Benteng
Otanaha adalah sejarah bangunan peninggalan monumen kuno warisan pada masa lalu
dari suku Gorontalo. Benteng ini terletak di Kelurahan Dembe I, Kecamatan Kota
Barat, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Lokasi berada sekitar 8 kilometer
dari pusat kota Gorontalo ke arah Batudaa, Kabupaten Gorontalo, dan bisa
ditempuh dengan angkutan berwarna biru muda dengan trayek Kota Gorontalo –
Batudaa.
Menurut
sejarawan Gorontalo, Dungga A.H., mengungkapkan bahwa berdirinya benteng itu terkait
dengan adanya berita akan terjadinya perang antara Portugis dan Spanyol dalam
perebutan wilayah kekuasaannya di Kepulauan Maluku termasuk Tidore, Halmahera,
Makian, Bacan dan Sulawesi yang merupakan penghasil rempah-rempah dan jalur
utama perekonomian wilayah Indonesia Timur pada kurun waktu abad 15 – 17.
Berita itu sampai kepada raja Hulontalo dan timbullah kekhawatiran raja
Hulontalo yang pada waktu itu sedang menghadapi perang dengan Kerajaan Limutu.
Untuk itulah raja Hulontalo mendirikan benteng Otanaha dan Otahiya pada tahun
1525.
Dengan adaya benteng Otanaha dan Otahiya yang didirikan oleh raja Hulontalo, maka raja Limutu mendirikan pula benteng Ulupahu yang letaknya tidak jauh dari kedua benteng itu.
Induk
benteng, yaitu benteng Otanaha, dibuat berbentuk angka delapan, letaknya
memanjang dari Timur Laut ke Barat Daya. Kedua bulatan itu berbentuk lonjong
atau bulat panjang. Garis tengah ruangan dalam menurut panjang, pada bulatan
besar 17 meter dan pada bulatan kecil 4,9 meter.
Bagian
dalam dibuatkan teras dengan jarak dari dinding benteng 1,1 meter, tinggi 10 cm
dari langit. Pintu masuk pada benteng ini terdapat pada bagian bulatan kecil,
menghadap ke Barat Laut. Lebarnya 1,5 meter dan tingginya 1,8 meter. Jarak
antara mulut pintu sebelah luar dan dalam 2,1 meter. Pada benteng induk ini
terdapat 7 buah jendela, dengan ukuran tidak sama pada masing-masing jendela.
Jendela yang terdapat pada bulatan kecil, mempunyai lebar 0,35 meter dan
tingginya 1 meter. Tebal dinding rata-rata 1,6 meter, kecuali pada jendela
tebal dinding hanya 1 meter. Tinggi dinding dari lantai sebelah ruangan 1,8
meter, sedangkan bagian luarnya 4,75 meter.
Bangunan
benteng yang kedua, yang saat ini disebut benteng Otahiya didirikan setelah
benteng induk selesai. Sebagaimana pada benteng induk, benteng ini juga
mempunyai pintu yang berfungsi sebagai pintu masuk. Bentuk benteng bulat
panjang atau lonjong, letaknya membujur dari Barat Laut ke Tenggara. Garis
tengah ruangan dalam, mempunyai panjang 15 meter dan lebar 13 meter. Pintu
gerbang atau pintu masuk dibuat menghadap ke Barat Laut. Pintu ini berbentuk
terowongan yang panjangnya 6,15 meter, dengan lebar 1,7 meter, dan tinggi
ruangan 2,25 meter. Tebal beton yang menutupi dinding pintu gerbang sebelah
atas 0,8 meter, dan tebal dinding samping 0,65 meter.
Benteng Otahiya mempunyai tujuh buah jendela dengan lebar 0,55 meter dan tingginya 0.9 meter. Tebal dinding pada jendela ini 0,6 meter. Sebagaimana benteng induk, ukuran jendela-jendela ini tidak sama. Salah satu dari jendela-jendela yang lain, yaitu yang menghadap ke tenggara. Di bagian dinding sebelah dalam terdapat beton bertingkat dan yang difungsikan sebagai bangku. Pada tingkat pertama bangku itu tebal 0,7 meter, dan pada tingkat dua tebal dan lebar 0,5 meter. Di bawah bangku yang bertingkat dua itu terdapat saluran air yang dimanfaatkan sebagai alat pembuangan kotoran.
Benteng
yang ketiga disebut Benteng Ulupahu. Benteng ini lonjong atau bulat panjang,
dengan ukuran panjang 16,5 meter dan lebar 14 meter. Sebelah dalam sekeliling
dinding terdapat semacam trotoar dengan lebar 1,65 meter dan tinggi 0,5 meter
dari lantai. Pintu masuknya menghadap ke Barat Laut, dengan lebar 1,3 meter dan
tinggi 1,9 meter. Pada benteng ini terdapat Sembilan buah jendela, dengan lebar
0,5 meter dan tinggi 0,9 meter. Tebal dinding rata-rata 1,6 meter, tinggi
dinding dari atas lantai 1,65 meter sedangkan tingginya sebelah luar 4,5 meter.
Ketiga buah benteng ini merupakan bangunan raksasa yang bertengger di atas bukit di zaman itu, yang menurut penuturan masyarakat sekitar benteng, bahwa bahan bangunan itu terbuat dari batu pasir, dan kapur yang direkatkan dengan putih telur burung maleo sebagai bahan pengganti semen. Burung maleo adalah burung endemik yang keberadaannya hanya di Pulau Sulawesi. Burung maleo besarnya seperti seekor ayam namun telurnya lima kali lebih besar dari telur ayam. Sehingga, setiap bertelur, burung maleo biasanya akan mengalami pingsan terlebih dahulu.
Untuk
menuju ke benteng tersebut dari pintu masuk, pengunjung harus menaiki bukit
yang telah dibuatkan tangga-tangganya. Jumlah anak tangga tidak sama untuk
setiap persinggahan. Dari dasar ke tempat persinggahan satu terdapat 52 anak
tangga, ke persinggahan dua terdapat 83 anak tangga, ke persinggahan tiga
terdapat 53 anak tangga, dan selanjutnya, ke persinggahan empat memiliki 89
anak tangga. Sementara ke area benteng terdapat 71 anak tangga, sehingga jumlah
keseluruhan anak tangga yaitu 348 buah anak tangga.
Di
lingkungan ketiga benteng tersebut masih rimbun dengan pepohonan besar yang
seolah-olah menghilangkan benteng-benteng tersebut dari pandangan orang. Di
situ, juga masih banyak dijumpai pohon serut yang besar-besar.
Ketiga
benteng yang berada di atas perbukitan tersebut, yaitu benteng Otanaha, Otahiya,
dan Ulupahu, menjadi kesatuan nilai jual dalam kepariwisataan di Gorontalo
dengan label “Taman Purbakala Benteng Otanaha”, dan lokasi tersebut telah
ditetapkan sebagai Situs Benda Cagar Budaya. Dalam upaya pelestariannya, sebuah
peninggalan sejarah tidak diperkenankan dirubah atau dimodifikasi karena akan merubah nilai
estetika atau historis yang telah ada sebelumnya. *** [161113]
Kepustakaan:
Farha Daulima, 2004, Tragedi Benteng Otanaha,
Limboto: Forum Suara Perempuan LSM Mbu’i Bungale
Farha Daulima & Hapri Harun, 2007, Mengenal
Situs/Benda Cagar Budaya Di Provinsi Gorontalo, Limboto: Forum Suara
Perempuan LSM Mbu’i Bungale
Tidak ada komentar:
Posting Komentar