Salah satu daya tarik Kawasan Kota Lama Semarang adalah banyaknya bangunan lawas atau kuno yang berdiri megah di dalam kawasan itu. Di antara bangunan lawas yang megah dan anggun yang terdapat di kawasan tersebut adalah Gereja Blenduk. Gereja ini terletak di Jalan Letjen Suprapto No. 32 Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Gereja ini berada di Kawasan Kota Lama Semarang, atau tepatnya berada di depan Kantor Asuransi Jiwa Sraya atau di sebelah barat Taman Srigunting.
Menurut sejarahnya, Kawasan Kota Lama (oudstad) ini awalnya merupakan lingkungan yang berada di dalam benteng de Vijfhoek van Semarang yang didirikan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Semula benteng tersebut berukuran kecil, sebatas untuk hunian pasukan VOC beserta keluarganya yang bertugas di Semarang. Kemudian diperluas seiring perkembangan penghuni di dalam benteng itu, yang diperkirakan mencapai 31 hektar.
Di dalam lingkungan benteng tersebut, VOC membangun gereja untuk tempat peribadatan umat Kristen Protestan dengan sebutan Nederlandsche Indische Kerk. Hal ini berkaitan dengan mayoritas bangsa Belanda pada waktu adalah pemeluk agama Kristen Protestan. Pada awal pembangunan tahun 1753, gereja tersebut berbentuk rumah panggung Jawa dengan atap berupa tajug.
Pada tahun 1787 bangunan gereja mengalami perombakan total. Bangunan rumah panggung dirobohkan dan diganti yang lebih permanen. Selang tujuh tahun, tepatnya pada tahun 1794 kembali diadakan perubahan kembali untuk bentuk dan ukurannya seperti sekarang, hanya saja belum memiliki menara, kolom Tuscan, gevel dan hiasan puncak.
Setelah terjadi masa peralihan dari VOC ke pemerintahaan Kerajaan Belanda yang kemudian dikenal dengan Hindia Belanda, pada tahun 1824 gerbang, menara pengawas dan tembok yang mengelilingi benteng mulai dirobohkan. Sehingga membentuk sebuah kawasan yang padat yang kelak dikenal dengan Kawasan Kota Lama.
Sejak saat itu, mulai bermunculan bangunan-bangunan baru, dan menjadikan kawasan tersebut menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan. Orang Belanda dan orang Eropa lainnya mulai menempati permukiman di sekitar Jalan Bojong (sekarang Jalan Pemuda). Pada era ini, Kota Lama Semarang telah tumbuh menjadi kota kecil yang lengkap. Banyak bangunan diperbaiki, tak terkecuali bangunan gereja. Tahun 1894-1895 dilakukan renovasi kembali bangunan gereja oleh H.P.A. De Wilde dan W. Wetmaas dengan menambahkan menara, kolom Tuscan, gevel dan hiasan puncak juga mengganti elemen-elemen pintu dan jendela.
Pada renovasi ini, terjadi perubahan nama terhadap bangunan gereja tersebut. Dari semula bernama Nederlandsche Indische Kerk berubah menjadi Koepelkerk. Nama koepelkerk berasal dari dua kata dari bahasa Belanda, yaitu koepel dan kerk. Koepel artinya kubah atau dome, sedangkan kerk artinya adalah gereja. Jadi, koepelkerk itu maknanya gereja yang berkubah. Meskipun nama koepelkerk awalnya diambil dari dua bentuk menara yang beratap kubah, akan tetapi di mata orang Jawa, kubah gereja itu (terlebih kubah besarnya) bentuknya mblenduk atau menggelembung besar. Berawal dari penglihatan itu, kemudian gereja ini menjadi akrab dengan sebutan Gereja Blenduk. Sebenarnya nama resminya saat ini adalah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel. Selain itu, karena sering mengalami pembaruan bangunan, gereja ini juga mendapat sebutan Hervorm de Kerk (gereja bentuk ulang), atau gereja yang sudah direnovasi.
Gereja Blenduk dengan luas bangunan sekitar 400 m² ini, memiliki kekhasan arsitektur di antara bangunan-bangunan lawas yang ada di Kawasan Kota Lama Semarang. Denah bangunan gereja ini berbentuk octagonal (segi delapan beraturan) yang tampilannya berupa bilik-bilik empat persegi panjang dan sisi sebelahnya berbentuk salib Yunani.
Bangunan Gereja Blenduk terdiri dari bangunan induk dan empat sayap bangunan. Atapnya berbentuk kubah (dome) yang diilhami dari bangunan kubah yang terkenal di Eropa, seperti kubah St. Peter’s Vatikan Roma (dalam bahasa Italia dikenal sebagai Basilica Sant Pietro in Vaticano) yang dibangun oleh seniman Michelangelo dari tahun 1506 sampai tahun 1626, dan kubah St. Paul’s karya Sir Christoper Wren (1675-1710).
Dalam Brosur Sekilas Blenduk (2004), dijelaskan bahwa desain bangunan Gereja Blenduk ini bergaya arsitektur Pseudo Baroque (gaya arsitektur Eropa dari abad 17 – 19). Baroque sendiri sebenarnya merupakan istilah untuk mengkategorikan perkembangan peradaban manusia (termasuk seni) dalam sebuah era yang terjadi di Eropa sekitar tahun 1600-1750. Periode ini merupakan bagian akhir dari zaman renaissance dan merupakan awal gerakan Protestantism yang terjadi di Jerman bagian utara dan Belanda.
Kata Baroque diperkirakan berasal dari bahasa Portugis kuno “barroco” yang berarti mutiara yang memiliki bentuk yang tidak bundar teratur namun lekukannya sangat kompleks dan detail. Seni Baroque memiliki sifat lebih dinamis seperti denah bagian sudut diakhir lengkung atau melingkat. Sehingga, corak seni Baroque mengandung tekanan yang kuat, kekuatan emosi dan sesuatu yang elegan.
Dalam kenyataan, arsitektur Baroque yang diterapkan di beberapa negara mempunyai kemampuan adaptasi dengan pola lingkungan setempat, baik iklim maupun topografi setempat. Seperti halnya dengan Gereja Blenduk yang berakar dari seni Baroque dipadukan dengan keadaan setempat di Semarang kala itu (budaya Indis). Perpaduan ini kemudian dinamakan dengan Pseudo Baroque.
Sejak dibangun, Gereja Blenduk ini merupakan tempat peribadatan umat Kristen Protestan, hal ini berkaitan dengan mayoritas bangsa Belanda yang pada waktu itu memeluk agama Kristen protestan. Dan, sekarang pun, Gereja Blenduk ini masih berfungsi sebagai tempat ibadah jemaat Kristen Protestan.
Melihat riwayat perjalanan dan kekhasan arsitektur yang dimilikinya, Gereja Blenduk kemudian menjadi landmark Kota Semarang pada umumnya dan Kota Lama Semarang pada khusunya. Potensi yang dimilikinya ini juga menjadikan Gereja Blenduk dijadikan sebagai obyek wisata religi dan wisata budaya di Kawasan Kota Lama Semarang. *** [190418]
Fotografer: Nareisywari Yudha Kartika
Menurut sejarahnya, Kawasan Kota Lama (oudstad) ini awalnya merupakan lingkungan yang berada di dalam benteng de Vijfhoek van Semarang yang didirikan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Semula benteng tersebut berukuran kecil, sebatas untuk hunian pasukan VOC beserta keluarganya yang bertugas di Semarang. Kemudian diperluas seiring perkembangan penghuni di dalam benteng itu, yang diperkirakan mencapai 31 hektar.
Di dalam lingkungan benteng tersebut, VOC membangun gereja untuk tempat peribadatan umat Kristen Protestan dengan sebutan Nederlandsche Indische Kerk. Hal ini berkaitan dengan mayoritas bangsa Belanda pada waktu adalah pemeluk agama Kristen Protestan. Pada awal pembangunan tahun 1753, gereja tersebut berbentuk rumah panggung Jawa dengan atap berupa tajug.
Pada tahun 1787 bangunan gereja mengalami perombakan total. Bangunan rumah panggung dirobohkan dan diganti yang lebih permanen. Selang tujuh tahun, tepatnya pada tahun 1794 kembali diadakan perubahan kembali untuk bentuk dan ukurannya seperti sekarang, hanya saja belum memiliki menara, kolom Tuscan, gevel dan hiasan puncak.
Setelah terjadi masa peralihan dari VOC ke pemerintahaan Kerajaan Belanda yang kemudian dikenal dengan Hindia Belanda, pada tahun 1824 gerbang, menara pengawas dan tembok yang mengelilingi benteng mulai dirobohkan. Sehingga membentuk sebuah kawasan yang padat yang kelak dikenal dengan Kawasan Kota Lama.
Sejak saat itu, mulai bermunculan bangunan-bangunan baru, dan menjadikan kawasan tersebut menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan. Orang Belanda dan orang Eropa lainnya mulai menempati permukiman di sekitar Jalan Bojong (sekarang Jalan Pemuda). Pada era ini, Kota Lama Semarang telah tumbuh menjadi kota kecil yang lengkap. Banyak bangunan diperbaiki, tak terkecuali bangunan gereja. Tahun 1894-1895 dilakukan renovasi kembali bangunan gereja oleh H.P.A. De Wilde dan W. Wetmaas dengan menambahkan menara, kolom Tuscan, gevel dan hiasan puncak juga mengganti elemen-elemen pintu dan jendela.
Pada renovasi ini, terjadi perubahan nama terhadap bangunan gereja tersebut. Dari semula bernama Nederlandsche Indische Kerk berubah menjadi Koepelkerk. Nama koepelkerk berasal dari dua kata dari bahasa Belanda, yaitu koepel dan kerk. Koepel artinya kubah atau dome, sedangkan kerk artinya adalah gereja. Jadi, koepelkerk itu maknanya gereja yang berkubah. Meskipun nama koepelkerk awalnya diambil dari dua bentuk menara yang beratap kubah, akan tetapi di mata orang Jawa, kubah gereja itu (terlebih kubah besarnya) bentuknya mblenduk atau menggelembung besar. Berawal dari penglihatan itu, kemudian gereja ini menjadi akrab dengan sebutan Gereja Blenduk. Sebenarnya nama resminya saat ini adalah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel. Selain itu, karena sering mengalami pembaruan bangunan, gereja ini juga mendapat sebutan Hervorm de Kerk (gereja bentuk ulang), atau gereja yang sudah direnovasi.
Gereja Blenduk dengan luas bangunan sekitar 400 m² ini, memiliki kekhasan arsitektur di antara bangunan-bangunan lawas yang ada di Kawasan Kota Lama Semarang. Denah bangunan gereja ini berbentuk octagonal (segi delapan beraturan) yang tampilannya berupa bilik-bilik empat persegi panjang dan sisi sebelahnya berbentuk salib Yunani.
Bangunan Gereja Blenduk terdiri dari bangunan induk dan empat sayap bangunan. Atapnya berbentuk kubah (dome) yang diilhami dari bangunan kubah yang terkenal di Eropa, seperti kubah St. Peter’s Vatikan Roma (dalam bahasa Italia dikenal sebagai Basilica Sant Pietro in Vaticano) yang dibangun oleh seniman Michelangelo dari tahun 1506 sampai tahun 1626, dan kubah St. Paul’s karya Sir Christoper Wren (1675-1710).
Dalam Brosur Sekilas Blenduk (2004), dijelaskan bahwa desain bangunan Gereja Blenduk ini bergaya arsitektur Pseudo Baroque (gaya arsitektur Eropa dari abad 17 – 19). Baroque sendiri sebenarnya merupakan istilah untuk mengkategorikan perkembangan peradaban manusia (termasuk seni) dalam sebuah era yang terjadi di Eropa sekitar tahun 1600-1750. Periode ini merupakan bagian akhir dari zaman renaissance dan merupakan awal gerakan Protestantism yang terjadi di Jerman bagian utara dan Belanda.
Kata Baroque diperkirakan berasal dari bahasa Portugis kuno “barroco” yang berarti mutiara yang memiliki bentuk yang tidak bundar teratur namun lekukannya sangat kompleks dan detail. Seni Baroque memiliki sifat lebih dinamis seperti denah bagian sudut diakhir lengkung atau melingkat. Sehingga, corak seni Baroque mengandung tekanan yang kuat, kekuatan emosi dan sesuatu yang elegan.
Dalam kenyataan, arsitektur Baroque yang diterapkan di beberapa negara mempunyai kemampuan adaptasi dengan pola lingkungan setempat, baik iklim maupun topografi setempat. Seperti halnya dengan Gereja Blenduk yang berakar dari seni Baroque dipadukan dengan keadaan setempat di Semarang kala itu (budaya Indis). Perpaduan ini kemudian dinamakan dengan Pseudo Baroque.
Sejak dibangun, Gereja Blenduk ini merupakan tempat peribadatan umat Kristen Protestan, hal ini berkaitan dengan mayoritas bangsa Belanda yang pada waktu itu memeluk agama Kristen protestan. Dan, sekarang pun, Gereja Blenduk ini masih berfungsi sebagai tempat ibadah jemaat Kristen Protestan.
Melihat riwayat perjalanan dan kekhasan arsitektur yang dimilikinya, Gereja Blenduk kemudian menjadi landmark Kota Semarang pada umumnya dan Kota Lama Semarang pada khusunya. Potensi yang dimilikinya ini juga menjadikan Gereja Blenduk dijadikan sebagai obyek wisata religi dan wisata budaya di Kawasan Kota Lama Semarang. *** [190418]
Fotografer: Nareisywari Yudha Kartika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar