat penyelenggaraan festival, seni budaya, atau tempat lomba masakan dan jajanan khas Semarang.”
Membaca buku sejarah kota ini dan pemberitaan Festival Kota Lama, membuat saya merasa perlu mengingatkan arti penting mengonservasi kawasan itu, yang memiliki nilai kesejarahan tinggi dan keunikan, berbeda dari landmark kota besar lain di Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri kehadiran Kota Lama tidak terlepas dari sejarah pembentukan kota ini. Gedung-gedung di Kota Lama dibangun di satu kompleks atau blok yang memang didesain untuk sentra perdagangan bangsa Belanda, China, dan pribumi. Di antara gedung-gedung itu, ada Hotel Jansen, yang kini sudah rata dengan tanah.

Kota Perdagangan
Perjalanan sejarah Semarang sebagaimana ditulis Liem Thian Joe (Riwayat Semarang, 2004) menyebutkan sejak abad 18 – 19 kota ini sudah menjadi kota perdagangan. Ia juga menulis pada 1896 kota ini sudah memiliki sarana dan prasaran perhubungan angkutan laut, serta informasi dan komunikasi.
Tentu fasilitas atau perangkat yang tersedia sangat minim dan sederhana, seperti sepeda dan gerobak untuk mengangkut hasil bumi gudang ke pelabuhan. Tahun 1863, Semarang bahkan sudah menerbitkan lembaran iklan Semarangsch Nieuws en Advertentieblad, media untuk mempromosikan perdagangan.
Dalam perkembangannya, lembaran iklan itu berganti format menjadi surat kabar, dengan nama de Locomotief.
Kawasan Kota Lama dibelah oleh jalan besar, Heerenstraat (kini Jalan Letjen Soeprapto), dan seorang tokoh Belanda Sneevliet menamai itu Benedenstat (Kota Bawah). Penamaan itu untuk membedakan penyebutan daerah Candi sebagai Kota Baru atau Kota Atas.
Heerenstraat merupakan embrio pusat perdagangan, dengan perusahaan yang menonjol antara lain Mirandolle Voute & Co (bisnis utama gula) dan Kian Gwan (kongsi milik Oei Tjie Sien, pengekspor hasil bumi).
Pada masanya perusahaan itu sangat terkenal dan tahun 1905 mulai menjalankan usahanya dari perkantoran di Kota Lama.
Pemangku kebijakan juga perlu menata lalu lintas di kawasan itu, termasuk lalu lintas ke tempat rekreasi lain di kota ini. Penataan arus lalu lintas sekaligus untuk menciptakan kenyamanan dan menjaga gedung-gedung tua itu dari getaran yang ditimbulkan kendaraan berat yang melintas di dekatnya.
Selain itu, perlu membuat brosur terkait Kota Lama, yang bisa dititipkan di rumah makan, hotel, stasiun, terminal, bandara, dan pelabuhan, yang menjadi akses masuk wisatawan.
Upaya itu untuk melengkapi promosi melalui internet. Pemkot harus lebih serius membenahi Kota Lama supaya bisa dipasarkan melalui kegiatan lokal, regional, ataupun internasional. *** [R. Haryanto, warga Semarang]

Sumber:           
  • SUARA MERDEKA edisi Seni, 22 Oktober 2012.
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami