The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Wisata Religi di Lamongan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wisata Religi di Lamongan. Tampilkan semua postingan

Makam Mbah Mayang Madu

Informasi ini diperoleh tanpa sengaja. Pada waktu kami singgah di pinggir jalan yang ada dawet siwalan khas pesisir pantura, semula kami ditanya dengan pertanyaan khas dari daerah. Berasal dari mana, dan mau ke mana? Dari menjawab pertanyaan tersebut kepada penjual dawet bahwa kami habis dari Makam Sunan Drajat, terjadilah obrolan ringan. Lalu muncullah informasi dari penjual dawet tersebut bahwa di Lamongan ini juga terdapat makam Mbah Mayang Madu.
Mbah Mayang Madu niku moro sepuhipun Sunan Drajat,” tandas penjual dawet tersebut. Dari situlah naluri keingintahuan muncul, dan langsung minta diantarkan ke makam tersebut. Makam tersebut kebetulan tidak jauh dari tempat di mana ia berjualan. Hanya menyeberang jalan raya, terus melewati lorong yang berada di timur TK Al Mu’awanah sampailah ke lokasi makam tersebut. Penjual dawet itu kebetulan ingat makam tersebut, karena beberapa hari yang lalu menghadiri peresmian Situs Makam Mbah Mayang Madu. Makam ini terletak di Dusun Banjaranyar, Desa Banjarwati, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. Lokasi makam ini berada di sebelah barat Masjid Jelaq, atau di selatan TK Al Mu’awanah.
Kisah Mbah Mayang Madu ini bermula dari adanya kapal yang ditumpangi oleh seorang pedagang muslim asal Banjarmasin pecah terbentur karang dan karam di laut pada tahun 1440-an. Tubuh pedagang itu akhirnya terdampar di tepi pantai Jelaq, dan kemudian ditolong oleh Mbah Mayang Madu, penguasa kampung Jelaq pada saat itu.


Pedagang tersebut akhirnya dirawat di rumah Mbah Mayang Madu, dan dipersilakan tinggal untuk beberapa saat. Pada waktu tinggal di rumah ketua kampung tersebut, pedagang tersebut terketuk hatinya untuk mengajarkan agama Islam di tengah-tengah kampung nelayan tersebut. Kebetulan pada waktu itu, penduduk kampung nelayan Jelaq pada umumnya masih menganut agama Hindu termasuk Mbah Mayang Madu juga. Pedagang itu mulai berdakwah dan mensyiarkan ajaran Islam kepada penduduk Jelaq dan sekitarnya.
Lambat laun perjuangan pedagang asal Banjarmasin tersebut mulai membuahkan hasil. Mbah Mayang Madu yang awalnya beragama Hindu. Dengan melihat kepribadian yang ada pada pedagang tersebut dalam menyampaikan ajaran Islam, maka Mbah Mayang Madu akhirnya tertarik untuk masuk agama Islam dan ikut mensyiarkan agama Islam di daerah Jelaq dan sekitarnya. Karena pedagang muslim tersebut berasal dari Banjarmasin, maka penduduk setempat akhirnya menyebutnya dengan nama Mbah Banjar.
Pada suatu hari, Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu berkeinginan untuk mendirikan tempat pengajaran dan pendidikan agama agar syiar Islam semakin berkembang, namun mereka menemui kendala dikarenakan masih kurangnya tenaga edukatif yang mumpuni di bidang ilmu diniyah. Akhirnya mereka pun sepakat untuk menghadap Sunan Ampel di Ampel Denta, Surabaya. Gayung pun bersambut, Sunan Ampel memberikan restu dengan mengutus putranya Raden Qosim untuk turut serta membantu perjuangan kedua tokoh tersebut.
Akhirnya, Raden Qosim pun berangkat ke Paciran dan singgah sebentar ke tempat Sunan Giri di Gresik kemudian dilanjutkan berlayar ke Paciran. Kisah pelayaran Raden Qosim ini serupa dengan yang di alami Mbah Banjar, yaitu mengalami musibah di lautan. Kapalnya pecah dihantam gelombang, dan akhirnya Raden Qosim diselamatkan oleh ikan Cucut menuju ke tepi pantai dengan dikawal oleh ikan Talang. Menurut tarikh, peristiwa ini terjadi pada sekitar tahun 1485 M. Di sana, Raden Qosim disambut baik oleh Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.


Raden Qosim kemudian menetap di kampung nelayan Jelaq, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelaq, Raden Qosim mendirikan sebuah surau di suatu petak tanah yang terletak di areal Pondok Pesantren Putri “Sunan Drajat”.
Beliau pun mengatakan bahwa barang siapa yang mau belajar mendalami ilmu agama di tempat tersebut, semoga Allah menjadikannya manusia yang memiliki derajat luhur. Karena doa Raden Qosim inilah para pencari ilmu pun berbondong-bondong belajar di tempat beliau dan Raden Qosim mendapat gelar Sunan Drajat. Sementara itu, untuk mengenang perjuangan Mbah Banjar maka dusun yang sebelumnya bernama Kampung Jelaq diubah namanya menjadi Banyuanyar untuk mengabadikan nama Mbah Banjar dan anyar sebagai suasna baru di bawah sinar petunjuk Islam.
Setelah beberapa lama beliau berdakwah di Banjaranyar, maka Raden Qosim mengembangkan daerah dakwahnya dengan mendirikan masjid dan pondok pesantren yang baru di Kampung Sentono. Beliau berjuang hingga akhir hayatnya dan dimakamkan di belakang masjid tersebut. Kampung di mana Sunan Drajat mendirikan masjid dan pondok pesantren itu akhirnya dinamakan pula sebagai Desa Drajat.
Awalnya, makam Mbah Mayang Madu ini sangatlah sederhana. Dipagari dengan susunan batu kapur, dan di tengah-tengah deretan pagar tersebut terdapat pintu berbentuk paduraksa untuk menuju batu nisan Mbah Mayang Madu. Yang uniknya, di atas pintu paduraksa berwarna putih tersebut terdapat ornamen seperti pada atap klenteng. Namun semenjak peresmian Situs Makam Mbah Mayang Madu pada 11 September 2015, makam ini memiliki cungkup yang megah. Atapnya terdiri ata 4 tumpang berbentuk seperti atap pagoda berbahan genteng, dan ditopang oleh sejumlah tiang terbuat dari beton serta lantainya terbuat dari keramik. Sedangkan, pada makam Mbah Mayang Madu tertutup oleh tembok dengan pintu menghadap selatan. Kendati telah direnovasi, kekhasan makam Mbah Mayang Madu sebagai sebuah makam kuno masih bisa terlihat, terutama dari pintu gapura paduraksa. *** [071115]

Share:

Makam Waliyullah Sunan Sendang Raden Nur Rahmat

Usai melakukan shalat dhuhur, kami mengunjungi sebuah makam kuno yang berada di samping masjid. Makam kuno ini mengundang perhatian kami karena kompleks makamnya sepintas menyerupai pura atau candi. Sesuai papan yang dipasang di depan pintu kompleks makam kuno tersebut, tertulis nama Makam Waliyullah Sunan Sendang Raden Nur Rahmat dengan menggunakan huruf Hijaiyah (Arab) berwarna kuning dengan latar papan berwarna hijau berpelisir warna kuning. Kompleks makam ini terletak di Jalan Nur Rahmat, Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. Lokasi makam ini berada di sebelah utara dan barat Masjid Nur Rahamat Sendang Duwur, atau berada di Bukit Tunon dengan ketinggian sekitar 50-70 di atas permukaan laut.
Sesuai nama kompleks makam tersebut, tokoh utama yang dimakamkan di situ adalah Raden Nur Rahmat. Beliau dilahirkan di Sedayu Lawas, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, pada tahun 1320 M. Ia adalah putra dari Raden Abdul Kohar bin Malik bin Syekh Abu Yazid Al Baghdadi. Syekh Abu Yazid Al Baghdadi adalah seorang ulama terkenal yang berasal dari Baghdad (Irak), sehingga Raden Nur Rahmat masih memiliki darah seorang ulama dari Baghdad. Ibu Raden Nur Rahmat adalah Dewi Sukarsih, puteri dari Tumenggung Joyo dari Sedayu Lawas. Setelah ayah Raden Nur Rahmat wafat, ia diboyong oleh ibunya pindah ke daerah Bukit Tunon guna menyebarkan agama Islam di daerah tersebut.


Setelah bertemu dan mendapat pencerahan dari Sunan Drajat, Raden Nur Rahmat diberi gelar sebagai Sunan Sendang untuk mengajarkan agama Islam di Sendang Duwur, dan diperintahkan segera mendirikan sebuah masjid. Bangunan masjid itu pun, konon merupakan bangunan langgar atau surau milik Mbok Rondo Mantingan (Ratu Kalinyamat) yang dipindahkan oleh Sunan Sendang dari Mantingan, Jepara, menuju Sendang Duwur hanya dalam semalam. Dari masjid inilah Sunan Sendang terus melakukan syiar agama Islam dengan sabar dan ikhlas. Akhirnya, beliau dikenal sebagai seorang penyebar agama Islam di Sendang Duwur yang memiliki kewalian yang setara dengan Wali Songo.
Sunan Sendang wafat pada tahun 1585 M, dan dimakamkan di kompleks pemakaman yang berdampingan dengan masjid tersebut. Lokasi makam Raden Nur Rahmat berada di sebelah barat masjid, akan tetapi pintu utama menuju ke makam Sunan Sendang ini berada di sebelah utara masjid menghadap ke timur atau jalan.
Untuk memasuki pelataran makam Sunan Sendang, peziarah harus melewati pelataran kelompok kuburan dan gapura. Memasuki gapura pertama berbentuk bentar dari Jalan Nur Rahmat, peziarah akan melewati jembatan kecil yang di bawahnya berupa kolam. Kemudian dijumpailah pelataran pertama. Di pelataran ini, terdapat makam-makam. Di bagian selatan, terlihat terbuka sedangkan yang berada di sebelah utara dibatasi pagar lagi yang terbuat dari batu kapur, dan di tengah-tengah pagar tersebut ada gapura paduraksa berukuran kecil. Sehingga, peziarah yang akan memasuki makam tersebut harus membungkukkan badan.


Lanjut ke pelataran kedua, peziarah bisa melewati gapura paduraksa dari pelataran pertama atau melewati gapura bentar dari halaman masjid di sebelah utara. Pada pelataran kedua ini juga terdapat makam-makam yang terdapat di sebelah utara, papan pengumuman, bangunan limasan untuk menyimpan kayu, dan bangunan berbentuk limasan beratap genteng yang masih tergolong baru. Bangunan baru ini digunakan untuk tempat menerima tamu peziarah. Di samping, bangunan baru ini terdapat pintu besi yang dikunci untuk menuju ke pelataran berikutnya. Pintu besi ini dihimpit oleh pagar yang terbuat dari tembok.
Setelah diizinkan oleh Juru Kunci, peziarah bisa masuk ke pelataran ketiga dan menapaki jalan setapak yang meninggi yang melengkung ke kiri, atau tepatnya berada di sebelah barat masjid. Tempat yang paling tinggi inilah akan ditemui sebuah cungkup yang berisi makam Raden Nur Rahmat alias Sunan Sendang. Dari cungkup ini, arah mata memandang ke barat tampak terlihat perkampungan nun jauh kehijauan.
Kompleks makam Sunan Sendang ini merupakan bangunan berarsitektur tinggi menggambarkan perpaduan antara kebudayaan Hindu dan Islam. Di kompleks makam ini terdapat gapura di bagian luar berbentuk candi bentar dan gapura bagian dalam berbentuk paduraksa. Di Jawa bentuk candi bentar itu didirikan pada zaman sesudah keruntuhan Nusantara Hindu, yaitu pada zaman perkembangan pengaruh-pengaruh Islam yang lazim dinamakan dengan zaman peralihan.
Makam Sunan Sendang ini juga banyak dikunjungi peziarah. Biasanya tak jarang para peziarah yang mengunjungi makam Sunan Drajat, akan singgah juga ke makam Sunan Sendang ini. Karena jarak antara makam Sunan Sendang dengan makam Sunan Drajat berjarak sekitar 9 kilometer. *** [071115]

Share:

Makam Sunan Drajat

Kabupaten Lamongan mempunyai beberapa sumberdaya arkeologi masa Islam yang disakralkan yang digunakan sebagai destinasi wisata religi. Hal ini tidak terlepas dari adanya aktivitas penyebaran agama Islam di Lamongan yang dilakukan oleh Mbah Banjar, Mbah Mayang Madu, Sunan Drajat, dan Sunan Sendang Duwur.
Namun diakui, sumberdaya arkeologi masa Islam di Lamongan masih terpusat pada kompleks dan makam Sunan Drajat. Makam ini terletak di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. Lokasi makam ini berada di sebelah barat Museum Sunan Drajat.
Sunan Drajat adalah salah seorang putra Sunan Ampel dari perkawinannya dengan Nyi Ageng Manila atau dikenal juga dengan Dewi Condrowati, yang lahir pada tahun 1470 Masehi. Sewaktu masih kecil, ia dikenal sebagai Raden Qosim. Raden Qosim menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampel Denta, Surabaya dengan mengaji kepada ayahandanya yang sekaligus juga gurunya. Setelah dewasa, Raden Qosim diperintah oleh ayahandanya, Sunan Ampel, untuk melakukan dakwah di pesisir barat Gresik, yaitu daerah kosong dari ulama besar antara Tuban dan Gresik, dan sekaligus membantu Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu dalam menyebarkan agama Islam di daerah tersebut.
Dikisahkan, Raden Qosim mulai perjalanannya dengan biduk nelayan dari Gresik sesudah ia singgah di tempat Sunan Giri. Dalam perjalanannya ke arah barat tersebut, perahu yang ditumpangi Raden Qosim terdapat lima awak perahu yang siap mengantarkannya. Menurut kepercayaan yang dianut oleh lima awak kapal tersebut, Laut Jawa yang dilayarinya itu mempunyai Dayang yang mbaureksa (menguasai dan mengatur) atau yang berkuasa adalah Dewa Baruna.


Oleh karena, para awak perahu yang juga nelayan itu harus memberi sesaji dan menyebarkan bunga yang semerbak bau wanginya agar laut bersahabat baik terhadap para nelayan dan memberi hasil yang berlimpah-limpah. Melihat hal itu, Raden Qosim menjelaskan hal itu semua menurut ajaran Islam terutama pengertian mengenai Sang Hyang Widi. Pada penjelasan ini, Raden Qosim memperkenalkan perihal Tuhan Yang Maha Esa, dan sekaligus mengajarkan bagaimana caranya sembah bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan melalui menjalankan rukun Islam. Raden Qosim mulai menjelaskan siapa yang tidak percaya dan menghina Tuhan Yang Maha Esa akan mendapatkan malapetaka.
Pada waktu Raden Qosim menjelaskan di perahu yang ditumpangi, awak perahu merupakan nelayan yang bengal dan tidak percaya kepada uraian Raden Qosim tersebut. Mereka malah mencemooh penjelasan Raden Qosim, dan pada pencomoohan yang terakhir tergoncanglah perahu tersebut. Isi perahu tercerai berai dan para penumpangnya terlempar ke laut. Kelima awak perahu timbul tenggelam dipermainkan ombak dan terkatung-katung dibawa ombak yang tak tentu arah. Mereka terheran-heran melihat Raden Qosim yang selalu berbicara tentang Tuhan Yang Maha Esa dan sebagai orang daratan yang tidak bisa berenang serta belum pernah melihat lautan malah selamat dari permainan ombak tersebut.
Raden Qosim atas pertolongan Allah SWT, ditolong oleh ikan hiu yang diiringi ikan talang langsung menuju pantai. Dengan naik punggung ikan tersebut, ia selamat mencapai pantai dan mendarat di suatu kelompok perumahan. Di perkampungan tersebut, Raden Qosim disambut dengan antusias oleh orang kampung beserta tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu yang didampingi oleh Mbah Banjar, dan untuk sementara Raden Qosim tinggal di rumah pemangku kampung yang bernama Mbah Mayang Madu. Perkampungan ini merupakan rumah-rumah para nelayan, yang menurut ceritera rumah-rumah tersebut berjumlah 17 rumah dalam keadaan yang sangat menyedihkan atau memprihatinkan karena sangat sederhana sekali dan pedukuhan ini dinamai Jelak.


Selang lima hari sejak kedatangan Raden Qosim, perkampungan tersebut menjadi gempar karena ada lima orang terdampar dalam keadaan yang menyedihkan di tepi pantai. Ternyata mereka adalah awak perahu yang pernah ditumpangi Raden Qosim. Lalu, mereka ditolong penduduk setempat dan setelah keadaannya berangsur baik serta tahu kalau di tempat itu juga ada orang yang mendarat di tempat yang sama dengan menunggangi ikan hiu, maka mereka bersama-sama berusaha menemui Raden Qosim di rumah Mbah Mayang Madu. Setelah bertemu dengan Raden Qosim, bersimpuhlah mereka dan meminta ampun serta bertobat. Orang kampung yang melihatnya merasa heran dan terperanjat setelah mendapat keterangan bahwa Raden Qosim adalah seorang ulama penyebar agama baru, yaitu Islam.
Selama menetap di Kampung Jelak, Raden Qosim dinikahkan dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qosim mendirikan sebuah surau untuk mengumpulkan orang-orang kampung, mengajari agama Islam, dan beribadah. Surau tersebut akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk, dan diberi nama Pesantren Sunan Drajat.
Kampung Jelak yang semula hanyalah sebuah dusun kecil dan terpencil, lambat laut berkembang menjadi kampung yang besar dan ramai. Namanya pun berubah menjadi Banjaranyar. Kemudian, selang tiga tahun tinggal di Jelak, Raden Qosim berusaha mencari tempat sebagai pusat kegiatan dakwahnya ke arah selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak. Pencarian tempat baru ini didasari pertimbangan mencari tempat lebih tinggi yang menurut kepercayaan masyarakat pada waktu merupakan tempat yang sakral atau disucikan, dan tentunya terbebas dari banjir pada musim hujan.
Setelah mendapat izin dari Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan, Raden Qosim pun dengan dibantu oleh sejumlah muridnya yang ada di Kampung Jelag melakukan babat alas (membuka hutan belantara) yang dikenal penduduk sebagai daerah angker.
Alhasil, lahan seluas 9 hektar yang dibuka tersebut dibuatlah permukiman serta padepokan yang digunakan untuk tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk. Dari atas bukit tersebut, Raden Qosim menghabiskan waktunya dalam menjalankan dakwahnya. Dari sinilah orang-orang menamakannya dengan istilah Kadrajat, yang artinya kederajatan Raden Qosim menjadi bertambah tinggi. Ihwal itulah, yang kemudian daerah tersebut terkenal dengan sebutan Drajat, dan akhirnya menjadi nama desa hingga sekarang. Sedangkan, Raden Qosim yang menjadi cikal bakal membuka lahan tersebut dan akhirnya mengajarkan Islam di daerah tersebut diberi gelar nama baru sebagai Sunan Drajat, dan sekaligus menjadi salah satu Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.
Dalam berdakwah, Sunan Drajat menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat setempat pada waktu itu. Untuk mengajak masyarakat setempat agar mau berkunjung ke surau yang didirikannya itu, Sunan Drajat sering melantunkan tembang dengan diiringi gamelan pada awalnya. Karena pada waktu itu, prasarana yang digemari oleh masyarakat adalah gamelan dan tembang. Sunan Drajat pun akhirnya menggubah tembang-tembang yang terkanal dengan tembang Pangkur. Pangkur artinya Pangudi Isine Al-Qur’an. Tembang tersebut dikumandangkan dengan membeberkan dan menceriterakan segala apa yang ada dalam Al-Qur’an atau syair-syair yang bersumber dari ajaran Al-Qur’an.
Setelah menembang, Sunan Drajat selalu memberikan wejangan baik terhadap masyarakat desa pada umumnya miskin untuk selau memiliki rasa gotong-royong, rasa persaudaraan dan rasa asih-asuh serta welas terhadap sesama. Dalam mewujudkan semua itu, Sunan Drajat mengajarkan sikap kepada penduduk setempat agar:

Memangun resep teyasing sasomo
(kita selalu membuat senang hati orang lain)

Jroning suko kudu eling lan waspodo
(di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)

Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah
(dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)

Meper Hardaning Pancadriya
(kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)

Heneng-Hening-Henung
(dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita-cita luhur)

Mulyo guno Panca Waktu
(suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan shalat lima waktu)

Menehono teken marang wong kang wuto, menehono mangan marang wong kang luwe, menehono busono marang wong kang wudo, menehono ngiyup marang wong kang kodanan
(Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin, ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan kepada orang yang menderita)

Ajaran-ajaran yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits tersebut, akhirnya berkembang di Paciran. Lambat laun, penduduk desa menerimanya dengan suka cita. Biasanya selepas pulang dari sawah, tegalan maupun lautan bagi yang nelayan akan naik ke bukit tersebut untuk berguru kepada Sunan Drajat.
Setelah Sunan Drajat wafat, beliau dimakamkan di dalam lingkungan padepokan atau pondok pesantren mini yang didirikan di atas bukit tersebut. Bekas pusat dakwah milik Sunan Drajat inilah yang sekarang dikenal dengan kompleks makam Sunan Drajat, yang banyak diziarahi oleh masyarakat dari berbagai daerah.
Kepurbakalaan kompleks makam Sunan Drajat ini keseluruhan bangunannya berlokasi di atas perbukitan kecil, sedang makam utamanya berada di bagian paling tinggi dan pada posisi belakang. Peziarah bisa mengunjungi makam tersebut melalui pintu yang berada di selatan. Bagi yang rombongan naik bis, dari parkir di sisi timur makam berjalan menuju ke selatan. Sedangkan, bagi pengendara sepeda motor bisa diparkir tepat di depan pintu masuk makam.
Menuju makam Sunan Drajat, peziarah akan melewati pintu gapura terbuat dari kayu berbentuk paduraksa, dengan ukuran tinggi 170 cm dan lebar 145 cm. Pintu gapura ini dikelilingi pagar-pagar kayu yang terartur rapi. Kemudian peziarah akan dipandu dengan jalan setapak dan sejumlah atribut tulisan penunjuk arah.
Selurus pintu gapura, peziarah akan menemui sebuah pendopo. Pendopo ini berfungsi untuk tempat melepas sandal atau sepatu bagi para pengunjung yang akan berziarah ke makam Sunan Drajat. Pendopo ini berukuran panjang 10 meter dan lebar 6 meter. Di kanan kiri pendopo ini terdapat makam lama yang diperkirakan adalah para santri Sunan Drajat selama berguru di bukit ini.
Setelah melewati pendopo, peziarah akan melewati gapura berbentuk candi bentar yang sudah tidak utuh lagi, dan terbuat dari batu bata. Candi bentar merupakan bangunan bagian candi yang berbentuk gapura yang terbelah secara sempurna tanpa penghubung pada bagian atas. Candi bentar telah ditemukan pada masa Hindu-Buddha, yaitu pada masa Majapahit yang kemudian berkelanjutan pada masa Islam. Berdasarkan maknanya, candi bentar mempunyai makna antara lain konsep penciptaan manusia dan sebagai pintu keluar dan pintu masuk menuju tempat yang dianggap suci atau sakral. Memasuki candi bentar ini, peziarah akan melewati tujuh tangga.
Di sebelah timur gapura bentar terdapat balai rante. Bangunan ini beratap sirap, dan bertiang 6 buah. Keseluruhan balai rante ini terbuat dari kayu. Konon, balai rante ini berasal dari Kerajaan Majapahit. Dikisahkan, setelah Kerajaan Majapahit mulai mengalami masa suram, maka tatanan pemerintahan pusat kacau. Sehingga, banyak merajalela pencurian dan perampokan termasuk hilangnya dua benda pusaka kerajaan yang dianggap sakral, yaitu balai rante dan bayang gambang. Beberapa tahun kemudian, benda peninggalan Majapahit tersebut ditemukan di tepi laut pesisir pantai utara, tepatnya di wilayah Desa Kemantren, Kecamatan Paciran. Akhirnya penduduk Kemantren menyerahkan balai rante ke Desa Drajat, sedangkan bayang gambang dipelihara dalam kompleks Masjid Jami’ Desa Kemantren hingga sekarang.
Langkah peziarah berikutnya adalah tangga yang terbuat dari bebatuan kapur sebanyak 10 undakan atau tangga. Sepuluh tangga ini diapit oleh gapura berbentuk paduraksa, namun gapuranya sudah rusak akibat gempa bumi yang terjadi pada tahun 1950. Setelah melewati gapura paduraksa ini, peziarah lanjut mendaki lagi dengan menaiki 3 undakan (anak tangga). Pada halaman ini terdapat bangunan berbentuk pendopo joglo yang tinggi dan luas di mana di tengah-tengahnya terdapat bangunan makam Sunan Drajat berbentuk cungkup yang beratap sirap dengan hiasan memolo atau mustaka di puncaknya.
Secara arsitektural, bentuk bangunan makam Sunan Drajat dibagi menjadi dua bagian, yaitu cungkup utama dan sitihinggil. Di dalam bangunan cungkup terdapat ruangan, yaitu ruang dalam tempat makam Sunan Drajat dan isterinya, dan ruang langkan yang berfungsi sebagai tempat berdoa para peziarah.
Jadi, cungkup yang merupakan bangunan utama makam Sunan Drajat ini terletak pada halaman paling belakang sebagai bangunan tersakral. Denah ini mengadopsi sistem punden berundak hasil akulturasi dari kepercayaan masyarakat sebelumnya, yaitu Hindu dan Buddha, di mana tempat yang paling tinggi merupakan tempat tersakral.
Setelah rangkaian nyekar Sunan Drajat paripurna, peziarah bisa menuju ke arah timut cungkup. Di situ ada replika surau yang didirikan oleh Sunan Drajat dan santrinya di lokasi asal surau tersebut. Di sebelah utara surau, terdapat sumur yang konon dibuat oleh Sunan Drajat. Di sekitaran surau dan sumur ini, udara terasa sejuk sekali karena adanya pohon beringin besar nan rindang.
Sambil menuju pintu keluar makam, peziarah akan melewati sebuah museum. Museum tersebut bernama Museum Khusus sunan Drajat. Dinamakan demikian karena koleksi yang dipamerkan pada museum tersebut berhubungan dengan Sunan Drajat. Peziarah bisa masuk ke dalam museum tersebut secara gratis, tapi bila tidak berkenan, peziarah bisa langsung keluar dari kompleks makam Sunan Drajat karena pintu keluarnya kebetulan berada di depan museum tersebut.
Pada pintu keluar ini, peziarah akan menuruni tangga yang kemudian terhubungan dengan halaman parkir yang sangat luas. Di antara undakan dengan halaman parkir tersebut, terdapat beberapa kios cindera mata maupun warung makan yang telah disediakan oleh Pemerintah Kabupaten Lamongan. *** [071115]

Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami