The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Gereja di Jakarta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gereja di Jakarta. Tampilkan semua postingan

GKI Kwitang Jakarta

Bangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Kwitang merupakan bangunan peribadatan peninggalan zaman kolonial Belanda di Jakarta. Gereja berasal dari bahasa Portugis ‘igreja’ yang berasal dari kata dalam bahasa Yunani ‘eklesia’. Kata ‘eklesia’ memiliki arti jemaat yang dipanggil keluar dari dunia untuk menjadi milik Tuhan.
Dalam bukunya, History of Architecture (1995), Spiro Kostof menjelaskan bahwa definisi gereja adalah bangunan keagamaan umat Kristiani yang digunakan untuk beribadah para jemaatnya. Gereja di Indonesia, khususnya di Jakarta jumlahnya cukup banyak dengan sejarah dan gaya arsitektur yang beragam. Adapun salah satu bangunan gereja lawas di Jakarta adalah GKI Kwitang. Gereja ini terletak di Jalan Kwitang No. 28 Kelurahan Kwitang, Kecamatan Senen, Kota Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi gereja ini berada di samping Kantor Hukum Ananta & Rekan, atau di sebelah barat Bank Artha Graha.
Bangunan GKI Kwitang ini semula dikenal dengan Gereformeerde Kwitangkerk. Gereformeerde adalah nama yang biasanya dipakai untuk bagian gereja Protestan yang berpokok pada pembaruan (reformasi), meskipun “reformasi” berarti “pembaruan (bentuk)” dan Reformasi Gereja pertama dilangsungkan oleh Martin Luther King, tetapi nama Gereformeerde hanya dipergunakan bagi gereja Calvinis saja (Heuken, 2003).


Riwayat umat Gereformeerde yang berpusat di Kwitang sejak tahun 1870-an, penuh dengan kejadian yang tak terduga. Gereja ini menarik orang Protestan yang kurang puas dengan liberalisme (vrijizinnigheid) dan kemandegan Indische Kerk pada abad ke-19. Pada tahun 1873, Christelijke Gereformeerde Kerk di negeri Belanda mengutus Zendeling E. Haah untuk memberitakan Injil di kalangan orang-orang Belanda di Batavia. Kemudian terbentuklah Christelijke Gereformeerde Kerk van Batavia.
Selanjutnya, Zendeling E. Haan membeli rumah bambu untuk dijadikan pastori. Berkat bantuan Ny. R. Rijks, Nn. Hofland dan Ny. Blankert, di halaman pastori dibangun kelas sekolah dan rumah ibadah sederhana dari kayu murahan. Kebaktian pertama dilaksanakan pada 5 November 1876 dan dihadiri sekitar 50 orang. Lalu, pada 17 Juli 1877 diresmikanlah jemaat di Kwitang sebagai Gereja Gereformeerde Kwitang yang berbahasa Belanda. Anggotanya terdiri dari orang-orang Eropa, Jawa, Ambon dan orang Tionghoa yang menetap di Batavia. Dewan Jemaat dibentuk dan dibagi dua untuk kegiatan umat yang berbahasa Belanda dan yang berbahasa Melayu. Pada 1878 Zendeling E. Haan memberi kesempatan kepada 3 orang pribumi, yaitu Jacobus, Benjamin, dan Ismael untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Guru Injil agar selanjutnya mereka dapat membantu melayani jemaat yang berbahasa Melayu.
Pada 1886 gereja-gereja di Belanda mengutus Ds. Huysing untuk menggantikan Zendeling E. Haan. Di bawah penggembalaan Pendeta Huysing, bangunan gereja yang permanen. Gaya arsitektur gereja permanen tersebut bercorak Indische Empire Style. Bagian tampak muka berbentuk gevel yang ditopang oleh empat pilar besar dan tinggi model Tuscan. Di tengah gevelnya terdapat lingkaran berlobang. Pintu utama gereje tersebut ada tiga buah, besar dan tinggi serta atasnya berbentuk lengkungan. Secara keseluruhan, bangunan gereja tersebut berbentuk memanjang ke belakang.


Pada 1901 Ds. D.J.B. Wijers tiba di Batavia menggantikan Pendeta Huysing. Pendeta Wijers diberi tugas memperhatikan jemaat berbahasa Belanda, di samping juga memperhatikan jemaat pribumi berbahasa Melayu. Lalu, pada 1911 Ds. L. Tiemersema diangkat sebagai pendeta pembantu yang khusus melayani jemaat berbahasa Melayu.
Pada 1921 bangunan gereja ini direnovasi dengan menggunakan hasil rancangan dari Ir. F.L. Wiemans, sorang arsitek di Hnidia Belanda lulusan Technical High School Delft yang merupakan rekan seangkatan Henri Maclaine Pont dan Thomas Karsten. Dalam pengerjaan fisik bangunan gereja ini, Wiemans melibatkan teman-temanya, yaitu J. Abell dan Ir. W.F. Pichel, yang tergabung dalam Het Bureau Wiemans, Abell en Pichel te Batavia.
Renovasi gereja ini selesai pada 1924 dengan tetap mempertahankan ruang utama. Renovasi tersebut dilakukan untuk menambah ruang baru di bagian selatan untuk mimbar konsistori serta menambah ruang di saya kanan mimbar. Perubahan tersebut juga dilakukan pada fasad bangunan gereja. Semula bergaya Indische Empire Style, dan setelah dilakukan perombakan, bagian fasad gereja ini dipengaruhi oleh gaya Art Nouveau dan Art Deco. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan ornamen berbentuk geometris dan penggunaan kaca patri.
Pada 11 Agustus 1929 jemaat gereja Gereformeerde berbahasa Melayu didewasakan dan digembalakan oleh pendeta pribumi, selanjutnya pada November 1930 Pendeta Isak Siagian ditahbiskan sebagai pendeta pertama di Gereja Gereformeerde Melayu Kwitang yang berbahasa Melayu, yang kemudian dikenal dengan Gereja Melayu Kwitang (pada saat itu pada pagi hari dimanfaatkan untuk ibadah dalam bahasa Belanda dan gereja dalam bahasa Melayu bisa melakukan ibadah pada sore harinya).
Pada saat revolusi kemerdekaan, terjadi penurunan jumlah jemaat. Maka pada tahun 1945 Gereja Melayu Kwitang bergabung dengan Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee (THKTkH) atau Gereja Tiong Hoa di Jawa Tengah. Setelah Indonesia merdeka, orang-orang Belanda banyak yang kembali ke negeri asalnya. Kekosongan pendeta inilah kemudian didatangkan Pendeta A.A. Subana (Liem Tjiauw Liep) dari GKI Karangsaru Semarang, untuk memimpin umat yang masih berbahasa Belanda.
Berkat bantuan anggota jemaat baru dari Jawa Tengah, pada tahun 1948 Gereja Melayu Kwitang kembali mencapai kemandirian. Pada tahun 1956 diputuskan dalam Sidang Sinode VI di Purwokerto bahwa Gereja Gereformeerde Indonesia (CGI) diganti menjadi Gereja Kristen Indonesia (GKI). Hal inilah juga yang menyebabkan Gereja Melayu Kwitang kemudian berubah nama menjadi GKI Kwitang.
Pendeta Liem Tjiauw Liep tidak lagi aktif pada tahun 1961. Kemudian, Pendeta Sam Gosana (Go Hian Sing) kembali ditarik ke GKI Kwitang pada Januari 1967, dan sebagai hasil pembicaraan dengan T.B. Simatupang dengan Komisi Usaha Gereja Toraja, jemaat kemudian memanggil Pendeta Daud Palilu dan meneguhkannya pada 10 Mei 1967. Pada masa itu, jumlah jemaatnya meningkat menjadi 3.500 orang.
Pada 1993 jemaat GKI Kwitang mencakup 7.000 orang beriman yang berada di wilayah DKI Jakarta, dan sampai saat ini berdasarkan data jemaat tiap minggunya yang dicatat oleh majelis jemaat, rata-rata berkisar antara 400-500 jemaat yang datang ibadah tiap minggunya.
GKI Kwitang yang berdenah membentuk huruf L ini memilki luas bangunan 656 m² yang berdiri areal lahan seluas 1.913 m². Bangunan GKI Kwitang ini juga merupakan bangunan cagar budaya yang penetapannnya berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2005 dengan nomor PM.13/PW.007/MKP/05. *** [260416]

Kepustakaan:
Nabilah Zata Dini, 2012. GKI Kwitang: Tinjauan Arsitektur dan Pemugaran dalam Rangka Pelestarian Bangunan Cagar Budaya, dalam Skripsi di FIB UI
http://www.gkikwitang.or.id/tentang-kami/sejarah-gki-kwitang.html
Share:

GPIB Jemaat Sion Jakarta

Minggu itu udara cerah, setelah sekian hari Jakarta dirundung mendung dan terkadang turun hujan. Kondisi ini saya manfaatkan untuk berkeliling Jakarta dengan memakai motor Honda Supra X dengan plat nomor AD 6387 CS. Sempat lewat Kota Tua Jakarta, tapi karena ramai saya memilih meneruskan keliling Jakarta.
Kemudian saya menyusuri Jalan Mangga Dua. Setelah melintasi Halte Busway Pangeran Jayakarta, sepintas saya melihat bangunan tua yang berada di sisi kanan. Sehingga, saya harus belok ke kanan guna melihat dari dekat bangunan lawas tersebut. Ternyata bangunan kuno tersebut adalah GPIB Jemaat Sion, atau biasa disebut dengan Gereja Sion saja. Gereja ini terletak di Jalan Pangeran Jayakarta No. 1 RT. 09 RW. 04 Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Tamansari, Kota Jakarta Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi gereja ini berada di dekat Halte Busway Pangeran Jayakarta, atau di sudut pertemuan antara Jalan Pangeran Jayakarta dan Jalan Mangga Dua.
Menurut riwayatnya, Gereja Sion ini merupakan salah satu gereja yang paling tua di Jakarta. Gereja ini dibangun pada tahun 1693 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke-16, Willem van Outhoorn (1691-1704). Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Pieter van Hoorn pada 19 Oktober 1693, dan pengerjaan fisik bangunan gereja ini memakan waktu sekitar dua tahun. Setelah selesai, gereja ini pun diresmikan pada Minggu, 23 Oktober 1695 dengan pemberkatan oleh Pendeta Theodorus Zas.


Pembangunan gereja ini bertujuan sebagai tempat peribadatan orang-orang Portugis yang datang dari wilayah taklukan VOC kala itu. Mereka ini dikenal dengan de Mardijkers, yaitu sebutan untuk para bekas anggota tentara Portugis dan keturunannya di Batavia yang dibebaskan dari tawanan Belanda. Mereka itu dibawa oleh VOC bersamaan dengan jatuhnya wilayah kekuasaan Portugis di India, Malaka, Sri Langka, dan Maluku. Setelah beralih dari Katolik menjadi Protestan, mereka dibangunkan gereja. Salah satunya gereja Sion ini, yang pada peresmiannya diberi nama resmi, De Portugeesche Buitenkerk. Nama ini berasal dari bahasa Belanda, yang artinya gereja Portugis di luar.
Dulu, pada saat gereja ini dibangun, suasana Batavia masih merupakan kota di dalam kastil atau benteng. Sedangkan, lokasi dibangunnya gereja ini berada di luar benteng tersebut, makanya dinamakan gereja Portugis di luar.
Pada waktu terjadi invansi Jepang atas Hindia Belanda, bala tentara Jepang yang dikenal dengan Dai Nippon, menjadikan gereja ini sebagai tempat menyimpan abu tentara yang gugur. Setelah Indonesia merdeka, De Portugeesche Buitenkerk diganti namanya menjadi Gereja Portugis. Artinya, gereja yang diperuntukkan untuk jemaat yang berasal dari orang-orang Portugis maupun keturunannya yang bermula dari keberadaan de Mardijkers.
Pada masa peralihan ini, gereja ini resmi bergabung dengan denominasi GPIB (Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat) sejak 1957. Pada sidang Sinode GPIB tahun 1957, Gereja Portugis diputuskan untuk berganti nama menjadi GPIB Jemaat Sion. Sion berasal dari nama sebuah bukit yang berada di daerah Yerusalem, dan diyakini oleh bangsa Israel kuno sebagai lambang keselamatan.
Bangunan gereja Sion ini berbentuk persegi empat dengan luas 768 m² di mana panjangnya adalah 32  m dan lebarnya adalah 24 m, yang berdiri di atas lahan seluas 6.725 m². Luas bangunan tersebut mampu menampung jemaatnya hingga 1.000 orang. Konstruksi ini bangunan gereja ini menggunakan hasil rancangan dari E. Ewout Verhagen dari Rotterdam, dengan pondasi yang terdiri dari 10.000 batang kayu dolken atau balok bundar. Seluruh dindingnya terbuat dari batu bata yang direkatkan dengan campuran pasar dan gula yang tahan terhadap panas.
Dilihat dari fasadnya, bangunan gereja ini tergolong sederhana. Seperti kubus dengan atap menyerupai limasan. Sedangkan, di dalamnya menyerupai bangsal (hall church). Sebagian besar bangunan dan interior tidak berubah sejak gereja ini didirikan. Namun demikian, gereja ini pernah mengalami pemugaran pada tahun 1920 dan 1978. Termasuk penyempitan halaman gereja, karena adanya pelebaran Jalan Pangeran Jayakarta.
Gereja ini telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya (BCB) melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0128/M/1988 tanggal 27 Februari 1988 dan Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta Nomor Cb 11/I/12/1972 tanggal 10 Januari 1972, bersamaan dengan penetapan Gereja Immanuel sebagai BCB. *** [240416]

Kepustakaan:
Brosur Gratis Warisan Budaya di Jakarta yang dipublikasikan oleh Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi DKI Jakarta, 2015
http://news.liputan6.com/read/473268/mengenal-lebih-dekat-gereja-portugis-di-jakarta
https://web.facebook.com/permalink.php?id=660910340628152&story_fbid=694132657305920&_rdr
Share:

GPIB Jemaat Koinonia Jakarta

Pada zaman dulu, orang-orang tua di Jakarta mengenal Jatinegara dengan sebutan Meester Cornelis. Sebutan ini diambil dari nama seorang kaya dari Pulau Lontar, Banda, Maluku, yang bernama Cornelis Senen. Ia adalah orang pribumi. Setelah tempat asal kelahirannya Banda dihancurkan oleh Coen maka ia pindah ke Batavia. Selama berada di Batavia ia menjadi guru Injil di sana, melayani jemaat-jemaat yang berbahasa Melayu dan Portugis. Mengingat tugasnya yang begitu mulia maka ia kemudian hari diangkat menjadi pendeta. Walaupun setelah mengalami ujian dihadapan pendeta-pendeta dari Barat dan dinyatakan tidak lulus akan tetapi ia tetap bekerja dengan setia sampai akhir hayatnya untuk melayani umat.
Pada waktu itu, wilayah Meester Cornelis masih berupa hutan-hutan yang subur. Hal ini wajar, karena wilayah ini dilalui oleh sungai Ciliwung yang memberikan banyak manfaat bagi keadaan alam di sana. Setelah Cornelis Senen berada di Batavia, ia diberi kekuasaan penuh oleh Belanda untuk mengelola dan memberdayakan wilayah kekuasaannya. Wujud pemberdayaan wilayah tersebut selama di tangan Cornelis Senen adalah dengan memanfaatkan dan mengelola hutan-hutan yang ada, kemudian membuka lahan-lahan perkebunan di wilayah itu. Hal ini dilakukan dengan mempekerjakan penduduk sekitar, yang kemudian penduduk diharuskan menyerahkan sebagian hasilnya kepada Cornelis Senen. Kebijakan yang dilakukan oleh Cornelis Senen dalam memberdayakan wilayah tersebut lebih banyak menguntungkan penduduk sekitar, sehingga mereka dengan senang hati bekerja pada Cornelis Senen. Hal itulah yang menyebabkan wilayah tersebut berkembang pesat walaupun termasuk daerah pinggiran pusat kota Batavia. Kemudian sepeninggal Cornelis Senen, namanya diabadikan sebagai nama wilayah yang termasuk daerah penguasaannya. Sebutan Meester oleh orang biasa tersebut, sebagai bentuk penghargaan tertinggi penduduk sekitar terhadap orang yang berjasa dalam membangun wilayah tersebut menjadi wilayah pinggiran kota Batavia yang maju dan berkembang. Maka, daerah tersebut akhirnya dikenal oleh penduduk sekitar dengan sebutan Meester Cornelis.
Nama Jatinegara baru muncul pada tahun 1942, ketika pasukan Jepang menduduki Hindia Belanda. Nama Meester yang terlalu berbau Belanda mulai dihapus dan diganti menjadi Jatinegara. Sejak itulah, baru nama Meester Cornelis perlahan menghilang dari telinga orang-orang tua, dan telinga mereka menjadi akrab dengan Jatinegara sampai sekarang.


Bentuk kemajuan dan perkembangan yang tampak di wilayah Meester Cornelis (sekarang menjadi Jatinegara) adalah terdapatnya beberapa fasilitas umum yang digunakan sebagai sarana pendukung bagi kegiatan dan aktivitas masyarakat di sekitar wilayah tersebut. Sarana pendukung yang ada untuk kegiatan dan aktivitas masyarakat saat itu, antara lain stasiun kereta api dan jalur trem (kendaraan khusus yang mengenakan rel, hanya saja jalurnya bercampur dengan kendaraan biasa) yang digunakan sebagai sarana trasportasi saat itu, pasar pada saat itu difungsikan sebagai tempat melakukan aktivitas jual beli, dan gereja yang difungsikan sebagai tempat melakukan peribadatan jemaat Kristiani pada saat itu.
Salah satu bangunan gereja yang masih berdiri kokoh dan megah di wilayah Jatinegara saat ini adalah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Koinonia. GPIB ini terletak di Jalan Matraman Raya No. 216 Kelurahan Bali Mester, Kecamatan Jatinegara, Kota Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi Lokasi GPIB ini berada di penghujung Jalan Matraman yang kemudian terbelah menjadi dua jalan, yaitu Jalan Mataram dan Jalan Jatinegara Barat, tak jauh dari Halte Busway Kebon Pala.
Menurut sejarahnya, GPIB Koinonia ini dibangun pada 28 Maret 1889 dengan bentuk yang masih cukup sederhana. Kemudian direnovasi pada tahun 1911-1916 atas sumbangsih dari Keuchenius. Seperti disebutkan A. Heuken dalam bukunya, Gereja-Gereja Tua di Jakarta (Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2003), sekitar awal 1900-an seorang pendeta ultra liberal menyampaikan kotbah di Willemsker (sekarang Gereja Immanuel di kawasan Jalan Merdeka Timur, Gambir, Jakarta Pusat) yang membuat marah seorang bernama Keuchenius. Dia adalah mantan Ketua Mahkamah Tinggi di Batavia.
Keuchenius akhirnya tidak mau datang lagi ke Willemskerk, dan dia menyumbang dana cukup besar untuk membangun rumah peribadatan di kawasan Meester Cornelis. Maka berdirilah sebuah gereja yang diberi nama Bethelkerk in Meester Cornelis te Batavia, atau yang biasa disingkat menjadi Gereja Bethel. Bethel berarti Bait Allah atau Rumah Allah.
Pada 1948, Gereja Bethel ini masuk dalam tata kelola Indische Kerk, yaitu Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB). GPIB didirikan pada 31 Oktober 1948, yang pada waktu itu masih menggunakan bahasa Belanda, De Protestantse Kerk in Westelijke Indonesie, berdasarkan Tata Gereja dan Peraturan Gereja yang dipersembahkan oleh proto Sinode kepada Badan Pekerja Am (Algemene Moderamen) Gereja Protestan Indonesia. Sejak itu, nama Gereja Bethel pun kemudian diganti menjadi GPIB Bethel Jemaat Djatinegara.
Pada 1 Januari 1961, nama gereja ini berganti lagi menjadi GPIB Jemaat Koinonia, dan sampai sekarang nama tersebut masih digunakan. Nama Koinonia ini diambil dari bahasa Ibrani, yang berarti Persekutuan. Berubahnya nama menjadi GPIB Jemaat Koinonia ini terjadi sejak adanya otonomi terhadap gereja-gereja. Perubahan nama menjadi GPIB Jemaat Koinonia bertujuan untuk memperluas wilayah pelayanan gereja terhadap jemaatnya. Dengan pelayanan yang semakin luas cakupannya maka wilayah-wilayah tersebut nantinya akan menjadi bakal jemaat yang akan dilayani dan dibina agar menjadi jemaat yang berdiri sendiri.
GPIB Jemaat Koinonia ini memiliki desain dan bentuk yang sederhana serta tidak rumit. Bentuk dan denah bangunan memiliki pola simetris. Bangunannya mempunyai tiga lantai. Lantai pertama merupakan tempat ruang utama berada, dan pada lantai kedua merupakan tempat menampung jemaat apabila lantai pertama atau ruang utama tidak bisa menampung jemaat lagi. Selain itu, fungsi lain dari lantai kedua ini adalah sebagai tempat untuk paduan suara jika hari ibadah tiba atau hari-hari besar datang. Sedangkan, lantai ketiga dari gereja ini merupakan ruang doa, tempat ini merupakan tempat khusus, dan tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam ruang ini tanpa izin dari pengelola gereja tersebut.
Gereja ini memiliki empat anak tangga yang berada di setiap sudut bangunan. Keempat anak tangga ini menjadi penghubung tiap lantainya. Dua buah anak tangga yang berada di sisi depan bangunan merupakan penghubung antara lantai satu dengan lantai kedua, sedangkan dua buah anak tangga yang berada di belakang bangunan gereja merupakan penghubung antara lantai pertama dengan lantai ketiga. Empat lokasi anak tangga yang berada di setiap sudut bangunan gereja membuatnya terlihat seperti empat buah menara yang mengapit bangunan utama apabila terlihat dari luar bangunan. Bagian dalamnya berbentuk salib simetri, yang menjadi letak jemaat berdoa pada waktu diadakan misa.
Gereja tiga laintai ini ini masuk dalam kategori benda cagar budaya (BCB) pada 30 September 1997. Sedangkan, pengajuan untuk menjadi bangunan BCB dilakukan pada Februari 1992 berdasarkan surat dari Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran Pemerintah DKI Jakarta tentang permohonan untuk pelestarian bangunan GPIB Jemaat Koinonia, yang ditandatangani oleh Pendeta Iswiadji.
Bangunan gereja ini akhirnya memperoleh plakat sebagai bangunan sadar pelestarian budaya untuk pemeliharaan dan pemugaraan lingkungan dan BCB di Provinsi DKI Jakarta pada 2005, yang disahkan oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, bangunan gereja ini juga menjadi salah satu dari 60 bangunan terpilih yang menjadi bangunan penting dalam sejarah perkembangan kota Jakarta. Keaslian bangunan GPIB Jemaat Koinonia yang masih terawat sampai saat ini, memperlihatkan bahwa bangunan ini merupakan salah satu aset sejarah perkembangan kota Jakarta. *** [210416]

Kepustakaan:
A. Heuken. 2003. Gereja-Gereja Tua di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka
Rinno Widianto, 2009. Gereja Koinonia, Meester Cornelis Jatinegara: Gaya dan Ragam Hias, dalam Skripsi di FIB UI, Depok
https://id.wikipedia.org/wiki/Jatinegara,_Jakarta_Timur
http://jakartapedia.bpadjakarta.net/index.php/Gereja_Koinonia
Share:

GBI Kebayoran Jakarta

Gara-gara ada pembuatan jalan layang dari Jalan Kapten Tendean menuju Blok M, menyebabkan akses jalan sedikit terhambat. Menghindari penumpukan kemacetan, saya mengambil arah ke selatan dan mengikuti jalan di dalam perumahan yang besar-besar. Sampai lampu merah, saya ambil kanan yang jalannya tidak begitu ramai. Tanpa sengaja, saya melewati gereja yang memiliki bangunan yang khas. Gereja tersebut bernama Gereja Baptis Indonesia (GBI) Kebayoran.
Gereja Baptis ini terletak di Jalan Tirtayasa No. 1 Kelurahan Melawai, Kecamatan Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi gereja Baptis ini berada di samping SMPN 13 Jakarta, atau dekat juga dengan Kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Berbicara masalah keberadaan gereja Baptis di Indonesia, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan Baptisme itu sendiri. Th. Van den End dan J. Weitjens dalam bukunya, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an – Sekarang (PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993), menjelaskan dengan gamblang akan jemaat Baptis di Indonesia.


Aliran Baptis timbul di Inggris sekitar tahun 1600. Ciri khasnya ialah penolakan terhadap pembaptisan anak-anak dan terhadap hubungan erat antara gereja dan negara seperti yang pada masa itu dianut oleh Gereja Katolik Roma dan oleh sebagian besar Gereja-gereja Protestan. Sebetulnya, kedua ajaran yang khas Baptis itu sudah dianut dalam abad ke-16 oleh kelompok-kelompok tertentu, seperti kelompok Anabaptis dan Menonit. Akan tetapi, gerakan Baptisme dalam arti yang sebenarnya dirintis sejak tahun 1608/1609 oleh John Smyth, pendeta salah satu jemaat orang Inggris dalam perantauan di Amsterdam. Yang memisahkan kelompok Baptis itu dari aliran Memonit sehingga tidak bergabung dengannya ialah pandangan Memonit bahwa seorang Kristen tidak boleh bersumpah di depan lembaga pemerintah, tidak boleh menduduki jabatan dalam pemerintahan, dan dilarang masuk tentara. Sebutan “Baptis”, yang baru muncul beberapa dasawarsa kemudian, mula-mula merupakan sindiran dari pihak lawan-lawan, tetapi kemudian dipakai oleh penganut golongan Baptisme sendiri. Salah seorang Baptis yang terkenal pada zaman itu ialah John Bunyan, yang menulis buku Perjalanan Seorang Musafir sewaktu berada di penjara karena keyakinannya (1660-1672). Revolusi Inggris (1689) menetapkan asas kebebasan beragama di Inggris, walau untuk sementara masih terbatas. Mulai tahun 1639, aliran Baptis dibawa pula ke Amerika Utara oleh perantau-perantau dari Inggris. Dalam abad ke-19, gereja Baptis menjadi salah satu gereja Protestan terbesar di Amerika Serikat. Dalam abad ke-19 dan ke-20, aliran Baptisme meluas ke semua benua. Kini ada sekitar 20 juta lebih penganut aliran Baptis (tidak termasuk anak yang belum dibaptis) di 120 lebih negara, 90 persen di antaranya di Amerika Serikat.


Pada tahun 1792, atas prakarsa salah seorang pendeta Baptis yang bernama William Carey, didirikanlah Baptist Missionary Society. Peristiwa ini menandai permulaan sejarah usaha pekabaran Injil modern. Carey mendirikan pusat pekabaran Injil di Calcutta (India). Dari sana usaha pekabaran Injil Baptis meluas ke jajahan Inggris di Asia Tenggara, termasuk ke Hindia Belanda, yang pada tahun 1811-1815 dikuasai Inggris. Antara tahun 1813 dan 1857, 20 utusan Injil Baptis bekerja di Hindia Belanda. Yang menjadi terkenal ialah Nathaniel Ward dan Richard Burton, karena mereka mengadakan perjalanan melintasi pulau Sumatera, yang pada waktu itu belum dipetakan, dan berhasil menerobos sampai Danau Toba. Seorang anak William Carey, Jabez Carey, bekerja di Ambon selama tahun 1814-1818. Karena pemerintah Belanda tidak suka pada kegiatan orang asing di wilayahnya, maka sesudah kembalinya pemerintahan Belanda kebanyakan utusan Injil bangsa Inggris itu kembali ke India. Di Padang, Ward bertahan sampai kematiannya menjelang tahun 1850. Di Semarang, Gottlob Brucker menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jawa dan dengan demikian mencetuskan gerakan menuju ke agama Kristen di Wiung. Tetapi sesudah kematiannya (1857) tidak ada lagi kegiatan Baptis di Hindia Belanda.
Pada tahun 1948, tenaga utusan Konvensi Baptis Selatan (Southern Baptist Convention) dari Amerika Serikat yang berjumlah sekitar 200 orang, harus meninggalkan negeri Tiongkok setelah kaum komunis mengambil alih kekuasaan di situ. Kemudian pada 1950, Dr. Baker James Cauthen sebagai Secretary for Orient of the Southern Baptist Foreign Mission Board mulai melakukan survei ke beberapa negara Asia Tenggara untuk menggantikan tempat pelayanan kaum Baptis di Asia setelah adanya penolakan dari Tiongkok. Negara-negara yang disurvei meliputi Filipina, Thailand, Malaysian dan Indonesia.
Pada tahun 1951 mereka dialihkan ke Indonesia. Tiga orang utusan Injil Baptis tiba di Jakarta pada 24 Desember 1951 dengan menggunakan pesawat Royal Dutch Airline. Para misionaris Amerika itu adalah Buren Johnson, Stockwell Sears dan Charles Cowherd, mereka dikenal sebagai pelopor Baptis Selatan di Indonesia. Kemudian Cowherd menuju ke Bandung setelah beberapa waktu istirahat dan berdiam di Jakarta.
Stockwel Sears pun mulai melakukan pengabaran Injil di Jakarta. Awalnya, kebaktian orang Baptis menumpang di rumah Pendeta Ais Pormes di Jakarta pada April 1953. Kemudian pindah di garasi tempat tinggal Pendeta Stockwell Sears yang berada di jalan Galuh No. 11 Jakarta Selatan. Seiring berjalan waktu, jemaat semakin bertambah banyak. Akhirnya, memutuskan untuk membeli sebidang tanah di Jalan Tirtayasa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan yang akan digunakan untuk membangun sebuah gereja.
Peletakan batu pertama pembangunan gereja ini dilakukan pada 7 Oktober 1962, dan desain gerejanya dirancang oleh Ir. Poei. Pada saat gereja sedang dibangun ini, jemaat diperkenankan untuk beribadah menggunakan salah satu ruang kelas di SMEA 3 Jakarta Selatan.
Setelah selesai pembangunannya, gereja tersebut diresmikan menjadi tempat beribadah bagi jemaat Baptis di daerah Kebayoran dan sekitarnya, dan diberi nama Gereja Baptis Indonesia Kebayoran, atau biasa dikenal dengan Gereja Baptis Kebayoran. Peristiwa ini merupakan sejarah bagi jemaat Baptis di Jakarta pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Konvensi Baptis Selatan itu merupakan golongan Baptis yang terbesar di dunia. Dalam ajaran, Konvensi Baptis Selatan (KBS) bersifat ortodoks; gereja ini tidak bergabung dengan Dewan Gereja-gereja se-Dunia. *** [160416]

Kepustakaan:
Th. Van den Ends & J. Weitjens, 1993. Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an – Sekarang, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia
http://gbik.info/index.php/tentang-kami/
http://www.majalahpraise.com/tata-ibadah-gereja-baptis-indonesia-536.html
Share:

GPIB Paulus Jakarta

Kawasan Menteng merupakan kawasan pemukiman yang asri, nyaman dan indah, yang digemari oleh masyarakat Eropa yang berada dan masyarakat pribumi dari golongan yang terpilih. Dulu, kawasan Menteng ini dirancang dan dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai perluasan kota ke sebelah selatan dari wilayah pusat kota yang dikenal pada waktu itu dengan Weltevreden (wilayah sekitar Gambir dan Pejambon sekarang).
Seiring dengan berjalannya waktu, berbagai lahan kosong yang ada di kawasan Menteng mulai diisi dengan berbagai fasilitas bagi perumahan-perumahan Menteng tersebut, seperti pusat seni, gedung perkumpulan hingga taman. Tak terkecuali fasilitas untuk tempat peribadatan bagi penganut Katolik maupun Kristen Protestan. Salah satunya adalah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Paulus. GPIB ini terletak di Jalan Taman Sunda Kelapa No. 12 Kelurahan Menteng, Kecamatan Menteng, Kota Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi gereja ini berada di sebelah barat gedung BAPPENAS, atau sebelah timur Museum Perumusan Naskah Pancasila, dan tak jauh dari Taman Suropati.


GPIB Paulus ini merupakan hasil rancangan dari Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels, atau yang biasa disingkat F.J.L. Ghijsels, seorang arsitek Belanda kelahiran Tulungagung, Jawa Timur, dan dibangun pada tahun 1936. Pengerjaan fisiknya dilakukan oleh biro arsitek Algemeen Ingenieurs en Architecten Bureau (A.I.A). Biro ini merupakan kombinasi antara biro perancangan dan pelaksanaan bangunan, yang didirikan oleh Ghijsels bersama dua orang rekannya, yaitu Ir. Hein van Essen dan Ir. Stoltz.
Semula GPIB Paulus ini dikenal dengan sebutan Nassaukerk, sesuai dengan nama jalan di mana gereja tersebut didirikan, yaitu Nassau Boulevard, sekarang menjadi Jalan Imam Bonjol. Gereja ini berada pada posisi yang strategis, yaitu lokasinya tepat di tengah kawasan Menteng. Keberadaan GPIB Paulus pada posisi tersebut mengindikasikan pentingnya kehadiran gereja tersebut pada kawasan ini.


Dilihat dari muka luar, GPIB ini memiliki gaya arsitektur Art Deco yang ditandai dengan komposisi bangunan yang konsisten dan fungsional. Atapnya membentuk empat pelana dengan kemiringan seperti piramida, dan di bagian depan sudut timur laut terdapat menara yang cukup tinggi tapi ramping. Di atas atap menara terdapat ayam jantan (jago), dan di bawah atap dipasang empat jam yang mengarah ke segala penjuru mata angin.
GPIB Paulus ini memiliki denah menyerupai salib, yang keempat sisinya adalah sama panjang. Sepintas denahnya merupakan crosssectional dari dua persegi panjang yang disatukan sehingga terbentuklah palang seperti lambang PMI. Hasil gabungan tadi membentuk bagian tengah berbentuk kotak.
Bagian tengah ini yang digunakan sebagai ruang ibadah, dan didalamnya terdapat beberapa kolom yang menjadi tumpuan balkon. Balkon dalam gereja ini memiliki bentang besar, yang dapat diisi empat baris tempat duduk sehingga dapat menampung jemaat yang banyak.
Menteng, dengan gerejanya memang ditata sebagai kawasan hunian yang modern dengan segala fasilitas yang dimiliki pada zaman itu. Jemaat orang Belanda maupun Eropa lainnya yang mengikuti persembayangan di gereja ini, akan merasa senang karena tepat berada di timur lautnya ada sebuah taman yang rindang dan asri. Dari sebagian mereka biasanya ada yang menyempatkan untuk duduk-duduk di taman tersebut. *** [060416]

Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami