The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Gorontalo Heritage. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gorontalo Heritage. Tampilkan semua postingan

Kota Jin

Ketika diajak teman untuk melihat Kota Jin, sepintas terlintas bayangan yang seram, menakutkan dan mencekam. Nama yang tidak lazim ini, ternyata memang benar-benar ada di suatu daerah di Bumi Gorontalo.
Kota Jin merupakan salah satu situs taman purbakala yang berada di Desa Kota Jin Utara, Kecamatan Atinggola, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Lokasi ini berbatasan dengan Laut Sulawesi di bagian utara, berbatasan dengan Desa Monggupo dan Pinotoyonga di bagian selatan, berbatasan dengan Sungai Andagile di bagian timur, yang menjadi tapal batas dengan Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara atau sekitar 100 kilometer dari Kota Gorontalo.
Kota Jin merupakan tumpukan batu yang memiliki goa di dalamnya. , atau dalam bahasa setempat disebut Ota lo jin. Ota berarti benteng atau istana, sedangkan lo jin adalah miliknya para jin, sehingga Ota lo jin berarti benteng atau istananya para jin.
Farha Daulima dan Hapri Harun dalam bukunya, Mengenal Situs/Benda Cagar Budaya di Provinsi Gorontalo (2007), mengisahkan bahwa  perkampungan Kota Jin semula berupa dataran yang menyatu dengan lembah sebuah pegunungan, dan sebagiannya masih berupa lautan. Pada 1800, ketika lautan itu kering, maka hamparan yang dulunya berupa lautan berubah menjadi rawa-rawa yang ditumbuhi semak belukar.
Tahun 1850, mulailah berdatangan orang-orang dari luar wilayah untuk membuka ladang dan perkebunan. Kesuburan tanah membuatnya bertambahnya penduduk, sehingga dataran tersebut berubah menjadi sebuah perkampungan.


Pada 1868, perkampungan tersebut menjadi satu desa di bawah pemerintahan raja Andagile, Raja Yahya van Gobel. Namun ketika itu namanya bukan Desa Kota Jin, melainkan negeri Kota Jin dengan pimpinannya bernama Wannopulu (Wala’opulu).
Menurut cerita turun temurun dari masyarakat setempat, penduduk asli di daerah ini berasal dari Ternate yang ikut dengan dua orang putera raja Ternate, Mosambe dan Sanggi Bula yang pergi meninggalkan kerajaan lantaran kecewa karena tidak terpilih menjadi raja. Malahan adiknya yang bungsu, Sanggi Bulawa, yang terpilih dan dinobatkan menjadi raja Ternate. Hal ini tidak terlepas dari intervensi Belanda kala itu. Ceritanya bermula dari kopiah  yang dikirim oleh Belanda kepada raja Ternate yang sudah tua sebagai penentu siapa di antara ketiga putera raja tersebut yang bakal menjadi raja. Apakah Mosambe, Sanggi Bula ataukah Sanggi Bulawa. Siapa yang tepat dengan ukuran kepalanya, dialah yang berhak menjadi raja, menggantikan ayahandanya yang sudah tua.
Ternyata kopiah itu tepat ukurannya dengan kepala Sanggi Bulawa, sehingga Sanggi Bulawa dinobatkan menjadi raja Ternate.Kedua saudaranya, Mosambe dan Sanggi Bula sangat kecewa. Lalu, mereka membawa sebagian penduduk kerajaan Ternate yang setia kepada mereka menuju ke Pulau Batang Dua, sebagian lagi ke Pulau Lembe (Bitung), lalu ke Manado, Bolaang Mangondow, Suwawa, Bulango hingga ke Atinggola.
Di Atinggola, mereka mulai membuka hutan untuk bercocok tanam, membaur dengan penduduk asli, dan kemudian ada yang menikah dengan penduduk asli di daerah tersebut sehingga kemudian mereka menetap di Kota Jin sampai beranak pinak.
Secara geologis, bongkahan batu besar yang berada di tengah sawah milik penduduk yang diyakini sebagai istana jin, terbentuk oleh alam secara alamiah. Batu karst (batu kapur) mengalami pelarutan dengan terbentuknya goa-goa kecil paska muncul di daratan usai lautan kering. Namun bagi mereka yang masih kental dengan kepercayaan animisme, mereka mengandalkan tumpukan batu “yang dihuni oleh jin tersebut” dapat menyembuhkan orang yang sakit, dan sekaligus melindungi mereka dari jin-jin pembawa penyakit. Maka mereka tak segan-segan meletakkan sesaji (sajen) di depan goa sebelum beraktivitas.
Ota lo jin berada di pinggir jalan Trans Sulawesi sekitar 500 meter, terlihat tumpukan batu yang berdiri kokoh di tengah sawah, dan di tengahnya terdapat mulut goa sebagai pintu masuk. Di dalam ruangan situs purbakala ota lo jin ini terdapat Sembilan kamar yang terbuat dari batu alam dan sepasang meja-kursi yang terbuat dari bebatuan yang bahannya berupa stalagtit dan stalagnit.


Melalui jalan masuk dalam goa tersebut terdapat hamparan bersih, yang konon merupakan tempat para jin tersebut berzikir. Ketika syiar Islam berkembang di daerah tersebut sekitar tahun 1880, goa ini pernah menjadi tempat berkhalwat bagi para penyebar agama Islam. Itulah sebabnya bagi yang memiliki indera keenam, dapat mendengar lantunan zikir.
Pernah ada kunjungan dari sekolahan dalam rangka wisata, anggota rombongan siswa masuk ke dalam goa ini. Ketika mereka keluar, salah seorang temannya tertinggal di dalam. Ketika dicari di dalam goa tersebut, ternyata ia masih khusyu’ berzikir di atas batu altar tersebut.
Menurut siswa tersebut, ia tidak sendirian di dalam goa, namun banyak para Syech yang bersorban putih dan hijau juga khusyu’ berzikir. Salah seorang dari mereka lalu mengajak siswa tersebut duduk bersama mereka untuk melantunkan zikir.
Kota Jin akan sangat meriah jika dikunjungi pada hari Rabu di akhir bulan Safar, karena seluruh penduduk Desa Kota Jin dan masyarakat Atinggola pada umumnya akan melakukan ritual Mandi Safar di Sungai Andagile yang menjadi batas antara Provinsi Gorontalo dengan Provinsi Sulawesi Utara. Menurut kepercayaan setempat, hari Rabu di akhir bulan Safar adalah hari naas yang harus dibersihkan dengan cara mandi di sungai. *** [221113]


Share:

Tari Tidi

Tidi dalam bahasa setempat memiliki arti tari. Kata tidi hanya menguatkan klasik tariannya. Dari busana, gerakan tari, formasi tari, dan alat tari, semuanya bernilai moral sehingga tarian ini tidak dibenarkan direkayasa. Mengubah busana, gerakan dan formasi berarti merubah makna.
Tidi lahir sejak zaman pemerintahan Raja Eyato pada 1672, ketika syiar agama Islam menguat di Kerajaan Gorontalo. Sesuai dengan falsafah adat bersendi syara’, dan syara’ bersendikan Kitabullah (Al-Qur’an), maka makna busana, gerakan, formasi, dan tetabuhan rebana, disesuaikan dengan nilai agama Islam (syari’at) dan nilai moral serta nilai didik.
Sehingga makna busana adat dan semua atribut serta aksesorisnya harus melambangkan lima keterikatan, yaitu keterikatan dalam menjalankan syari’at Islam, keterikatan sebagai ratu rumah tangga, keterikatan dalam menjalin kekerabatan antar keluarga, tetangga dan masyarakat, keterikatan dalam pergaulan sehari-hari, dan keterikatan dalam menjalankan hak dan kewajiban dalam struktur rumah tangga sesuai adat dan syara’ menuju rumah tangga sakinah mawaddah warrahmah.
Menurut Farha Daulima dan Reiners Bila dalam bukunya, Mengenal Tarian Daerah Tradisional dan Klasik Gorontalo, disebutkan bahwa ada tujuah jenis tidi yang ada di Gorontalo yaitu:

Tidi Da’a
Sejak tahun 1960, Tidi Da’a dengan tidak merubah gerakan, busana dan nilai klasiknya, oleh seniman tari Gorontalo, Chirna Monoarfa, diciptakanlah sebuah lagu untuk member makna gerakan tersebut lewat syair lagu. Namun pemakaian lagu ini diserahkan kepada si pelaksana adat. Yang masih menghendaki keasliannya tetap menggunakan iringan musik kalsik tanpa lagu, sedangkan yang menginginkan memakai lagu akan diiringi dengan syair lagu tersebut.
Dalam Tidi Da’a ini, penarinya berasal dari puteri raja yang menjadi pengantin perempuan dengan didampingi dari kerabat istana. Busana ada yang dikenakan adalah bili’u lengkap terbuat dari emas, yang berasal dari warisan turun temurun.

Tidi Lo Polopalo
Tidi Lo Polopalo versi tari keluarga Kaluku di Telaga, sejak tahun 1950 masih diiringi lagu Bismila Dulanaru hingga pengembangannya versi Bulango sejak tahun 1970, menggunakan lagu yang diciptakan oleh keluarga Gobel, yaitu Popotolimowa mayi polopalo.
Ketika tahun 2002, Tidi Lo Popopalo dimainkan di Jakarta, keluarga Kaluku mengembalikan pada aslinya memakai lagu Bismila Dulanuru. Bagaimanapun kita mengembangkan tarian klasik ini, tidak mengubah nilai klasiknya, tetapi bermaksud memperjelas makna gerakannya.
Dalam Tidi Lo Polopalo ini, penarinya berasal dari puteri bangsawan, wali-wali mowali, yang saat ini mencakup pejabat-pejabat negeri dengan didampingi dua orang. Busana adat yang digunakan adalah bili’u dengan huwo’o (rambut) yang dilambangkan dengan kotak-kotak terbuat dari perak bersepuh emas lima susun bagi pengantin puteri.

Tidi Lo Tihu’o
Tihu’o artinya rantai yang terangkai dari manik-manik dengan warna adat liango (tila batayila), yaitu warna kuning, merah, hijau dan ungu. Tidi ini bermakna menjalin persatuan atau “buhuta wawu walama.”
Dalam Tidi Lo Tihu’o ini, penarinya berasal dari puteri bangsawan, wali-wali mowali, yang saat ini mencakup pejabat-pejabat negeri dengan didampingi oleh 2, 4 sampai dengan 6 orang. Busana adat yang dikenakan adalah bili’u dengan huwo’o (rambut) yang dilambangkan dengan kotak-kotak terbuat dari perak bersepuh emas yang terdiri dari lima susun bagi pengantin puteri.

Tidi Lo O’ayabu
O’ayabu artinya kipas. Makna kipas adalah ketegaran seorang ratu rumah tangga dalam melayani suami dan anak-anaknya serta anggota keluarga lain. Kipas adalah penyejuk, pendingin suasana. Hal ini yang dimaksudkan adalah kebijakan dan kebijaksanaan dalam menghadapi setiap tantangan.
Lahirnya tarian ini di kalangan istana, sebagai tarian penyambut tamu dari kerajaan lain, dan acara syukuran keberhasilan kerajaan dalam kegiatan pembangunan atau pemerintahan.
Dalam Tidi Lo O’ayabu ini, penarinya berasal dari puteri bangsawan, wali-wali mowali, yang saat ini mencakup pejabat-pejabat negeri atau para tokoh dengan jumlah penari sebanyak 5 orang. Busana adat yang digunakan adalah madi pungu dengan lima tangkai sunthi di atas konde.

Tidi Lo Tonggalo
Tonggalo artinya penyangga. Tidi ini menggambarkan bagaimana peranan seorang calon ibu rumah tangga untuk saling menopang suaminya dalam membantu lancarnya biduk rumah tangga. Menopang bukan berarti meninggalkan hak dan kewajiban sebagai isteri, tetapi tetap dalam koridor aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan syari’at.
Dalam Tidi Lo Tonggalo ini, penarinya berasal dari puteri bangsawan, wali-wali mowali, yang saat ini mencakup pejabat-pejabat negeri dan puteri para tokoh masyarakat dengan jumlah penari sebanyak 5 orang. Busana adat yang dipakai adalah madi pungu, dengan lima tangkai sunthi di atas konde.

Tidi Lo Malu’o
Malu’o artinya ayam. Ada dua makna yang terkandung di dalamnya. Pertama, bermakna bahwa puteri raja atau puteri bangsawan dinikahi oleh putera raja atau bangsawan dari negeri seberang, maka Tidi Lo Malu’o dilakukan pada acara resepsi pernikahan. Pada malam pertunangan dapat dapat menyelenggarakan tarian Tidi Da’a yag diperuntukkan bagi puteri raja, dan Tidi Lo Palopalo bagi puteri bangsawan dan wali-wali mowali.
Dulu, apabila ada Tidi Lo Malu’o maka rakyat negeri atau tuwango lipu mengetahui bahwa pengantin putera berasal dari negeri seberang.
Kedua, bermakna bahwa dalam rumah tangga bersifatlah seperti ayam. Artinya, mengayomi seluruh anggota keluarga sebagaimana ayam melindungi anaknya di bawah sayap. Sedikit atau banyak yang didapat oleh seekor induk ayam, anak-anaknya yang didahulukan.
Dalam Tidi Lo Malu’o ini, penarinya berasal dari puteri bangsawan, wali-wali mowali, dan puteri tokoh masyarakat dengan jumlah penari sebanyak  5 orang, termasuk pengantin puteri. Busana ada yang dikenakan adalah madi pangu, dengan lima tangkai sunthi di atas konde untuk pengantin bili’u.

Tidi Lo Tabongo
Tabongo artinya ikhtiar, mewaspadai sesuatu dalam rumah tangga maupun dalam negeri. Sebagai ratu, gambaran kendala-kendala yang dihadapi dan bagaimana jalan keluarnya dilukiskan pada formasi dan gerakan. Antara lain, mempertahankan kehormatan negeri, kehormatan suami, kehormatan martabat keluarga dan kehormatan diri sendiri. Tidi ini memiliki tujuh gerakan utama yang divariasikan dengan gerakan-gerakan lain.
Dalam Tidi Lo Tabango ini, penarinya berasal dari puteri raja atau bangsawan, wali-wali mowali dan puteri tokoh masyarakat dengan jumlah penari sebanyak bilangan gasal dari 5 hingga 7 orang. Jika dilakukan oleh pengantin puteri raja, maka jumlah penari cukup 3 orang saja. Busana adat yang digunakan adalah bili’u untuk pengantin puteri, madi pungu untuk penari lainnya dengan lima tangkai sunthi di atas konde. Sunthi adalah bunga seruni.
Share:

Benteng Maas

Benteng Maas (Ota Maas Udangan) terletak di Dusun Molu’o, Desa Molu’o, Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Lokasi benteng ini berada di sebelah barat benteng Oranye yang berada di kawasan dataran yang tidak begitu jauh dari pantai.
Awalnya, benteng Maas diperkirakan tepat berada di tepi laut namun seiring perjalanan waktu, garis pantai berkembang mundur ke arah utara akibat laut surut.
Menurut Farha Daulima dan Hapri Harun dalam bukunya, Mengenal Situs/Benda Cagar Budaya di Provinsi Gorontalo (2007), benteng Maas ini dibangun oleh bangsa Portugis sekitar abad 15 atau 16 pada masa pemerintahan Sultan Amay di Kerajaan Gorontalo. Tujuan bangsa Portugis membangun benteng ini tiada lain untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam. Dari luar adalah serangan bajak laut dari Mindanao (Philipina) maupun bangsa barat lainnya. Sedang dari dalam yaitu orang-orang pribumi, terutama raja-raja Limboto dan Gorontalo.


Dulu, di lokasi benteng ini menjadi pusat keramaian rakyat beruba kesenian tradisi seperti tari primitif maupun kegiatan lainnya. Di sekeliling benteng kala itu, terdapat kebun-kebun milik rakyat dan pemukiman penduduk.
Ketika Belanda masuk di wilayah Kwandang, maka benteng ini dikuasai dan dijadikan sebagai pusat pertahanan dan keamanan. Di daerah koloni tersebut, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ordonantie tentang perlindungan benda-benda purbakala di Hindia Belanda (Staatsblad Nomor 258 Tahun 1931).
Pada saat Jepang menduduki Gorontalo, benteng Maas mengalami kerusakan dan tidak diperbaiki. Baru setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 maka benteng Maas ini dipelihara oleh masyarakat sekitar, dan pada tahun 1979 diadakan studi kelayakan untuk melakukan renovasi benteng Maas. Namun karena kerusakan sudah begitu parah, bahkan sebagian besar telah menjadi tumpukan puing-puing, benteng tersebut tak terselamatkan. Pengunjung hanya bisa melihat reruntuhan benteng tersebut.
Kini situs benteng Maas dimiliki oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan pengelolaan di bawah Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo bersama Kemendikbud. *** [221113]
Share:

Benteng Oranye

Salah satu peninggalan sejarah yang cukup menarik di Gorontalo adalah benteng Oranye (Fort Orange). Benteng ini terletak di Bukit Arang yang masuk wilayah administratif Lingkungan I, Desa Dambalo, Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Lokasi ini berada sekitar 61 kilometer dari Kota Gorontalo, atau 2 kilometer dari pusat Kota Kwandang, ibukota Kabupaten Gorontalo.
Menurut sejarahnya, yang pertama kali datang mendiami pesisir pantai Kwandang, yaitu suku Buol, kemudian suku Gorontalo yang berasal dari Kerajaan Limboto. Masusknya suku Gorontalo dari Limboto ini, didorong oleh kekhawatiran mereka bahwa Tomilito (Kwandang) akan dikuasai oleh Kerajaan Buol. Pada saat itu, perairan pantai Kwandang berkecamuk perang melawan Mangindano, komplotan bajak laut yang berasal dari Philipina (Mindanawo).
Pada pertengahan abad 15-16, datang bangsa Barat ke Indonesia, terus menuju ke Timur yaitu bangsa Portugis yang menduduki Ternate, Maluku, lalu Sulawesi khususnya Gorontalo melalui Kwandang.
Didorong oleh keinginan untuk menguasai daerah Gorontalo dan mempertahankan dari serangan musuh (bajak laut) dari Philipina terutama di pesisir utara Kwandang maka timbullah usaha untuk membangun benteng pertahanan di pesisir pantai utara Kwandang. Benteng ini dibangun oleh bangsa Portugis pada 1630 Masehi.
Cara Portugis membangun benteng ini, menggunakan tenaga rakyat banyak secara gotong-royong. Untuk mengangkat batu, mereka berdiri berjejer dan menggulirkan batu-batu itu dari tangan ke tangan, sampai ke tempat tumpukan batu, tempat pembuatan benteng.
Bahan-bahan yang digunakan untuk membangun benteng ini, yaitu batu karang, batu gunung, pasir dan kapur, serta dengan bahan perekatnya ialah getah pelepah daun rumbia, sebab pada waktu itu belum ada semen. Akan tetapi, benteng ini cukup kuat.


Kedatangan bangsa Belanda di Gorontalo sekitar awal abad 17 menyebabkan bangsa Portugis mulai terdesak karena persaingan dagang dan perebutan kekuasaan di salah satu daerah sumber penghasil rempah-rempah, sehingga terpaksa Portugis meninggalkan Gorontalo.
Pada abad 18, benteng ini diperbaiki oleh bangsa Belanda, dengan menambah bangunan kecil di atas bukit sebagai tempat memantau dan pusat penembakan, dengan menempatkan sebuah meriam.
Penambahan bangunan benteng serta perubahan konstruksi bangunan benteng, mulai memakai semen. Semula, orang Gorontalo menamai benteng ini dengan sebutan benteng (ota) Lalunga. Namun, ketika Snouck Orange memerintah benteng ini maka namanya diganti dengan nama Fort Orange (Benteng Oranye).


Secara konstruksi, bangunan benteng ini terdiri atas dinding benteng, bastion I, bastion II, dan bastion III. Dinding benteng yang berbentuk segi empat memiliki ukuran panjang 40 meter, lebar 32,5 meter, dan tinggi sekitar 3 - 4 meter serta ketebalan 50-60 cm. Bastion I yang berada di sebelah barat laut, memiliki panjang 19 meter, dan lebar 3 – 5 meter. Bastion II berada di timur laut, memiliki bentuk bulat telur (elips) dengan diameter 8 meter, tinggi berkisar antara 4 hingga 5 meter, dengan ketebalan dinding antara 60-90 cm. Sedangkan, bastion III kini tinggal bekasnya saja. Diperkirakan bentuknya juga bulat telur dengan diameter 11 meter, sedangkan tingginya sama dengan benteng lainnya. Bastion III ini dulunya sebagai pos pengintai. Untuk menuju ke benteng, pengunjung harus menaiki tangga sebanyak 178 anak tangga.
Untuk melestarikan benda-benda peninggalan sejarah ini, Pemerintah berusaha memperbaiki benteng Oranye dari tahun 1983 hingga 1987 terbagi dalam lima tahap, yang sebelumnya terlebih dahulu dilakukan studi kelayayakan pada tahun 1979. Berdasarkan instruksi Inspektorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI maka benteng Oranye telah memiliki pos jaga dan juru pelihara.
Kin benteng Oranye menjadi obyek wisata di Bumi Gorontalo yang menjadi tujuan kunjungan bagi wisawatan mancanegara maupun wisatawan nusantara. *** [221113]

Kepustakaan:
Farha Daulima, dkk., 2007, Mengenal Situs/Benda Cagar Budaya Di Provinsi Gorontalo, Limboto: Forum Suara Perempuan LSM Mbu’i Bungale
Navita Kristi,dkk., 2012, Fakta Menakjubkan tentang Indonesia: Wisata Sejarah, Budaya dan Alam di 33 Provinsi, Jakarta: Cikal Aksara (Imprint) Agromedia Mustika
Share:

Museum Pendaratan Pesawat Ampibi Soekarno

Museum Pendaratan Pesawat Ampibi Soekarno terletak di Desa Iluta, Kecamatan Batudaa, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Lokasi berada tepat di tepi bagian selatan Danau Limboto, dan sekitar 2 kilometer dari Taman Purbakala Benteng Otanaha. Trayek angkot yang melintasi lokasi tersebut adalah jurusan Kota Gorontalo ke Kecamatan Batudaa, dan sebaliknya.
Awalnya, bangunan musem ini merupakan rumah yang dibangun semasa pemerintahan kolonial Belanda menguasai Gorontalo dengan ukuran 5 x 15 meter, dan diperkirakan dibangun pada tahun 1936.
Dahulu kala, Soekarno pernah menjejakkan kaki di Bumi Gorontalo pada tahun 1950 dan tahun 1956. Soekarno datang ke Gorontalo melalui jalur udara yang mendarat di Danau Limboto. Kedatangan pertamanya, ia menggunakan pesawat Ampibi. Lalu, saat kedatangan keduanya di tahun 1956 ia memakai pesawat Catalina. Soekarno datang bersama ajudannya dengan pilot bernama Wiweko Supono. Kala itu, pesawat Ampibi masih bisa mendarat dan berlabuh di Danau Limboto karena memang ketika itu, debit airnya masih memungkinkan hal itu dengan pantai pasir putihnya.


Menurut sejarawan Gorontalo, BJ Mahdang, mengatakan bahwa kedatangan Soekarno ke Gorontalo saat itu adalah untuk melakukan inspeksi guna meyakinkan bahwa Gorontalo masih tetap setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada tahun-tahun itu, Indonesia sedang didera pemberontakan. Kelompok separatis Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) bergema di Sulawesi Utara. Soekarno hanya ingin memastikan, saat itu tidak terjadi perpecahan di Gorontalo kendati ada beberapa kelompok atau dewan yang ingin memisahkan diri dari NKRI.
Berangkat dari kisah tersebut, bangunan rumah mungil di tepi Danau Limboto ini ditetapkan sebagai Cagar Budaya/Situs Rumah Pendaratan Soekarno oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Gorontalo. Rumah tersebut menjadi saksi kedatangan Soekarno di Gorontalo. Selanjutnya, pada 29 Juni 2002 rumah itu direnovasi dan diresmikan oleh Presiden RI yang kelima, Megawati Soekarnoputri, sebagai museum.
Museum Pendaratan Pesawat Ampibi didirikan untuk mengenang semangat juang Soekarno mempertahankan NKRI seperti yang tercantum dalam papan nama museum.
Di museum ini, Anda akan diajak untuk sejenak kembali ke masa lampau dengan mengamati berbagai dokumentasi kedatangan Presiden Pertama RI Ir. Soekarno ke Gorontalo pada masa itu, juga di museum ini disimpan barang-barang kuno dan bersejarah. Karena museum ini terletak tepat di tepian Danau Limboto yang memiliki keindahan alam yang sejuk dan tenang, sehingga dapat sekaligus dinikmati pemandangan indah sambil memancing ikan di pondok-pondok tepi danau yang telah disediakan. *** [161113]  
Share:

Benteng Otanaha

Benteng Otanaha adalah sejarah bangunan peninggalan monumen kuno warisan pada masa lalu dari suku Gorontalo. Benteng ini terletak di Kelurahan Dembe I, Kecamatan Kota Barat, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Lokasi berada sekitar 8 kilometer dari pusat kota Gorontalo ke arah Batudaa, Kabupaten Gorontalo, dan bisa ditempuh dengan angkutan berwarna biru muda dengan trayek Kota Gorontalo – Batudaa.
Menurut sejarawan Gorontalo, Dungga A.H., mengungkapkan bahwa berdirinya benteng itu terkait dengan adanya berita akan terjadinya perang antara Portugis dan Spanyol dalam perebutan wilayah kekuasaannya di Kepulauan Maluku termasuk Tidore, Halmahera, Makian, Bacan dan Sulawesi yang merupakan penghasil rempah-rempah dan jalur utama perekonomian wilayah Indonesia Timur pada kurun waktu abad 15 – 17. Berita itu sampai kepada raja Hulontalo dan timbullah kekhawatiran raja Hulontalo yang pada waktu itu sedang menghadapi perang dengan Kerajaan Limutu. Untuk itulah raja Hulontalo mendirikan benteng Otanaha dan Otahiya pada tahun 1525.


Dengan adaya benteng Otanaha dan Otahiya yang didirikan oleh raja Hulontalo, maka raja Limutu mendirikan pula benteng Ulupahu yang letaknya tidak jauh dari kedua benteng itu.
Induk benteng, yaitu benteng Otanaha, dibuat berbentuk angka delapan, letaknya memanjang dari Timur Laut ke Barat Daya. Kedua bulatan itu berbentuk lonjong atau bulat panjang. Garis tengah ruangan dalam menurut panjang, pada bulatan besar 17 meter dan pada bulatan kecil 4,9 meter.
Bagian dalam dibuatkan teras dengan jarak dari dinding benteng 1,1 meter, tinggi 10 cm dari langit. Pintu masuk pada benteng ini terdapat pada bagian bulatan kecil, menghadap ke Barat Laut. Lebarnya 1,5 meter dan tingginya 1,8 meter. Jarak antara mulut pintu sebelah luar dan dalam 2,1 meter. Pada benteng induk ini terdapat 7 buah jendela, dengan ukuran tidak sama pada masing-masing jendela. Jendela yang terdapat pada bulatan kecil, mempunyai lebar 0,35 meter dan tingginya 1 meter. Tebal dinding rata-rata 1,6 meter, kecuali pada jendela tebal dinding hanya 1 meter. Tinggi dinding dari lantai sebelah ruangan 1,8 meter, sedangkan bagian luarnya 4,75 meter.
Bangunan benteng yang kedua, yang saat ini disebut benteng Otahiya didirikan setelah benteng induk selesai. Sebagaimana pada benteng induk, benteng ini juga mempunyai pintu yang berfungsi sebagai pintu masuk. Bentuk benteng bulat panjang atau lonjong, letaknya membujur dari Barat Laut ke Tenggara. Garis tengah ruangan dalam, mempunyai panjang 15 meter dan lebar 13 meter. Pintu gerbang atau pintu masuk dibuat menghadap ke Barat Laut. Pintu ini berbentuk terowongan yang panjangnya 6,15 meter, dengan lebar 1,7 meter, dan tinggi ruangan 2,25 meter. Tebal beton yang menutupi dinding pintu gerbang sebelah atas 0,8 meter, dan tebal dinding samping 0,65 meter.


Benteng Otahiya mempunyai tujuh buah jendela dengan lebar 0,55 meter dan tingginya 0.9 meter. Tebal dinding pada jendela ini 0,6 meter. Sebagaimana benteng induk, ukuran jendela-jendela ini tidak sama. Salah satu dari jendela-jendela yang lain, yaitu yang menghadap ke tenggara. Di bagian dinding sebelah dalam terdapat beton bertingkat dan yang difungsikan sebagai bangku. Pada tingkat pertama bangku itu tebal 0,7 meter, dan pada tingkat dua tebal dan lebar 0,5 meter. Di bawah bangku yang bertingkat dua itu terdapat saluran air yang dimanfaatkan sebagai alat pembuangan kotoran.
Benteng yang ketiga disebut Benteng Ulupahu. Benteng ini lonjong atau bulat panjang, dengan ukuran panjang 16,5 meter dan lebar 14 meter. Sebelah dalam sekeliling dinding terdapat semacam trotoar dengan lebar 1,65 meter dan tinggi 0,5 meter dari lantai. Pintu masuknya menghadap ke Barat Laut, dengan lebar 1,3 meter dan tinggi 1,9 meter. Pada benteng ini terdapat Sembilan buah jendela, dengan lebar 0,5 meter dan tinggi 0,9 meter. Tebal dinding rata-rata 1,6 meter, tinggi dinding dari atas lantai 1,65 meter sedangkan tingginya sebelah luar 4,5 meter.


Ketiga buah benteng ini merupakan bangunan raksasa yang bertengger di atas bukit di zaman itu, yang menurut penuturan masyarakat sekitar benteng, bahwa bahan bangunan itu terbuat dari batu pasir, dan kapur yang direkatkan dengan putih telur burung maleo sebagai bahan pengganti semen. Burung maleo adalah burung endemik yang keberadaannya hanya di Pulau Sulawesi. Burung maleo besarnya seperti seekor ayam namun telurnya lima kali lebih besar dari telur ayam. Sehingga, setiap bertelur, burung maleo biasanya akan mengalami pingsan terlebih dahulu.
Untuk menuju ke benteng tersebut dari pintu masuk, pengunjung harus menaiki bukit yang telah dibuatkan tangga-tangganya. Jumlah anak tangga tidak sama untuk setiap persinggahan. Dari dasar ke tempat persinggahan satu terdapat 52 anak tangga, ke persinggahan dua terdapat 83 anak tangga, ke persinggahan tiga terdapat 53 anak tangga, dan selanjutnya, ke persinggahan empat memiliki 89 anak tangga. Sementara ke area benteng terdapat 71 anak tangga, sehingga jumlah keseluruhan anak tangga yaitu 348 buah anak tangga.
Di lingkungan ketiga benteng tersebut masih rimbun dengan pepohonan besar yang seolah-olah menghilangkan benteng-benteng tersebut dari pandangan orang. Di situ, juga masih banyak dijumpai pohon serut yang besar-besar.
Ketiga benteng yang berada di atas perbukitan tersebut, yaitu benteng Otanaha, Otahiya, dan Ulupahu, menjadi kesatuan nilai jual dalam kepariwisataan di Gorontalo dengan label “Taman Purbakala Benteng Otanaha”, dan lokasi tersebut telah ditetapkan sebagai Situs Benda Cagar Budaya. Dalam upaya pelestariannya, sebuah peninggalan sejarah tidak diperkenankan dirubah atau  dimodifikasi karena akan merubah nilai estetika atau historis yang telah ada sebelumnya. *** [161113]

Kepustakaan:
Farha Daulima, 2004, Tragedi Benteng Otanaha, Limboto: Forum Suara Perempuan LSM Mbu’i Bungale
Farha Daulima & Hapri Harun, 2007, Mengenal Situs/Benda Cagar Budaya Di Provinsi Gorontalo, Limboto: Forum Suara Perempuan LSM Mbu’i Bungale
Share:

Masjid Hunto Sultan Amay

Masjid Hunto Sultan Amay merupakan salah satu masjid tua yang berada di Gorontalo. Sesuai namanya, masjid ini merupakan masjid peninggalan kerajaan Sultan Amay yang terletak di Jalan A.R. Koniyo, Kelurahan Biawu, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Waktu pendirian masjid ini tertulis di gapura sebagai pintu masuk ke dalam masjid, yaitu tahun 899 Hijriah atau 1495 Masehi.
Menurut Farha Daulima dkk., dalam Mengenal Situs/Benda Cagar Budaya di Provinsi Gorontalo (2007) konon, masjid ini dibangun sebagai perwujudan rasa cinta Sultan Amay terhadap Puteri Owutango, anak perempuan Raja Ogomonjolo. Raja Ogomonjolo adalah raja di Kerajaan Palasa yang beragama Islam yang diperkirakan berada di daerah Moutong, Sulawesi Tengah. Ketika itu, Raja Amay dan pengikutnya masih menganut kepercayaan animisme di mana patung, pohon dan hal-hal yang dianggap mistik merupakan sesembahan masyarakat saat itu.
Demi mendengar berita kecantikan Puteri Raja Palasa dari hulubalang Kerajaan Hulonthalangi yang diperintah oleh Raja Amay untuk membuka lahan pertanian ke daerah tetangga, seperti Tomini dan Palasa, Raja Amay yang masih muda belia, tampan dan lajang ini hendak ingin mempersunting puteri tersebut.


Pada 1495, berangkatlah rombongan Kerajaan Hulonthalangi lengkap dengan hulubalangnya menuju Palasa. Rombongan ini disambut oleh Raja Ogomonjolo dan rakyat Palasa. Ketika rombongan Raja Amay mengajukan lamaran, Raja Palasa menyerahkan sepenuhnya kepada Puteri Owutango untuk menjawabnya. Puteri Owutango meminta persyaratan utama kepada Raja Amay, yaitu Raja Amay, orangtua dan keluarganya harus menganut agama Islam yang patuh, dan Raja Amay harus menjadikan penduduk Kerajaan  Hulonthalangi menjadi penganut agama Islam sepenuhnya, semua semua adat bersumber pada Al-Qur’an. Jika dua hal ini dipenuhi, maka peminangan dan pelaksanaan perkawinan diadakan secara adat Tomini/Palasa.
Raja Amay menyetujui persyaratan tersebut, dan beliau berusaha sebelum melangsungkan pernikahan, semua keluarganya sudah masuk Islam. Dan, akhirnya dengan acara adat Tomini/Palasa berlangsunglah pernikahan Raja Amay dengan Puteri Owutango. Selesai pernikahan di Kerajaan Palasa, maka diboyonglah Puteri Owutango ke Kerajaan Hulonthalangi untuk dirayakan juga di Kerajaan Hulonthalangi, dan Masjid Hunto menjadi hadiah pernikahan Raja Amay kepada isterinya. Hunto kependekan dari Ilohuntungo yang berarti basis atau pusat perkumpulan agama Islam kala itu.
Syekh Syarif Abdul Aziz, ahli agama Islam dari Arab Saudi didatangkan langsung oleh Raja Amay untuk menyebarluaskan agama Islam di Gorontalo. Lalu seterusnya dilanjutkan oleh Raja Amay dengan dibantu sejumlah pejabat Kerajaan Palasa yang ikut serta mengembangkan syiar Islam di Gorontalo. Sekitar tahun 1525 – 1550, Raja Amay dinobatkan sebagai Sultan oleh raja Ternate atas keberhasilannya menyebarkan agama Islam di daratan Gorontalo. Semenjak itu, semula bernama Masjid Hunto dilengkapi menjadi Masjid Hunto Sultan Amay.
Pada awalnya, masjid ini memiliki luas areal seluas 144 m² namun kini luas masjid tersebut diperkirakan memiliki luas 684 m² dengan luas bangunan 351 m². Ukuran aslinya itu merupakan wilayah pusatnya dan masih tetap asli sampai sekarang. Dilakukan renovasi dikarenakan sudah rusak dan dipercantik kembali tanpa menghilangkan keasliannya. Juga, bagian depan diperlebar guna menampung jamaah lebih banyak lagi.
Di samping masjid, terdapat sumur tua yang berdiameter lebih kurang 2 m. Keunikan sumur tua ini, tidak pernah kering walaupun musim kemarau panjang melanda daerah ini. Air sumur ini diyakini berkhasiat menyembuhkan segala macam penyakit. Dinding sumur ini terbuat dari susunan batu dengan putih telut burung maleo.
Di belakang masjid, terdapat sebuah pohon yang umurnya lebih tua dari umur masjid. Pohon itu disebut pohon kalumpang, atau dalam bahasa setempat disebut alumbango. Pohon ini dulu dipergunakan sebagai tempat bertambatnya tali-tali perahu dari pedagang-pedagang asing yang berdagang di Kerajaan Hulonthalangi.
Beberapa peninggalan sejarah yang masih dapat dilihat ialah Al-Qur’an dengan tulisan tangan, dan mihrab yang berbatasan dengan tempat posisi imam berdiri merupakan makam Sultan Amay. Sedangkan di bagian belakang masjid merupakan kuburan tua termasuk para syekh zaman dulu yang turut serta menyebarkan agama Islam di Gorontalo. *** [171113]
Share:

Kantor Pos Gorontalo

Kantor Pos Gorontalo terletak di Jalan Nani Wartabone No. 15 RT.01 RW.01 Kelurahan Ipilo, Kecamatan Kota Timur, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Lokasi tersebut berada di salah satu jalan utama yang berada di Kota Gorontalo, tepat berada di depan Kantor Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kota Gorontalo.
Sepintas yang kita tahu bahwa Kantor Pos Gorontalo adalah tempat di mana hanya tempat untuk mengirim surat atau mencairkan uang dalam bentuk paket program pemerintah. Dulu, namanya ketika dibangun oleh Belanda pada tahun 1910-an bernama Kantor Pos dan Telegraf. Jadi, semenjak didirikan hingga kini masih berfungsi sebagai Kantor Pos, hanya saja fungsi telegrafnya sudah tidak beroperasi lagi, dan kepemilikannya sekarang oleh PT. Pos Indonesia.


Berdasarkan catatan sejarah, Kantor Pos tersebut menjadi salah satu saksi sejarah perebutan kekuasaan kolonial oleh pasukan yang dipimpin Nani Wartabone. Karena setelah Nani Wartabone dan pasukannya berhasil mengepung Kota Gorontalo dan sekitar subuh, Komandan Veld Politie WC Romer serta beberapa kepala jawatan yang ada di Gorontalo menyerah pada 23 Januari 1942. Setelah itu, pada pukul 10.00 waktu Gorontalo, Nani Wartabone memimpin langsung upacara pengibaran bendera Merah Putih yang diiringi lagu Indonesia Raya di halaman Kantor Pos. Dihadapan massa yang berkumpul, Nani Wartabone didampingi R.M. Kusno Danupojo membacakan teks proklamasi kemerdekaan, sebagai berikut: “Pada hari ini, tanggal 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang berada di sini sudah merdeka, bebas, lepas dari penjajahan bangsa mana pun juga. Bendera kita yaitu Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya. Pemerintahan Belanda sudah diambil oleh Pemerintah Nasional. Agar tetap menjaga keamanan dan ketertiban.”
Pembacaan proklamasi tersebut disambut oleh gegap gempita suara gemuruh massa yang membanjiri jalan di sepanjang Kantor Pos, dengan air berlinang karena gembira bercampur haru. Usai dikibarkan di halaman Kantor Pos, Sang Saka Merah Putih akhirnya berkibar di seluruh Kota Gorontalo. Suasana itu menambah semangat patriotisme rakyat Gorontalo.
Kini, Kantor Pos Kota Gorontalo dijadikan sebagai Cagar Budaya yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dibawah wewenang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo. *** [121113]
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami