The Story of Indonesian Heritage

Museum Radyapustaka

Pada hari Rabu, 6 Juli 2011 saya mengantar anak berkunjung ke Museum Radyapustaka. Permintaan ini sebenarnya sudah lama, namun karena kesibukan penelitian di lapangan kala itu, baru kali ini saya bisa memenuhi  keinginan anak. Kunjungan ke museum tersebut sebenarnya bermula dari pertanyaan anak saya, “Bapak, di dalam museum itu isinya apa to?”
Museum tertua di Indonesia tersebut terletak di Jl. Slamet Riyadi, Surakarta, bersebelahan dengan Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Surakarta. Lokasinya yang strategis dan menyatu dengan Taman Sriwedari, memudahkan pengunjung dari berbagai daerah bisa menjumpainya dengan berbagai moda transportasi darat.
Kenapa kita musti ke museum? Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro dalam Seminar Satu Hari Museum Artha Suaka Bank Indonesia di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2005, menyebutkan bahwa museum mempunyai manfaat bagi masyarakat, yaitu: sebagai pusat warisan yang harus dipelihara dan dikembangkan, sebagai pusat pengenalan dan pembelajaran, sebagai pusat penelitian, sebagai pusat pertemuan masyarakat (community center) dan institusi pariwisata.
Sehingga tidak ada ruginya kita mengajak keluarga, handa taulan maupun kerabat berkunjung ke museum Radyapustaka ini. Selain bisa menyaksikan benda purbakala atau cagar budaya, juga bisa mencari buku-buku kuno di perpustakaan yang berada di tengah Museum Radyapustaka. Koleksinya lumayan banyak dan yang paling bikin betah di sana karena layanan dari pustakawan di sana sangat bagus. Kita baru bertanya keyword yang mau kita butuhkan, mereka sudah bisa mencarikan apa yang kita inginkan meski saat ini perputakaan tersebut tengah menyelesaikan katalogisasi dan menuju proses digitalisasi naskah.
Dari perpustakaan tersebut, saya berusaha meresume dari berbagai sumber untuk mengetahui sejarah singkat riwayat museum Radyapustaka:


Paheman Radyapustaka (PR) adalah suatu lembaga ilmu pengetahuan, didirikan pada tanggal 28 Oktober 1890 (masih zaman Raja Surakarta, Paku Buwono IX). Pendiri pertama ialah mendiang Kanjeng Raden Adipati (KRA) Sosrodiningrat IV, seorang Patih Keraton Surakarta Hadiningrat. Di kota Sala (orang luar daerah sering menyebutnya dengan Solo), beliau terkenal dengan sebutan Kanjeng Indraprasta, seorang prajawan yang besar minatnya terhadap ilmu kebudayaan.
Sejak lahirnya PR memang telah berbentuk lembaga swatantra (otonomi), lengkap dengan perpustakaan dan museumnya. Pengurus dipilih oleh anggota. Ketua pertama kala itu, terpilih Radeh Tumenggung Haryo (RTH) Djojodiningrat. Anggota-anggotanya terdiri dari para guru dan para karya yang dipandang memiliki keahlian di dalam pekerjaan yang ada sangkut pautnya dengan ilmu dan kebudayaan. Para anggota tidak diwajibkan membayar uang iuran, hanya diminta kesanggupannya ikut bersama-sama, memelihara kelangsungan lembaga. Pelaksana pekerjaan sehari-hari pada waktu itu yaitu Raden Mas (RM) Suwito.


Perlu kita ingat, bahwa pada waktu itu PR telah memelopori menerbitkan majalah bulanan bahasa Jawa, berisi artikel-artikel tentang pengetahuan dan kebudayaan, bernama Sasadara dan Candrakanta, beberapa kitab kesusasteraan Jawa telah dapat diterbitkan pula dan juga kursus pedalangan yang diberi nama Padha Suka, singkatan dari Pamulangan Dhalang Surakarta, mulai tahun 1923 sampai dengan tahun 1942. Pengajarnya kala itu, Raden Ngabehi Lebdocarito dan Raden Ngabehi Dutodiprojo. Selain itu juga mengadakan kursus memainkan gamelan (nabuh) dan kursus bahasa Kawi. Pada tahun 1922 pernah mengadakan sarasehan mengenai aturan surat menyurat dalam bahasa Jawa (tatananing penyerat Jawi).
Pada tanggal 1 Januari 1913, Radyapustaka dipindah tempatnya dari Kepatihan ke gedung Kadipala, yaitu gedungnya sekarang ini untuk melaksanakan tugas hidupnya lebih lanjut.
Gedung Kadipala itu semula milik seorang Belanda bernama Johannes Busselaar. Gedung itu dibeli oleh Raja Surakarta, yang kala itu bertahtalah Paku Buwono IX, dengan perantara onder-major Raden Mas Tumenggung (RMT) Wiryodiningrat, melalui seorang Belanda bernama Donald Soesman tercantum dalam akta notaris tanggal 13 Juli 1877 No.10 seharga 65.000 gulden. Menurut meetbriefnya dd 22 Februari 1864, tanah eigendom, dengan batas-batas sebagai berikut:
• Utara: sebelah selatan Jl. Purwosari timur (sekarang Jl. Slamet Riyadi) mulai jalan kecil ke Barat, kurang lebih 115 meter.
• Timur: mulai jalan besar ke Selatan sampai jalan kecil, kurang lebih 168 meter.
• Barat:mulai jalan besar ke Selatan, kurang lebih 173 meter.
• Selatan: dari Timur ke Barat, kurang lebih 78 meter.
Bentuk gedung dan rumah-rumah sisinya sampai sekarang ini belum berubah, hanya bekas rumah keretalah yang oleh Radyapustaka dibangun menjadi Walidyasasana. Dan bekas kamar mandi di dalam rumah, dijadikan kantor untuk Ketua, sedang rumah sisi sebelah barat dipinjam Sriwedari pada waktu Kanjeng Raden Mas Tumenggung (KRMT) Purwodiningrat menjadi pembesarnya, termuat dalam surat tertanggal 12 November 1931 No.130/5. [060711]

Kepustakaan:
 R.M Sajid, 1984, Babad Sala, Rekso Pustoko Mangkunegaran: Solo, hal.79.
 _______, ____, Nawawindu Radyapustaka 1820 EHE 1890, __________. [221211]


Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami