Kawasan
Ampel muncul semenjak Raden Rahmat atau Sunan Ampel membentuk komunitas
masyarakat muslim. Tahun 1420, Raden Rahmat menjadikan Ampel sebagai pusat
penyebaran Islam di Surabaya dan Jawa Timur atas legitimasi Majapahit. Kendati
awalnya sebatas berada di sekitar Masjid Sunan Ampel, akan tetapi lama-kelamaan
daerah sekitarnya pun akhirnya tumbuh kembang.
Di
perkampungan itu banyak juga komunitas keturunan Arab yang bermukim. Komunitas
keturunan Arab mencapai jumlah 70 persen, sisanya merupakan suku Madura yang
telah lama bermukim dan menetap di Ampel. Orang-orang Arab di Ampel merupakan
keturunan Arab dari Yaman atau juga dikenal dengan istilah Hadramaut. Mereka
turun-temurun bermukim di Ampel dan menyatu dengan masyarakat setempat. Konon,
migrasi orang-orang Yaman ke Ampel disebabkan karena perdagangan sekaligus
dengan motivasi penyebaran agama Islam, sehingga hasil dari penggabungan
perdagangan dan penyebaran agama menghasilkan asimilasi yang unik dan khas di
mana secara sosio-kultural merupakan sub-etnik Arab akan tetapi dalam
kesehariannya mewujudkan diri dalam tampilan budaya setempat.
Ketika
pendatang Arab mendarat di pelabuhan Surabaya, mereka memilih bermukim di
seputaran kompleks Masjid Sunan Ampel. Sehingga, akhirnya kawasan tersebut
identik dengan Kampung Arab (Arabisch Kamp). Kampung Arab ini berdiri di
sepanjang Kali Mas. Sebuah peta kuno yang dibuat oleh VOC pada tahun 1677
memperlihatkan bahwa hampir seluruh aktivitas di kota ini terpusat di sepanjang
muara Kali Mas. Peta tersebut memperlihatkan rumah-rumah dibangun
berderet-deret di kanan dan kiri muara sungai serta masuk satu atau dua
kilometer ke daratan. Jika dibandingkan dengan peta yang dibuat belakangan,
maka peta tahun 1677 tersebut memperlihatkan bahwa batas paling selatan Kota
Surabaya pada waktu itu masih di sekitar alun-alun yang pada masa kolonial
terkenal dengan Kebon Rojo.
Sehingga
diperkirakan pada awal abad 18, kawasan tersebut telah berubah menjadi kawasan
yang majemuk. Selain Arabisch Kamp, ada juga Chinese Kamp maupun Malaise
Kamp, pada saat itu juga mulai memiliki kesadaran untuk menjadi kota
industri. Tak bisa dielakkan, industri terus berkembang. Seorang usahawan
Belanda mendirikan bengkel konstruksi di Kampemenstraat
(sekarang Jalan KH Mas Mansyur). Pada tahun-tahun berikutnya menyusul dibangun
bengkel-bengkel konstruksi lainnya. Pembuatan ketel dan mesin untuk menyuplai
pabrik gula dipusatkan di daerah kota bawah (sekitar Jembatan Merah). Bengkel
untuk mendukung keperluan angkutan laut dibangun di Ujung pada 1849.
Perkembangan
di Kampemenstraat ini, menjadikan
pemerintah Hindia Belanda juga membuka jalur trem yang dikelola oleh Oost Java Stroomtrem Maatschappij (OJS)
yang berada antara jalur Ujung dan Sepanjang. Rute jalur trem uap ini meliputi
Sepanjang-Wonokromo-Pasar Turi-Bibis-Bongkaran-Kampemenstraat-Ujung.
Jalur-jalur trem tersebut diresmikan secara bertahap pada periode 1890-1899 dan
sejak 1910 trem listrik mulai digunakan dalam Kota Surabaya.
ini selaras dengan yang dirumuskan oleh Charles Horton Cooley yang menyebutkan bahwa tempat-tempat di mana terjadi pergantian moda transportasi memiliki kecenderungan paling besar untuk tumbuh menjadi kota, karena di tempat-tempat itulah akan berkumpul massa yang cukup besar yang mampu memancing terbentuknya aglomerasi. Seiring itu pula, kawasan Ampel semakin masyhur lantaran banyaknya peziarah yang mengunjungi kompleks makam dan Masjid Sunan Ampel. Situasi tersebut menyebabkan banyak masyarakat yang mulai membangun hotel atau penginapan di daerah ini. Salah satunya adalah Hotel Kemajuan.
Hotel
Kemajuan terletak di Jalan KH Mas Mansyur No. 96 RT.06 RW.04 Kelurahan Ampel,
Kecamatan Semampir, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur, atau tepatnya berada di
sebelah barat daya dari kompleks makam maupun Masjid Sunan Ampel. Dulu daerah
hotel ini dikenal dengan Kampemenstraat, akan tetapi sejak zaman Republik
Indonesia Serikat (1949-1951) namanya diganti menjadi Jalan KH Mas Mansyur,
sebuah jalan di mana terletak kampong kelahiran Mas Mansyur yang diapit oleh
Kali Mas dan Kali Pegirian.
Sesuai
yang tertulis di dinding depan, hotel ini didirikan pada tahun 1928 oleh
beberapa tokoh organisasi Al Irsyad. Tujuan pembangunan hotel tersebut adalah
untuk mendanai sekolah yang dikelola oleh Al Irsyad.
Hotel
Kemajuan tergolong hotel kuno namun tetap ramai dan diminati hingga kini.
Karena selain harganya terjangkau, hotel ini telah turun-temurun menjadi
persinggahan para pedagang dari luar Pulau Jawa yang akan kulakan bahan dagangannya untuk dijual ke daerah asal mereka. Tidak
hanya itu saja, yang menginap di hotel ini bisa merasakan sensasi kuliner ala
Timur Tengah, seperti kambing oven, kebab, nasi kebuli, nasi briyani, nasi
kabsa, nasi buchori, roti cane dan gulai maryam, dan masih banyak lagi. *** [180114]
Kepustakaan:
Darul Aqsha, 2008, Kiai Haji Mas Mansur (1896-1946):
Perjuangan dan Pemikiran, Jakarta: Penerbit Erlangga
Handinoto. 1996. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial
Belanda di Surabaya 1870-1940. Diterbitkan atas Kerja Sama
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra
Surabaya dan Penerbit Andi. Yogyakarta: Andi Offset
Purnawan Basundoro, 1999, Transportasi
dan Ekonomi di Karesidenan Banyumas Tahun 1830-1940, Tesis Program
Studi Sejarah, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar