Desa
Banyubiru merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Banyubiru,
Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Desa Banyubiru adalah desa agraris,
baik pertanian basah maupun pertanian kering. Selain itu, Desa Banyubiru juga
memiliki sektor unggulan lainnya, berupa sektor peternakan. Sektor peternakan
yang dikembangkan di desa ini, di antaranya sapi potong, itik, kambing dan
beberapa ternak lainnya.
Berdasarkan
data administrasi pemerintahan Desa Banyubiru tahun 2010, jumlah penduduknya
adalah 8.451 orang dengan luas wilayah sekitar 677.087 hektar, yang terdiri
atas 9 dusun, yaitu Dusun Krajan, Dusun Kampung Rapet, Dusun Randusari, Dusun
Tegalwuni, Dusun Cerbonan, Dusun Demakan, Dusun Pancuran, dan Dusun Dangkel.
Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani yang didukung oleh
lingkungan alam yang menopang pertanian.
Jarak
tempuh Desa Banyubiru ke ibu kota Kecamatan Banyubiru yaitu sekitar 0,4 kilometer.
Sedang jarak ke ibu kota Kabupaten Semarang adalah sekitar 30 kilometer.
Secara
administratif, Desa Banyubiru dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Di
sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Pojok Sari. Di sebelah barat
berbatasan dengan Desa Rapah dan Desa Brongkol. Di sisi selatan berbatasan
dengan Desa Wirogomo, sedangkan di sisi timur berbatasan dengan Desa Kebondowo.
Dalam
Profil Desa Banyubiru, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, yang disusun
oleh Tim Perumus Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Tahun 2010
– 2014, diceriterakan bahwa Desa Banyubiru
adalah salah satu desa penyangga Kecamatan Banyubiru yang keberadaannya sudah
ada sejak zaman Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Pajang hingga Mataram. Memang
tidak ada bukti tertulis seperti piagam atau prasasti secara implisit, namun
dilihat dari beberapa peninggalan situs sejarah yang ada menunjukkan bahwa kala
itu eksistensi Desa Banyubiru memang ada. Berdasarkan babad yang berkembang di
sana, Desa Banyubiru pernah mendapat sebutan ”Tanah Perdikan Banyubiru” dari
Kerajaan Demak. Tanah perdikan merupakan
sebidang tanah yang diberi hak istimewa dengan tidak di punguti pajak.
Biasanya, tanah perdikan diberikan kepada orang-orang yang berjasa kepada sang
raja yang memerintah, atau juga biasa diberikan kepada para pendeta-pendeta Hindu
pada saat itu. Daerah tanah perdikan yang diberikan kepada pendeta-pendeta
Hindu biasanya dibangun candi atau lingga. Masyarakat di sekitar candi
diberikan keistimewaan untuk tidak membayar pajak dengan syarat, mereka harus
menjaga dan merawat candi tersebut. Namun, kalau untuk Desa Banyubiru
menjadi tanah perdikan, disebabkan karena pendiri
Banyubiru yaitu Ki Ageng Sora Dipoyono adalah seorang panglima perang di bawah Adipati
Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor pada waktu perang Malaka mengusir penjajah Portugis
tahun 1480-1521, sehingga mendapatkan penghargaan memimpin suatu daerah, yaitu
Tanah Banyubiru dengan status tanah perdikan karena pengabdian yang luar biasa pada
Kerajaan Demak pada saat itu. Tanah perdikan ini biasanya dikenal dengan
istilah sima di kala Kerajaan Hindu
masih eksis.
Mengenai babad Banyubiru ini sebenarnya telah
dinovelkan di bawah karya S.H. Mintardja yang awalnya dimuat setiap hari di
Kedaulatan Rakyat (KR) pada tahun 196, dan pada 1982 serta 2005 telah
diterbitkan dalam bentuk buku. Karya ceritera
Nagasasra-Sabuk Inten kadang dinilai sebagai karya sastra yang tidak “mutu”
namun pencapaiannya ternyata sulit untuk ditandingi oleh novel lain. Dalam alur
ceritanya, kisah Nagasasra-Sabuk Inten ini cenderung menceriterakan tentang
perebutan kekuasaan di Tanah Perdikan Banyubiru, sedangkan kemelut di Demak
Bintoro hanya sebagai latar belakang.
Keberadaan Desa Banyubiru pada zaman Perang
Diponegoro juga ikut melawan penjajah Belanda sampai pada masa perang
kemerdekaan, hal itu ditunjukan dengan beberapa bangunan sebagai tanda atau
bukti, salah satu buktinya adalah peninggalan makam Kyai Joyoproyo, salah satu
pengikut setia Pangeran Diponegoro, serta bukti lain ikut melawan penjajahan
Belanda adalah adanya sejumlah veteran Perang Kemerdekaan.
Dulu, Desa Banyubiru merupakan daerah yang
sangat strategis sehingga digunakan Belanda untuk benteng pertahanan. Di Banyubiru,
Belanda membangun Asrama Batalion Kavaleri sebagai pasukan pemukul terhadap
pemberontakan, namun masyarakat Banyubiru tak gentar, mereka juga andil pada
perjuangan melawan penjajah Belanda.
Setelah perang kemerdekaan, Desa Banyubiru
seperti desa-desa di sekitarnya di bawah Pemerintahan Republik Indonesia yang
secara umum termuat dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam lingkup Provinsi
Jawa Tengah dan Undang-Undang Nomor 67
tahun 1958 tentang Pembentukan Wilayah
Kotapraja Salatiga Dan Daerah Swatantra Tingkat II Semarang.
Dan, dalam secuil catatan sejarah, yang
menjadi kepala desa yang pertama adalah Demang Raden Ngabehi Proyo Diwongso.
Masa kepemimpinannya diperkirakan pada masa Perang Diponegoro. ***
Minta informasi , tempat makam mbah hasan banyubiru dimana ya? Anda bisa hubungi di www.facebook.com/radenkhasan atau kirim sms pada 085234362223
BalasHapusKalau tidak salah itu daerah kelurahan tegaron...
BalasHapusapa ada sejarah asal usul nama karang padang, banyu biru, salatiga?
BalasHapus