The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Purwokerto Heritage. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Purwokerto Heritage. Tampilkan semua postingan

SD Negeri 1 Sudagaran

SD Negeri 1 Sudagaran terletak di Jl. Jenderal Gatot Subroto No. 95 Desa Sudagaran, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, atau tepatnya berada di sebelah tenggara alun-alun Banyumas. Lokasinya berada di pinggir jalan raya utama menuju Purwokerto dari Yogyakarta.
Bangunan SD ini menarik pandangan setiap orang yang melintas di jalan tersebut, lantaran kekunaan bangunannya yang masih berdiri kokoh. Menurut Kepala Sekolah, Setyo Eko Kapti, SD ini merupakan peninggalan Belanda yang dibangun pada tahun 1918. Dulu, sebelumnya adalah  Hollandsch Indlandsche School (HIS). Semasa HIS, yang diperkenankan sekolah di sini adalah anak-anak orang Belanda yang bekerja di Hindia Belanda, sedangkan bagi pribumi hanyalah anak-anak priyayi atau amtenaar memiliki jabatan saja.


Namun seiring perkembangan zaman, semenjak Indonesia Merdeka, sekolah ini dinasionalisasi, dan menjadi SD Negeri 1 Sudagaran.
Sejarah mencatat bangunan SD ini memiliki ciri arsitektural bergaya Belanda, yang ditandai dengan bentuk bangunan yang tinggi dengan pintu dan jendela yang lebar. Bila Anda berada di dalam salah satu kelas, terasa angin semilir, yang menunjukkan kelebihan arsitektur Belanda yang mengedepankan sirkulasi udara secara alami. Balok-balok kayu yang menopang atap maupun teras kelas memperlihatkan kayu jati yang bagus dan besar, sehingga benar-benar mengisyaratkan kekokohan yang natural.
SD ini memiliki lahan seluas 6.061,62 m², yang terinci dalam berbagai peruntukkannya, seperti bangunan seluas 1.288 m², luas kebun sekolah 629 m², luas halaman sekolah 2.550 m², dan sisa tanahnya masih seluas 1.594,62 m². Secara ekologis, luas lahan ini sangatlah representatif bagi pendidikan maupun proses belajar anak-anak yang sekolah di sana.


Sesuai kekunaan kesejarahan yang dimiliki, bangunan SD ini telah ditetapkan sebagai salah satu benda cagar budaya (BCB)  di Kabupaten Banyumas. Sehingga, pemangku di sekolahan ini akan juga berhati-hati dalam memperlakukan bangunan tersebut. Sehingga setiap ada pembangunan tambahan ruang selalu diletakkan di belakang bangunan utama yang menjadi BCB atau dibangun di sebelah kiri-kanan yang masih longgar. Sebagai salah satu BCB, keberadaan dan keaslian bangunan tersebut adalah untuk mempertahankan bukti-bukti sejarah. Ke depannya, agar masyarakat dapat mengetahui perjalanan sejarah di Banyumas. *** [011112]
Share:

Stasiun Kereta Api Purwokerto

Stasiun Purwokerto (PWT) merupakan stasiun kereta api yang paling besar yang berada jalur selatan Jawa Tengah. Secara administratif, stasiun ini terletak di Jl. Stasiun, Kelurahan Kober, Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Stasiun yang berada di ketinggian +78 m dpl berada dalam pengelolaan PT. Kereta Api (Persero) Daerah Operasi (Daops) V Purwokerto. Sebagai Daops induk, hampir seluruh kereta api yang melewati jalur selatan arah Jakarta berhenti di stasiun ini.
Stasiun ini dibangun pada tahun 1916 sehubungan dibukanya jalur rel kereta api yang menghubungkan Kroya dengan Cirebon. Kendati sebelumnya di kawasan Banyumas ini telah dilalui oleh jalur kereta api yang menghubungkan Bandung – Yogyakarta lewat Kroya oleh Staatspoorwagen (S.S) atau lintasan kereta api yang menghubungkan Banyumas ke Banjarnegara oleh Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS).
Dengan dihubungkannya ketiga jalur utama tadi, menjadikan keberadaan Stasiun Purwokerto memiliki nilai yang strategis dari semenjak dibangunnya hingga kini.
Bangunan stasiun peninggalan Belanda yang merupakan hasil rancangan Francois Joseph Arnold (1887-1967) yang bekerja sama dengan J. van Gendt ini termasuk salah satu benda cagar budaya (BCB) yang ada di Kota Purwokerto pada khususnya maupun Kabupaten Banyumas pada umumnya. Sebagai BCB, stasiun ini memiliki nilai penting, artefak tersebut dapat dimanfaatkan untuk beberapa fungsi antara lain ideologis, akademis, dan ekonomis.
Manfaat secara ideologis antara lain untuk mempertebal harga diri dan kebanggan nasional. Secara akademis, peninggalan budaya itu dapat dimanfaatkan oleh berbagai disiplin ilmu antara lain sejarah, arkeologi, arsitektur, geografi, geologi,  dan lainnya. Secara ekonomis benda cagar budaya dapat dimanfaatkan sebagai obyek dan daya tarik wisata karena keindahan, keunikan, dan keragamannya. *** 

Data ini pertama kali dipublikasikan pada 24 November 2012 dan terakhir diperbarui (update) pada 17 Oktober 2023.



Share:

Klenteng Hok Tek Bio

Klenteng Hok Tek Bio terletak di Jalan Pemotongan No. 3 Kelurahan Purwokerto Utara, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, atau tepatnya berada di belakang Pasar Wage, Purwokerto. Sebelum berdiri Pasar Wage, daerah ini merupakan pusat pemerintahan kadipaten, di bawah administrasi Adipati Pancurawis di mana dulunya lokasi Pasar Wage tersebut merupakan alun-alun.
Saat lokasi yang sekarang menjadi Pasar Wage, menjadi pusat pemerintahan, banyak pedagang asongan dari Cina yang menawar dagangannya kepada masyarakat sekitar kadipaten, yang makin lama makin banyak pedagang asongan yang berjualan di situ sampai akhirnya merambah alun-alun.  Dengan surutnya Kadipaten Pancurawis tersebut para pedagang asongan tersebut bermalam di teras Kadipaten dan melakukan sembahyang di situ.
Alun-alun yang sudah terlanjur menjadi ramai menjadi lokasi para pedagang Cina tersebut, oleh Gubernemen ditetapkan menjadi pasar yang kemudian berkembang menjadi besar dan sejak itu menjadi Pasar Wage.
Sedangkan, teras kadipaten yang biasanya menjadi tempat mangkal pedagang asongan Cina lambat laun berubah menjadi Klenteng Hok Tek Bio seiring surutnya Kadipaten Pancurawis.


Klenteng Hok Tek Bio diperkirakan berdiri sekitar tahun 1831 oleh pedagang Cina yang sering bermalam di teras tersebut, yang dipimpin oleh Oey Yoe Wan. Semula klenteng ini hanya sebuah bangunan biasa yang menyerupai rumah joglo, yang berfungsi sebagai tempat peribadatan pemeluk agama Tao. Setelah dua kali direnovasi, yaitu pada tahun 1879 kemudian renovasi kedua pada tahun 1987 bentuknya menjadi khas seperti sekarang. Baik atap maupun dinding serta ornamennya memiliki bentuk bangunan bergaya khas Cina.
Seiring perkembangannya, klenteng ini sekarang digunakan sebagai tempat peribadatan bagi tiga pemeluk agama (Tri Dharma), yaitu Tao, Kong Hu Cu dan Buddha.
Menurut Apri, salah sorang karyawan klenteng ini, menerangkan, bagi penganut Tao, mereka memuliakan Dewa Bumi (Hok Tek Tjeng Sien), Sam Po Kong dan Kwe Seng Ong (Dewa Usaha) di altar persembayangan utamanya. Patung Dewa Bumi kecil yang berada di altar persembahyangan, dibawa langsung oleh Oey Yoe Wan dari Cina untuk ditempatkan di klenteng ini.


Bagi penganut Kong Hu Cu, mereka memuliakan Nabi Kong Hu Cu, Ngo Tjoo (Dewa Beras) dan Liem Thay Djien, seorang sarjana yang menjadi Dewa Kepandaian di altar persembahyangan utama.
Bagi penganut Buddha, mereka memuliakan Sakyamuni Hud (Sang Buddha), Ti Chang Wang Posat (Dewa Akhirat), Tatmo Chaw Su (Pendiri Biara Shaolin) dan Kwan Im Posat (Dewi Welas Asih) di altar persembahyangan utama.
Klenteng ini tergolong luas bila dibandingkan dengan klenteng-klenteng yang lain di Indonesia. Dengan tanah seluas sekitar 900 m², klenteng ini mampu memuat sekitar sepuluh altar persembahyangan dengan memuliakan berbagai dewa masing-masing sesuai penganutnya (Tao, Kong Hu Cu maupun Buddha).
Pada tahun 1992, halaman klenteng dipercantik dengan dibangun aula atau ruang tunggu sedangkan di pojok kiri halaman dibangun pagoda sebagai tempat pembakaran kertas doa, dinding temboknya dilukis penuh dengan gambar dewa-dewi. *** [041112]

Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami