The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Tempat Wisata di Solo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tempat Wisata di Solo. Tampilkan semua postingan

Taman Sriwedari

Menurut sejarah sebelum dibangun Taman Sriwedari, daerah di sekitar tempat itu dikenal sebagai Desa Talawangi, yang sekarang lebih dikenal sebagai Kadipolo, di mana batas utara adalah Jalan Besar  Purwosari (sekarang Jalan Slamet Riyadi), sebelah barat berbatasan dengan Jalan Mangunjayan (sekarang Jalan Bayangkara), batas sebelah timur adalah Jalan Pasar Kembang (sekarang Jalan Honggowongso), dan sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Besar Baron (sekarang Jalan Dr. Rajiman). Jalan Dr. Rajiman merupakan jalan tertua yang ada di Kota Solo sebelum dibangun Jalan Slamet Riyadi. Jalan tersebut dibuat ketika akan dilakukan pindahan Kraton Kartasura ke kraton yang baru di Desa Sala (Solo).
Di sebelah utara jalan besar depan Sriwedari terdapat Desa Gumuk, dulu di daerah ini banyak gunduk-gundukan yang lama kelamaan menjadi gumukan maka dari itu daerah ini dinamakan Kampung Gumuk.


Sedangkan desa di sebelah barat Gumuk adalah Gentan, akan tetapi setelah di daerah tersebut berdiri Dalem (rumah) Pangeran Mangkubumi, daerah tersebut dikenal sebagai Kampung Mangkubumen hingga kini.
Sebelah selatan Gumuk pinggir jalan besar, tepatnya di depan Taman Sriwedari, kala itu terdapat pohon Benda yang begitu rindang, yang begitu nyaman untuk berteduh di kala musim kemarau. Daerah itu lalu dikenal dengan nama Benda, yang menjadi halte trem yang dari Sangkrah menuju Purwosari. Dulu trem tersebut dari Purwosari menuju ke timur sampai Gladag, lalu belok ke utara melewati Benteng Vastenburg lalu Pasar Gede ke utara menuju Stasiun Jebres. Namun ketika Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegoro IV bertahta, jalur trem tersebut dipindah dari Purwosari ke timur hingga Sangkrah lalu ke timur lagi terus ke selatan hingga Baturetno melintasi Sukoharjo, Nguter dan Wonogiri.


Pada saat pindahan kraton dari Kartasura menuju Solo (Surakarta) pada tahun 1745, di Solo masih banyak tanah yang luas dan lebar. Namun setelah memasuki zamannya Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan (ISKS) Paku Buwono X (1839-1939) sudah ramai. Sedangkan yang menjalankan pemerintahan kala itu adalah Pepatihdalem Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV. Sang Patih yang bertanggung jawab menjalankan roda pemerintahan memikirkan kemajuan serta keuntungan bagi pemerintah, maka memerintahkan menggarap tanah Talawangi yang sampai bertahun-tahun masih menjadi lahan luas yang belum didayagunakan. Tanah Talawangi ini sudah dikenal para abdidalem supranatural di Kraton Kartasura bahwa tanah Talawangi yang dianggapa angker tersebut pantas menjadi milik raja. Setelah dibersihkan lalu dibuatlah taman, yang diberi nama Taman Sriwedari. Banyak orang yang menyebut Kebon Rojo atau Kebun miliknya raja.
Pembuatan Taman Sriwedari tersebut menghabiskan biaya ribuan gulden, lantaran di dalamnya dipelihara binatang hasil buruan yang beraneka warna digolong-golongkan berdasarkan jenisnya. Begitu juga tanamannya yang berwarna-warni dengan keindahan tanaman bunganya.
Adapun bentuk tanah yang ditempati Taman Sriwedari berbentuk persegi panjang yang membujur dari barat ke timur. Yang sebelah barat dulu berbentuk taman, yang sekarang telah berubah menjadi Stadion R. Maladi (Stadion Sriwedari). Di sebelah barat daya, dibuat Rumah Sakit Jiwa Mangunjayan sebelum dipindah ke Kentingan. Bagian tengah menjadi taman hiburan, yang terdiri dari gedung wayang orang (1911), bioskop (sekarang menjadi Gedung Kesenian Solo) maupun Taman Hiburan Rakyat (THR). Di sebelah timur dari utara ke selatan, ada Museum Radyapustaka, telaga buatan yang diberi nama segaran (dalam bahasa Jawa berarti lautan). Di tengah segaran terdapat punthuk seperti gumuk membentuk pulau , yang diberi bangunan panggung yang ditembok melingkar dengan dihiasi kaca yang berwarna-warni dan diberi ukira-ukiran. Bangunan tersebut dinamakan Panti Pangaksi. Di sekitar panggung tadi dihiasi dengan arca-arca yang terbuat dari batu andesit, sehingga tampak asri dan menyenangkan. Bagian bawah panggung dibuat seperti gua, yang diberi nama “Guwa Swara”, berasal dari kata guwa dan swara yang berarti “Gua Suara”. Ruangan ini digunakan untuk menyimpan perangkat gamelan keraton, yakni Gamelan Satiswaran. Penyediaan ruangan Guwa Swara dilakukan untuk memastikan bahwa gamelan selalu siap saat diperlukan, misalnya untuk mengiringi suatu perayaan. Di sepanjang paruh abad ke-20 M, khususnya selama masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono (PB) X, diadakan acara perayaan besar di Sriwedari pada setiap peringatan ulang tahun Susuhunan.
Sejak masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono X, Taman Sriwedari menjadi tempat diselenggarakannya tradisi Malam Selikuran. Dalam bahasa Jawa, Malam Selikuran berarti malam ke-21 pada bulan Ramadhan. Pada setiap malam yang sering disebut juga sebagai malam Lailatul Qadar ini, Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan warga Solo menggelar tradisi berupa Kirab Seribu Tumpeng. Kirab ini dimulai dari pelataran Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan berakhir di Taman Sriwedari. Seribu tumpeng yang diarak tersebut kemudian diperebutkan oleh warga di Taman Sriwedari karena dipercaya mengandung berkah. Inilah yang disebut Malam Selikuran dan tradisi ini masih dijalankan hingga sekarang. Tradisi Malam Selikuran diyakini sudah muncul sejak zaman para wali, kemudian berlanjut pada masa Kesultanan Demak, Mataram, Kartasura, hingga kemudian Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Di sebelah timur Stadion Sriwedari atau bekas Rumah Sakit Jiwa Mangunjayan, dulunya adalah kebun binatang, yang terdiri dari aneka satwa. Sri Susuhunan Pakubuwono X menambah koleksi di Taman Sriwedari dengan memelihara berbagai jenis hewan di lingkungan taman. Di sisi sebelah selatan, ada banyak rusa yang ditempatkan tidak jauh dari bangunan paviliun yang nyaman. Sebagian dari paviliun tersebut dibangun dengan konsep terbuka dan bertingkat untuk tempat istirahat sekaligus refreshing. Selain itu, di sisi utara, terdapat sejumlah kandang untuk memelihara beberapa jenis hewan liar, termasuk buaya dan kura-kura. Tak jauh dari situ, masih terdapat sejumlah kandang lainnya yang digunakan untuk menampung binatang-binatang buas, seperti harimau dan macan kumbang. Di sisi selatannya lagi, terdapat kandang monyet, siamang, dan orangutan. Ada juga kandang untuk gajah dan berbagai jenis unggas, seperti ayam liar dan ayam emas. Namun, sekarang kebun binatang tersebut telah dipindah ke Taman Satwa Taru Jurug.
Peresmian Taman Sriwedari dilakukan dengan meriah. Siang diadakan sedekah dari PB X yang dijadikan rebutan bagi pengunjung. Malam harinya di putar film (bioskop)  dan wayang orang dengan diselingi kembang api. Peresmian tersebut memang dilakukan dengan besar-besaran dengan mengundang perwakilan dari bangsa lain.
Peresmian Taman Sriwedari diberi sinengkalan “Luwih Katon Estining Wong”, tahun Dal 1831 atau tahun 1899. ***

Kepustakaan:
  • R.M. Sajid, 1984, Babad Sala, Solo: Rekso Pustoko
Share:

Masjid Laweyan Surakarta

Masjid Laweyan merupakan masjid tertua yang berada di Kota Solo atau Surakarta. Masjid yang berusia hampir lima abad ini, terletak di Dusun Pajang RT 4 RW 4, Laweyan, Solo. Bangunan utamanya hanya 162 meter persegi. Masjid ini memiliki sejarah yang sangat panjang dan memiliki kontribusi besar dalam penyebaran agama Islam di wilayah Karesidenan Surakarta.


Awal mula berdirinya masjid itu tidak lepas dari pengaruh  Ki Ageng Henis yang bersahabat baik dengan seorang Pemangku atau Pandhita Umat Hindu (bhiksu). Masjid Laweyan ada sebelum Kota Solo terbentuk pada 1745. Masjid Laweyan dibangun pada tahun 1546, saat Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) berkuasa di Kerajaan Pajang. Masjid Laweyan ini merupakan masjid pertama di Kerajaan Pajang, hal itu membuktikan bahwa masjid ini lebih tua dari Masjid Agung Solo yang baru dibangun pada tahun 1763. Awalnya Masjid Laweyan merupakan pura agama Hindu milik Ki Beluk. Ki Beluk memiliki hubungan dekat dengan Ki Ageng Henis yang merupakan sahabat dari Sunan Kalijaga. Dengan pendekatan damai, karena kemuliaan sifat Ki Ageng Henis, Ki Beluk memeluk Islam. Sanggar milik Ki Beluk pun kemudian dirubah menjadi langgar (mushala), seiring dengan banyaknya rakyat yang mulai memeluk agama Islam, bangunan dirubah fungsinya menjadi masjid.


Bersamaan dengan itu, tumbuh sebuah pesantren dengan jumlah pengikut yang lumayan banyak. Konon karena banyaknya santri, pesantren ini tidak pernah berhenti menanak nasi untuk makan para santri sehingga selalu keluar asap dari dapur pesantren dan disebutlah wilayah ini sebagai Kampung Belukan (beluk = asap). Pemilik masjid ini adalah Kyai Ageng Henis (kakek dari Susuhunan Paku Buwono II). Seperti layaknya sebuah masjid, Masjid Laweyan berfungsi sebagai tempat untuk nikah, talak, rujuk, musyawarah, dan makam.
Bentuk arsitek masjid yang mirip seperti Kelenteng Jawa, juga menjadi ciri khas Masjid Laweyan yang berbeda dengan bentuk arsitek masjid pada umumnya. Pengaruh Hindu-Jawa sangat melekat dalam arsitektur Masjid Laweyan. Tampak dari penataan ruang dan sisa ornamen yang masih dapat ditemukan di sekitar masjid hingga saat ini. Letak masjid berada di atas bahu jalan merupakan salah satu ciri dari pura Hindu. Tak hanya fungsi, bentuk bangunannya pun mengalami perubahan sebelum fisiknya yang sekarang. Pura yang beralih menjadi masjid semula berbentuk rumah panggung bertingkat dari kayu. Pengaruh Hindu terlihat dari posisi masjid yang lebih tinggi dibandingkan bangunan di sekitarnya. Saat ini, sejumlah ornamen Hindu memang tak lagi menghiasi masjid. Tetapi, ornamen Hindu seperti hiasan ukiran batu masih menghiasi makam kuno yang ada di kompleks masjid.


Tata ruang Masjid Laweyan merupakan tipologi masjid Jawa pada umumnya. Ruang dibagi menjadi tiga, yakni Ruang Induk (Utama) dan Serambi yang dibagi menjadi Serambi Kanan dan Serambi Kiri. Pengaruh Kerajaan Surakarta terlihat dari berubahnya bentuk masjid menyerupai bangunan Jawa yang terdiri atas pendapa atau bangunan utama dan serambi. Ada dua serambi, yakni kanan dan kiri. Serambi kanan menjadi tempat khusus putri atau keputren, sedangkan Serambi Kiri merupakan perluasan untuk tempat shalat jamaah.
Ciri arsitektur Jawa ditemukan pula pada bentuk atap masjid, dalam arsitektur Jawa, bentuk atap menggunakan tajuk atau bersusun. Atap Masjid Laweyan terdiri atas dua bagian yang bersusun. Pada dinding masjid yang terbuat dari susunan batu bata dan semen. Penggunaan batu bata sebagai bahan dinding, baru digunakan masyarakat sekitar tahun 1800. Sebelum dibangun seperti sekarang, bahan-bahan bangunan masjid, sebagian menggunakan kayu.
Kompleks Masjid Laweyan menjadi satu dengan makam kerabat Kraton Pajang, Kartasura dan Kasunanan Surakarta. Pada makam terdapat pintu gerbang samping yang khusus dibuat untuk digunakan oleh Sunan Paku Buwono X untuk ziarah ke makam dan hanya digunakan 1 kali saja karena 1 tahun setelah kunjungan itu beliau wafat. Beberapa orang yang dimakamkan di tempat itu di antaranya:
  • Kyai Ageng Henis merupakan penasihat spiritual Kerajaan Pajang. Beliau merupakan keturunan Raja Majapahit dari silsilah Raja Brawijaya-Pangeran Lembu Peteng-Ki Ageng Getas Pandawa lalu Ki Ageng Selo. Sedangkan keturunan Ki Ageng Henis saat ini menjadi raja-raja di Kraton Kasunanan dan Mataram.
  • Susuhunan Paku Buwono II yang memindahkan Kraton Kartasura ke Desa Sala hingga menjadi Kraton Kasunanan Surakarta. Konon Paku Buwono II ingin dimakamkan dekat dengan Kyai Ageng Henis dan bertujuan untuk menjaga Kraton Kasunanan Surakarta dari serangan musuh.
  • Permaisuri Paku Buwono V
  • Pangeran Widjil I Kadilangu sebagai Pujangga Dalem Paku Buwono II - Paku Buwono III yang memprakarsai pindahnya Kraton dari Kartasura ke Surakarta.
  • Nyai Ageng Pati
  • Nyai Pandanaran
  • Prabuwinoto anak bungsu dari Paku Buwono IX.
  • Dalang Kraton Kasunanan Surakarta yang menurut legenda pernah diundang oleh Nyi Roro Kidul untuk mendalang di Laut Selatan.
  • Kyai Ageng Proboyekso, yang menurut legenda merupakan Jin Laut Utara yang bersama pasukan jin ikut membantu menjaga keamanan Kerajaan Kasunanan Surakarta.
Di makam ini terdapat tumbuhan langka pohon nagasari yang berusia lebih dari 500 tahun yang merupakan perwujudan penjagaan makam oleh naga yang paling unggul. Selain itu pada gerbang makam terdapat simbolisme perlindungan dari Batari Durga. Keberadaan makam direnovasi oleh Paku Buwono X bersamaan dengan renovasi Kraton Kasunanan. Sebuah bangunan semacam pendapa yang diangkat dari pindahan Kraton Kartasura.
Meski Masjid Laweyan merupakan peninggalan Kraton Kasunanan Surakarta paska runtuhnya Kraton Pajang, saat ini pemeliharaannya justru lebih didominasi masyarakat sekitar yang rata-rata sebagai pengusaha batik. Ritual tradisi budaya kraton juga jarang digelar di Masjid Laweyan. ***


Share:

Museum Istana Mangkunegaran

Museum Istana Mangkunegaran berada di dalam Kompleks Pura Mangkunegaran, yang berlokasi di tengah-tengah Kota Surakarta (Solo). Tepatnya berada di Kelurahan Keprabon, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta.
Museum ini menempati sebuah bangunan utama dari Pura Mangkunegaran, yaitu Dalem Ageng.  Dalem Ageng merupakan bangunan yang berada di Pura Mangkunegaran yang menjadi tempat diadakan upacara-upacara tradsional dan memiliki bentuk limasan dengan 8 buah tiang penyangga (saka guru), dan tidak memiliki plafon, sehingga usuk-usuk dan reng-reng dapat dilihat, yang merupakan simbol dari matahari (surya sumirat).
Di museum ini terdapat suatu koleksi benda-benda purba, yang dikumpulkan mulai tahun 1926. Koleksi ini sekarang ditempatkan benda-benda perunggu, seperti benda-benda keperluan untuk meditasi dan barang-barang dari emas, seperti gelang, kalung, subang, anting-anting, rantai, badong, jam, tempat cerutu dan masih banyak lagi.
Di samping koleksi tersebut, juga dipamerkan barang-barang ampilan upacara, seperti sumbu (tempat sapu tangan), tempat sirih, kecohan/tempat meludah, dan lain-lain. Senjata-senjata kuna juga dipamerkan, seperti keris, tombak dan pedang. Selain itu, di dalam museum ini juga terdapat almari besar dengan ukuran MN (Mangkunegaran) yang berisi pakaian-pakaian yang dilapisi emas untuk tarian Bedhaya Srimpi dan Langendriyan.
Semua koleksi tersebut dipamerkan di museum ini dan sekarang dapat dilihat oleh umum, agar bangsa kita mendapatkan rasa harga diri karena barang-barang tersebut adalah hasil karya bangsa kita sendiri.
Karena museum ini merupakan Obyek Wisata Budaya dari Pura Mangkunegara beserta lingkungan istana secara keseluruhan, maka sejak 1968 dibuka untuk umum dan kepariwisataan di Pura Mangkunegaran diurus oleh Biro Pariwisata Mangkunegaran.

Maksud dan Tujuan Koleksi
Adapun maksud dan tujuan dari koleksi tersebut, antara lain adalah bahwa bangsa kita telah menunjukkan bahwa kebudayaan kita di masa lampau telah begitu tinggi adat serta peradabannya. Untuk itu dalam koleksi ini ingin memamerkan sebagian dari budaya bangsa yang selama ini tenggelam.
Kita mencoba untuk menghidupkannya kembali dengan jalan menunjukkan kepada bangsa kita pada generasi yang sekarang yang belum begitu mengenal peradaban bangsa kita di zaman lampau.
Semoga menjadi kenyataan bahwa akan tiba masanya bahwa benda-benda seni zaman kuna tidak dianggap keramat, yang mendatangkan keuntungan atau kesengsaraan tetapi sebagian kebudayaan bangsa yang mempunyai nilai budaya yang tinggi yang bisa memainkan peranan dalam studi mengenai sejarah dan kebudayaan bangsa.

Asal-usul Benda Koleksi
Dengan terus-menerus membeli benda-benda dari perak dan emas yang dibuat oleh pandai emas Jawa Kuna diperoleh gambaran yang jelas bagaimana kemampuan mereka itu, tetapi cara seperti itu tidak memungkinkan orang untuk mengetahui secara pasti dari mana asal benda-benda tersebut.
Bahwa sebagian besar dari koleksi benda-benda yang berasal dari emas dibeli di Surakarta dan Yogyakarta. Berbicara mengenai asal-usul benda-benda tersebut bahwa benda-benda itu telah dicatat sepanjang ditemukan di wilayah dalam praja Mangkunegaran kebanyakan berasal dari daerah sekitar Wonogiri, sesuai dengan penemuan prasasti di tahun 1933 yang berupa prasasti tahun 903 M, mengenai perahu ferry yang bebas bea di Bengawan Solo di tempat yang sekarang bernama Wonogiri.
Seribu tahun yang lalu, letak keraton tidak begitu jauh ke selatan, karena hubungan dengan India maupun dengan negara asing dilakukan di pantai utara. Oleh karena itu sebaiknya kita menghubungkan dengan asal-usul benda emas di daerah Gunung Kidul itu dengan ferry yang bebas bea itu masuk di Bengawan Solo, yang barangkali dimaksud untuk memajukan perjalanan ziarah ke makam raja-raja dan pertapaan.
Untuk di daerah Yogyakarta ditemukan di selatan ibukota Bantul, yang terletak dekat dengan candi-candi utama.
Di daerah Surakarta diperoleh arca-arca di bagian dari cand-candi Nusukan yang sekarang telah hilang. Yang letaknya di dekat jembatan kereta api di atas Sungai Kalianyar.
Tempat penemuan lain yaitu Mojogedang, Sragen yang mana dulu terdapat kompleks kecil yang terdiri dari candi utama yang di depannya terdapat tiga monument kecil. Dibangun arca Siwa, di situs itu terdapat arca Siwa kepala tiga yang masih terdapat lingga dan yoni.

Benda-Benda Koleksi
Aneka koleksi benda yang dipamerkan di dalam Museum Istana Mangkunegaran, antara lain:
1.       Kereta
2.       Arca Logam
3.       Arca Batu
4.       Peralatan dari logam
5.       Senjata
6.       Lukisan dan foto
7.       Topeng
8.       Tanda Penghargaan
9.       Pakaian Tari
10.   Wayang Beber
11.   Koleksi Kristal
12.   Kaligrafi ***


Share:

Pura Mangkunegaran

Semasa pemerintahan Susuhunan (Sunan) Paku Buwono II masih di Kartasura, perpecahan keluarga trah Mataram sudah tampak dengan adanya peristiwa Geger Pacinan. Perpecahan ini tidak hanya menjadikan pusat pemerintahan (keraton) di pindah ke Desa Sala, namun perpecahan keluarga trah Mataran itu kian melebar. Perpecahan keluarga besar trah Mataram yang dimaksud adalah perselisihan antara Pangeran Mangkubumi (adik Sunan Paku Buwono II) dengan Paku Buwono II, perselisihan mana tidak bisa diselesaikan dengan damai atau kekeluargaan. Juga terjadi konflik antara Raden Mas Said, putra Pangeran Mangkunagoro Kartasura adalah kakak Sunan Paku Buwono II, yang dibuang Ceylon (Sri Lanka).


Seorang penulis Belanda, De Jange, menyebutkan bahwa pembuangan terhadap Pangeran Mangkunagoro Kartasura disebabkan oleh fitnah yang dilakukan oleh Kanjeng Ratu dan Patih Danurejo. Dalam fitnah itu dikatakan bahwa ia berzina dengan seorang selir Paku Buwono II, yakni Mas Ayu Larasati. Pada mulanya ia dijatuhi hukuman mati, namun kemudian diubah menjadi hukuman buang (pengasingan). Peristiwa itu terjadi ketika Raden Mas Said masih berumur dua tahun.
Konflik segitiga ini tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan, berakibat Kraton Surakarta terpecah menjadi Kraton Yogyakarta dan Pura Mangkunegaran.

Ihwal Berdirinya Pura Mangkunegaran
Tepatnya pada hari Sabtu Legi tanggal 5 Jumadilawal, tahun Alip Windu Kuntara, tahun Jawa 1638 atau 17 Maret 1757, diadakanlah kelanjutan dari perjanjian yang terdahulu antara Sunan Paku Buwono III dan Pangeran Adipati Mangkunagoro, dengan Sultan Hamengkubuwono I yang diwakilkan pada Patih Danurejo di Kali Cacing, Salatiga. Menurut perjanjian Salatiga itu, Pangeran Adipati Aryo Mangkunagoro tak beda dengan raja-raja Jawa lainnya, hanya tidak diperkenankan duduk di atas singgasana, mendirikan balai winata, mempunyai alun-alun beserta sepasang pohon beringin dan menghabisi nyawa (hukuman mati).


Tanah yang dikuasai seluas 4000 karya, tersebar mulai dari tanah di Kaduang, Laroh, Matesih, Wiroko, Hariboyo, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan selatan dari jalan utama Kartasura – Solo, Mataram (di tengah-tengah Kota Yogyakarta) dan Kedu.


Perjanjian Salatiga ini, merupakan awal berdirinya Pura Mangkunegaran dengan Kepala Pemerintahan Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said) dengan menyandang gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunagoro I atau Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Mangkunagoro Senopati Ngayuda Lelana Jayasemita Prawira Hadiningrat Satria Praja Mataram, yang selama 40 tahun memerintah pura (istana) menjadi Kepala Keluarga dan sekaligus Pengayom seluruh kerabatnya (24 Februari 1757 – 28 Desember 1795).


Pura Mangkunegaran berdiri bukan dikarenakan belas kasihan atau hadiah, melainkan ditebus dengan kekuatan dan kemampuannya berjuang mandiri dengan segenap keluarga, wadya bala (pasukan) dan rakyat yang di bawah pengayomannya.
Perjuangan yang memakan waktu cukup panjang, sekitar 16 tahun tersebut, tanpa terlintas sedikitpun cita-cita untuk menyerah, tetap kuat dan bertahan mengatasi segala tekanan yang maha berat, kiranya merupakan perjuangan paling lama menentang penjajahan di bumi Nusantara ini.
Kedudukan KGPAA Mangkunegoro I memang Pangeran Miji, namun dalam kenyataannya selama 40 tahun tindak tanduknya tak ubahnya sebagai Raja Jawa ke III setelah Kraton Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Yogyakarta.


Demikianlah sehabis pertumpahan darah yang bertahun-tahun lamanya, akhirnya pemecahan (pembagian) Kerajaan Mataram menjadi suatu kenyataan hasil politik Nicholas Hartingh, Resimen Belanda untuk Yogyakarta, yang penuh akal budi itu.
Piagam penyerahan yang dibuat di Salatiga (17 Maret 1757) yang memuat hak-hak serta kewajiban-kewajiban Pangeran Miji, hingga sekarang tak dapat diketemukan lagi.

Fisik Pura Mangkunegaran
  
Lokasi
Pura Mangkunegaran terletak di tengah-tengah Kota Surakarta (Solo), tepatnya di Kelurahan Keprabon, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, Jawa Tengah. 

Bangunan Utama
Bangunan utama Pura Mangkunegaran terdiri atas: 

Pendopo Ageng
Pendopo Ageng berbentuk joglo dengan luas 52,50 m x 62,30 m = 3.270 m² di mana tiang utama (saka guru) terdiri atas 4 buah dengan tinggi 10,50 m dan besar 0,40 m x 0,40 m. Keempat buah saka guru ini berasal dari satu pohon jati yang dibelah menjadi empat, yang didatangkan dari hutan Donoloyo, Pacitan.Sedangkan tiang emper/penyangga terdapat tiga tiang penyangga, di mana tiang penyangga I ada 12 buah masing-masing dengan tinggi 8,00 m dan besar 0,26 m x 0,26 m. Tiang penyangga II ada 20 buah di mana masing-masing dengan 5,00 m dan besar 0,20 m x 0,20 m. Tiang penyangga III terdiri 28 buah, masing-masing dengan tinggi 4,00 m dan besar 0,20 m x 0,20 m. Sedangkan tiang besi ada 44 buah dengan tinggi 3,75 m. 

Dalem Ageng
Dalem Ageng berbentuk limasan dengan luas 27,50 m x 30,50 m = 838,75 m² di mana tiang utama (saka guru) terdiri atas 8 buah dengan tinggi 8,50 m dan besar 0,50 m x 0,50 m.Sedangkan tiang emper/penyangga terdapat 16 buah di mana masing-masing dengan tinggi 5,00 m dan besar 0,25 m x 0,25 m. Adapun tiang besi tepi memiliki ketinggian 3,20 m. 

Pringgitan
Pringgitan berbentuk kutuk ngambang dengan luas 21,50 m x 17,50 m = 376,25 m².

Bangunan Lainnya
Bangunan lainnya terdiri atas balewarni, balepeni, pracimayasa, nguntarayasa, reksa sunggata dan prangwedanan.

Pemegang Tahta Pura Mangkunegaran  

 KGPAA Mangkunagoro I
Nama kecil: Raden Mas Said
Waktu mengabdi di Keraton Kartasura bernama Raden Mas Soerjokoesoemo. Sewaktu melaksanakan pemebrontakan terhadap Keraton Kartasura dan Surakarta serta VOC, mendapat julukan Pangeran Sambernyawa.
Pendiri Mangkunegaran  dan memerintah mulai 24 Februari 1757 – 28 Desember 1795.

KGPAA Mangkunagoro II
Nama kecil: Raden Mas Soelomo
Cucu Mangkunagoro I, lahir dari putra KPA Prabumidjaja.
Pada masa pemerintahannya terjadi berbagai perubahan politik, VOC bubar dan timbullah Pemerintahan Hindia Belanda, yang kemudian digantikan dengan pemerintahan Perancis (negara Belanda diduduki Napoleon Bonaparte) yang kemudian digeser oleh pemerintahan Inggris di bawah pimpinan Raffles. Selanjutnya kembalilah Pemerintah Hindia Belanda dan setelah itu berkobarlah Perang Diponegoro. Dalam keadaan yang serba tidak menentu, Mangkunagoro merasa perlu untuk mengadakan konsolidasi. Mangkunegaran memisahkan diri dari pemerintah Keraton Surakarta dan berdiri sendiri. Untuk memperkuat diri dibentuklah Legiun Mangkunegaran dengan kekuatan 1250 orang prajurit dan perwira-perwiranya.
Masa pemerintahannya mulai 25 Januari 1796 – 26 Januari 1835. 

KGPAA Mangkunagoro III
Nama kecilnya: Raden Mas Sarengat
Cucu Mangkunagoro II dan putra Pangeran Natakusumo.
Pada masa konsolidasi Mangkunagoro II disusul dengan menanamkan pemerintahan dan administrasi yang teratur dan lahirlah pada tahun 1847 Kabupaten Karanganyar, Wonogiri dan Malangjiwan. Pemerintah sehari-hari dipercayakan kepada seorang Patih dengan pangkat Buapti Patih.
Petunjuk-petunjuk yang diberikan para punggawa dan putra Sentana: Aja dhumeh, aja kagetan, aja gumunan, tetep mantep, gelem nglakoni.
Masa pemerintahannya mulai 29 Januari 1835 – 6 Januari 1853.  

KGPAA Mangkunagoro IV
Nama kecil: Raden Mas Soediro.
Cucu Mangkunagoro II, dewasa menjadi Pangeran Gondokusumo dan menjadi menantu Mangkunagoro III.
Stabilitas keamanan dan pemerintahan yang teratur memungkinkan pembangunan bidang ekonomi, Didirikan perusahaan-perusahaan, misalnya pabrik gula di Tasikmadu dan Colomadu, pabrik karet, kopi, the, penggilingan padi, dan lain-lain.
Masa pemerintahannya mulai 25 Maret 1853 – 2 September 1881. 

KGPAA Mangkunagoro V
Nama kecil: Raden Mas Soenito, putra Mangkunagoro IV.
Keadaan keuangan praja pada waktu itu memungkinkan untuk melanjutkan pembangunan sebelumnya.
Masa pemerintahannya mulai 5 September 1881 – 1 Oktober 1896.

KGPAA Mangkunagoro VI
Nama kecil: Raden Mas Soerono, juga putra Mangkunagaoro IV atau saudara Mangkunagoro V.
Dalam pengalaman yang luas dan keteladanannya dalam hal disiplin kerja, ia berhasil memperbaiki kehidupan yang krisis pada masa itu.
Masa pemerintahannya mulai 21 November 1896 – 11 Januari 1916. 

KGPAA Mangkunagoro VII
Nama kecil: Raden Mas Notosoeparta. Putra Mangkunagoro V.
Beliau aktif dalam kegiatan Kebangkitan Nasional dan termasuk pendiri Budi Utomo.
Dalam pendudukan Jepang, ia diakui sebagai Mangkunegaran Kochi.
Masa pemerintahannya mulai 3 Maret 1916 – 19 Juli 1944. 

KGPAA Mangkunagoro VIII
Nama kecil: Raden Mas Hamidjojo Sarosa, putra sulung Mangkunagoro VII.
Masa pemerintahannya mulai 19 Juli 1944 – 3 September 1987.  

KGPAA Mangkunagoro IX
Nama kecil: Sudjiwa Kusumo, putra Mangkunagoro VIII dan cucu Mangkunagoro VII.
Masa pemerintahannya mulai 1987 – sekarang. ***

Kepustakaan:
  •         Dra. Darweni (Editor), ____, Mangkunegaran Selayang Pandang, Milik Perpustakan Reskso Pustoko Mangkunegaran Surakarta.
  •       ___________________ , ____, Sejarah Singkat Perjuangan Pangeran Sambernyowo dan Koleksi Benda-Benda Kuno Istana Mangkunegaran Surakarta, Milik Kantor Biro Pariwisata Istana Mangkunegaran Surakarta.

Share:

Kraton Surakarta Hadiningrat

Tahun 1742 terjadilah pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi di Kartasura dan berhasil menduduki Kraton Kartasura. Raden Mas Garendi adalah putra Pangeran Teposono, sedangkan Pangeran Teposono adalah putra Susuhunan Amangkurat II (Amangkurat Amral). Pemberontakan di Kartasura ini dikenal dengan peristiwa Geger Pacinan atau bedahnya Kraton Kartasura atau awal jatuhnya Kraton Kartasura. Ketika para pemberontak menduduki Kraton Kartasura yang ketika itu diperintah oleh Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono II, Susuhunan Paku Buwono II berikut pengawal dan abdi dalem yang setia, mengungsi ke Ponorogo, Jawa Timur. Setelah Raden Mas Garendi berhasil menduduki Kraton Kartasura dikenal dengan nama atau sebutan Sunan Kuning atau Sunan Amangkurat V. Disebut Sunan Kuning, karena Mas Garendi memimpin orang-orang Cina yang berkulit kuning yang memberontak.


Susuhunan Paku Buwono II berhasil merebut kembali Kraton Kartasura dari kaum pemberontak, namun Kraton Kartasura sudah dalam keadaan rusak sehingga tidak pantas untuk dijadikan kraton lagi. Melihat keadaan Kraton Kartasura yang telah rusak ini, Susuhunan Paku Buwono II berkehendak memindahkan Kraton Kartasura ke tempat lain dan pilihan jatuh di Desa Sala, letaknya ± 14 kilometer sebelah timur Kraton Kartasura, walaupun ketika itu Desa Sala masih berujud rawa-rawa, masih tergenang air. Menurut petunjuk gaib, Desa Sala pantas dijadikan keraton yang baru sebagai kelanjutan Kraton Kartasura.


Demikianlah atas kehendak Susuhunan Paku Buwono II didirikan atau dibangun sebuah kraton yang baru di Desa Sala dan selanjutnya dalam pisowanan seusai pembangunan kraton yang baru, Susuhunan Paku Buwono II secara resmi mengganti Desa Sala dengan nama Kraton Surakarta Hadiningrat atau Nagari Surakarta Hadiningrat, meneruskan Kraton Kartasura atau melanjutkan Kraton Mataram atau Dinasti Mataram. Mataram di sini adalah kraton yang didirikan oleh Kanjeng Panembahan Senopati in Ngalogo pada akhir abad ke-16. Para Susuhunan Paku Buwono yang memerintah Kraton Surakarta adalah keturunan atau trahpancer kakung” (garis laki-laki) Panembahan Senopati ing Ngalogo. Panembahan Senopati dikenal sebagai Wong Agung Ing Ngeksiganda (orang besar dari Mataram).


Adapun tahun berdirinya Kraton Surakarta Hadiningrat diambil dari kepindahan Kraton Kartasura ke Desa Sala, pada hari Rabu Tanggal 17 Suro Tahun Je 1670, sinengkalanKomuling Pudya Kapyarsihing Nata” (Tahun Jawa 1670) atau 17 Februari 1745.
Menurut jangka atau ramalan yang dipercaya oleh masyarakat Jawa tradisional, Desa Sala akan membawa keberkahan dan keselamatan sehingga pantas untuk dibangun sebuah keraton sebagai penerus Kraton Kartasura. Raden Tumenggung Honggowongso, seorang abdi dalem Susuhunan Paku Buwono II dan juga ahli kebatinan (spiritual), meramalkan bahwa Kraton Surakarta berusia 200 tahun. Bahwa telah ada “weca” (ucapan menjadi kenyataan) yang menyebutkan bahwa apabila sebuah kraton didirikan di Desa Sala, maka “sanadyan kari sak megaring payung, tetep lestari” (meskipun tinggal selebar payung, tetap berdiri/tetap ada). Maksudnya, adalah jika Kraton Surakarta berdiri di Desa Sala, kraton tetap ada, eksis, meskipun daerah kekuasaannya tinggal selebar terbukanya payung.
Kraton Surakarta untuk pertama kali diperintah oleh Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono II. Susuhunan Paku Buwono II merupakan raja terakhir Kraton Kartasura dan pendiri Kraton Surakarta. Susuhunan Paku Buwono II adalah putra nomor sepuluh dari Susuhunan Amangkurat Jawa yang memerintah Kraton Kartasura, lahir dari prameswari dalem/garwa padmi (permaisuri). Sebelum menjadi Paku Buwono II, bernama Raden Mas Gusti Proboyoso.
Susuhunan Paku Buwono II memerintah Keraton Surakarta hanya empat tahun lamanya (1745 – 1749) dan menurunkan seluruh Susuhunan Paku Buwono berikutnya sampai sekarang. Dengan demikian, Susuhunan Paku Buwono II merupakan leluhur atau cikal bakal para Susuhunan Paku Buwono yang bertahta di Kraton Surakarta.
Sejak Susuhunan Paku Buwono II memerintah Kraton Surakarta, Kraton Surakarta berturut-turut diperintah oleh keturunan Paku Buwono II dari “pancer kakung” (garis laki-laki) yakni: Susuhunan Paku Buwono III (1749 – 1788), Paku Buwono IV (29 November 1788 – 1 Oktober 1820), Paku Buwono V (10 Oktober 1820 – 5 September 1823), Paku Buwono VI (15 September 1823 – 14 Juni 1830), Paku Buwono VII (14 Juni 1830 – 10 Mei 1858), Paku Buwono VIII (17 Mei 1858 – 28 Desember 1861), Paku Buwono IX (30 Desember 1830 – 17 Maret 1893), Paku Buwono X (30 Maret 1893 – 20 Februari 1939, Paku Buwono XI (1939 – 1945), Paku Buwono XII (12 Juli 1945 – 11 Juni 2004) dan Paku Buwono XIII (2004) yang sekarang memerintah.
Para Susuhunan Paku Buwono memerintah Kraton Surakarta Hadiningrat, berdasarkan keturunan/trah Susuhunan Paku Buwono sebelumnya atau keturunan pancer kakung Susuhunan Paku Buwono II, secara turun-temurun, memerintah seumur hidup, berdasarkan hak asal-usul atau hak tradisional dan bersifat istimewa. Hak asal-usul di sini artinya keturunan atau trah “pancer kakung” Susuhunan Paku Buwono sebelumnya atau terdahulu. Sifat istimewa adalah untuk membedakan dengan lembaga atau bentuk pemerintahan lain atau menunjukkan adanya jabatan “ratu” (raja). ***

Sumber: 
  •  R.Ay. Sri Winarti P., 2004, Sekilas Sejarah Karaton Surakarta, Sukoharjo: Cendrawasih

Share:

Museum Samanhoedi

Museum Samanhoedi pada awalnya adalah sebuah rumah produksi batik yang berada di daerah Laweyan, Solo. Lokasi Museum Samanhoedi di Jalan Tiga Negeri Laweyan. Tempat itu adalah bekas sebuah gudang batik. Berdirinya museum diharapkan akan membantu para wisatawan yang berkunjung di Kampoeng Batik Laweyan mengetahui perjuangan Samanhoedi dan sejarah kampung tersebut. Di museum ini dipajang gambar, foto, dan dokumen tentang revolusi batik, politik, pendirian Serikat Islam, peran pemerintah kolonial terhadap Serikat Islam, Samanhoedi dan Serikat Islam, serta Samanhoedi pada masa tua. Tidak jauh dari museum terdapat rumah pemberian mantan Presiden Republik Indonesia pertama, Soekarno, kepada keluarga Samanhoedi, pada 17 Agustus 1962. Rumah tersebut kini dihuni cucu Samanhoedi.


Sejarah dan peran Haji Samanhoedi dalam konteks panggung pergerakan nasional dengan setting kampung Laweyan dan perdagangan batik inilah yang menggugah pendiri Yayasan Warna Warni Krisnina untuk mengabadikannya dalam bentuk museum di Laweyan, Solo. Museum yang menempati bekas gudang batik ini diresmikan pada hari Jumat, 22 Agustus 2008 oleh Wali Kota Surakarta Ir Joko Widodo.


Pendirian museum ini diilhami dan dilatarbelakangi oleh buku karya ahli Indonesia dari Jepang, Prof Takashi Shiraishi “Zaman Bergerak: radikalisme rakyat Jawa 1912-1926” (aslinya berjudul “An Age in Motion: Popular Radicalism in Java 1912-1926").
Pada buku ini Takashi menceritakan peran batik Laweyan dan sejarah Sarikat Islam di mana Haji Samanhoedi menjadi sentral perhatian.


Museum ini tidak terlalu besar, tetapi cukup lengkap memuat segala hal tentang Haji Samanhoedi, terutama kisah dan perjuangannya hingga masa tua dan berbagai informasi serta dokumen penting sekitar setting Kota Solo, tokoh-tokoh perjuangan Sarikat Islam dan sebagainya.


Namun, karena masa kontraknya habis dan terlambat diperpanjang akhirnya terpaksa dipindahkan.  Pemerintah Kota Solo sangat mengapresiasi langkah Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Sondakan yang berinisiatif membuka kembali museum ini. Akhirnya, pada hari Jumat, 18 Mei 2012 diresmikan ulang.
Museum yang kini dikelola oleh Pokdarwis Kelurahan Sondakan, menempati Balai Samanhoedi yang berada di lingkungan Kantor Kelurahan Sondakan, Solo. Museum ini diharapkan menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengenal lebih jauh sosok pendiri Serikat Dagang Islam itu. *** [180512]
Share:

Museum Suaka Budaya Kraton Surakarta

Museum Suaka Budaya Kraton Surakarta terletak dalam satu kompleks dengan bangunan Kraton Surakarta, tepatnya di sebelah gedung Sidikara. Secara administratif, Museum Suaka Budaya Kraton Surakarta terletak di Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah.


Bangunan museum ini terdiri dari dua blok, yaitu bangunan sebelah barat dan timur. Pada zaman pemerintahan Paku Buwono X, gedung ini dipakai sebagai perkantoran dan memiliki ruangan yang banyak.
Ruangan yang banyak ini sekarang dimanfaatkan sebagai ruangan untuk memamerkan koleksi benda yang dimiliki oleh Kraton Surakarta. Ruang Pamer tersebut terdiri atas:

RUANG 1 : GAMBAR-GAMBAR (FOTO) RAJA DAN UKIRAN KURSI RAJA
Di ruangan ini dipamerkan sejumlah gambar Raja Surakarta, yaitu Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono dan beberapa kursi ukir semasa zaman Paku Buwono (PB) IV (1788 – 1820) serta almari ukir lainnya.

RUANG 2 : ARCA
Dalam almari kaca dipamerkan bermacam-macam benda dan arca perunggu, antara lain Buddha, Buddha Avalokiteswara, dan alat-alat upacara agama.
Di dalam ruangan ini juga terdapat arca batu dari zaman purbakala, yaitu: arca Dewa Kuvera, Dewi Durga, Dewi Tara dan Dewa Çiwa Mahaguru.


RUANG 3 : PATUNG KUDA
Di ruangan ini, pengunjung bisa melihat kuda dari kayu lengkap dengan pakaiannya, untuk dinaiki pengantin laki-laki kerajaan.


RUANG 4 : PENGANTIN KRATON
Di dalam ruangan ini, pengunjung bisa melihat adegan pengantin perempuan dan laki-laki duduk bersila di depan krobongan diapit oleh dua orang patah sakembaran. Satu joli besar berisi sebuah tempat pakaian ukir-ukiran, dibuat pada zaman PB X.
Sedangkan dalam relief, pengunjung bisa menyaksikan adegan prosesi upacara adat pernikahan Kraton Surakarta.


RUANG 5 : KESENIAN RAKYAT
Di ruangan ini dipertontonkan beberapa adegan kesenian rakyat, seperti: pagelaran wayang kulit maupun klenengan.


RUANG 6 : TOPENG
Di ruangan ini dipamerkan beraneka macam topeng. Topeng ini dipergunakan khusus dalam tarian topeng. Ceritanya mengambil dari cerita Panji Inukertapati Asmarabangun, Dewi Galuh Ajeng, Dewi Galuh Candrakirana, Klana, dan sebagainya.

RUANG 7 : ALAT UPACARA
Di ruangan ini dipamerkan berbagai benda alat upacara, antara lain: bokor,kendi, tampan, sumbul, kecohan serta perhiasan.
Di tengah ruangan ada sebuah paying bersusun tiga untuk upacara khitanan PB IV.

RUANG 8 : TANDU
Di dalam ruangan ini dipamerkan sejumlah koleksi tandu, kremun, untuk memikul Putri Raja/Penari Srimpi.

RUANG 9 : KERETA RAJA
Di ruangan ini dipamerkan koleksi sejumlah kereta, seperti: Kereta Kyai Garuda, Kereta Kyai Garuda Putra dan Kereta Kyai Morosebo.
Kereta Kyai Garuda, dari zaman PB II di Kartasura tahun 1726, persembahan VOC. Kereta Kyai Garuda Putra juga merupakan kereta kerajaan yang dipakai pada zaman PB VII sampai PB X untuk menjemput tamu agung. Sedangkan Kereta Kyai Morosebo merupakan kereta kerajaan yang dipakai oleh PB III (1770).

RUANG 10 : KUDA UNTUK BERBURU
Pada dinding ruangan ini terdapat lukisan relief pertemuan PB VI dengan Pangeran Diponegoro pada waktu Perang Jawa (1823 – 1830). Selain itu ada juga relief pengadilan pada zaman kuno berupa pepe (berjemur).

RUANG 11 : SENJATA
Di dalam ruangan ini dipamerkan  sejumlah senjata kuno, antara lain: bedil, pistol, pedang, perisai, keris, panah, dan pelana kuda.

RUANG 12 : KYAI ROJOMOLO
Di ruangan ini terdapat patung kayu Kyai Rojomolo berupa patung kepala raksasa untuk hiasan perahu pada zaman PB IV.
Kyai Rojomolo tersebut ada dua buah. Yang satu tersimpan di Museum Radyapustaka Surakarta.
Selain itu, di ruangan ini juga dipamerkan maket rumah Jawa gaya limasan, gaya kampong, dan lain-lain.

RUANG 13 : ALAT PERLENGKAPAN RUMAH DAN DAPUR
Di ruangan ini dipamerkan sejumlah keramik dan porselin kuno yang dahulu menjadi perlengkapan rumah tangga dan dapur. Juga terdapat alat untuk memasak nasi untuk keperluan perang. *** [250412]

Share:

Masjid Al Wustho Mangkunegaran

Masjid Al Wustho Mangkunegaran yang terletak di Jl. Kartini, Banjarsari, Surakarta, didirikan oleh Sri Paduka Pangeran Adipati Ario Mangkunegoro VII pada tahun 1878 dan selesai pada tahun 1918. Pengelolaan masjid dipercayakan kepada para pengurus yang diangkat menjadi Abdi dalem Istana Mangkunegaran, sejak zaman penjajahan Belanda beralih ke penjajahan Jepang berjalan sebagaimana mestinya sebagai Masjid Keraton.
Adapun perubahan situasi kenegaraan dengan diproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, membawa perubahan-perubahan pula terhadap status masjid. Pengelolaannya diserahkan kepada kementerian Agama dengan suratnya nomor: Pem.50/2/7 tertanggal 12 April 1952, dan putusan Menteri Dalam Negeri nomor: E/23/6/7 tertanggal 14 September 1948.


Dalam keputusan Menteri Agama tahun 1962 disebutkan, bahwa Masjid Al Wustho Mangkunegaran adalah masjid yang diurus dan dipelihara Departemen Agama dengan mengikutsertakan eksponen-eksponen masyarakat.
Sebagai pelaksanaan Keputusan Menteri Agama tersebut maka biaya-biaya pengeluaran dibebankan pada anggaran Departemen Agama. Akan tetapi dengan surat Dit. Ura. Islam tanggal 20 Desember 1974 nomor: 117/BKMP/1974, bantuan rutin dari Departemen Agama khusus untuk empat masjid di Kotamadya Surakarta dihentikan sejak tahun 1972/1973.


Untuk mencukupi kebutuhan masjid, pengurus harus mencari dana sendiri dengan sekuat tenaga, sementara itu dana diperoleh dari kotak amal jama’ah yang dibuka di masjid tiap-tiap sehabis shalat Jum’at, dan dana infaq, shadaqah, dan bantuan-bantuan dari masyarakat secara insidentil.
Bangunan Masjid dan sekitarnya
Luas kompleks Masjid Al Wustho Mangkunegaran Surakarta seluruhnya ada 4200 m², dipisahkan dari daerah sekitarnya dengan pagar tembok keliling. Bagian belakang setinggi 3 m, bagian depan dengan bentuk lengkung setinggi 3 m. Gapura depan dihiasi dengan relief tulisan Arab.
Adapun rincian detailnya adalah sebagai berikut:

Bangunan Dalam Masjid
Serambi
Ruangan Serambi berukuran panjang 22 m, lebar 11 m dengan tiang sebanyak 18 buah, di bagian utara timur diletakkan sebuah bedug dan sebuah kentongan.
Di depan serambi dibangun bangunan markis dengan ukuran panjang 5 m, dengan lengkung lengkungan tembok lebar juga 5 m, yang diberi hiasan relief Arab.
Bedug yang berada di serambi diberi nama Kyai Danaswara, sedang kentongan yang dulu kecil diganti dengan yang cukup besar, tetapi tidak diberi nama.

Ruang Shalat Utama
Ruang utama untuk shalat berukuran panjang 24 m, dan lebar 22 m, dalam ruang ini ada 4 tiang (saka guru) yang bagian atasnya dihias dengan tulisan Arab, di samping itu ada saka penyangga bantu sebanyak 12 buah.
Mimbar ukiran untuk berkhotbah diletakkan di dekat mihrab. Di pojok ruangan sebelah selatan timur dibuat sebuah ruangan untuk menyimpan alat-alat pengeras suara yang dipakai setiap akan mulai shalat rawatib, dan shalat Jum’at. 

Pawastren
Dahulu sebelum dibangun pawastren tambahan, ada sekat sebagai pemisah tempat shalat untuk wanita. Setelah dibangun tambahan ruangan yang menempel di bagian selatan ruangan utama maka sekat diambil.
Pawastren ini berukuran panjang 10 m dan lebar 7 m. Di dalam ruangan pawastren, ada sebuah ruang gudang serta fasilitas kolah untuk berwudlu wanita dibangun di sebelah timur pawastren.

Maligin
Terpisah sedikit dengan pawastren, ada bangunan kecil bundar. Dahulu tempat ini untuk melaksanakan khitanan/sunatan. Anak yang akan dikhitan di syahadad dulu di serambi masjid. Setelah itu pelaksanaan khitan di ruang kecil tadi yang konon disebut dengan sebutan maligin.

Bangunan Di Halaman Masjid
Tembok Keliling Halaman
Sebagai pembatas antara masjid dengan daerah sekitarnya dibuat tembok yang mengelilingi masjid. Adapun ukuran tembok keliling adalah 260 m, dengan perincian sisi timur 60 m, sisi barat 69 m, sisi utara 70 m, sisi selatan 70 m.
Pagar tembok di sebelah barat/belakang, dibuat rata sedangkan di bagian depan/sisi timur dan sisi selatan serta sisi utara, sebagian dibangun dengan hiasan lengkung.
Gapuran depan bagian luar dan dalamnya dihiasi dengan relief Arab.

Pintu Gerbang Timur
Bentuk lengkungan tinggi dengan hiasan tulisan Arab yang berbunyi: “Al-Islamu ya’lu wala yu’la ‘alaih” serta “Asyhadu alla ilaaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar rasuulullah”. Sedang di bagian belakang juga diberi relief Arab.

Pintu Gerbang Utara
Pintu gerbang utara disediakan untuk masuk masjid bagi orang kampung sekitar masjid sebagai jalan pintas, dengan ukuran lebar 2 m dan tinggi 3 m.

Markis
Sebelah depan serambi dibuat bangunan tambahan yang disebut markis, dengan ukuran panjang 5 m dan lebar 5 m. Bagian depan dan kiri kanan dihias dengan relief Arab pula yang banyak mengandung makna.

Kantor Pengurus Masjid
Terletak di utara masjid dengan ukuran panjang 9 m dan lebar 6 m. Di kantor ini pula ditempatkan perpustakaan masjid untuk menambah ilmu pengetahuan bagi umat.

Menara
Di depan Kantor Pengurus Masjid didirikan dengan tegak sebuah menara berukuran tinggi 25 m dengan diameter 2 m. Dahulu menara ini dipergunakan untuk para muadzin yang akan menyuarakan adzan. Sesudah masuk waktu shalat, muadzin segera naik melalui tangga. namun dengan kemajuan zaman yang semakin canggih sekarang ini maka muadzin tidak perlu naik ke atas, cukup dipasang pengeras suara. Menara ini dibangun pada tahun 1926. *** [221211]







Share:

Museum Radyapustaka

Pada hari Rabu, 6 Juli 2011 saya mengantar anak berkunjung ke Museum Radyapustaka. Permintaan ini sebenarnya sudah lama, namun karena kesibukan penelitian di lapangan kala itu, baru kali ini saya bisa memenuhi  keinginan anak. Kunjungan ke museum tersebut sebenarnya bermula dari pertanyaan anak saya, “Bapak, di dalam museum itu isinya apa to?”
Museum tertua di Indonesia tersebut terletak di Jl. Slamet Riyadi, Surakarta, bersebelahan dengan Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Surakarta. Lokasinya yang strategis dan menyatu dengan Taman Sriwedari, memudahkan pengunjung dari berbagai daerah bisa menjumpainya dengan berbagai moda transportasi darat.
Kenapa kita musti ke museum? Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro dalam Seminar Satu Hari Museum Artha Suaka Bank Indonesia di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2005, menyebutkan bahwa museum mempunyai manfaat bagi masyarakat, yaitu: sebagai pusat warisan yang harus dipelihara dan dikembangkan, sebagai pusat pengenalan dan pembelajaran, sebagai pusat penelitian, sebagai pusat pertemuan masyarakat (community center) dan institusi pariwisata.
Sehingga tidak ada ruginya kita mengajak keluarga, handa taulan maupun kerabat berkunjung ke museum Radyapustaka ini. Selain bisa menyaksikan benda purbakala atau cagar budaya, juga bisa mencari buku-buku kuno di perpustakaan yang berada di tengah Museum Radyapustaka. Koleksinya lumayan banyak dan yang paling bikin betah di sana karena layanan dari pustakawan di sana sangat bagus. Kita baru bertanya keyword yang mau kita butuhkan, mereka sudah bisa mencarikan apa yang kita inginkan meski saat ini perputakaan tersebut tengah menyelesaikan katalogisasi dan menuju proses digitalisasi naskah.
Dari perpustakaan tersebut, saya berusaha meresume dari berbagai sumber untuk mengetahui sejarah singkat riwayat museum Radyapustaka:


Paheman Radyapustaka (PR) adalah suatu lembaga ilmu pengetahuan, didirikan pada tanggal 28 Oktober 1890 (masih zaman Raja Surakarta, Paku Buwono IX). Pendiri pertama ialah mendiang Kanjeng Raden Adipati (KRA) Sosrodiningrat IV, seorang Patih Keraton Surakarta Hadiningrat. Di kota Sala (orang luar daerah sering menyebutnya dengan Solo), beliau terkenal dengan sebutan Kanjeng Indraprasta, seorang prajawan yang besar minatnya terhadap ilmu kebudayaan.
Sejak lahirnya PR memang telah berbentuk lembaga swatantra (otonomi), lengkap dengan perpustakaan dan museumnya. Pengurus dipilih oleh anggota. Ketua pertama kala itu, terpilih Radeh Tumenggung Haryo (RTH) Djojodiningrat. Anggota-anggotanya terdiri dari para guru dan para karya yang dipandang memiliki keahlian di dalam pekerjaan yang ada sangkut pautnya dengan ilmu dan kebudayaan. Para anggota tidak diwajibkan membayar uang iuran, hanya diminta kesanggupannya ikut bersama-sama, memelihara kelangsungan lembaga. Pelaksana pekerjaan sehari-hari pada waktu itu yaitu Raden Mas (RM) Suwito.


Perlu kita ingat, bahwa pada waktu itu PR telah memelopori menerbitkan majalah bulanan bahasa Jawa, berisi artikel-artikel tentang pengetahuan dan kebudayaan, bernama Sasadara dan Candrakanta, beberapa kitab kesusasteraan Jawa telah dapat diterbitkan pula dan juga kursus pedalangan yang diberi nama Padha Suka, singkatan dari Pamulangan Dhalang Surakarta, mulai tahun 1923 sampai dengan tahun 1942. Pengajarnya kala itu, Raden Ngabehi Lebdocarito dan Raden Ngabehi Dutodiprojo. Selain itu juga mengadakan kursus memainkan gamelan (nabuh) dan kursus bahasa Kawi. Pada tahun 1922 pernah mengadakan sarasehan mengenai aturan surat menyurat dalam bahasa Jawa (tatananing penyerat Jawi).
Pada tanggal 1 Januari 1913, Radyapustaka dipindah tempatnya dari Kepatihan ke gedung Kadipala, yaitu gedungnya sekarang ini untuk melaksanakan tugas hidupnya lebih lanjut.
Gedung Kadipala itu semula milik seorang Belanda bernama Johannes Busselaar. Gedung itu dibeli oleh Raja Surakarta, yang kala itu bertahtalah Paku Buwono IX, dengan perantara onder-major Raden Mas Tumenggung (RMT) Wiryodiningrat, melalui seorang Belanda bernama Donald Soesman tercantum dalam akta notaris tanggal 13 Juli 1877 No.10 seharga 65.000 gulden. Menurut meetbriefnya dd 22 Februari 1864, tanah eigendom, dengan batas-batas sebagai berikut:
• Utara: sebelah selatan Jl. Purwosari timur (sekarang Jl. Slamet Riyadi) mulai jalan kecil ke Barat, kurang lebih 115 meter.
• Timur: mulai jalan besar ke Selatan sampai jalan kecil, kurang lebih 168 meter.
• Barat:mulai jalan besar ke Selatan, kurang lebih 173 meter.
• Selatan: dari Timur ke Barat, kurang lebih 78 meter.
Bentuk gedung dan rumah-rumah sisinya sampai sekarang ini belum berubah, hanya bekas rumah keretalah yang oleh Radyapustaka dibangun menjadi Walidyasasana. Dan bekas kamar mandi di dalam rumah, dijadikan kantor untuk Ketua, sedang rumah sisi sebelah barat dipinjam Sriwedari pada waktu Kanjeng Raden Mas Tumenggung (KRMT) Purwodiningrat menjadi pembesarnya, termuat dalam surat tertanggal 12 November 1931 No.130/5. [060711]

Kepustakaan:
 R.M Sajid, 1984, Babad Sala, Rekso Pustoko Mangkunegaran: Solo, hal.79.
 _______, ____, Nawawindu Radyapustaka 1820 EHE 1890, __________. [221211]


Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami