The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Madura Cultural Heritage. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Madura Cultural Heritage. Tampilkan semua postingan

Asta Tinggi

Asta Tinggi adalah tempat dari akhir perjalanan kehidupan para Raja Sumenep, keturunan maupun kerabatnya. Dalam bahasa Madura, Asta Tinggi merupakan perpaduan dua kata, yaitu asta dan tinggi. Asta berarti makam atau kuburan, dan tinggi di sini menunjukkan lokasi makam yang berada di daerah perbukitan. Jadi, Asta Tinggi merupakan kompleks pemakaman bagi Raja Sumenep beserta keluarganya di dataran tinggi.
Asta Tinggi terletak di Jalan Asta Tinggi, Desa Kebonagung, Kecamatan Kota Sumenep, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur. Kompleks makam ini berada sekitar 2,5 kilometer arah barat dari Kota Sumenep.
Luas areal kompleks makam ini berukuruan 112,2 meter x 109,25 meter yang dikelilingi tembok yang hanya terdiri dari batu kapur yang tersusun rapi tanpa bahan adukan semen dan pasir, sedangkan arsitektur bangunan yang ada di makam tersebut dipengaruhi oleh kebudayaan dari beberapa daerah (Belanda, Arab, China maupun Jawa) kendati sekilas kebudayaan Hindu masih kelihatan menonjol.


Bindara Akhmad dalam buku Lintasan Sejarah Sumenep dan Asta Tinggi Beserta Tokoh di Dalamnya, menerangkan bahwa makam pertama yang ada di Asta Tinggi adalah makam dari Pangeran Anggadipa yang merupakan seorang Adipati. Makam perempuan di samping beliau adalah makam dari istri beliau yang bernama R.Ayu Mas Ireng, R.Ayu Mas Ireng sendiri adalah putri dari Panembahan Lemah Duwur. Dulu pada awalnya Asta Tinggi tidak memiliki pagar hanya rimba belantara dan batuan terjal. Untuk menghormati Pangeran Anggadipa dan istrinya, Pangeran Rama yang ketika itu menjabat sebagai Adipati Sumenep membangun pagar hanya dengan batu-batu yang disusun rapi. Asta Tinggi sendiri memiliki dua bagian dimana bagian barat memiliki corak jawa. Di bagian timur sendiri lebih didominasi oleh corak Cina, Eropa, Arab dan Jawa. Pembangunannya sendiri berlanjut dari masa pemerintahan Panembahan Sumala dan Sultan Abdurrahman Pakunataningrat yang tidak lain dan tidak bukan adalah putranya, dan masih berlanjut lagi di masa pemerintahan Panembahan Natakusuma II. Keberadaan kompleks pemakaman ini sebenarnya sudah ada sejak abad ke-16 namun baru mulai ada pembangunan seperti sekarang ini dimulai pada 1750 Masehi.
Bangunan bagian barat terdiri atas 3 kubah. Di dalam kubah 1 disemayamkan R. Ayu Mas Ireng, Pangeran Anggadipa, Pangeran Seppo, Pangeran Rama, R. Ayu Artak dan Pangeran Panji Polang Jiwa. Kubah 2 terdiri atas makam Ratu Ari, Pangeran Jimat, dan R. Aria Wiranegara, sedangkan di dalam kubah 3 terdapat makam R. Bindara Saod, R. Ayu Dewi Rasmana, dan lain-lain.


Bangunan bagian timur terdiri atas 1 kubah, yang di dalamnya disemayamkan Panembahan Sumala, Sultan Abdurrahman Pakunataningrat, Panembahan Moh. Saleh, dan lain-lain.
Dulu, sewaktu Kraton Sumenep masih memiliki kekuasaan, yang menjaga Asta Tinggi adalah sejumlah abdi dalem kraton yang dibayar dengan tanah untuk dikelolanya sendiri. Namun sekarang, yang menjadi juru kuncinya sudah diatur oleh pemerintah setempat dengan membentuk Yayasan Penjaga Asta Tinggi (YASPATI).
Setiap hari, Asta Tinggi banyak dikunjungi oleh peziarah dari berbagai daerah. Tidak hanya berasal dari Sumenep saja, melainkan ada yang datang dari kawasan  Pulau Madura yang lainnya, seperti Pamekasan, Sampang maupun Bangkalan. Bahkan ada juga yang berkunjung yang berasal dari luar Pulau Madura. Kemegahan Asta Tinggi menyiratkan betapa Sumenep pernah mempunyai sebuah kejayaan di masa lalunya. *** [071213]
Share:

Museum Kraton Sumenep

Museum Kraton Sumenep terletak di Jalan Dr. Soetomo No. 6 Kelurahan Pajagalan, Kecamatan Sumenep, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur. Museum ini termasuk museum umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep di bawah pengelolaan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga yang kantornya juga berada di lingkungan Kraton Sumenep.
Museum ini menyimpan beragam peninggalan sejarah dari Kraton Sumenep di mana sebagian besar merupakan peninggalan bangsawan Sumenep. Museum ini memiliki 480 koleksi yang digolongkan dalam beberapa jenis.


Dasar pendirian museum ini adalah Penetapan Presiden RI No. 16 Tahun 1959, Keputusan Presiden (Kepres) RI No. 71 Tahun 1964, dan Keputusan Bupati KDH No. 0242/D/a/IV-65 dengan nomor akte notaris Keputusan Bupati KDH No.0212/D/a/IV-65. Sesuai namanya, bangunan yang digunakan untuk museum ini menempati sejumlah bangunan yang dulu adalah bangunan milik Kraton Sumenep. Luas bangunan yang diperuntukkan untuk museum adalah sekitar 2.000 m², yang terbagi menjadi tiga bagian yang terletak di depan atau luar kraton dan di dalam kraton.
Museum bagian pertama berada di luar kraton di mana loket karcis masuk museum berada. Dulu, awalnya bangunan tersebut merupakan bangunan yang digunakan untuk memarkir kereta milik kraton (kamarrata). Setelah dijadikan museum, bangunan ini digunakan untuk menyimpan atau memajang kereta kencana yang merupakan peninggalan Kraton Sumenep pada masa pemerintahan Sultan Abdurrachman (1812-1854). Kereta kencana tersebut merupakan hadiah dari Kerajaan Inggris. Letak kereta kencana tersebut berdampingan dengan duplikat kereta kebesaran pada masa Kerajaan Majapahit.
Di bangunan pertama museum ini juga terdapat koleksi Al-Qur’an yang berukuran panjang 4 meter dengan lebar 3 meter dengan berat sekitar 500 kilogram yang ditulis pada tahun 2005 oleh seorang wanita bernama Yanti dari Desa Bluto dengan waktu pembuatan selama enam bulan.
Museum bagian kedua berada di dalam halaman Kraton Sumenep. Bangunan kedua ini, dulunya merupakan kantor Koneng. Kantor Koneng aadalah bangunan yang pernah dipergunakan oleh Raja Sumenep dalam melakukan aktivitasnya (ruang kerja) dalam memimpin kerajaan ketika itu. Bangunan ini memiliki lima ruangan yang dipergunakan untuk memajang sejumlah koleksi yang dimiliki oleh Museum Kraton Sumenep.


Ruang I dikenal dengan ruang tentang daur hidup dan ritual. Di dalam ruangan I ini terdapat koleksi berupa peralatan upacara tradisional, pendupaan dan lampu, serta alat upacara daur hidup. Ruang II dikenal dengan ruang tentang perlengkapan hiasan. Di dalam ruangan II ini tersimpan koleksi berbagai hiasan, alat berhias, dan alat meramu jamu tradisional. Ruang III dikenal dengan ruang kesenian. Di dalam ruangan III ini terdapat sejumlah koleksi alat kesenian tradisional maupun alat musik keislaman. Ruang IV dikenal dengan ruang keramik. Di dalam ruangan IV ini tersimpan aneka benda keramik abad 18, guci keramik China dan Thailand, dan berbagai bentuk keramik asing lainnya, seperti keramik Eropa, dan yang terakhir adalah Ruang V yang dikenal dengan ruang senjata dan naskah kuno. Di dalam ruang V ini terdapat sejumlah koleksi persenjataan dan naskah kuno, seperti keris, tombak, perlengkapan prajurit, dan naskah-naskah kuno yang ditulis di daun lontar. Salah satu koleksi yang tak kalah pentingnya di dalam ruangan ini adalah koleksi beruba Kitab Suci Al-Qur’an. Konon, Al-Qur’an peninggalan Raja Sumenep, Sultan Abdurrachman Pakunataningrat, memiliki daya magis. Al-Qur’an ini ditulis oleh Sultan Abdurrachman, hanya dalam waktu semalam. Ditulis menggunakan tinta Kalam, yaitu asap dari lampu tempel, sedangkan alat tulisnya menggunakan bulu ayam.
Selain koleksi tersebut, di belakang bangunan kedua ini terdapat sejumlah koleksi berupa patung-patung dan yoni peninggalan Majapahit., serta kerangka ikan paus yang berada dalam bilik kaca. Ikan paus tersebut terdampar di Desa Kertasada, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep pada tahun 1977, yang berukuran panjang 13 m, tinggi 1,75 m dan berat 4 ton.


Museum bagian ketiga berada di samping kiri dari bangunan museum kedua. Di atas pintu masuk bangunan museum ini  tertulis rumah penyepen. Dulu, bangunan ini digunakan oleh Bindara Saod atau Raja Sumenep yang bergelar R. Tumenggung Tirtanegara  (1750-1762), untuk menyepi. Bangunan ini terdiri atas lima ruangan, yaitu teras rumah, kamar depan bagian barat, kamar depan bagian timur, kamar belakang bagian barat dan kamar belakang bagian timur.
Museum ini tergolong ramai dikunjungi oleh wisatawan, baik wisatawan nusantara maupun mancanegara. Hal ini lantaran sejumlah koleksi peninggalan sejarah KratonSumenep yang mengundang keingintahuan pengungjung yang didukung oleh letak maseum yang strategis, artinya berada di tengah jantung Kota Sumenep yang berada di kawasan tiga wisata utama, yaitu Kraton Sumenep, Museum Kraton Sumenep, dan Masjid Jamik Sumenep. *** [071213]
Share:

Museum Mandhilaras Pamekasan

Museum Mandhilaras merupakan salah satu Museum Umum Daerah yang berada di Pulau Madura. Museum ini terletak di Jalan Cokroaminoto No. 1 (Kompleks Area Monumen Arek Lancor) Kelurahan Barurambat Kota, Kecamatan Pamekasan, Kabupaten Pamekasan, Provinsi Jawa Timur. Lokasi museum ini menempati salah satu gedung milik bekas perpustakaan milik Taman Siswa yang diresmikan oleh Ki Hajar Dewantara.
Museum mungil yang berada di jantung Kota Pamekasan ini, diresmikan pada 18 Maret 2010 oleh Bupati Pamekasan, Drs.  KH Kholilur Rahman, M.Si. Berdirinya museum ini tidak terlepas dari prakarsa beberapa tokoh masyarakat yang berasal dari beberapa bidang seperti dari seniman dan budayawan serta bekerjasama dengan Dinas Pemuda, Budaya dan Olahraga khususnya yang bergerak di bidang budaya, seksi pelestarian dan pemiliharaan kepurbakalaan.
Museum ini dinamakan Mandhilaras, mengambil dari sejarah kebesaran yang ada di Kabupaten Pamekasan yang representasinya adalah Kraton Mandhilaras yang dikenal pada abad ke-16 ketika Panembahan Ronggosukowati mulai memindahkan pusat pemerintahan dari Kraton Labangan Daja ke Kraton Mandhilaras.


Memasuki museum ini, pengunjung akan disambut oleh patung Topeng Gethak (salah satu seni tari unggulan Kabupaten Pamekasan. Kendati bangunan Museum Mandhilaras tergolong kecil namun sekitar 200 benda koleksi yang dimilikinya mempunyai nilai sejarah tinggi. Museum ini memiliki beberapa koleksi, diantaranya jenis senjata, peralatan dan perkakas rumah tangga, numismatika, fosil, filologika, alat tranportasi maupun diorama.
Koleksi senjata yang ada di museum ini berupa keris dan tombak. Keris sebanyak 6 buah di antaranya adalah keris Madura. Keris ini terbuat dari besi, dapurnya baru rambat Pamekasan dengan pamor biji pala. Keris Madura ini diciptakan oleh seorang empu yang bernama Citra Nala (murid Ki Murkali) di zaman Ronggosukowati. Keris Mataram, dapur semampir dengan luk 11, pamor tirto tumetes dan tangguh Madura. Keris Mataram ini diciptakan pada zaman Sultan Agung ketika berkuasa di tanah Madura, dan keris dengan dapur Majapahit yang memiliki pamor kuku tancang kinata emas. Selain itu, terdapat 2 koleksi tombak di museum ini. Tombak Ki Aryo terbuat dari kulit kertas dan berukuran pendek. Tombak Ki Aryo ini merupakan peninggalan Aryo Menak Senoyo yang senantiasa menemani selama melakukan syiar Islam di Parupuh, Pamekasan. Sedangkan, tombak Madura yang terbuat dari besi memiliki ukuran yang lebih panjang dibandingkan dengan tombak Ki Aryo. Tombak Madura ini, dibuat di daerah Pekong pada zaman awal Majapahit, yang merupakan senjata pengawal kerajaan.


Koleksi peralatan rumah tangga yang ada di museum ini meliputi lesung dan penumbuk padi lainnya, batu perkakas untuk membuat ramuan obat, tungku dari tanah liat, periuk kecil, baki (talam), lépér (tadha), centhong bathok, tempat bahan untuk menginang masa lalu (minangan), alas cangkir yang terbuat dari kristal (lophor Kristal), cangkir untuk minum jamu masa lalu (changkolo), dakon hingga lèncak gerbhung. Lèncak gerbhung yang ada di museum ini, mempunyai nilai filosofis yang sangat tinggi. Pada bagian tengah badan lèncak gerbhung ini berongga yang dapat digunakan untuk menyimpan barang-barang berharga. Kemudian pada bagian tepinya dikelilingi oleh ukiran bermotifkan fauna yang mempunyai makna suka cita, artinya si penghuni dapat menikmati istirahatnya dengan suka cita dengan mimpi yang indah. Kemudian pada sisi kiri benda ini, terdapat simbol kehormatan sang penghuni berupa bulatan kayu besar kecil yang terletak di bagian atas ukiran yang memiliki makna posisi tidur suami dan isteri. Suami berada di sisi luar, sedangkan isteri berada di kiri suami, karena bersifat melindungi.
Koleksi numismatika merupakan koleksi yang terdiri atas uang kuno. Koleksi numismatika yang ada di museum ini, terdiri atas koleksi uang kertas dan benggol. Sedangkan, koleksi fosil yang menghuni museum ini adalah fosil moluska yang banyak ditemukan di perairan Pamekasan yang menghadap ke Selat Madura.


Koleksi filologika yang berada di Museum Mandhilaras berupa naskah kuno maupun al-Qur’an tua. Kitab Layang Sejarah Nabi-nabi yang ditulis di atas daun lontar ini merupakan salah satu koleksi naskah kuno yang ada di Madura. Kitab layang ini pernah digunakan oleh Ki Aryo Menak Senoyo dalam melakukan syiar agama Islam di Parupuh (Proppo), sebuah kecamatan tertua yang berada di Pamekasan, di mana pada saat itu penduduknya masih menganut agama Buddha.
Koleksi alat transportasi yang dipajang di museum ini berupa kereta kuda atau andong yang pernah dikendarai oleh KH Fauzi dari Batuampar. Andong ini memiliki keunikan tersendiri bila dibandingkan dengan andong pada umumnya, yaitu kusir yang akan mengendalikan kudanya justru berada di belakang andong tersebut. Biasanya kusir yang mendampingi KH Fauzi dalam berdakwah, adalah santri utama yang menjadi kepercayaannya.
Diorama yang ada di Museum Mandhilaras terdiri atas 3 bagian. Bagian pertama, menggambarkan suasana penobatan Raden Aryo Seno atau Ronggosukowati. Raden Aryo Seno dinobatkan menjadi Raja Pamekasan pada 3 November 1530, sebagai pengganti ayahandanya Panembahan Bonorogo. Raden Aryo Seno kemudian bergelar Ronggosukowati. Bagian kedua, menceritakan Karapan Sapi, sebuah adu ketangkasan balapan sapi khas Madura, dan bagian ketiga, mengisahkan pembuatan garam (padharan). Kala itu, Bupati Pamekasan, Raden Abdul Jabbar yang memerintah dari tahun 1922 hingga 1933 telah menggunakan lori untuk mengangkut garam dari ladang garam ke gudang.
Selain itu, Museum Mandhilaras memiliki koleksi batik terpanjang di dunia. Batik in terbuat dari kain mori dengan panjang 1530 meter yang bercorak dominan dengan warna merah. Batik ini merupakan hasil karya pengrajin batik se-Kabupaten Pamekasan yang telah mencapai rekor MURI pada tahun 2009.
Perintisan Museum Umum di Kabupaten Pamekasan ini merupakan terobosan yang konstruktif bagi pengembangan pariwisata yang ada di Pulau Madura. Meski bangunan museum ini masih berstatus pinjam dari Taman Siswa akan tetapi gebrakannya sudah menunjukkan eksistensi Kota Pamekasan sebagai salah satu kota tua di Pulau Madura yang masih menawan. *** [071213]
Share:

Sejarah Kabupaten Bangkalan

Keberadaan wilayah Bangkalan tidak dapat dipisahkan dari perjalanan panjang sejarah Kerajaan Madura Barat. Kerajaan Madura Barat muncul pertama kali pada tahun 1531 dengan pusat pemerintahan di Keraton Arosbaya, Bangkalan. Raja pertama adalah Panembahan Lemahdoewoer yang memerintah hingga tahun 1592. Wilayah kerajaan ini mencakup daerah Bangkalan dan Sampang. Pada tahun 1624, pusat pemerintahan berpindah ke Keraton Madeggan Sampang dengan Raja Pangeran Tjakraningrat I (1624-1648) dan selanjutnya digantikan oleh Panembahan Tjakraningrat II (1648-1707).
Pada masa pemerintahan Tjakraningrat III (1707-1718), pusat pemerintahan berpindah ke Keraton Toendjoeng di Bangkalan. Pada masa pemerintahan Raja Tjakraningrat IV (1718-1745)  pusat pemerintahan dipindahkan ke Keraton Sembilangan di Bangkalan Baru. Pada masa Tjakraningrat V (1745-1770), pusat pemerintahan pindah untuk pertama kalinya ke Keraton Bangkalan.  Pasca pemerintahan Tjakraningrat V terjadi kekosongan pemerintahan yang disebabkan putra mahkota meninggal muda. Tahta kemudian digantikan oleh cucu Tjakraningrat V yang bernama Sultan Tjakradiningrat I (1780-1815). Pada masa ini Kerajaan Madura Barat berubah menjadi kesultanan yang bersifat Islam. Tahta kemudian digantikan oleh Sultan Tjakradiningrat II (1815-1845) atau Raden Abdul Kadir (masyarakat menyebutnya dengan nama Sultan Kadirun). Tahta pemerintahan kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Raden Muhammad Yusuf atau Panembahan Tjakradiningrat VII (1847-1862). Ia kemudian digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Panembahan Tjakradiningrat VIII (1862-1882). Putra Tjakradiningrat VII yang dipersiapkan menjadi raja tidak dapat naik tahta karena meninggal tiga tahun sebelum Panembahan Tjakradiningrat VIII turun tahta.
Pada tahun 1885, Belanda kemudian melakukan intervensi terhadap kerajaan. Pemerintahan Kerajaan Madura Barat kemudian dihapuskan berdasarkan Besluit Goeverneur General Nederland Indie No. 2/c tanggal 22 Agustus 1885, semenjak itu Kerajaan Maduran Barat terbagi menjadi dua wilayah kabupaten, yaitu Bangkalan dan Sampang. Walaupun demikian, pada masa selanjutnya garis keturunan Tjakradiningrat masih tetap memimpin Bangkalan dengan menjadi Bupati. *** [060613]

Sumber:  Informasi dari Museum Cakraningrat Kabupaten Bangkalan

Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami