Usia
Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini) di Indonesia kini 100 tahun. Tentu
saja tak ada yang membantah menyebut Sekolah Tinggi Filsafat Katholik Ledalero
adalah jejak monumental salah satu ordo keagamaan dalam Gereja Katholik itu.
Kompleks
Sekolah Tinggi Filsafat Katholik (STFK) Ledalero bertengger di daerah
perbukitan, sekitar 10 kilometer arah selatan Maumere, ibu kota Kabupaten
Sikka, di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Nama itu sebenarnya dari paduan
dua kata bahasa Sikka, yakni leda
(bukit) dan lero (matahari). Sesuai
makna kata serta peran lembaga yang bertengger di puncaknya, Ledalero sungguh
telah berperan sebagai sang surya yang mencerahkan!
STFK
Ledalero menetapkan tanggal 5 Mei 1937 sebagai titik awal berdirinya. Waktu
kelahirannya itu sekaligus merujuk keputusan Takhta Suci di Roma yang merestui
pendirian rumah Seminari Tinggi Ledalero-belakangan bernama STFK Ledalero.
Namun, cikal bakalnya sebenarnya berawal di Mataloko, Kabupaten Ngada, Flores,
sekitar 230 kilometer arah barat Ledalero.
Selain
sebagai salah satu pusat misi Katholik ketika itu, kawasan berhawa dingin,
Mataloko, sejak tahun 1929 telah memilki seminari menengah, pindahan dari
Kampung Sikka (Kabupaten Sikka), sekitar 17 kilometer arah selatan Ledalero.
Sekolah dengan pembinaan khusus menjadi
rohaniwan Katholik itu berhasil menamatkan belasan siswa angkatan perdana tahun
1932. Tidak seperti siswa tamatan sekolah sejenis di Jawa, mereka tidak dikirim
melanjutkan sekolah atau kuliah di Eropa. Sebanyak 14 siswa tamatan tahun awal
itu pada 1935 mengikuti kuliah filsafat dan teologi langsung di Mataloko,
hingga akhirnya dipindahkan ke Ledalero tahun 1937 hingga sekarang.
Setelah
mengikuti perkulihan serta pembinaan lain, dua mahasiswa angkatan pertama STFK Ledalero
akhirnya berhasil ditahbiskan menjadi imam atau pastor pribumi perdana pada
1941. Mereka adalah Gabriel Manek SVD dan Karel Kale bale SVD. Pentahbisan
keduanya berlangsung sangat meriah di Gereja Paroki Nita, tidak jauh dari
kompleks STFK Ledalero. Bahkan, Gabriel manek pada tahun 1958 diangkat menjadi
uskup pribumi pertama dari kawasan Nusa Tenggara.
Menurut
catatan Provinsial SVD Ende Leo Kleden SVD, STFK Ledalero sejauh ini telah
menghasilkan 1.522 imam dan 18 uskup. Dari lebih 1.500 imam tersebut, 385 imam
kini mengabdikan diri sebagai misionaris di 52 negara. Selain itu, juga
menghasilkan tidak sedikit awam Katholik yang menjadi tokoh intelektual
nasional bahkan dunia, antara lain Ignas Kleden dan Daniel Dhakidae.
Sejauh
ini, jebolannya rata-rata bernas karena mereka memiliki pengetahuan yang
relatif komprehensif tentang dasar berfilsafat sebagai tuntutan menuju cara
berpikir kritis, reflektif, dan argumentatif.
“Para
mahasiswa juga dirangsang mengembangkan daya refleksi personal dan kolektif
secara rasional-dialektis berdasarkan hokum-hukum logika, kebenaran
pengetahuan, serta realitas transenden,” kata Otto Gusti Madung SVD, pengajar
filsafat politik dan etika sosial STFK
Ledalero, mengutip penggalangan visi, misi dan tujuan lembaga pendidikan tinggi
di lingkungannya itu.
Jasa Bouma SVD
Adalah
Pater Johanes Bouma SVD bersama sejumlah
rekan pastor SVD asal Belanda lain yang layak dicatat sebagai peletak dasar
pembangunan STFK Ledalero, termasuk seminari menengah sebagai pendukungnya di
Flores. Mereka ketika itu berpandangan, gereja local hanya akan kokoh jika pada
saatnya didukung pastor atau imam pribumi. Mewujudkan mimpi itu hanya mungkin
melalui pendidikan khusus seminari menengah yang berlanjut melalui kuliah filsafat
dan teologi. Pandangan itu sejatinya seiring dengan harapan pemimpin tertinggi
umat Katholik sedunia ketika itu, Paus Benedictus XV, yang terkenal melalui
Ensiklik Maximum Illud (1919).
Keberadaan
STFK Ledalero beserta sejumlah seminari menengah sebagai sekolah pendukung pada
awalnya terlahir berkat keberanian serta optimism tinggi Pater J Bouma SVD
menanggapi amanat Ensiklik Maximum Illud tersebut untuk memenuhi kebutuhan
gereja lokal di masa lalu itu. “Beliau layak menerima pujian, syukur, dan penghargaan
karena lembaga yang dibangunnya telah menjadi mercusuar atau menara di tengah
kegelapan dan keremangan religiositas jagat raya,” ujar Philipus Tule SVD,
Rektor STFK Ledalero periode 2004-2007.
Sebagai
ikon SVD di Tanah Air, STFK Ledalero selama empat hari, 5-8 September lalu,
merayakan peringatan 100 tahun SVD di Indonesia. Rangkaian perayaan antara lain
ditandai kegiatan seminar nasional sehari bertema “SVD Indonesia antara Sejarah
dan Harapan”. Seminar pada Jumat (6/9) dibuka Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi.
Ada lima narasumber yang ditampilkan , yakni Ben Mboi (mantan Gubernur NTT), P
Hubert Thomas SVD (peneliti pada Puslit Candraditya SVD di Maumere), Francisia
SSE Seda (staf pengajar Departemen Sosiologi FISIP UI), serta Lukas Jua SVD dan
Antonio Camnahas SVD (keduanya dosen STFK Ledalero). Seminar dipandu Robert
Mirsel SVD juga dosen di kampus yang sama. Turut hadir antara lain Uskup
Maumere Mgr Gerulfus Kherubim Pareira SVD, Uskup Pangkal Pinang Mgr Hilarius
Moa Nurak SVD, dan Dirjen Bimas Katholik Kementerian Agama Anton Smara.
Sari
seminar antara lain menyebutkan, Pancasila yang kini menjadi dasar NKRI, embrio
ideologis awalnya, bersumber dari kontribusi misionaris SVD. Ben Mboi
mengisahkan, Bung Karno ketika menjalani masa pembuangan di Ende (1934-1938)
sering berdialog dengan dua misionaris Katholik asal Belanda, yakni Gerardus
Huijtink SVD dan Johanes Bouma SVD. Pada suatu kesempatan, Huijtink menantang
Bung Karno dengan pertanyaan mendasar: “Di manakah tempat bagi ibumu yang Hindu
dan orang Flores yang mayoritas Katholik dalam Negara yang mayoritas Muslim?”
Menurut
Ben Mboi, dari dialog dengan pertanyaan menantang itulah muncul ide dasar bagi
Bung Karno melakukan permenungan di bawah naungan pohon sukun di tepi Pantai
Ende, hingga melahirkan butir-butir Pancasila kini. “Kalau ada yang menulis
sejarah lahirnya Pancasila tanpa menyinggung episode Bung Karno saat menjalani
masa pembuangan di Ende tahun 1934-1938, sejarah itu palsu. Pancasila tidak
lahir secara in promtu (seperti
membalik telapak tangan) pada 1 Juni 1945,” ujarnya.
Penejelasan
yang pada intinya sama disampaikan oleh P Dami Mukese SVD melalui artikelnya
dalam buku Ut Verbum Dei Currat 100
Tahun SVD di Indonesia (Penerbit Ledalero 2013). Buku itu diluncurkan di STFK
Ledalero, Jumat (6//9), menandai rangkaian perayaan 100 Tahun SVD di Indonesia.
Kembali
ke STFK Ledalero, kiprahnya sejauh ini memang layak diposisikan sebagai
mercusuar atau menara di tengah kegelapan dan keremangan. Kualitas lulusannya
tak diragukan secara nasional bahkan internasional.
“Jika
prestasi lulusan STFK Ledalero meyakinkan, modal utamanya adalah kedisiplinan
dan kultur belajar yang tak pernah mengendur,” kata Otto Gusti Madung SVD.
Doctor lulusan Hochscule fur Philosophie, Muenchen, Jerman (2008).
Kini,
setelah 100 tahun, tantangan yang dihadapi SVD ke depan tentu tidak ringah.
Partisipasi dan kontribusinya bagi masyarakat dan Negara diharapkan jauh lebih
besar lagi. [FRANS SARONG]
Sumber:
KOMPAS Edisi Kamis, 26 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar