The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Purworejo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Purworejo. Tampilkan semua postingan

Stasiun Kereta Api Butuh

Stasiun Kereta Api Butuh (BTH) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Butuh, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen  PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 5 Purwokerto yang berada pada ketinggian + 10 m di atas permukaan laut. Stasiun ini terletak di Jalan Nasional III atau Jalan Raya Prembun-Kutoarjo, Dukuh Krajan, Desa Butuh, Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi stasiun ini berada di tenggara Pasar Butuh ± 300 m, atau barat daya Kantor Desa Butuh ± 300 m.



Bangunan Stasiun Butuh ini merupakan bangunan peninggalan masa Hindia Belanda. Pembangunan stasiun ini bersamaan dengan pembangunan jalur rel kereta api dari Yogyakarta-Maos sepanjang 155 kilometer, yang dikerjakan oleh Staatsspoorwegen (SS), sebuah perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1887 sebagai lanjutan dari proyek jalur Solobalapan-Yogyakarta. Jalur yang dikenal dengan Westerlijnen-1 (Lintas Barat Utama) ini, pengerjaannya dimulai dari Yogyakarta di sebelah timur menuju ke Maos di sebelah barat.
Stasiun ini memiliki 2 jalur dengan jalur 2 sebagai sepur lurus di mana yang ke arah  barat menuju Stasiun Prembun dan yang ke arah timur menuju Stasiun Kutoarjo. Sedangkan, jalur 1 digunakan untuk persusulan atau persilangan antarkereta api.



Stasiun Butuh yang tergolong stasiun kelas III/kecil ini memiliki arsitektur yang khas bila dibandingkan dengan stasiun sekelasnya. Fasad bangunan utamanya menyerupai bangunan joglo. Selain itu, suasana stasiun ini cukup bersih, dan tanamannya pun terawat rapi serta memiliki halaman untuk parkir yang lumayan luas.
Namun saying, stasiun yang hanya berjarak 6 kilometer dari Stasiun Kutoarjo ini hanya difungsikan sebagai stasiun untuk persilangan dan persusulan antarkereta api. Sehingga, dalam kesehariannya terlihat sepi akan aktivitas menaikan maupun menurunkan penumpang atau barang seperti aktivitas kereta api pada umumnya.*** [220618]

Fotografer : Rilya Bagus Ariesta Niko Prasetyo
Share:

Gereja Santa Perawan Maria Purworejo

Gereja Santa Perawan Maria Purworejo terletak di Jalan K.H. Wahid Hasyim No. 1 Purworejo, atau tepatnya berada di sebelah timur Bank Rakyat Indonesia.
Gereja ini didirikan pada tahun 1927 oleh Romo B.J.J.  Visser MSC. Awalnya, gereja ini hanyalah sebuah rumah berarsitektur Jawa yang dibangun pada tahun 1888. Rumah tersebut semula  digunakan oleh Dinas Pekerjaan Umum (DPU) atau BOW sebagai kantor, kemudian dibeli oleh Romo-romo Serikat Yesus. Dari bekas ruang gambar sebuah rumah tersebut, lalu dibentuk sedemikian rupa. Di dalamnya terdapat altar dilengkapi beberapa bangku dengan berbagai altar dilengkapi beberapa bangku dengan berbagai macam ukuran, deretan kursi, dan Jalan Salib sehingga merupakan sebuah gereja. Akhirnya, pada Selasa Kliwon, 25 Oktober 1927 diadakan misa pertama yang dilakukan oleh Romo-romo dari Tarekat Hati Kudus (MSC) di ruangan tersebut.


Misa pertama itu dilaksanakan sebanyak 2 kali pagi hari di gereja, dan 2 kali di rumah. Dalam misa tersebut dibagikan 20 komuni. Itulah saat kelahiran Paroki Purworejo, karena pada saat itu, secara resmi Purworejo telah diserahkan oleh Missionaris Serikat Yesus kepada Missionaris Tarekat Hati Kudus.
Penyerahan itu merupakan tindak lanjut dari Surat Keputusan dari Konggregasi Suci “Propaganda Fide” di Roma tertanggal 3 Desember 1926, yang isinya menetapkan para pastor dari Tarekat Hati Kudus (Missionarii Ss. Cordis/MSC) diserahi tugas missioner di wilayah Purworejo – Kedu Selatan (bekas Karesidenan Bagelen), daerah Karesidenan Banyumas, dan Pekalongan.


Lima tahun sejaka para romo MSC berkarya di Purworejo, jumlah umat Katholik terus meningkat dan bertambah banyak. Dari kenyataan itu, maka pada tanggal 15 Agustus 1932, saat Hari Raya Santa Perawan Maria diangkat ke surga bertepatan pula dengan Pesta Perak Imamat Romo M. de Lange MSC yang disambut dengan misa agung yang dipersembahkan oleh Yubilaris dengan Asistensi Pontifikal, Romo Dr. C. Damann, dilontarkan ide untuk mendirikan bangunan gereja baru menggantikan bangunan gereja yang sudah semakin tua dan tidak mampu lagi menampung umat yang melakukan ibadat.
Kontrak kerja pembangunan gereja baru dilakukan pada 6 Maret 1933 setelah dicapai kata sepakat dalam pembicaraan antara Romo M. de Lange MSC yang didampingi Romo H. Mannesse MSC dengan CV. Fermont Cuypers, sebagai pemborong bangunan.
Biaya pembangunan gereja disepakati sebesar 27.775 Gulden. Dana sebesar 9.649,13 Gulden dan 1.500 Gulden yang diperuntukkan khusus untuk altar adalah hasil kolekte umat di Purworejo, dan panitia juga menerima sumbangan dari Jakarta dari sebuah panitia sebesar 7.002,14 Gulden.
Peletakan batu pertama dilakukan pada 12 Maret 1933. Upacara dipimpin oleh Romo H. Mannesse MSC. Upacara dihadiri para suster, bruder dan umat Katholik Purworejo.
Setelah lima bulan berlalu sejak peletakan batu pertama, maka pada tanggal 13 Agustus 1933 pembangunan gedung gereja baru tersebut selesai dikerjakan.
Upacara peresmian dan pemberkatan dilakukan oleh Mgr B.J.J. Visser MSC dihadiri para pejabat pemerintah, Romo Gereja Baptist dari Missie Bureau, Romo Van Driessche, SJ dari Yogykarta dan segenap umat Katholik Purworejo. ***

Kepustakaan:
  • Radix Penadi (Penyusun Naskah Sejarah & Editor), 2002,  Kenangan Penuh Syukur 75 Tahun Paroki Santa Perawan Maria Purworejo, Purworejo: Paroki Santa Perawan Maria Purworejo.










                                                                                                                        
Share:

Masjid Agung Al-Izhaar Kutoarjo

Kutoarjo merupakan salah satu wilayah kecamatan yang berada di Kabupaten Purworejo. Di antara semua kecamatan yang ada di Kabupaten Purworejo, Kutoarjo memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan yang lainnya. Bukan lantaran dari letak geografisnya namun juga dari sisi historisnya.
Secara historis, Kutoarjo sebelum bergabung ke dalam wilayah Purworejo pada tahun 1936, merupakan salah satu kabupaten yang berdiri sendiri di daerah Karesidenan Bagelen. Nama kabupatennya adalah Kabupaten Semawung, yang meliputi Bagelen bagian selatan dengan ibu kota Kutoarjo. Sehingga, pembangunan yang ada kala itu mirip dengan pola pembangunan yang berada di Kabupaten Purworejo. Kutoarjo memiliki alun-alun dan juga kemegahan Masjid Agung Al-Izhaar Kutoarjo.


Masjid Agung Al-Izhaar Kutoarjo dibangun pada 16 September 1887 di atas tanah wakaf K.H. Kastubi. K.H. Kastubi merupakan seorang penghulu yang berada di Kabupaten Semawung. Sejak diangkatnya K.H. Kastubi sebagai penghulu pada 1887, masalah pernikahan dapat terlayani bagi warga masyarakat Kutoarjo yang masih berdiri sendiri sebagai Kabupaten. Untuk urusan perceraian juga sudah ada pejabat yang menangani. Dari berbagai pelayanan yang sudah ada. Muncullah pengadilan agama (PA) cikal bakal PA Purworejo. Dalam sejarah di era K.H. Abu Bakar, keturunan dari K.H. Kastubi, di masjid tersebut sudah berlaku tatacara perceraian pasangan suami isteri secara sah, baik segi agama maupun pemerintahan.


Masjid Agung Al-Izhaar Kutoarjo yang masih berdiri kokoh dan megah ini terletak di daerah Kauman, Kelurahan Kutoarjo, Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, atau tepatnya berada di sebelah barat alun-alun Kutoarjo. Berdasarkan ketuaan bangunan maupun sisi historis lainnya, masjid ini dimasukkan ke dalam benda cagar budaya tidak bergerak dengan nomor inventarisasi: 11-06/Pwr/TB/27. ***
Share:

Prasasti Sipater

Prasasti Sipater di temukan di Masjid Tiban Jenar Kidul yang terletak di Desa Jenar Kidul, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo. Prasasti ini ditemukan warga pada 28 Oktober 1980 di salah satu tembok bagian atas sebelah selatan masjid, yang semula untuk ganjal antara kayu atap dan tembok. Dibuat dari batu andesit dengan ukuran panjang 64 cm, lebar 38 cm, dan memiliki ketebalan 9 cm. Pada saat ini prasasti disimpan di Museum Tosan Aji Purworejo dengan nomor inventaris 432.2/IB.15.


Prasasti Sipater memakai bahasa dan aksara Jawa Kuna, dan diperkirakan prasasti ini dibuat pada zaman pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung pada sekitar abad 8 – 9 Masehi. 
Prasasti ini mengisahkan tentang pembuatan tanggul dan bendungan untuk meningkatkan hasil pertanian di tanah sima Desa Sipater. ***
Share:

Bedug Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo

Setelah Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo selesai dibangun, KRA. Cokronagoro I merasa belum puas tanpa adanya perangkat lainnya yang isitimewa dan hebat. Lalu, beliau menghendaki adanya bedug yang besar yang akan ditabuh sebagai pertanda adzan akan dikumandangkan untuk saatnya waktu shalat tiba.
Selanjutnya, beliau mengumpulkan para pejabat dan kerabat Kadipaten Purworejo untuk menyampaikan maksudnya untuk membuat bedug yang istimewa kepada para hadirin. RT Prawironagoro, Wedana Purwodadi, yang tidak lain adalah adik kandung beliau sendiri, menyanggupinya untuk membuat bedug besar yang bahannya sudah ada di daerah kekuasaannya, yaitu berupa tunggul atau bongkot kayu jati Pendowo, yang batang serta cabang-cabangnya sudah dipakai untuk tiang-tiang Masjid Agung dan Pendopo Kadipaten Purworejo, yang berada di Dusun Pendowo, Desa Bragolan, Kawedanan Purwodadi.


Semuangnya mufakat akan usulan dari RT Prawironegoro. Bedug besar harus dibuat dengan ukuran yang besar guna mengimbangi kebesaran Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo. Maka diputuskan agar segera dibuat bedug besar oleh RT Prawironegoro. Sedangkan, untuk kulit bedug besar diserahkan kepada Wedana Loano, yang di daerahnya banyak terdapat sapi besar jenis benggala atau ongale. Sedangkan nanti pengangkutannya diserahkan kepada kerabat Bupati. Ketika bedug besar tersebut selesai dibuat (selama 6 tahun), kerabat Bupati mulai berusaha mengangkut bedug tersebut namun ternyat tidak satupun sanggup untuk melaksanakan tugas tersebut.
RT Prawironegoro setelah berpikir, lalu memberanikan diri untuk mengusulkan kepada Sang Bupati, bahwa menantunya sendiri yang akan bersedia untuk menerima tugas memimpin pekerjaan tersebut. Adapun menantu Sang Tumenggung ialah seorang kyai atau na’ib dari Desa Solotihang, Loano, yang bernama KH. Muhammad Irsyad yang mempunyai kemampuan lebih daripada orang lain.
Akhirnya, Sang Bupati menyetujui. Lalu, oleh beliau diangkatlah dengan resmi KH. Muhammad Irsyad guna melaksanakan tugas berat tersebut. Dalam istilah Jawa disebut “Kasinengkakaken ing ngaluhur”, dari orang biasa menjadi orang terhormat yang mendapat kepercayaan dari KRA. Cokronagoro I. Karena tugas ini diberikan kepada orang luar kerabat Bupati, di mana hanya ada hubungan istrinya yang masih kerabat dalem, dalam istilah Jawa “sinered ing bengkung” (bengkung atau stagen adalah ikat pinggang wanita yang terbuat dari kain, untuk mengikat kain batik yang dipakainya).
Bedug yang saat ini dikenal sebagai Bedug Ageng Kyai Pendowo atau Kyai Bagelen, memiliki panjang 292 cm dengan diameter bagian depan 194 cm, diameter bagian belakang 180 cm, keliling bagian depan 601 cm, dan keliling lingkar bagian belakang 564 cm. Semula kulit penutup bedug bagian depan dan belakang terbuat dari kulit sapi ongale, namun pada tanggal 3 Mei 1936 bagian belakang diganti kulit lembu dari Desa Winong. Jadi hanya bagian depannya saja yang masih asli dari kulit sapi ongale.
Untuk memaku kulit bedug di bagian depan dipergunakan paku keeling sebanyak 112 buah. Bagian belakang dipergunakan paku keeling sebanyak 98 buah. Pada bulan Mei 1993, bagian belakang rusak lagi, dan diganti kulit lembu yang besar. Pembuatan bedug besar ini diperkirakan antara tahun 1834 hingga 1840 Masehi.
Diyakini hingga kini, hanya Bedug Ageng Kyai Pendowo atau Kyai Bagelen ini sajalah satu-satunya bedug yang mempunyai ukuran paling besar yang terbuat dari kayu jati utuh tanpa ada sambungan sedikitpun. Bahkan mungkin yang terbesar di Indonesia, boleh jadi di Asia Tenggara maupun seluruh dunia. ***  

Kepustakaan: 
  • HR Oteng Suherman, 2011, Kisah Masjid Agung Purworejo dengan Bedug Raksasanya, Purworej: PD Dewan Masjid Indonesia Kabupaten Purworejo.
Share:

Maksuroh Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo

Maksuroh merupakan bangunan berbentuk bilik yang digunakan sebagai tempat shalat Jumat Bupati KRA. Cokronagoro. Bangunan ini sederhana tanpa ada ukiran, melambangkan kesederhanaan.
Setiap Bupati Purworejo yang memerintah sebelum kemerdekaan selalu mempergunakan maksuroh ini, namun setelah Proklamasi Kemerdekaan maksuroh ini tidak digunakan lagi. Sekarang dipakai untuk adzan setiap akan masuk waktu shalat. ***
Share:

Mimbar Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo

Mimbar khutbah yang berada di dalam Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo, bahannya berasal dari kayu jati Pendowo. Ornamen hias yang indah, dinding luar diberi kaca. Sedangkan, di samping kiri kanan diberi ornamen ukiran bermotif Kawungan dan bunga ceplok

.

Bagian muka atas dihias kaligrafi Arab yang bertuliskan kalimat tauhid, dengan tiang sepuluh buah. Di tengah tiang terukir hiasan piala dan buket bunga serta tulisan Arab: IMAM. Atap mimbar berbentuk limasan brunjungan dengan mustoko bunga teratai yang sedang mekar. ***
Share:

Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo

Harapan Kanjeng Raden Adipati (KRA) Cokronagoro I (Bupati pertama Purworejo) untuk membangun sarana ibadah bagi ummat Islam yang ada di Kota Purworejo, rupanya dapat segera terwujud, karena sarana bahan bangunan untuk pembuatan Masjid Agung sudah tersedia di wilayah alam Purworejo sendiri.
Untuk kebetuhan kayu, sudah tersedia pohon jati yang cukup banyak di Desa Bragolan, Onder Districht Purwodadi kala itu. Adapun yang menjadi Wedana Purwodadi adalah Raden Tumenggung Prawironagoro yang tiada lain adalah adik kandung Bupati KRA. Cokronagoro I.


Untuk umpak (landasan) dari tiang utama (sokoguru) masjid tersedia batu-batu persegi bekas yoni (pasangan lingga). Lingga dan yoni ini banyak ditemukan berserakan di sepanjang tepi Sungai Bogowonto, sehingga banyak pula yang dijadikan umpak rumah maupun masjid di daerah Purworejo, karena sudah tidak dipakai untuk pemujaan lagi.
Batu-batu fondasi banyak didapat dari sungai-sungai yang mengalir di sekitarnya. Batu kapur (gamping) dapat diperoleh dari Bukit Menoreh, serta batu bata merah dapat dengan mudah disediakan oleh masyarakat Purworejo.


Berbekal dari bahan-bahan yang tersedia tersebut, KRA Cokronagoro I segera memerintahkan kepada Ki Patih Cokrojoyo, yaitu Pepatih Dalem Kadipaten Purworejo untuk memulai membangun Masjid Agung dengan tiada henti-hentinya memohon kepada Allah SWT agar terlaksana dengan sebaik-baiknya, dan dapat menjadi sarana ibadah yang berharga bagi rakyat Kadipaten Purworejo sampai kelak kemudian hari. Konon, arsitek masjid ini adalah Khasan Muhammad Shuufi, seorang arsitek kenamaan pada masa itu.
Di atas tanah wakaf yang luasnya hampir 9.000 meter persegi, Masjid Agung Purworejo dibangun. Tercatat dalam Babad Kedhung Kebo, pembangunan Masjid Agung Purworejo dengan sengkalan “Guna Sad Giri Bumi” (Guna = 3, Sad = 6, Giri = 7, Bumi = 1). Berdasarkan kaidah bahasa Jawa, pembacaan sengkalan tersebut dimulai dari belakang. Jadi 3671 dibaca dari belakang menjadi 1763. Tahun Alip 1763 Jawa tersebut bertepatan dengan tanggal 16 April 1834 M.
Arsitektur bangunan Masjid Agung Purworejo meniru bentuk Masjid Agung Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, di mana sewaktu masih mengabdi menjadi Mantri Gladag di Kraton Kasunanan dengan nama Raden Ngabehi Resodiwiryo, sering melakukan ibadah di Masjid Agung Surakarta.
Bentuk bangunan tersebut, dalam Kitab Kawruh Kalang (Buku Ilmu Bangunan Jawa) disebut model Tajug Lawakan Lambang Teplok di mana tiang utamanya menopang langsung atap (brunjungan). Sedangkan, bangunan serambi menggunakan atap limasan yang disebut Limasan Trajumas.
Pada awalnya, ukuran Masjid Agung Purworejo adalah 21 m x 21 m, sedangkan serambi berukuran 8 m x 21 m. Tinggi brunjungan 23 m.
Tiang utama (sokoguru) ada 4 buah dengan ukuran 54 cm x 54 cm, dan tinggi 15 m, yang terbuat dari kayu jati Pendowo, dan berdiri di atas umpak yoni. Sedangkan, tiang pananggap (pembantu) berjumlah 12 buah ukuran 70 cm x 70 cm terbuat dari batu bata.
Bentuk atap brunjungan terdiri atas 3 tingkat, yaitu atap 1 (terbawah) disebut atap panitih, melambangkan syariah. Atap 2 disebut atap pananggap, melambangkan thoriqoh. Atap 3 disebut atap brunjung, melambangkan hakikat.
Puncak yang menjadi bagian tertinggi dari Masjid Agung Purworejo, dinamakan mustoko, yang melambangkan ma’rifat. Mustoko ini terbuat dari perunggu dengan hiasan Daun Kadaka Hutan yang dari jauh tampak seperti angsa yang menari.
Mihrab Masjid Agung dibuat kemudian, jauh setelah bangunan masjid selesai, yaitu tahun 1326 Hijriyah atau 1904 Masehi, dengan sengkalan berbentuk gambar hiasan pada lengkungan mihrab yang berbunyi “Pang Pinajang Srikaya Sagodhonge” (Pang, cabang = 6, Pinajang, dihias = 2, Srikaya, buah Srikaya = 3, dan Godhong, daun = 1).  Jika dibalik, membacanya menjadi 1326 (Hijriyah).
Pada masa pemerintahan Bupati Letkol H. Supantho (1975 – 1985), pada tahun 1976 – 1977 dilakukan renovasi serambi. Serambi yang berukuran 8 m x 21 m menjadi dua kali lipatnya, yaitu 16 m x 21 m. Atap Limasan Trajumas dirubah menjadi bentuk kubah, serta tampak depan yang jauh berbeda dari bentuk semula.
Selanjutnya pada pemerintahan Bupati Drs. H. Goernito (1990 – 2000) dan Sekwildanya dijabat oleh Drs. H. Soetarto Rachmat, yaitu pada tahun 1993 diadakan renovasi besar-besaran. Bangunan serambi diperluas lagi menjadi dua kali luas sebelumnya, kemudian atap kubah diganti dengan dua buah atap limasan. Tampak muka tetap seperti semula hanya dimajukan. Di halaman masjid, sebelah tenggara dibangun sebuah menara berbentuk tugu dengan dasar segi lima, melambangkan Pancasila. Tingginya sekitar 25 m.
Pada masa Kepala Kantor Departemen Agama dijabat oleh Drs. H. Mochammad Soeripto, dan Ketua Takmir Masjid Agung adalah K.H. Drs. M. Ghufron Faqih, dengan persetujuan para ‘alim ulama, Masjid Agung Purworejo diberi nama, yaitu Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo. Masjid ini berlokasi di Jalan Mayjen Sutoyo No. 81  Sindurjan, Purworejo.***


Kepustakaan:
  • HR Oteng Suherman, 2011, Kisah Masjid Agung Purworejo dengan Bedug Raksasanya, Purworej: PD Dewan Masjid Indonesia Kabupaten Purworejo.
  • Paper Tugas Akhir di Jurusan Arsitektur FT UNDIP, dengan nama file: RIA_TAURINA_D.pdf.
  
Share:

Kyai Sadrach (1835 - 1924)

Pemberitaan Injil kepada orang Jawa di Bagelen dan Jawa Tengah mengalami kemajuan pesat karena pekerjaan Sadrach. Oleh sebab itu, kita perlu mengetahui riwayat Sadrach dan bagaimana ia memberitakan Injil.
Ia lahir di Jepara (ada yang menyebut Demak) tahun 1835, dari keluarga petani miskin . Nama kecilnya adalah Radin. Waktu muda, ia suka mengembara mencari “ilmu”. Mula-mula ia berguru kepada guru “ilmu” Kejawen bernama Kurmen, alias Sis Kanoman. Lalu, ia belajar ke pesantren di Jombang, Jawa Timur. Di pesantren ini, ia belajar membaca dan menulis Jawa dan Arab. Ajaran Islam yang disukai yang bersifat tassawuf (mistik). Ia juga gemar mempelajari ramalan-ramalan Jayabaya, terutama tentang akan datangnya Ratu Adil yang membuka jalan baru.  Ketika di Jombang inilah, ia mulai mengenal agama Kristen sebagai “ilmu” baru, dari desa-desa Kristen yang ia kunjungi yaitu Ngoro, Mojowarno, dan daerah sekitarnya. Ia berkenalan dengan Ds. Jellesma, penginjil yang tinggal di Desa Mojowarno, tahun 1851 – 1858. Kontak pertama dengan agama Kristen ini belum merubah Radin untuk memeluk agama Kristen. Ia masih meneruskan mencari “ilmu” di salah satu pesantren di Ponorogo beberapa tahun.
Sepulang dari Ponorogo, ia memilih tinggal di Semarang untuk bergaul dengan orang-orang Arab dan para haji. Di sini, ia menambah namanya menjadi Radin Abas. Di Semarang, ia bertemu dengan gurunya, Sis Kanoman, yang telah menjadi Kristen pengikut Tunggul Wulung. Ia terkesan cara Tunggul Wulung menaklukkan gurunya, yaitu dengan beradu “ilmu”. Siapa yang kalah harus mengikuti yang menang beserta semua murid-muridnya. Cara Tunggul Wulung inilah yang nantinya dipergunakan Sadrach dalam memberitakan Injil. Radin Abas kemudian menjadi murid Kyai Tunggul Wulung. Namun di Semarang ini, ia mengadakan kontak dengan penginjil Ds. Hoezoo dan Ds. P. Jansz. Namun akhirnya ia lebih cocok mengikuti kekristenan Jawa gaya Tunggul Wulung (“Kristen Jawa”) daripada kekristenan gaya Barat (“Kristen Londo”).
Tahun 1865 Radin Abas diajak Kyai Tunggul Wulung ke Batavia menemui Mr. Anthing. Mr. Anthing pernah tinggal di Semarang, dan pada tahun 1863 pindah ke Batavia menjabat Wakil Ketua Mahkamah Agung. Ia anggota perkumpulan pemberita Injil non-gerejawi yang disebut Genootschaap Voor In-en Uitwendige Zending, yang giat memberitakan Injil dan mendidik calon penginjil orang bumiputera. Dua anak Kyai Tunggul Wulung belajar pada Mr. Anthing. Di Batavia, Radin Abas belajar bahasa Melayu, dan menjadi murid bahkan “anak emas” Mr. Anthing. Ia berkenalan dengan penginjil-penginjil anggota kelompok Mr. Anthing yang umumnya pejabat pemerintah yang sadar akan amanat Kristus. Di Batavia inilah pada tanggal 14 April 1867 Radin Abas menerima baptis di gereja Portugis (sekarang GPIB Sion) oleh Ds. Ader, dan memilih nama baptis Sadrach.
Pertengahan 1867 ia kembali ke Semarang dengan jalan kaki sambil memberitakan Injil. Selanjutnya bersama gurunya, Sis Kanoman dan Tunggul Wulung, membangun desa Kristen di Bondo, Jepara. Karena ada kurang serasi dengan gurunya, pada tahun 1869 meninggalkan Bondo pergi kepada penginjil Poensen di Kediri. Di situ pun rupanya kurang cocok, akhirnya atas saran Poensen, ia pergi ke Purworejo membantu Ny. Phillips. Sejak 1871 ia menetap di Karangjoso, sampai wafat di usia lanjut pada 15 November 1924. Selama memberitakan Injil lebih dari 7.000 orang dibaptiskan, meski harus diakui bahwa kebanyakan pengetahuan mereka sangat minim dalam hal iman Kristen sebab keterikatan mereka dengan guru lebih diutamakan.

Sumber:

  • Buku Cetakan milik GPIB Purworejo hal. 3 – 5.
Share:

Nyonya Phillips (1825 - 1876)

Pemberitaan Injil bagi orang Jawa di Karesidenan Bagelen dimulai oleh Nyonya Phillips tahun 1860 di Desa Ambal, Kabupaten Kebumen. Ia lahir dengan nama Christina Petronella pada 17 November 1825 di Yogyakarta.  Ayahnya seorang Belanda bernama Stevens, dan ibunya adalah orang Jawa, sehingga sejak kecil ia dapat berbahasa Jawa dan bergaul dengan orang Jawa di samping orang Belanda. Ia menikah dengan seorang Indo juga bernama Johannes Carolius Phillips, pengawas perkebunan nila dan tinggal di Ambal, maka ia dikenal sebagai Nyonya Phillips.
Tahun 1859 Ny. Phillips tergugah hatinya untuk memberitakan Injil kepada orang Jawa, setelah kedatangan tamu orang Jawa yang sudah menjadi Kristen dari Jawa Timur. Ia merasa heran bahwa ada orang Jawa yang menjadi Kristen, bahkan orang itu mendorongnya agar memberitakan Injil kepada orang Jawa di sekitarnya. Saudara Tuan Phillips, yaitu Ny. Van Oostrom di Banyumas yang pedagang batik juga sudah berbuat demikian. Ny. Van Oostrom membawa 9 orang Jawa, pembantu-pembantunya ke Semarang untuk menerima baptis pada tanggal 10 Oktober 1858 oleh Ds. Hoezoo.
Peristiwa itu menggugah Ny. Phillips untuk memberitakan Injil kepada pembantu-pembantunya. Ternyata berhasil. Pada 27 Desember 1860, 5 orang pembantunya terdiri dari 2 pria, dan 3 wanita menerima baptis di Gereja Protestan Purworejo, dilayani oleh Ds. B. Braams. Inilah orang Kristen dari suku Jawa menjadi Kristen di daerah Bagelen, sebab yang lain orang Yogyakarta. Satu dari murid Ny. Phillips ini memiliki nama baptis Cephas, yang kemudian menjadi fotografer terkenal di Yogyakarta, yang membuat gambar relief-relief yang tersembunyi dari Candi Borobudur atas perintah Ir. Ijzerman tahun 1890.
Tahun 1862 Tuan Phillips pensiun dan pindah ke Purworejo, tinggal di kampung Tuksongo. Di sini, Ny. Phillips melanjutkan memberitakan Injil kepada orang Jawa, dan juga orang China. Beberapa orang dari Jawa Timur, dan dari Jepara bekas murid Kyai Tunggul Wulung juga belajar agama Kristen di rumah Ny. Phillips. Karena mengalami kesulitan bahasa, murid Ny. Phillips mengadakan kebaktian bukan di Gereja Protestan melainkan di gereja kecil yang dibangun di halaman rumah Ny. Phillips di Tuksongo. Di antara murid yang kemudian menjadi pembantu Ny. Phillips ialah Abisai Reksadiwangsa. Ia berasal dari Jepara, murid Kyai Tunggul Wulung. Adapun Kyai Tunggul Wulung adalah orang Juwana (Pati), yang semula bernama Ngabdullah. Ia pergi ke Kediri dan pernah bertapa (mendito) di G. Kelud kemudian menjadi Kristen setelah bertemu dengan Ds. Jellesma di Mojowarno. Selanjutnya, ia menjadi penginjil di Jawa, gemar mengembara dan mendirikan desa-desa Kristen di sekitar lereng G. Muria. Abisai Reksadiwangsa adalah murid Tunggul Wulung, dalam tahun 1863 ia bermaksud ke Banyumas menemui Ny. Van Oostrom namun singgah dulu di Tuksongo. Sekembalinya dari Banyumas tahun 1865, ia membantu Ny. Phillips. Ia sendiri baru dibaptis bersama teman-teman lainnya pada tahun 1868 oleh Ds. Hanegraat di Gereja Protestan Purworejo. Selanjutnya Ny. Phillips mendapat bantuan dari Taroeb, murid Poensen dari Kediri, yang ditugasi memberitakan Injil di Ambal. Namun, karena kurang berhasil ia kembali ke Kediri. Tahun 1869 Ny. Phillips mendapat pembantu lagi yaitu Sadrach yang ditugasi di Kutoarjo dan sekitarnya. Sebelum Sadrach datang, murid Ny. Phillips baru ada 29 orang. Namun setelah Sadrach datang, jumlah orang Jawa yang dibaptis semakin banyak.  Pada saat Ny. Phillips wafat pada 23 Mei 1876, jumlah orang Kristen Jawa sudah lebih dari 1.000 orang. Ny. Phillips akan merasa bangga bahwa hasil jerih payahnya selama 16 tahun memberitakan Injil tidaklah sia-sia. Meski usianya hanya sampai 51 tahun, Tuhan Yesus Raja Gereja memandang cukup, dan memberi kepada hambanya peristirahatan dalam damai. Setahun kemudian, tepatnya pada 11 Juni 1877 Tuan Phillips menyusul menerima panggilan Tuhan. ***

Sumber:
  • Buku Cetakan milik GPIB Purworejo hal. 1 - 2
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami