Kesempatan berkunjung ke Bima terlaksana lantaran adanya The Study of Evaluation of Water Supply and Sanitation Project for Low Income Communities in Nusa Tenggara Barat. Pada waktu itu, saya mendapat tugas sebagai moderator untuk melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) selama sebulan lebih. Rata-rata saya di lapangan memerlukan waktu selama lima hari di setiap wilayah pencacahan (enumeration area) yang telah ditetapkan, terus moving ke tempat lain.
Kebetulan dari wilayah pencacahan (wilcah) yang dikunjungi terdapat di dua pula, yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Pada saat jadwal FGD di Pulau Sumbawa inilah saya berkesempatan mengunjungi sebuah museum yang ada di Kota Bima. Namanya Museum Asi Mbojo. Museum ini terletak di Jalan Sultan Ibrahim No. 2 RT. 08 RW. 03 Kelurahan Paruga, Kecamatan Rasanae Barat, Kota Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Lokasi museum ini berada di sebelah timur Alun-alun Kota Bima, atau timur laut Masjid Muhammad Salahuddin.
Pada awalnya Museum Asi Mbojo ini merupakan bangunan istana dari Kesultanan Bima. Asi dalam bahasa setempat berarti istana, sedangkan Mbojo adalah sebutan orang-orang (suku) Bima. Sehingga, Museum Asi Mbojo adalah Museum Istana Bima.
Kebetulan dari wilayah pencacahan (wilcah) yang dikunjungi terdapat di dua pula, yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Pada saat jadwal FGD di Pulau Sumbawa inilah saya berkesempatan mengunjungi sebuah museum yang ada di Kota Bima. Namanya Museum Asi Mbojo. Museum ini terletak di Jalan Sultan Ibrahim No. 2 RT. 08 RW. 03 Kelurahan Paruga, Kecamatan Rasanae Barat, Kota Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Lokasi museum ini berada di sebelah timur Alun-alun Kota Bima, atau timur laut Masjid Muhammad Salahuddin.
Pada awalnya Museum Asi Mbojo ini merupakan bangunan istana dari Kesultanan Bima. Asi dalam bahasa setempat berarti istana, sedangkan Mbojo adalah sebutan orang-orang (suku) Bima. Sehingga, Museum Asi Mbojo adalah Museum Istana Bima.
Bangunan istana ini dibangun pada tahun 1927 oleh seorang arsitek Belanda bernama Obzischteer Rehatta dan sebagian didesain oleh Sultan Muhammad Salahuddin sendiri (sultan terakhir dari Kesultanan Bima), sehingga konstruksi bangunannya bercorak campuran gaya Eropa dan Bima. Dengan berakhirnya masa kesultanan pada tahun 1951/1952, kemegahan istana ini juga mulai sirna. Pada tahun 1980 di saat pemerintahan Bupati H. Oemarharoen, B.Sc, istana yang hampir runtuh ini segera diperbaiki dan dipugar.
Pada 10 Agustus 1989 bangunan istana ini dialihfungsikan menjadi Museum Asi Mbojo yang diresmikan oleh Gubernur Nusa Tenggara Barat H. Warsito dan Bupati Bima H. Oemarharoen, B.Sc. Lalu, pada 14 Januari 1997 diadakan renovasi dan penataan ulang benda-benda pusaka peninggalan kerajaan yang diresmikan oleh Bupati Bima Adi Haryanto, dan pada bulan Maret 2008 menjadi UPTD Museum Asi Mbojo.
Museum ini memiliki luas bangunan dengan ukuran 6 x 18 meter di mana tanah yang ditempati seluas 167 x 184 meter. Sesuai dengan fungsi bangunan ini sebelumnya, maka ruang pamer untuk memajang benda-benda yang menjadi koleksi museum ini yaitu dengan memanfaatkan beberapa ruangan yang terdapat dalam Istana Bima.
Dengan dipandu oleh petugas museum, pengunjung memasuki ruang pamer dari pintu utama yang berada di sebelah utara. Pada lantai satu, pengunjung bisa melihat koleksi benda pusaka, benda-benda perkakas, dan baju-baju peninggalan masyarakat pada zaman kerajaan dan kesultanan. Dulu, bangunan lantai satu ini merupakan kantor pusat pemerintahan Kabupaten Bima dari tahun 1951 hingga tahun 1960.
Melangkah ke lantai dua, pengunjung akan melihat kamar yang pernah digunakan sultan maupun keluarganya, dan salah satu kamar yang dulu sering digunakan oleh Presiden RI Pertama, Soekarno, untuk menginap bila sedang berkunjung ke Bima. Di lantai dua ini, lantainya terbuat dari kayu.
Beberapa barang yang bisa disaksikan ada yang terbuat dari emas, perak dan tembaga, seperti mahkota, payung, keris, senjata, perlengkapan keris istana dan lainnya. Selain itu, benda- benda yang dipamerkan di Museum Asi Mbojo ini tak hanya berasal dari Kesultanan Bima saja, namun benda-benda purbakala sebelum masa Kerajaan dan Kesultanan Bima. Sesungguhnya museum ini mempunyai banyak koleksi. Hanya saja pengelolaan untuk koleksi ini masih belum tertata dengan baik, dan juga minimnya museum documentary board yang menerangkan dari masing-masing koleksi tersebut.
Museum ini mudah ditempuh dengan moda transportasi umum, baik darat, laut maupun udara. Museum ini berjarak sekitar 25 Km dari Bandara, 2 Km dari Pelabuhan, dan 2 Km dari Terminal. Di depam museum terdapat sebuah tanah lapang atau alun-alun yang dikenal dengan nama Sera Suba. Sera berarti tanah lapang dan Suba berarti perintah. Sehingga, Sera Suba berarti tanah lapang tempat para Raja dan Sultan memberikan perintah terkait kepentingan rakyat dan negeri. *** [250710]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar