The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Hotel di Surabaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hotel di Surabaya. Tampilkan semua postingan

Hotel Ibis Surabaya Rajawali

Anda seorang peminat heritage? Ingin dimanjakan oleh deretan bangunan lawas? Coba datanglah ke Jalan Rajawali. Di sana banyak berjajar bangunan lawas yang punya ceritera dan memiliki gaya arsitektur yang variatif. Salah satu bangunan lawas yang bisa dilihat adalah Hotel Ibis Surabaya Rajawali. Hotel ini terletak di Jalan Rajawali No. 9-11 Kelurahan Krembangan Selatan, Kecamatan Krembangan, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Lokasi hotel ini berada di sebelah gedung cerutu, atau di depan gedung Internatio (Internationale Crediten Handelsvereeniging Rotterdam).
Lokasi Hotel Ibis ini tergolong strategis dan sekaligus berada di area bersejarah Surabaya, dekat dengan kawasan bisnis dan pusat perbelanjaan. Ada 147 kamar ber-AC yang dapat dipesan. Hotel ini memiliki restoran, bar, klub kesehatan dan spa serta ruang pertemuan berkapasitas hingga 300 orang. Akses internet Wifi untuk tamu yang sedang melakukan perjalanan bisnis atau sekadar santai, juga bisa dinikmati.


Dulu, bangunan hotel ini merupakan bangunan milik NV Geo Wehry & Co. (Kantoorgebouw van de Geo Wehry & Co. te Soerabaja) yang dibangun pada tahun 1913. Kontraktor yang mengerjakan gedung Geo Wehry & Co. ini adalah Hollandsche Beton Maatschappij.
Perusahaan Geo Wehry & Co. sejak tahun 1867 telah beroperasi di Hindia Belanda. Kegiatan utamanya bergerak di bidang perkebunan. Perusahaan ini mempunyai 28 perkebunan di Hindia Belanda, dengan komoditi antara lain teh, kina dan karet, dan melakukan perdagangan dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu, NV Geo Wehry & Co. juga termasuk dalam The Big Five (lima perusahaan raksasa milik Belanda) selain Internatio, Lindeteves, Borsumij dan Jacobson van den Berg & Co. Kantor pusat Geo Wehry & Co. ada di Batavia, dan cabang-cabangnya ada di Semarang, Soerabaja, Cheribon, Tjilatjap, Medan, Padang, Palembang, Djambi, Macassar, Menado, Bandjarmasin, Pontianak dan Samarinda.
Denah gedung Geo Wehry & Co. berbentuk persegi empat, dan memanjang ke belakang. Bagian depan gedung digunakan untuk kantor, sedangkan pada bagian belakang dipakai untuk gudang. Pada bagian gudang inilah yang sekarang dibangun menjadi bangunan hotel yang menjulang, sedangkan bagian muka dimodifikasi untuk lobby maupun fasilitas lainnya dari hotel ini.
Jadi, bagian depan dari hotel ini masih menunjukkan bangunan asli seperti saat dibangun. Hanya gudang saja yang berubah menjadi bangunan bertingkat 9 setinggi 30 meter, dan merupakan bangunan baru.
Bagian depan yang terselamatkan memiliki gaya arsitektur kolonial awal abad 20. Hal ini yang menyebabkan bekas kantor Geo Wehry & Co. tersebut ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya (BCB) berdasarkan Surat Keputusan (SK) Wali Kota Surabaya Nomor 188.45/004/402.1.04/1998 dengan nomor urut 61. *** [020815]

Share:

Hotel Majapahit Surabaya

Dalam perkembangan sejarah kota, selain unsur manusia atau masyarakat, pertumbuhan dan pembangunan kota secara fisik merupakan peranan penting dalam mendorong kemajuan dan kemunduran kota.
Dengan adanya pelabuhan modern (Tanjung Perak) sebagai akses perdagangan di Surabaya, telah menjadikan kota tersebut tidak seperti kota-kota besar lainnya di pulau Jawa. Howard Dick dalam bukunya East Java (1983: 58) mengatakan, bahwa Surabaya adalah kota industri dan perdagangan terbesar sepanjang abad ke-19 melebihi kota-kota seperti Calcutta, Rangoon, Singapura, Bangkok, Hongkong bahkan Shanghai.
Surabaya memiliki banyak bangunan yang didirikan pada periode yang berbeda. Yaitu mulai tahun 1870-an sampai dengan tahun 1940-an dengan langgam arsitektur yang beragam, sehingga membuat kota ini memiliki karakter yang khas. Maka tak mengherankan bila sekarang Kota Surabaya tidak hanya dikenal sebagai kota industri, akan tetapi juga dikenal sebagai kota wisata, kota kenangan yang bernilai sejarah.


Sebagai kota industri dan kota wisata, Surabaya menjadi tempat lazim didatangi oleh para wisatawan, dan para eksekutif dalam dan luar negeri. Melihat kenyataan itu maka untuk memebuhi kebutuhan mereka di Surabaya, keberadaan tempat menginap atau tempat tinggal sementara dirasa penting kehadirannya. Hotel Majapahit Surabaya adalah tempat yang dirasa ideal untuk menjawab semua itu. Selain merupakan tempat bersejarah yang harus dilestarikan, hotel tersebut juga merupakan hotel bintang lima yang menyediakan fasilitas yang diperlukan oleh para wisatawan dan eksekutif, baik dari dalam maupun luar negeri.
Hotel Majapahit ini terletak di Jalan Tunjungan No. 65 Kelurahan Genteng, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Lokasi hotel ini berada di sebelah selatan Varna Culture Hotel Soerabaia, atau di depan gedung Badan Pertanahan Nasional. Dari hotel ini hanya perlu 5 menit menuju pusat perbelanjaan Tunjungan Plaza, 15 menit dari Grand City Mall dan Convention Hall, 45 menit dari Bandara Internasional Juanda, dan 20 menit dari Stasiun Kereta Api Gubeng.
Berdasarkan brosur Hotel Majapahit yang brief history, dijelaskan dengan gamblang bahwa hotel ini adalah milik Lucas Martin Sarkies. Peletakan batu pertama dalam pembangunan hotel ini dilakukan oleh Eugene, anak laki-laki Lucas Martin Sarkies, pada 1 Juni 1910. Perlu diketahui bahwa Sarkies Bersaudara adalah pebisnis asal Iran yang membangun bisnis perhotelan di Asia Tenggara pada akhir abad ke-19. Mereka adalah Martin Sarkies, Tigran Sarkies, Aviet Sarkies, dan Arshak Sarkies. Keempatnya membangun Eastern & Oreinetal Hotel di Penang, Malaysia pada 1880, Raffles Hotel di Singapura pada 1887, dan Strand Hotel di Burma pada 1901.


Lucas Martin Sarkies, anak laki-laki dari Martin Sarkies, melanjutkan tradisi keluarga dengan membuka Hotel Oranje di Surabaya pada 1911. Lucas lahir di New Jaya, Teheran, Iran pada 1876. Saat usianya 11 tahun, Lucas pindah ke Hindia Belanda, dan menetap di Surabaya. Ia menikah dengan sosialita Belgia, Charlotte Heyligers, pada 1896.
Pada 1900 Lucas Martin Sarkies membeli tanah seluas 1.000 m² di Jalan Tunjungan untuk mengikuti jejak ayahnya membangun hotel mewah. Dia menyewa desainer terkenal Alfred Bidwell untuk membangun hotel bergaya Art Nouveau Kolonial Belanda. Pembangunan hotel tersebut menghabiskan 500.000 gulden, dan peresmiannya dibuat dengan acara yang meriah pada 1911. Nama Oranje yang disematkan untuk nama hotel milik Lucas Martin Sarkies ini, mengambil dari nama pahlawan Belanda yang bernama Willem van Oranje, yang bertujuan untuk mengabadikan namanya.
Antara tahun 1923 sampai tahun 1926 dilakukan renovasi pada hotel tersebut dengan melebarkan dua bangunan sayap yang terdapat di sebelah kanan dan kiri bangunan utama. Pada tahun 1931 di depan pintu masuk lama sebagian ruang masuk yang baru dibangun dalam gaya Art Deco oleh arsitek Prof. Ir. Charles Prosper Wolff Schoemaker. Gaya Art Deco merupakan langgam yang menggunakan ornamen-ornamen historikal dan tradisional, sehingga Art Deco bisa dikatakan sebagai langgam yang memiliki muatan lokal. Setiap negara yang menerima langgam Art Deco selalu mengembangkannya sendiri-sendiri. Art Deco di suatu tempat akan berbeda dengan Art Deco di tempat lain, namun secara keseluruhan mereka memiliki semangat yang sama yaitu keterbukaan pada sesuatu yang baru, sehingga karya Art Deco hampir selalu inovatif dan eksperimentatif.


Kemudian pada tahun 1936 lobi bergaya Art Deco diperluas dan diresmikan oleh Pangeran Leopold III dan Putri Astrid dari Belgia serta bintang film terkenal Charlie Chaplin yang ditemani istrinya, aktris Paulette Goddard, serta Joseph Conrad, seorang novelis berdarah Inggris-Polandia.
Pada waktu Jepang menguasai Hindia Belanda pada tahun 1942, Hotel Oranje diambil alih oleh Tentara Dai Nippon dan namanya diganti menjadi Hotel Yamato. Kemudian selain itu, Hotel Yamato juga dijadikan markas bagi Tentara Dai Nippon di Surabaya.
Menjelang Jepang menduduki Hindia Belanda, Lucas Martin Sarkies meninggal dunia di Lawang, Malang pada 1941. Sedangkan, istrinya meninggal saat berada di kamp Jepang di Jawa Tengah pada 1945, dan pada tahun itu juga Belanda yang dibantu Sekutu berhasil menguasai Surabaya. Kemudian pada 19 September 1945, Belanda berusaha mengibarkan bendera negaranya di Hotel Yamato. Hal ini memicu kemarahan rakyat dan pemuda yang meminta agar bendera diturunkan. Pemuda S. Kasman bersama-sama dengan pimpinan Pemuda Republik Indonesia (PRI) yaitu Roeslan Abdoelgani dan Sumarsono berhasil menggerakkan massa rakyat untuk datang ke Jalan Tunjungan.
Pemuda Kusno (pegawai kantor Kabupaten Surabaya) dengan segala rintangan dan ancaman dari pihak Belanda maupun serdadu Jepang mampu naik ke atas lalu menyobeknya dan menaikkannya kembali yang hanya tinggal merah putih dalam ukuran yang tidak seimbang. Dari pihak Belanda yaitu Plugman tewas, tubuhnya robek-robek bekas tusukan senjata logam.


Akibat insiden perobekan bendera Belanda  yang dilakukan oleh rakyat dan pemuda dengan semangat heroiknya, nama hotel diganti menjadi Hotel Merdeka.
Pada 1946 Sarkies bersaudara berusaha menguasai hotel ini, dan mengganti namanya menjadi Hotel L.M.S, singkatan dari Lucas Martin Sarkies. Penggantian nama ini memang untuk mengenang sang pendiri hotel ini, Lucas Martin Sarkies.
Pada 1969 terjadi pergantian kepemilikan lagi. Mantrust Holding Co. Menjadi pemilik baru dan mengganti nama hotel dengan nama kerajaan besar yang pernah ada di Tanah Jawa ini, yaitu Majapahit. Kemudian pada 1993 Mandarin Oriental Group yang bergabung dengan Sekar Group, membeli hotel ini dan menganggarkan US$35 juta untuk renovasi selama tiga tahun hingga selesai.
Pada 1996 hotel diluncurkan ulang di bawah bendera Mandarin Oriental dengan nama Mandarin Oriental Hotel Majapahit, dan menerima penghargaan pelestarian arsitektur serta menjadi National Heritage landmark of Indonesia.
Sepuluh tahun kemudian, Hotel Majapahit tak lagi dikelola oleh Mandarin Oriental Group. Pada 2006 CCM Group, salah satu perusahaan besar di Indonesia, mengambil alih hotel tersebut dan namanya dikembalikan menjadi Hotel Majapahit lagi.
Pada waktu dibangun, Hotel Majapahit berdiri di atas lahan yang luasnya hanya 1.000 m². Namun, seiring perkembangan bisnis hotel tersebut, hotel ini mengalami beberapa renovasi dan sekaligus menambah luas lahannya. Luas bangunan Hotel Majapahit pada saat ini adalah 19.408 m² yang berdiri di atas lahan seluas 19.205 m² yang terdiri atas dua lantai.
Sejak dilakukan renovasi secara menyeluruh pada tahun 2009 untuk menyesuaikan dengan kebutuhan modern, Hotel Majapahit dengan fasilitas bintang 5 ini tetap mempertahankan sebagai hotel yang bernuasa heritage. *** [030215]

Share:

Hotel Paviljoen Surabaya

Usai menyusuri Jalan Tunjungan, saya beranjak menuju ke Balai Kota lagi. Karena, angkot yang menuju ke Terminal Bratang setahu saya yang lewat depan Balai Kota Surabaya.
Oleh karena itu, saya berusaha menerabas melalui Jalan Genteng Besar yang terus tembus ke Jalan Wali Kota Mustadjab. Pada saat sampai di pertigaan Jalan Tunjungan dan Jalan Genteng Besar, langkah kaki berhenti karena terinterupsi oleh vespa kuno dipajang di atas. Interupsi ini memberikan ‘keberuntungan’ bagi saya, karena tempat lokasi pajangan vespa kuno tersebut berada di depan halaman sebuah bangunan hotel lawas. Hotel lawas tersebut bernama Hotel Paviljoen. Hotel ini terletak di Jalan Genteng Besar No. 94-98 Kelurahan Genteng, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Lokasi hotel ini berada di sebelah barat Pasar Genteng Baru, atau di sebelah timur laut gedung Yayasan Majelis Dzikir Surabaya “Nurussalim”.


Hotel Paviljoen merupakan hotel yang sudah cukup lama berdiri di Surabaya dan masih tetap eksis sampai sekarang. Hotel ini sudah berdiri sejak tahun 1917, dan dari awal dibangun hingga kini tetap merupakam hotel melati. Pemilik awal hotel ini adalah orang Jerman dan Denmark. Bangunan hotel ini sudah beberapa kali berganti kepemilikan, namun terakhir dimiliki oleh Harsono Purworaharjo (almarhum) yang kemudian diteruskan kepada anak-anaknya untuk mengelolanya.
Sejak berdiri, hotel ini tetap mempertahankan kekhasannya. Arsitektur perpaduan Jawa dan Kolonial terlihat dari desain bangunannya. Hotel ini juga tetap mempertahankan memakai ejaan Belanda ‘Paviljoen”. Keaslian hotel ini yang menjadi daya tarik utama bagi pelancong mancanegara yang bertandang ke Surabaya. Mereka merasa menemukan suasana Surabaya Tempo Doeloe (Oud Soerabaia). Pada umumnya, mereka adalah turis backpacker dari Belanda, Belgia, Jerman, Perancis, dan Italia.
Hotel yang berdiri di atas lahan seluas 4.000 m² ini memiliki total kamar sebanyak 21 buah. Di tengah-tengah hotel terdapat taman yang hijau dan asri. Hampir deretan kamar yang dimiliki oleh hotel ini menghadap ke taman tersebut, sehingga hotel ini terkesan seperti kamar kos-kosan. Lokasinya pun cukup strategis. Berada di jantung Kota Surabaya di mana di lokasi hotel tersebut terkenal sebagai pusat belanja oleh-oleh khas Surabaya, dan tidak jauh dari kawasan Tunjungan maupun spot lain yang ada di Kota Surabaya.
Lokasi yang strategis ini menjadikan Hotel Paviljoen acapkali full booked setiap harinya. Selain itu, hotel ini juga mempertahankan posisinya sebagai hotel melati yang mematok harga berkisar antara Rp 100.000,- hingga Rp 200.000,-. Oleh sebab itu, tak mengherankan bila hotel ini dikenal di kalangan backpacker dari mancanegara. Dan, uniknya lagi dari hotel ini adalah adanya larangan orang ber-KTP Surabaya menginap di hotel ini. Hal ini untuk mencegah hal-hal negatif yang sering menerpa hotel berkelas melati di Surabaya.
Kendati hotel ini berkelas melati, namun memiliki fasilitas yang lengkap layaknya sebuah hotel kecuali kolam renang. Hal ini selaras dengan slogan: “Service als een hotel maar de prijzen van een motel.” (Layanan seperti sebuah hotel tetapi harga sebuah motel). *** [090116]

Share:

Hotel Kemajuan Surabaya

Kawasan Ampel muncul semenjak Raden Rahmat atau Sunan Ampel membentuk komunitas masyarakat muslim. Tahun 1420, Raden Rahmat menjadikan Ampel sebagai pusat penyebaran Islam di Surabaya dan Jawa Timur atas legitimasi Majapahit. Kendati awalnya sebatas berada di sekitar Masjid Sunan Ampel, akan tetapi lama-kelamaan daerah sekitarnya pun akhirnya tumbuh kembang.
Di perkampungan itu banyak juga komunitas keturunan Arab yang bermukim. Komunitas keturunan Arab mencapai jumlah 70 persen, sisanya merupakan suku Madura yang telah lama bermukim dan menetap di Ampel. Orang-orang Arab di Ampel merupakan keturunan Arab dari Yaman atau juga dikenal dengan istilah Hadramaut. Mereka turun-temurun bermukim di Ampel dan menyatu dengan masyarakat setempat. Konon, migrasi orang-orang Yaman ke Ampel disebabkan karena perdagangan sekaligus dengan motivasi penyebaran agama Islam, sehingga hasil dari penggabungan perdagangan dan penyebaran agama menghasilkan asimilasi yang unik dan khas di mana secara sosio-kultural merupakan sub-etnik Arab akan tetapi dalam kesehariannya mewujudkan diri dalam tampilan budaya setempat.
Ketika pendatang Arab mendarat di pelabuhan Surabaya, mereka memilih bermukim di seputaran kompleks Masjid Sunan Ampel. Sehingga, akhirnya kawasan tersebut identik dengan Kampung Arab (Arabisch Kamp). Kampung Arab ini berdiri di sepanjang Kali Mas. Sebuah peta kuno yang dibuat oleh VOC pada tahun 1677 memperlihatkan bahwa hampir seluruh aktivitas di kota ini terpusat di sepanjang muara Kali Mas. Peta tersebut memperlihatkan rumah-rumah dibangun berderet-deret di kanan dan kiri muara sungai serta masuk satu atau dua kilometer ke daratan. Jika dibandingkan dengan peta yang dibuat belakangan, maka peta tahun 1677 tersebut memperlihatkan bahwa batas paling selatan Kota Surabaya pada waktu itu masih di sekitar alun-alun yang pada masa kolonial terkenal dengan Kebon Rojo.
Sehingga diperkirakan pada awal abad 18, kawasan tersebut telah berubah menjadi kawasan yang majemuk. Selain Arabisch Kamp, ada juga Chinese Kamp maupun Malaise Kamp, pada saat itu juga mulai memiliki kesadaran untuk menjadi kota industri. Tak bisa dielakkan, industri terus berkembang. Seorang usahawan Belanda mendirikan bengkel konstruksi di Kampemenstraat (sekarang Jalan KH Mas Mansyur). Pada tahun-tahun berikutnya menyusul dibangun bengkel-bengkel konstruksi lainnya. Pembuatan ketel dan mesin untuk menyuplai pabrik gula dipusatkan di daerah kota bawah (sekitar Jembatan Merah). Bengkel untuk mendukung keperluan angkutan laut dibangun di Ujung pada 1849.
Perkembangan di Kampemenstraat ini, menjadikan pemerintah Hindia Belanda juga membuka jalur trem yang dikelola oleh Oost Java Stroomtrem Maatschappij (OJS) yang berada antara jalur Ujung dan Sepanjang. Rute jalur trem uap ini meliputi Sepanjang-Wonokromo-Pasar Turi-Bibis-Bongkaran-Kampemenstraat-Ujung. Jalur-jalur trem tersebut diresmikan secara bertahap pada periode 1890-1899 dan sejak 1910 trem listrik mulai digunakan dalam Kota Surabaya.


ini selaras dengan yang dirumuskan oleh Charles Horton Cooley yang menyebutkan bahwa tempat-tempat di mana terjadi pergantian moda transportasi memiliki kecenderungan paling besar untuk tumbuh menjadi kota, karena di tempat-tempat itulah akan berkumpul massa yang cukup besar yang mampu memancing terbentuknya aglomerasi. Seiring itu pula, kawasan Ampel semakin masyhur lantaran banyaknya peziarah yang mengunjungi kompleks makam dan Masjid Sunan Ampel. Situasi tersebut menyebabkan banyak masyarakat yang mulai membangun hotel atau penginapan di daerah ini. Salah satunya adalah Hotel Kemajuan.
Hotel Kemajuan terletak di Jalan KH Mas Mansyur No. 96 RT.06 RW.04 Kelurahan Ampel, Kecamatan Semampir, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur, atau tepatnya berada di sebelah barat daya dari kompleks makam maupun Masjid Sunan Ampel. Dulu daerah hotel ini dikenal dengan Kampemenstraat, akan tetapi sejak zaman Republik Indonesia Serikat (1949-1951) namanya diganti menjadi Jalan KH Mas Mansyur, sebuah jalan di mana terletak kampong kelahiran Mas Mansyur yang diapit oleh Kali Mas dan Kali Pegirian.
Sesuai yang tertulis di dinding depan, hotel ini didirikan pada tahun 1928 oleh beberapa tokoh organisasi Al Irsyad. Tujuan pembangunan hotel tersebut adalah untuk mendanai sekolah yang dikelola oleh Al Irsyad.
Hotel Kemajuan tergolong hotel kuno namun tetap ramai dan diminati hingga kini. Karena selain harganya terjangkau, hotel ini telah turun-temurun menjadi persinggahan para pedagang dari luar Pulau Jawa yang akan kulakan bahan dagangannya untuk dijual ke daerah asal mereka. Tidak hanya itu saja, yang menginap di hotel ini bisa merasakan sensasi kuliner ala Timur Tengah, seperti kambing oven, kebab, nasi kebuli, nasi briyani, nasi kabsa, nasi buchori, roti cane dan gulai maryam, dan masih banyak lagi. *** [180114]

Kepustakaan:
Darul Aqsha, 2008, Kiai Haji Mas Mansur (1896-1946): Perjuangan dan Pemikiran, Jakarta: Penerbit Erlangga
Handinoto. 1996. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940. Diterbitkan atas Kerja Sama Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra Surabaya dan Penerbit Andi. Yogyakarta: Andi Offset
Purnawan Basundoro, 1999, Transportasi dan Ekonomi di Karesidenan Banyumas Tahun 1830-1940, Tesis Program Studi Sejarah, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami