The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Kupang heritage. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kupang heritage. Tampilkan semua postingan

Cikal Bakal Islam Masuk Pulau Timor

Masjid Al-Baitul Qadim berdiri kukuh di tengah perkampungan Airmata, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tempat tersebut merupakan bukti sejarah masuknya Islam kali pertama ke Pulau Timor.
Menurut imam Masjid Al-Baitul Qadim H. Mustafa Al-Baitul Qadim, bangunan itu dibangun kali pertama oleh Syah Ban bin Sanga pada 1806. Dia, kata Mustafa, adalah orang pertama yang memimpin umat Islam di daerah daratan Timor.
Dia berasal dari Kesultanan Mananga di daerah Solor, Flores Timur. Syah Ban bin Sanga bersama pengikutnya hijrah ke Pulau Timor lantaran terdesak oleh ekspansi penjajah Portugis di Solor. Sikapnya yang tidak mau tunduk dan bekerja sama dengan penjajah membuat Syah Ban bin Sanga dan pengikutnya berarah ke selatan menuju ke Pulau Timor.
Saat di Kupang, Sanga dan pengikutnya mula-mula tinggal serta berdiam di Oeba, Kelurahan Fatubesi. Namun, Belanda yang juga sementara memperluas ekspansi daerah jajahannya ke Pulau Timor lagi-lagi memaksa mereka untuk pindah dari Oeba ke Airmata.
“Di Airmata itulah pada 1806 Masjid Al-Baitul Qadim didirikan. Enam tahun lamanya masjid ini dibangun. Baru pada 1812 untuk kali pertama masjid ini dijadikan sebagai tempat sholat,” ujar Haji Mustafa kepada Timor Express (Jawa Pos Group).
Dalam perkembangannya, lanjut Mustafa, imam masjid turunan ketujuh pada 1984, Birando bin Tahir, mulai memugar masjid bersejarah itu. Tujuannya, melestarikan keberadaannya sebagai pusat penyebaran Islam di Pulau Timor.
Menurut Mustafa, Masjid Agung Al-Baitul Qadim telah menurunkan tujuh imam kepala. Di antaranya, Birando bin Syahban, Ali bin Birando, Djamaludin, Abdul Gani, Tahin bin Ali Birando, dan Birando bin Tahir.
Pemugaran yang dilakukan Birando bin Tahir atas persetujuan jamaah setempat dilatarbelakangi sejumlah alasan. Yakni, semakin bertambahnya jamaah dan kondisi bangunan yang tidak layak lagi. Meski dipugar, dinding-dinding bangunan masjid tersebut hingga kini tetap asli.
Dalam perjalanan waktu, kampung tua Airmata telah menjadi sebuah destinasi wisata religi di Kota Kupang. Pemerintah Kota Kupang di bawah pimpinan Wali Kota Jonas Salean telah mengusulkan perda tradisi di masjid agung itu untuk menjadi objek wisata rohani.
Kekhasan perayaan Maulid Nabi Muhammad dengan perarakan Siripuan menjadi tradisi yang khas. “Peringatan Maulid Nabi di sini juga ditandai dengan aneka hidangan yang dihiasi aneka warna. Ada nasi merah dan kuning. Ada telur ayam rebus serta pisang rebus yang juga diberi aneka warna da dihidangkan dalam nampan bersama nasi tadi,” ujar Mustafa. (lon/JPNN/c15/diq)

Sumber:
JAWA POS Edisi Sabtu, 12 Juli 2014
Share:

Museum Daerah Nusa Tenggara Timur

Museum Daerah Nusa Tenggara Timur terletak di Jalan Frans Seda, Oebobo, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dulu, jalan ini dikenal dengan Jalan El Tari II karena jalan ini memang merupakan jalan utama menuju Bandara El Tari, Kupang.
Museum ini didirikan pada tahun 1977, dan melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tertanggal 9 Januari 1991 ditetapkan sebagai Museum Negeri dan menjadi UPT. Seiring perjalanan waktu dengan hadirnya otonomi daerah maka status Museum Negeri berubah menjadi Museum Daerah Nusa Tenggara Timur. Sehingga pengelolaan museum saat ini dipegang Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan olehbernaung di bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nusa Tenggara Timur.
Museum yang memiliki halaman luas dan bangunan mukanya mengadopsi dari arsitektur rumah ada di daerah Nusa Tenggara Timur ini, memiliki 6.197 koleksi yang dikelompokkan menjadi koleksi geologika/geografika (13 buah), biologika (76 buah), ethnografika (3.973 buah), arkeologika (204 buah), historika (256 buah), numismatika/heraldika (818 buah), filologika (26 buah), keramologika (602 buah), seni rupa (143 buah), dan teknologika (86 buah). Sebagian besar dari koleksi tersebut berasal dari kelompok etnis yang kabupaten dan kota di wilayah Nusa Tenggara Timur.
Selain memiliki ruang pameran tetap yang bisa disaksikan dari hari Senin hingga Jumat, museum ini juga mengenal pameran yang bersifat temporer seperti:


Temporary Exhibition: Pre-history
Tengkorak dan rangka manusia kerdil, Homo Floresiensis ditemukan pada penggalian di Situs Liang Bua , Manggarai (2003). Pada masa mesolithikum, manusia mulai menempati gua, memiliki budaya alat serpih batu serta pemanfaatan sisa-sisa hewan sebagai alat tulang.
Perbandingan tinggi tubuh Homo Floresiensis, Homo Erectus, dan Homo Sapiens: Homo Floresiensis sekitar 1 m (3 feet 3 inchi), Homo Erectus 1,3 m – 1,5 m (4 feet 3 inchi – 4 feet 11 inchi), dan Homo Sapiens 1,6 m – 1,85 m (5 feet 2 inchi – 6 feet 1 inchi)

Temporary Exhibition: Historycal Theme
Pada masa klasik (Hindu-Buddha), daerah Nusa Tenggara Timur menjadi salah satu daerah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Hindu Jawa di Kediri sejak 1225 M, berdasarkan dokumen China yang ditulis oleh Chau Ju Kua.
Hubungan dagang telah terjadi dengan bangsa China, Arab, dan Eropa. Komoditi utama yang diperdagangkan adalah kayu cendana (santalum album linn), madu, lilin, kuda, dan manusia (budak). Bangsa Eropa pertama yang tiba di Nusa Tenggara Timur untuk menguasai adalah Portugis pada 1566 dengan berdirinya Benteng Lohayong di Solor, Flores Timur.


Temporary Exhibition: The Golden Age of Honey through Museum Eye
Dalam sastra lisan Timor, binatang hutan yang melambangkan kemakmuran adalah lebah dan rusa, seperti ungkapan “Hau Pup Molo Bi Kau Niki – Fatu Up Molo Bi Kauniki” (puncak batu kekuningan, puncak pohon kekuningan), mengibaratkan hasil utama di tempat ini pada batu-batu, pohon-pohon, bahkan turun ke tanah juga (saat musim baik, lebah turun bersarang di batang-batang rumput di tanah), atau “Muah bi tunam hom lek, muah ham bi afut-hom lek-nane ut ma leot bi Tais Atoni bi Nua Atoni” (makan di atas (kena sarang madu), engkau punya suka, makan di bawah/di atas tanah (rusa/babi hutan, berkebun dan lain-lain, engkau punya suka).
Masa kejayaan madu di Pulau Timor diperkirakan telah terjadi pada abad ke 1 M, semenjak adanya hubungan dagang dengan China berdasarkan tulisan China. Di Loli - Molo Selatan, panen madu berlangsung 3 kali: masa panen Mei-Juli berkembang bunga kayu putih, masa panen Agustus-Oktober berkembang bunga kusambi, dan masa panen Desember berkembang beberapa jenis bunga. Pada bulan ini yang dipanen adalah madu putih (berkhasiat sangat tinggi). *** [020713]
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami