The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Sulawesi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sulawesi. Tampilkan semua postingan

Daftar Bangunan Kuno di Gorontalo Utara

Berikut ini adalah daftar bangunan kuno atau peninggalan sejarah lainnya yang terdapat di Gorontalo Utara:

Benteng Maas
Benteng ini terletak di Dusun Molu’o, Desa Molu’o, Kecamatan Kwandang, Kabuaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo

Benteng Oranye
Benteng ini terletak di Lingkungan I, Desa Dambalo, Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo

Situs Taman Purbakala Kota Jin
Situs purbakala ini terletak di Di Desa Kota Jin Utara, Kecamatan Atinggola, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo

 

Share:

Daftar Bangunan Kuno di Gorontalo

Berikut ini adalah daftar bangunan kuno atau peninggalan sejarah lainnya yang terdapat di Gorontalo:

KOTA GORONTALO

Benteng Otanaha
Benteng ini terletak di Kelurahan Dembe I, Kecamatan Kota Barat, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo

Kantor Pos Gorontalo
Kantor pos ini terletak di Jalan Nani Wartabone No. 15 RT 01 RW 01, Kelurahan Ipilo, Kecamatan Kota Timur, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo

Masjid Hunto Sultan Amay
Masjid ini terletak di Jalan A.R. Koniyo, Kelurahan Biawu, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo

KABUPATEN GORONTALO

Museum Pendaratan Pesawat Ampibi Soekarno
Museum ini terletak di Desa Iluta, Kecamatan Batudaa, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo

 

Share:

“Bushmeat” yang Memusnahkan Satwa Liar

Bushmeat dalam kamus Oxford diterjemahkan sebagai jenis makanan yang berasal dari daging binatang liar di Afrika. Kebiasaan memakan satwa liar memang kebanyakan ditemui di Afrika. Namun, kebiasaan memakan satwa liar juga ditemukan di Sulawesi Utara.
Di daerah ini, sebagian warganya terbiasa berburu dan memakan berbagai jenis satwa, nyaris tanpa kecuali. Satwa yang biasa dimakan, mulai dari anoa, babirusa, babi hutan, kuskus, monyet, kucing hutan, ular, hingga aneka jenis burung, termasuk rangkong. Bahkan, binatang peliharaan, seperti anjing dan kucing, pun biasa dimakan.
Tingginya konsumsi binatang liar di Sulawesi Utara telah menyebabkan beberapa spesies dilindungi terancam punah. Jane Onibala dan Sylvia Laatung dalam Bushmeat Hunting in North Sulawesi and Related Conservation Strategies (2007) menyebutkan, beberapa binatang yang terancam punah akibat perburuan itu meliputi babirusa, anoa, dan yaki atau monyet hitam Sulawesi.
Tak hanya untuk keperluan subsisten, perburuan satwa liar di Sulawesi Utara sudah mengarah pada gaya hidup. EJ Milner-Gulland dan Lynn Clayton dalam The Trade in Babirusas and Wild Pigs in North Sulawesi (2002) menemukan bahwa tingkat konsumsi satwa liar biasanya naik menjelang peringatan hari raya keagamaan. Daging satwa liar bahkan dianggap sebagai makanan mewah dan disajikan pada acara-acara khusus, seperti kelahiran, perkawinan, dan hari raya.
Milner dan Clayton juga menemukan bahwa jumlah pemburu dan pedagang yang menjual daging babi liar dan babirusa meningkat pesat. Pada 1948-1970, hanya ada satu pedagang yang beroperasi di Sulawesi Utara. Pada 1970-1984, jumlah pedagang bertambah menjadi tiga orang dan menjadi 12 pedagang pada 1993. Pada 1996, jumlah pedagang daging satwa liar menjadi 30 orang. Seiring dengan tingginya perburuan, populasi babirusa di Sulawesi Utara terus menurun, bahkan sejumlah kawasan hutan diperkirakan telah punah.
Saroyo Sumarto, ahli biologi dari Universitas Sam Ratulangi, Manado, mengatakan, perburuan satwa liar masih marak hingga kini dan nyaris tak ada tindakan hokum untuk pemburu. Akibatnya, populasi yaki atau monyet hitam khas Sulawesi Utara terus menurun.
Selama 30 tahun, populasi monyet hitam menurun signifikan. Penelitian pada 1980 menunjukkan, masih ada sekitar 300 Macaca nigra per kilometer persegi lahan hutan di Bolaang Mongondow dan Minahasa. Sembilan tahun kemudian, populasinya menjadi 76 ekor. Pada 1998, populasinya tinggal 26 ekor per kilometer persegi. Di hutan lindung Tangkoko, jumlah Macaca nigra terus menyusut. Pada tahun 2.000 tersisa 1.900 ekor dari 3.000 ekor.
Mulai punahnya sejumlah binatang dari hutan Sulawesi Utara membuat para pedagang mendatangkan satwa liar dari Gorontalo dan sejumlah kawasan lain di Sulawesi. ***

Sumber:
  • KOMPAS edisi Sabtu, 1 September 2012 hal. 43.

Share:

Jejak Isolasi dari Fosil Binatang Purba

Keterpencilan Sulawesi dari pulau-pulau di sekitarnya bisa dilacak dari fosil binatang purba yang ditemukan di pulau ini dan tidak ada padanannya di tempat lain. Di masa lalu, Sulawesi juga memiliki fauna endemis yang terbentuk dari proses adaptasi terhadap lingkungan yang khas.
Fachroel Aziz dalam pidato pengukuhannya sebagai profesor riset bidang paleontologi, Evolusi dan Paleontologi Vertebrata Indonesia: Perspektif Perubahan Iklim (2008) menyebutkan, di Lembah Wallanae, Sulawesi Selatan, ditemukan beberapa fosil vertebrata berumur Pleistosen Awal atau bahkan lebih tua (Pliosen Akhir) yang mencirikan satwa di wilayah terisolasi.
Fosil itu berupa gajah kerdil Elephas celebensis yang unik dengan dua pasang gading di rahang atas dan rahang bawah (semua Elephas hanya memiliki sepasang gading pada rahang atas), Stegodon sompoensis (sejenis gajah kerdil), dan Celebochoerus heekereni (sejenis babi dengan ciri khas taring atas sangat besar).
Berbeda dengan di Jawa, fosil vertebrata di Sulawesi ini menunjukkan tipe fauna yang hidup beradaptasi di lingkungan pulau yang terisolasi. Fauna di daerah yang terisolasi menunjukkan ciri morfologi khusus (endemis). Jenis mamalianya cenderung mengalami pengerdilan (dwarfting), sedangkan jenis kura-kura (reptil) cenderung bertambah besar.
Isolasi merupakan faktor penting dalam perubahan genetika dan dapat pula melahirkan spesies yang berbeda. Dalam satu populasi spesies fauna yang sama dapat dibagi dalam dua atau lebih populasi. Selanjutnya populasi tersebut akan mudah berkembang menjadi dua atau lebih spesies yang berbeda, ketika populasi itu terpisah dalam isolasi genetika dalam jangka waktu lama.
“Inilah yang menyebabkan spesies endemis di Sulawesi jauh berbeda dengan kerabat dekatnya di Sumatera dan Jawa. Bahkan, isolasi bisa menyebabkan terputusnya aliran genetika dari moyang (ancestor) yang berakibat sukar, bahkan tidak mungkin menelusuri moyangnya,” kata Fachroel.
Dia mencontohkan spesies endemis di Sulawesi saat ini seperti anoa (Anoa depressicornis), babirusa (Babyrousa babyrussa), dan berbagai jenis kera yang tidak dapat lagi dilacak asalnya dari fauna purba yang pernah hidup di sana seperti Celebochoerus heekereni, Elephas celebensis, dan Stegodon sompoensis.
Selain di Sulawesi, fosil stegodon kerdil juga ditemukan di Cekungan Soa, Flores. Temuan itu dinamakan Stegodon sondarii. Flores merupakan pulau gunung api yang juga terpencil dan berada di sebelah selatan Sulawesi. Fachroel dan rekannya, Mike John Marwood, profesor arkeologi dari School of Earth and Environmental Sciences, University of Wollongong, Australia, yang melakukan penelitian di Cekungan Soa menduga nenek moyang Stegodon sondarii berasal dari Sulawesi. ***

Sumber:
  • KOMPAS edisi Sabtu, 1 September 2012 hal. 42.

Share:

Anoa, Kerbau atau Sapi?

Sebagaimana babirusa, pengelompokan anoa dalam dunia binatang juga mengundang debat di kalangan ilmuwan. Binatang ini memiliki ciri tubuh seperti kerbau dan sapi. Berat tubuhnya 150-300 kilogram.
Secara umum, anoa Sulawesi dibagi menjadi dua spesies, yaitu anoa pegunungan (Bubalus qurlesi) dan anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis).
Kedua jenis ini dibedakan berdasarkan bentuk tanduk dan ukuran tubuh. Groves dalam Systematics of the Anoa (1969) menyebutkan, anoa dataran rendah relative lebih kecil, ekor lebih pendek dan lembut, serta tanduk melingkar. Sementara anoa dataran tinggi lebih besar, ekor panjang, berkaki putih, dan tanduk kasar dengan penampang segitiga.
Namun, pengelompokan anoa berdasarkan wilayah habitatnya ini sering dianggap tidak tepat. Menurut Thornback dalam Red Data Book Vol. 1 Mammalia (1978), anoa pegunungan juga sering ditemukan di pegunungan.
Kedua spesies yang merupakan binatang endemis Sulawesi itu berstatus E (endangered) atau terancam punah menurut IUCN. Populasinya di hutan saat ini diperkirakan tinggal 3.000 ekor dan jumlahnya terus menurun. Anoa sering diburu untuk diambil kulit, tanduk, dan dagingnya. Hingga saat ini, perburuan anoa masih marak dan daging anoa kerap ditemukan di pasar-pasar tradisional di Sulawesi Utara dan Gorontalo.

Sumber:
  • KOMPAS edisi Sabtu, 1 September 2012 hal. 35.

Share:

Kehidupan dan Kematian di Lembah Besoa

Sulawesi adalah jantung Nusantara, simpul awal sejarah penyebaran manusia di Nusantara. Namun, pulau yang memiliki keragaman hayati tinggi ini juga menyimpan kisah suram dari punahnya kehidupan purba yang pernah berjaya.
Sosok dari batu setinggi 168 sentimeter itu seperti berjaga-jaga di Lembah Besoa, Kecamatan Lore Tengah, Sulawesi Tengah, yang siang itu awal Agustus 2012, begitu terik dan sepi. Wajahnya oval dan mata sipitnya memandang ke arah utara, memunggungi deretan pegunungan di kawasan Taman Nasional Lore Lindu.
Udara di padang savana itu begitu kering. Matahari terasa dekat di lembah berketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut itu. Di atas bukit kecil, sosok dari batu yang disebut para ahli sebagai Arca Tadulako itu berdiri gagah.
Arca Tadulako hanyalah satu dari ratusan peninggalan kebudayaan megalitik yang tersebar di empat lembah di Sulawesi Tengah. Keempat lembah itu adalah Lembah Palu, Lembah Napu, Lembah Besoa, dan Lembah Bada.
“Saya pernah mendata, jumlah artefak di lembah ini mencapai 300 buah,” kata Tanwir La Maming, arkeolog Sulawesi Tengah, yang meneliti situs ini sejak tahun 1990-an.
Selain berupa arca, sejumlah benda megalitik yang ditemukan di antaranya berupa kalamba (tempayan batu), lumping batu, batu dakon, lesung batu, umpak batu, bahkan juga gerabah.
Para arkeolog menduga, peninggalan di lembah ini merupakan situs pengusung kebudayaan megalitik (batu besar) tertua yang pernah ditemukan di Nusantara. Dwi Yani Yuniawati Umar dalam paper-nya, “Stone Vats (Kalamba) as One Megalithic Remains in the Lore Valley, Central Sulawesi” (2010) menyebutkan, dari penanggalan menggunakan karbon (C-14) terhadap beberapa sampel tulang yang ditemukan di Lembah Besoa, diketahui umurnya sekitar 2.890 tahun, 2.460 tahun, dan 2.170 tahun. Lalu, dari mana mereka datang?
Sejumlah ahli berpendapat, keberadaan mereka dipercaya terkait dengan migrasi bangsa Austronesia dari kawasan Taiwan dan China. Berdasarkan teori persebaran Austronesia “Out of Taiwan” yang diajukan Peter Bellwood (1995), bangsa Austronesia berasal dari Taiwan dan pantai China bagian selatan. Kawasan tersebut dianggap sebagai tempat asal bahasa proto-Austronesia. Dari sana lalu ke Filipina dan menyebar ke Nusantara melalui Sulawesi.

Lembah Surga
Berdasarkan sebarannya yang luar biasa banyak, Tanwir menduga, lembah-lembah di Sulawesi Tengah ini ibarat surga kehidupan purba. “Mereka yang dulu tinggal di sini kemungkinan terdiri atas beragam rumpun,” katanya.
Setiap situs di lembah ini menunjukkan bagaimana pola hidup mereka. Di tiap situs rata-rata ada tempat pemujaan, tempat mandi, arca manusia yang menjadi simbol nenek moyang, alat bermain, kuburan, dan alat bercocok tanam. “Arah hadap mata angin arca-arca dalam setiap situs berbeda antara satu situs dan situs lain, melambangkan adanya kepercayaan yang berbeda-beda pada setiap rumpun,” kata Tanwir.
Dwi Yani menyebutkan, masyarakat purba di lembah ini memiliki kemampuan bercocok tanam padi. Kesimpulan ini dibuat berdasarkan banyaknya temuan lumping batu. Dia juga menduga, masyarakat ini sudah memelihara ternak.
Tanwir menduga, kawasan lembah ini menandai periode awal pembukaan hutan untuk kepentingan pertanian. “Dahulu semua wilayah ini hutan,” katanya. Datangnya manusia dalam jumlah besar pada masa itu membuat kawasan hutan ini dijadikan tempat tinggal, areal sawah, dan kebun.
Berdasarkan penelitian Wiebke Kirleis dan Hermann Behling dari Universitas Goettingen, Jerman, dalam “Landscapes of Central Sulawesi the Environmental History of the Besoa Valley”, pembukaan hutan di kawasan ini terjadi sekitar 3.500 tahun lalu. Dia juga menemukan adanya pembakaran lahan yang dilakukan secara periodik untuk kepentingan pertanian. Lalu, kenapa tiba-tiba kehidupan permai di lembah-lembah ini menghilang?

Ditinggalkan
Banyak spekulasi muncul dari hilangnya kehidupan megalitik di lembah ini. Berada tak jauh dari jalur sesar Palu-Koro, lembah ini merupakan daerah yang kerap dilanda gempa. Sesar Palu-Koro merupakan salah salah satu sesar teraktif di Indonesia setelah sesar Sumatera. Gempa terakhir pada Sabtu (18/8) yang menewaskan lima warga di Kabupaten Sigi juga bersumber di Danau Lindu, tak jauh dari lembah megalitik  ini.
“Namun, saya kira, bukan gempa yang menghabisi kehidupan megalitik di lembah ini,” kata Tanwir. “Saya menduga, yang menghabisi mereka di masa lalu adalah penyakit schistosomiasis.”
Penyakit ini disebabkan oleh cacing pipih trematoda dari spesies Schistosoma japonicum, yang bisa disebarkan melalui air dan menembus pori-pori kulit manusia. Satu tetes air yang sudah tercemar cacing ini bisa menyebabkan sakit schistosomiasis. “Sampai sekarang penyakit ini sudah menimbulkan korban di kawasan ini walaupun obatnya sekarang sudah ditemukan. Di masa lalu, mungkin ini menjadi masalah besar,” ujarnya.
Tanwir menduga, migrasi manusia ke Sulawesi dari Taiwan dan China selatan juga membawa penyakit mematikan yang hingga sekarang bisa ditemukan di sekitar Lore Lindu.
Hal ini sepertinya bersesuaian dengan ditemukannya dokumen kuno China yang mencatat penyakit ini sejak 400 sebelum Masehi. Ge Hong dalam catatan medisnya, “Zhouhou Beijifang”, menggambarkan adanya “racun air yang menyerang manusia seperti shegong (serangga beracun) tetapi tak terlihat”.
Benarkah kehidupan itu musnah karena penyakit tersebut? Sampai sekarang belum ada ahli yang bisa memastikannya. Yang jelas, kehidupan purba itu telah musnah, menyisakan arca batu yang kesepian di tengah padang savana. Namun, penyakit schistosomiasis hingga sekarang masih lestari di lembah-lembah itu. [AHMAD ARIF dan ASWIN RIZAL HARAHAP] ***

Sumber:
  • KOMPAS edisi Sabtu, 1 September 2012 hal. 1 & 15.

Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami