The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label museum di Banda Aceh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label museum di Banda Aceh. Tampilkan semua postingan

Museum Negeri Aceh

Jika Anda termasuk peminat masalah sejarah anak negeri ini, Museum Negeri Aceh adalah tempat yang tidak boleh dilewatkan saat singgah di Banda Aceh.
Museum ini terletak di Jalan Sultan Alauddin Mahmudsyah No. 12 Kelurahan Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Lokasi museum ini berada di samping Gedung Juang maupun Pendopo Gubernuran (Meuligo), dan tidak begitu jauh dengan Situs Cagar Budaya: Pinto Khop, Taman Sari Gunongan, dan Sentral Telepon Belanda.
Museum Aceh didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yang pemakaiannya diresmikan oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh Letnan Jenderal Henri Nicolas Alfred Swart (lahir di Cibitung, 12 Oktober 1863) pada tanggal 31 Juli 1915. Bangunannya merupakan sebuah rumah Aceh (Rumoh Aceh) yang berasal dari Paviliun Aceh yang ditempatkan di arena Pameran Kolonial (De Koloniale Tentoosteling) di Semarang pada tanggal 13 Agustus – 15 November 1914.
Pada waktu penyelenggaraan pameran di Semarang tersebut, Paviliun Aceh memamerkan koleksi-koleksi yang sebagian besar adalah milik pribadi Friedrich Wilhelm Stammeshaus (lahir di Sigli, 3 Juni 1881), yang pada tahun 1915 menjadi Kurator Museum Aceh yang pertama. Selain koleksi milik Stammeshaus, juga dipamerkan koleksi-koleksi berupa benda-benda pusaka para pembesar Aceh, sehingga dengan demikian Paviliun Aceh merupakan paviliun yang paling lengkap koleksinya.


Sistematika penataan pameraan di Paviliun Aceh pada Pameran Kolonial tersebut memperlihatkan gambaran mengenai etnografika dan hasil-hasil kesenian, alat-alat pertenunan Aceh dan hasil-hasilnya yang telah terkenal pada masa itu, senjata-senjata tajam diperlengkapi dengan foto-foto cara menggunakannya. Penanggung jawab koleksi dan penataannya ditangani oleh Friedrich Wilhelm Stammeshaus dan Overste Th. J. Veltiman yang dikirim khusus oleh Gubernur Aceh Letnan Jenderal Henri Nicolas Alfred Swart. Di samping pameran tersebut, di muka paviliun setiap saat dipertunjukkan tari-tarian Aceh.
Sebagai tanda keberhasilan dalam pameran itu, Paviliun Aceh memperoleh 4 medali emas, 11 perak, 3 perunggu, dan piagam penghargaan sebagai paviliun terbaik. Keempat medali emas tersebut diberikan untuk pertunjukan, boneka-boneka Aceh, etnografika, dan mata uang. Perak untuk pertunjukan, foto, dan peralatan rumah tangga.
Karena keberhasilan tersebut, Stammeshaus mengusulkan kepada Gubernur Aceh agar paviliun tersebut dibawa kembali ke Aceh dan dijadikan sebuah museum. Ide ini diterima oleh Gubernur Swart. Atas prakarsa Stammeshaus, Paviliun Aceh itu dikembalikan ke Aceh, dan pada tanggal 31 Juli 1915 diresmikan sebagai Aceh Museum, yang berlokasi di sebelah timur Blang padang di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Museum ini berada di bawah tanggung jawab penguasa sipil dan militer Aceh dengan kuratornya yang pertama Friedrich Wilhelm Stammeshaus.
Setelah Indonesia merdeka, Museum Aceh menjadi milik Pemerintah Daerah Aceh yang pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah daerah Tingkat II Banda Aceh. Pada tahun 1969 atas prakarsa T. Hamzah Bendahara, Museum Aceh dipindahkan dari tempatnya yang lama (Blang Padang) ke tempatnya yang sekarang ini. Setelah pemindahan ini, pengelolaannya diserahkan kepada Badan Pembina Rumpun Iskandarmuda (BAPERIS) Pusat.


Sejalan dengan program pemerintah tentang pengembangan kebudayaan, khususnya pengembangan permuseuman, sejak tahun 1974 Museum Aceh telah mendapat biaya Pelita melalui Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah Istimewa Aceh. Melalui Proyek Pelita telah berhasil direhabilitasi bangunan lama dan sekaligus dengan pengadaan bangunan-bangunan baru. Bangunan baru yang telah didirikan itu, gedung pameran tetap, gedung pertemuan. Gedung pameran temporer dan perpustakaaan, laboratorium dan rumah dinas. Selain untuk pembangunan sarana/gedung museum, dengan biaya Pelita telah pula diusahakan pengadaan koleksi, untuk menambah koleksi yang ada. Koleksi yang telah dapat dikumpulkan, secara berangsur-angsur diadakan penelitian dan hasilnya diterbitkan guna dipublikasikan secara luas.
Sejalan dengan Program Pelita dimaksud, gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh dan BAPERIS Pusat telah mengeluarkan Surat Keputusan bersama pada tanggal 2 September 1975 Nomor 538/1976 dan SKEP/IX/1976 yang isinya tentang persetujuan penyerahan museum kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan sebagai Museum Negeri Provinsi, yang sekaligus berada di bawah tanggung jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kehendak Pemerintah Daerah untuk menjadikan Museum Aceh sebagai Museum Negeri Provinsi baru dapat direalisir tiga tahun kemudian, yaitu dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tanggal 28 Mei 1979 Nomor 093/0/1979 terhitung mulai tanggal 28 mei 1979 statusnya telah menjadi Museum Negeri Aceh. Peresmiannya baru dapat dilaksanakan setahun kemudian atau tepatnya pada tanggal 1 September 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan DR. Daoed Yoesoef.
Selain Museum Aceh, di Aceh pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda terdapat pula sebuah Museum Militer yang diberi nama Atjehsch Leger Museum yang didirikan pada tanggal 7 Januari 1937. Museuum ini merupakan Museum Militer yang pertama di Hindia Belanda. Atjehsch Leger Museum tidak berusia lama, karena dengan masuknya tentara Jepang tahun 1942 museum ini tidak dapat diselamatkan lagi.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa Museum Negeri Aceh, sesuai dengan perjalanan sejarahnya, pengelolaannya telah saling berganti. Kini, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom (pasal 3 ayat 5 butir 10f), operasionalisasi museum tersebut menjadi kewenangan Pemerintah Aceh. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 10 Tahun 2002 tanggal 2 Februari 2002, status Museum Negeri Aceh menjadi UPTD Museum Negeri Provinsi Aceh di lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Museum yang memiliki luas gedung seluruhnya 2.134 m² yang dibangun di atas lahan milik negara seluas 9.400 m² ini, sampai tahun 2003 Museum Negeri Aceh mengelola 5.328 koleksi benda budaya dari berbagai jenis (arkeologika, biologika, etnografika, filologika, geologika, historika, keramanologika, numismatika, seni rupa, dan teknologika), dan 12.445 buku dari berbagai judul yang berisi aneka macam ilmu pengetahuan. *** [020415]

Kepustakaan:
Seri Penerbitan Museum Negeri Aceh: Petunjuk Singkat Museum Negeri Aceh, Proyek rehabilitasi dan Perluasan Museum daerah Istimewa Aceh, 1982
Share:

Museum Giok Aceh Abu Usman Top Idocrase

Demam batu giok yang melanda Aceh ternyata tidak sia-sia. Bagi pecinta batu alam, bisa berkunjung ke Aceh karena Provinsi Aceh sekarang memiliki museum yang menyimpang dan mengumpulkan jenis batu alam mulia dari berbagai pelosok Aceh. Museum ini dikenal dengan nama Museum Giok Aceh Abu Usman Top Idocrase.
Museum ini terletak di Jalan Khairil Anwar No. 15-17 Kelurahan Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Lokasi museum ini tepat berada di depan Hotel Aceh Barat Peunayong.


Sesuai namanya, Museum Giok Aceh dimiliki oleh Ir. Muhammad Usman alias Abu Usman. Abu Usman yang lahir pada 1964 adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafi Assunah di Lampeuneuruet, Aceh Besar dengan jumlah santri sekitar 100 orang. Ia merupakan alumnus Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, menggeluti dunia batu mulia di Aceh sejak 30 tahun silam. Batu giok miliknya berhasil memenangi kontes batu mulia dalam Indonesia Gemstone Competition pada Maret 2014 di Jakarta dengan merebut lima sertifikat sekaligus, yaitu dari juara satu, dua, tiga, harapan satu hingga juara harapan dua. Sejak kemenangan itu, batu giok dari Aceh merajai batu mulia Indonesia, dan hal ini memunculkan inisiatif Abu Usman untuk mendirikan museum giok ini.
Gagasan membuat museum ini muncul setelah proses riset panjang yang dilakukan oleh beberapa pengusaha batu yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Batu Aceh (APBA). Riset itu menunjukkan bahwa aset Aceh yang memliki nilai tinggi belum dikemas  dengan baik. Padahal memiliki nilai ekonomi utnuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sehingga museum ini dibangun, sesungguhnya untuk melestarikan batu giok Aceh berbagai macam jenis.


Museum yang diresmikan pada 3 Februaru 2015 oleh Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf ini terletak di gedung lima lantai dengan luas 10 x 15 meter dan bisa menampung 500 hingga 1.000 orang. Lantai satu terdapat gallery, dua hingga empat tersedia ruang pamer berbagai jenis batu. Sedang lantai atasnya aula serta kantor museum.
Namun pada saat penulis berkunjung ke museum ini, hanya dipandu untuk melihat koleksi batu alam yang berada di lantai saja. Terdapat beragam batu alam, mulai dari bongkahan batu cincin sampai ke asesorisnya. Hanya saja ini baru tahap penyusunan dan dekorasi ruang. Kendati guide menerangkan baru ada ragam koleksi batu alam dari dua kabupaten di Aceh, yaitu Kabupaten Aceh Jaya dan Nagan Raya, namun pesona macamnya telah mampu membuat decak kagum. Sedikitnya ada 20 jenis batu dipamerkan, salah satunya adalah jenis Idocrase Aceh yang memiliki kualitas dunia.
Museum Giok Aceh ini merupakan museum umum yang menyediakan informasi seputar batu alam yang ada di Aceh, dan sekaligus menyediakan informasi wisata Aceh. Museum ini diprioritaskan sebagai tempat pembelajaran mengenai batu-batu mulia yang berada di Bumi Aceh, dan ke depannya diharapkan menjadi pusat riset perbatuan di Aceh.
Pihak museum juga akan bekerjasama dengan travel seluruh Aceh untuk menjadikan museum ini sebagai destinasi wisata baru di Aceh. Terlebih Museum Giok Aceh ini merupakan Museum Giok Idocrase pertama di Indonesia. *** [300315]

Share:

Museum Tsunami Aceh

Museum Tsunami Aceh (MTA) terletak di Jalan Iskandar Muda, Kelurahan Suka Ramai, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Lokasi museum ini berada di kawasan Blower, dan berada di sisi pintu gerbang Kherkof Peutjoet.
MTA ini didirikan untuk mengenang tsunami yang meluluhlantakan Aceh pada 26 Desember 2004, sehari setelah masyarakat Kristiani merayakan natalan. Gedung ini dibangun atas prakarsa beberapa lembaga yang terlibat rekonstruksi Aceh pasca tsunami, di antaranya Badan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Pemerintah Daerah Aceh, Pemerintah Kota Banda Aceh, dan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI).
Model bangunan MTA diambil dari rancangan pemenang dalam sayembara, M. Ridwan Kamil, dosen arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB). Model rancangan bangunan yang digagas oleh Ridwan Kamil tersebut mengadopsi dari ide bangunan Rumoh Aceh as Escape Hill.
Desainnya, lantai pertama museum merupakan ruang terbuka, sebagaimana rumah tradisional orang Aceh. Selain dapat dimanfaatkan sebagai ruang publik, jika terjadi banjir atau tsunami lagi, maka air yang datang tidak akan terhalang lajunya.


Tak hanya itu, unsur tradisional lainnya berupa seni Tari Saman yang diterjemahkan ke dalam kulit luar bangunan eksterior. Sedangkan, denah bangunan merupakan analogi epicenter sebuah gelombang laut tsunami. Tampilan eksterior museum mengekspresikan keberagaman budaya Aceh melalui ornamen dekoratif unsur transparansi elemen kulit luar bangunan seperti anyaman bambu. Sedangkan tampilan interiornya mengetengahkan sebuah tunnel of sorrow yang menggiring pengunjung ke suatu perenungan atas musibah dahsyatnya yang diderita warga Aceh sekaligus kepasrahan dan pengakuan atas kekuatan dan kekuasaan Allah dalam mengatasi sesuatu.
Bangunan MTA berdiri megah pada lahan seluas satu hektar, sekilas tampak seperti perahu lengkap dengan cerobong asapnya. Desain ini begitu tematik sekali.
Pada pintu masuk museum dipajang helikopter milik Kepolisian yang pernah bertugas di Bumi Rencong yang terkena terjangan tsunami. Kerusakan dari helikopter inilah yang sebenarnya ingin ditampilkan agar pengunjung sadar betul akan kedahsyatan tsunami yang melanda Bumi Serambi Mekkah.
Masuk ke dalam, pengunjung disuguhkan dengan sebuah lorong sempit yang agak remang. Di sini pengunjung bisa melihat air terjun di sisi kiri dan kanannya yang mengeluarkan suara gemuruh air. Lorong ini untuk mengingatkan para pengunjung pada suasana tsunami.
Selanjutnya adalah sebuah ruang yang disebut The Light of God. Ruang yang berbentuk sumur silinder ini menyorotkan cahaya ke atas sebuah lubang dengan aksara Arab, Allah. Dinding sumur silinder juga dipenuhi nama-nama para korban tsunami Aceh. Dari luar jauh, akan terlihat seperti cerobong.
Keluar dari sana, ada memorial hall di ruang bawah tanah. Ruangan ini gelap dengan dinding kaca. Di sana pengunjung dapat melihat foto-foto kondisi Aceh yang porak poranda setelah tsunami. Foto-foto tersebut ditampilkan memakai pada 26 layar display elektronik selebar 17 inci.
MTA yang dibangun dengan dana sekitar Rp 70 miliar, sekarang menjadi ikon bagi Kota Banda Aceh. Bahkan, menjadi land mark kedua Kota Banda Aceh setelah Masjid Raya Baiturrahman. Terbukti dengan masih banyaknya pengunjung yang hilir mudik ke museum ini. Menurut juru parkir yang berada di MTA, semenjak dibuka untuk umum, diperkirakan rata-rata pengunjung berjumlah sekitar seribu sampai dua ribuan per bulan, paling ramai hari Sabtu dan Minggu. Museum ini ramai dikunjungi setiap hari oleh anak sekolah, wisatawan lokal, nasional dan wisatawan mancanegara. *** [061013]

Kepustakaan:
Buletin Wonderful World of Aceh Vol. II/Mei-Agustus 2012 hal. 16
Pengamatan langsung pada hari Minggu, 6 Oktober 2013
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami