The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Lobu Tua. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lobu Tua. Tampilkan semua postingan

Riwayat Pohon Kapur Dari Barus

Sebatang pobon tumbuh menjulang di tengah kebun karet. Lingkar batangnya tak terjangkau pelukan tangan orang dewasa, menandakan umurnya yang tak muda. Bekas sayatan pada akar menghasilkan getah berwarna putih berbau harum. Daunnya yang kecil lonjong pun mengeluarkan aroma wangi.
“Inilah pohon kapur itu,” kata Jahiruddin Pasaribu, Kepala Desa Aek Dakka, Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Pohon kapur (Dryobalanops aromatic) dengan kulit berwarna merah kehitaman merupakan tanaman langka yang pernah memasyhurkan Pulau Suamtera sejak ribuan tahun silam.
Penelitian Claude Guillot dalam buku Barus Seribu Tahun yang Lalu (2008) menyebutkan, catatan tentang kamper yang tertua berasal dari awal abad ke-4 Masehi. Catatan ini terdapat dalam kumpulan dokumen yang disebut “Surat-surat Lama” yang ditemukan di Dunhuang (China) dan ditulis pedagang Sogdian yang menelusuri jalur sutra dengan istilah berdasarkan pada ejaan China, “kprwh”.
Istilah kamper, menurut Guillot, juga dimuat dalam kronik Dinasti Liang, China (502 – 557). “Sumber ini menarik sekali karena kamper dinamakan kamper Po-lu, satu nama tempat yang biasa disamakan dengan Barus,” tulis Guillot.
Catatan pertama mengenai kamper di dunia Barat terdapat dalam karya Actius dari Amida (502 – 578 M), dokter Yunani yang tinggal di Mesopotamia. Juga dilaporkan, tahun 638 ketika pasukan Arab merebut Istana Chosroes II di Madan, tepi Sungai Tigris, ditemukan sejumlah tempayan berisi kamper yang pada mulanya dikira garam.
Pada abad ke-9, ahli kimia dari Arab, Al-Kindi, menulis tentang manfaat dan pembuatan kapur barus dalam Kitab Kimiya’ al-‘Itr. Catatan ini semakin menguatkan popularitas kapur barus.
Hingga era kolonial, kapur barus masih menjadi komoditas menarik. Seperti disebut William Marsden, pegawai pemerintah kolonial Inggris di Bengkulu, dalam bukunya, History of Sumatera (1783), kapur barus memiliki peran penting dalam perdagangan di Sumatera.
Menurut catatan Marsden, harga kapur barus saat itu sekitar 6 dollar Spanyol per pon (0,5 kg). Harga ini sama dengan harga emas di Sumatera saat itu. Di pasaran China, harga kapur barus lebih mahal, 9-12 dollar Spanyol per pon.
Marsden menyebutkan, perdagangan kapur barus saat itu dimonopoli orang-orang Aceh yang bermukim di Singkel (Singkil). “Mereka (orang Aceh) menjual kepada orang Batak, selanjutnya dibeli orang China dan Eropa,” tulis Marsden.
Tingginya harga kapur barus saat itu karena banyak permintaan. “Kapur barus adalah obat berkhasiat yang membuat Sumatera dan Kalimantan termasyhur di kalangan tabib  Arab,” ujar Marsden.
Selain tingginya permintaan, menurut Marsden, mahalnya harga juga disebabkan kesulitan mendapatkan kapur barus. Marsden menyebutkan, pohon kapur atau kamper memang banyak ditemukan di bagian utara Pulau Sumatera, terutama di hutan-hutan dekat pesisir. Namun, tak semua pohon bisa menghasilkan kapur barus.
“Setiap rombongan pencari kapur barus biasanya ditemani seorang ahli ‘sihir’ yang dapat menentukan mana pohon (kamper) yang ada kapur barusnya,” sebut Marsden. “Sering orang-orang pencari kapur barus itu menjelajahi hutan selama 2-3 bulan tidak mendapatkan hasil memuaskan.”
Pohon yang telah ditebang, menurut Marsden, akan dikelompokkan dalam gelondongan-gelondongan kecil. Jika gelondongan itu mengandung kapur barus, minyak kapur barus mentah tinggal diambil dari bagian tengah kayu tersebut. Kapur barus berbentuk Kristal besar dan hampir transparan disebut kepala, yang lebih kecil dengan potongan yang bersih disebut perut, dan potongan kecil yang digerus dari kayunya langsung disebut kaki. Penamaan ini dibuat sesuai khasiatnya untuk obat.
Marsden juga menyebutkan, selain kapur yang diambil dari bentuk Kristal, pohon kapur juga akan mengeluarkan cairan minyak saat ditebang. Setelah dipanaskan di terik matahari selama seminggu, akan terlihat seperti kapur barus asli. “Tetapi, ini jenis kapur barus paling jelek,” tulis Marsden.
Mac Donald dalam makalah Hasil-hasil Alamiah Sumatera yang dimuat dalam Asiatic Volume VI, tahun 1795, menyebutkan, ada atau tidaknya Kristal kapur dalam pohon kapur bergantung pada usianya. Semakin tua pohon kapur, minyak di dalam pohon akan mengeras sehingga membentuk kapur yang lebih banyak.

Sintetis
Tingginya harga kapur barus membuat orang sejak dulu berupaya membuat tiruannya. Marsden mencatat, tahun 1700-an, pembuatan kapur barus tiruan telah dilakukan orang-orang China dan Jepang. “Kapur tiruan dikirim ke Belanda dan diperhalus sampai menyerupai aslinya,” tulis Marsden.
Belakangan diketahui, kapur dari China dan Jepang itu berasal dari tumbuhan yang berbeda. Pohon kapur dari China dari jenis Cinnamomum camphora, yang dari Jepang dari jenis Laurus camphora. Dalam Encyclopedia Britannica disebutkan, untuk menghasilkan kamper dari Cinnamomum camphora, potongan batang kayu ini harus disuling. Kandungan minyak kamper dalam kayu ini sekitar 5 persen. Dalam sumber yang sama disebutkan, sejak awal tahun 1930-an, kapur barus telah dibuat tiruannya dari alfa-pinene, zat organik yang disuling dari jenis pohon cemara.
Penemuan kamper sintetis berbahan dasar minyak pohon-pohon lain itu membuat harga kapur barus nyaris tak bernilai lagi. Kapur barus dengan mudah ditemukan dan harganya relatif murah. Kapur barus biasa digunakan untuk mengusir bau dan serangga.

Bahan bangunan
Walau pernah sangat populer, keberadaan pohon kapur saat ini semakin langka. Beberapa pohon kapur yang ada pun tak menghasilkan kapur barus. “Sekarang tak ada lagi pawang yang mengetahui pohon kapur mana yang ada kapur barusnya,” kata Camat Barus Safwan Pohan.
Safwan mengatakan, masyarakat Barus hanya mengenal pembuatan minyak dari kayu kapur yang dalam istilah lokal disebut minyak umbil. Namun, Kristal kapur barus yang langsung diambil dari batang kayu kamper saat ditebang tak pernah ditemukan lagi.
“Terakhir kali saya melihat kapur barus waktu remaja, tahun 1980-an. Bentuknya seperti garam, Kristal, berwarna putih,” kata Safwan. “Ayah saya yang bekerja di perusahaan kayu kebetulan mendapatkan. Waktu itu ada penebangan hutan besar-besaran di Barus.”
Anggota Satgas Dinas Kehutanan Tapanuli Tengah untuk Wilayah Sosor Gadong dan Barus, Tony Herbert Panggabean, mengatakan, pohon kapur nyaris punah akibat maraknya pembabatan hutan di Barus dan Singkil tahun 1970-an hingga 1990-an. Padahal, kedua kawasan ini yang jadi habitat alami pohon kapur. “Kualitas kayu kamper sangat bagus. Serangga dan rayap tak doyan sehingga kayu ini termasuk yang diburu untuk bahan bangunan,” katanya.
Sisa-sisa kayu kapur yang terpendam di rawa-rawa pun diburu. Ari (46), warga Desa Siordang, mengatakan, kayu-kayu kapur yang terpendam dalam tanah banyak dicari sebagai bahan bangunan. Kayu-kayu itu berasal dari pohon yang tumbang atau ditebang dan terbenam dalam tanah selama beberapa tahun.
“Kayu kapur bila terpendam dalam tanah semakin kuat,” kata Ari yang sebagian kedainya menggunakan konstruksi kayu kapur. Ari mengatakan, harga per meter kubik kayu kapur yang sudah terpendam Rp 3 juta – Rp 3,5 juta.
Setelah kayu kapur nyaris habis, kini Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah berupaya menanam kembali kapur barus. “Kami diperintahkan mengumpulkan bibit kayu kapur. Tapi di mana mencarinya?” kata Safwan. (AHMAD ARIF dan INGKI RINALDI) ***

Sumber:
*) KOMPAS edisi Sabtu, 26 Mei 2012 hal. 14
  
Share:

Gergasi, Tsunami Dari Samudra Hindia

Perjalanan menyusuri tepian Samudra Hindia, dituntun catatan tentang kejayaan masa lalu, hanya untuk menemui kenyataan: kota-kota yang pudar cahayanya. Barus dan Singkil telah tamat. Padang, Bengkulu, dan Aceh berada dalam bayangan tsunami.
Barus di tepian pantai barat Sumatera pernah menjadi kota yang sedemikian populer. Para pelaut Arab pada abad ke-7 hingga ke 11 menyebut pelabuhan itu Barus, Fansur, Pansur, atau Panchur.
Catatan lebih tua dari para pelaut China menyebut Barus sebagai P’o lu. Disebutkan, pendeta Buddha, I Tsing, dalam perjalanan ke India pada abad ke-7 singgah di tempat bernama P’o-lu-shih di dekat Sribhoga. Ini merupakan pelabuhan terakhir setelah Selat Malaka sebelum menyeberangi Samudra Hindia menuju India.
Catatan tertua mengenai Barus terdapat dalam kitab Geographia yang dibuat Claudius Ptolomeus pada bad ke-2, berdasarkan keterangan para pedagang India. Ptolomeus menyebut Barus sebagai Barousai.
Di pelabuhan yang berada di tepian Samudra Hindia itulah kapal-kapal dagang dari sejumlah negara mencari komoditas berharga, seperti kapur barus, emas, dan madu. Di Barus saat itu diperkirakan berkembang komunitas dagang multietnis.
Temuan prasasti berbahasa Tamil pada 1872 oleh pejabat Belanda, GJJ Deutz, menguatkan hal ini. Prasasti bertahun Saka 1010 atau 1088 Masehi ini, antara lain, menyebutkan tentang perkumpulan dagang suku Tamil sebanyak 1.500 orang di Lobu Tua, Barus, yang memiliki pasukan keamanan dan aturan perdagangan.
Panggilan tim gabungan dari Lembaga Kajian Perancis tentang Asia (Ecole française d’Extrême-Orient/EFEO) Perancis dengan peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) pada 1995 – 2000 menemukan keragaman artefak di Lobu Tua, mulai dari barang-barang buatan China, India, hingga Arab.
Namun, jejak Barus tiba-tiba menghilang sekitar abad ke-12. Pada abad itu, jejak peninggalan Barus yang sebelumnya tersebar luas tiba-tiba lenyap.
Claude Guillot dalam buku Barus Seribu Tahun yang Lalu (2008) menyebutkan, kehancuran Barus karena serangan gergasi. Cerita local menyebutkan, gergasi adalah sosok raksasa yang dating dari lautan.
Setelah hilang tiba-tiba pada sekitar abad ke-12, Barus kembali muncul sekitar empat abad kemudian. Jane Drakard dalam An Indian Ocean Port: Sources for the Earlier History of Barus (1989) menyebutkan, nama Barus dan Fansur kembali disebutkan dalam berbagai catatan pada abad ke-16 hingga abad ke-17. Selain Barus, kota tetangganya, Singkil (dulu disebut Singkel), juga berkembang pesat. Kapal-kapal dagang Belanda, Inggris, dan Portugis berlomba ke Barus dalam perburuan rempah-rempah dan hasil hutan.

Jejak tsunami
Selama ini, hilangnya Barus secara tiba-tiba pada abad ke-12 masih menjadi misteri. Sosok gergasi yang disebutkan Claude Guillot juga mengundang banyak tafsir. Sonny Ch Wibisono, peneliti Puslit Arkenas, menyebutkan, banyak ahli menafsirkan sosok gergasi ini adalah bajak laut yang pada periode itu menguasai perairan Nusantara.
Namun, setelah gelombang tsunami menggulung pantai barat Aceh pada 26 Desember 2004, mulai muncul kesadaran baru bahwa bencana alam itu berperan penting mengubah jalannya sejarah di pantai barat. Petaka delapan tahun lalu itu membuka kesadaran tentang rapuhnya kota-kota yang berada di depan zona penunjaman lempeng ini.
Penelitian Kerry Sieh dari California Institute of Technology sejak 1994 menemukan, wilayah zona subduksi pantai barat Sunatera Sumatera memilik riwayat panjang gempa dan tsunami. Menurut dia, gempa. Menurut dia, gempa dan tsunami pernah terjadi di wilayah ini pada 1381, 1608, 1797, dan yang terakhir tahun 1833.
Belakangan, pada 2008, Widjo Kongko, ahli tsunami dari Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dan Katrin Monecke dari Kent State University serta lima peneliti lain menemukan jejak tsunami raksasa pernah terjadi tahun 1290 – 1400. Dari temuan deposit tsunami yang tersebar luas, mulai dari Meulaboh hingga Thailand, Widjo memperkirakan, tsunami pada tahun tersebut sekuat dengan yang melanda Aceh pada 2004.
Apakah Barus yang tiba-tiba menghilang pada abad ke-12 itu disebabkan tsunami yang depositnya ditemukan Widjo dan timnya?
“Bisa jadi memang tsunami pernah melanda Barus,” kata Wibisono. Apalagi, dia menemukan, ada perpindahan masyarakat Barus pada masa lalu kea rah bukit. Temuan yang berusia lebih muda, sekitar abad ke-14, kebanyakan ada di sekitar Bukit Hasang.
Jejak tsunami ini pula yang kami temukan saat melihat lokasi penemuan peninggalan arkeologi di Lobu Tua. Hamparan pasir laut memenuhi kebun kopi dan kelapa, sejarak 2 kilometer dari laut. Kawasan ini pernah digali oleh arkeolog dari EFEO Perancis dan Puslit Arkenas.

Jauh dari pantai
Sebelum kedatangan colonial Barat, permukiman pribumi di pantai barat Sumatera kebanyakan menjauh dari laut. Misalnya, Kota Padang di Sumatera Barat. “Dulu, kota-kota di pantai barat Sumatera ada di hulu-hulu sungai, tidak di tepi pantai,” kata arsitek dan ahli tata kota dari Universitas Bung Hatta Padang, Eko Alvares.
Dia mencontohkan, Kota Padang dalam peta Belanda yang dibuat tahun 1781 menunjukkan, lokasi permukiman pribumi berada di sisi selatan Batang Arau di kaki Gunung Padang (Apenberg). Permukiman itu berjarak 1-2 kilometer menjauh dari pantai. Baru setelah kedatangan Belanda, lambat laun permukiman mendekati pantai.
Dalam pengantar buku Witnesses to Sumatra: A Travellers’ Anthology (1995), sejarawan Australian National University, Anthony Reid juga menyebutkan bahwa jantung peradaban Pulau Sumatera sebenarnya ada di pedalaman di sepanjang Bukit Barisan. Masyarakat pribumi Sumatera hanya mendekati pantai untuk berdagang.
Berbagai keeping informasi ini semakin menguatkan tentang jejak tsunami yang barangkali berperan besar dalam evolusi bandar-bandar besar di pantai barat Sumatera pada masa lalu.
Bayangan tsunami pula yang saat ini menghantui Kota Padang dan Bengkulu, dua bandar terbesar di pantai barat Sumatera. Belajar dari sejarah, masa depan dua kota ini tergantung dari kesiapsiagaan dalam menghadapi ancaman gergasi atau raksasa dari laut. (AHMAD ARIF dan AGUNG SETYAHADI) ***

Sumber:
*) KOMPAS edisi  Sabtu, 26 Mei 2012 hal. 1 dan 15.
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami