Satu
sore di serambi rumahnya di kawasan Dewi Sartika, Jakarta Timur, antropolog
Betawi, Yasmine Zaki Shahab (64), menghidangkan samosa. Kudapan mirip pastel
berisi daging cincang itu berasal dari Gujarat, India. “Lidah Hadrami, apalagi
peranakan Hadrami-Betawi seperti saya, lebih cocok dengan makanan India
ketimbang yang asli Arab,” katanya.
Kaum
Hadrami, sebutan untuk orang Hadramaut, Yaman Selatan, yang datang ke
Indonesia, sebelumnya bermigrasi di Gujarat. Sebagian berasal dari kelompok
sayid. Mereka datang ke Indonesia untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam
(LWC van den Berg, Orang Arab di
Nusantara).
Hadramaut
mengenal empat golongan masyarakat, yakni golongan sayid, suku-suku, menengah,
dan budak. Golongan sayid adalah keturunan al-Hussain, cucu Nabi Muhammad SAW.
Mereka bergelar habib dan membentuk kebangsawanan beragama di mana pun tinggal.
Sebagian di antara mereka dikenal sebagai ulama besar yang memiliki jaringan
internasional. Kalangan elite Muslim di India, terutama di Gujarat, sangat
menghormati mereka.
Para
sayid datang ke Nusantara pada akhir abad ke-18. Awalnya, mereka tinggal di
Aceh, lalu ke Palembang dan Pontianak. Setelah tahun 1820, kebanyakan mereka
mulai menetap di Jawa. Sama seperti saat mereka tinggal di Gujarat, di
Nusantara mereka juga sangat dihormati karena posisinya sebagai keturunan dan
pewaris nabi.
Dalam
buku Orang Arab di Nusantara, menurut
sensus penduduk Hindia Belanda tahun 1885, jumlah kaum Hadrami di Batavia
mencapai 1.448 orang, di Surabaya ada 1.145 orang, Gresik 867 orang, Cirebon
834 orang, Pekalongan 757 orang, dan Semarang 600 orang.
Di
Batavia, golongan sayid menjadi minoritas kaum Hadrami. Di Pekalongan, sebagian
besar kaum Hadrami berasal dari golongan sayid. Kalangan sayid menikah dengan
anak perempuan pemimpin dan pemuka setempat.
Imigran
Hadrami hanya terdiri dari pria. Sebab, istri mereka enggan meninggalkan
Hadrami dan meninggalkan Hadramaut dan memilih kembali tinggal bersama
orangtuanya. Namun, poligami hanya terjadi dalam perantauan. Menurut LWC van
den Berg, poligami tak berakar dalam tradisi Hadrami. Di Hadramaut, jika
seorang suami mengambil istri kedua, istri pertama akan pergi dari rumah dan
tinggal di rumah orangtuanya. Itu memaksa suami menceraikan istri pertamanya.
Masuk Pekojan
Tahun
1844, komunitas Hadrami di Batavia membengkak, membuat Pemerintah Hindia
Belanda menunjuk seorang kapitan Arab yang bakal memimpin kampung Arab. Di masa
pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen (1619-1622, 1627-1629)
setiap kampung di Batavia dipimpin oleh seorang kapitan.
Jaringan
kampung ini dikelompokkan menurut suku dan golongan. Tujuannya, seperti
disebutkan dalam buku, Batavia 1740,
Menyisir Jejak Betawi, membangun kekuatan militer, mengembangkan ekonomi
kawasan, serta mengendalikan keamanan lewat penerbitan surat jalan passen stelsel dan wijken stelsel. Surat ini harus dibawa saat warga pergi ke luar
kampung.
Pada
abad ke-18, VOC menetapkan Pekojan sebagai kampung Arab atau lebih tepatnya
kampung kaum Hadrami. Kala itu, imigran Hadrami ini wajib tinggal di Pekojan.
Hanya segelintir orang Hadrami yang kaya bisa tinggal di tengah orang Eropa
atau Indo Eropa di Krukut dan Tanah Abang.
Orang
Hadrami umumnya berdagang kain katun impor, pakaian, batu mulia, minyak wangi,
produk kulit, makanan, atau menjadi rentenir. Sebagian kecil yang sukses
menjadi pengusaha property dan memiliki sejumlah pabrik. Di antara Hadrami
kaya, tersebutlah Sayid Ali bin Shahab dan Bassalama. Sayid dikenal sebagai
tuan tanah kawasan Menteng, sementara Bassalama sebagai tuan tanah di Kwitang
Timur.
Setelah
sistem pemisahan permukiman dihapus tahun 1919, sebagian besar orang Arab di
Pekojan yang sangat padat pindah ke Krukut, Petamburan, dan Tanah Abang. Dari
sana, mereka menyebar ke Sawah Besar, Jatinegara, dan Tanah Tinggi (Jakarta Batavia: Esai Sosio-Kultural,
suntingan Grijns dan JM Nas).
Saat
ini, kampung Arab tersebar di Krukut dan Sawah Besar (Jakarta Barat), Jati
Petamburan, Tanah Abang, Kwitang (Jakarta Pusat), Jatinegara, Cawang, dan
Condet (Jakarta Timur). Di kantong peranakan Hadrami-Betawi ini berkembang
bermacam kesenian dan tradisi yang kemudian menjadi bagian dari kebudayaan
Betawi. Kesenian yang tumbuh di sana antara lain musik rebana, orkes gambus,
dan tarian zapin.
Musik
rebana di beberapa kantong Betawi berkembang menjadi rebana hadrah, rebana
burdah, dan rebana maukhid. Rebana hadrah menjadi arena adu zikir. Dua kelompok
rebana hadrah bergantian membawakan syair Diwan Hadrah.
Rebana
burdah dikembangkan keluarga Hadrami, Ba’mar. Penggagasnya adalah Sayid
Abdullah Ba’mar, seorang tuan tanah dan peternak sapi. Rebana burdah
mendendangkan karya Al-Busyiri berupa syair puji-pujian bagi Nabi Muhammad SAW.
Di
Batavia, orkes gambus mulai popular tahun 1940-an. Orkes yang semula hanya
tampil di kalangan kaum Hadrami ini kemudian muncul di hamper setiap acara
hajatan, seperti khitanan dan pernikahan di kalangan masyarakat Betawi. Salah
satu musisi gambus yang ternama kala itu adalah Syech Albar, ayah penyanyi rock
Ahmad Albar.
Dalam
konteks kuliner, makanan bercita rasa Timur Tengah, seperti nasi kebuli yang
nikmat, juga tumbuh subur di kantong-kantong Hadrami. {WINDORO ADI]
Sumber:
KOMPAS Edisi Sabtu, 29 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar