The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Nganjuk Heritage. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nganjuk Heritage. Tampilkan semua postingan

Klenteng Hok Yoe Kiong Sukomoro

Sewaktu pulang dari Surabaya menuju Solo dengan mengendarai sepeda motor Honda Supra X dengan nopol AD 5027 CS, saya berkesempatan mampir dan sekaligus melepas lelah sejenak di sebuah klenteng yang berada di pinggir jalan besar. Klenteng tersebut bernama Klenteng Hok Yoe Kiong.  Klenteng Hok Yoe Kiong merupakan tempat peribadatan umat Tridharma, yaitu Konghucu, Buddha dan Tao). Klenteng ini terletak di Jalan Raya Sukomoro No. 2, Desa Sukomoro, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur. Lokasi klenteng ini berada di depan Stasiun Sukomoro.
Keberadaan klenteng ini tidak lepas dari peran pendirinya yang bernama Soen Boen Lee dari Kota Nganjuk. Sebagai seorang Tionghoa, ia membuat sebuah tempat pemujaan bagi Kongco Tik Tjoen Ong di rumahnya. Patung Kongco Tik Tjoen Ong dibawa ke Nganjuk dari Negeri Tiongkok sekitar tahun 1930-an. Seiring perjalanan waktu, rumahnya menjadi ramai karena begitu banyak warga Tionghoa yang ikut bersembahyang sehingga lama-lama tempat untuk sembahyang tersebut sudah tidak mencukupi lagi.


Soen Boen Lee kemudian membangun sebuah klenteng di atas tanah miliknya yang berada di daerah Sukomoro, sekitar 5 kilometer timur Kota Nganjuk arah Kertosono, pada tahun 1953. Setelah selesai, klenteng tersebut mulai digunakan untuk melakukan sembahyang tetapi klenteng tersebut belum diresmikan. Baru pada tahun 1956, klenteng tersebut diresmikan, dan diberi nama Hok Yoe Kiong.
Seperti bangunan klenteng pada umumnya, klenteng ini memiliki pintu gerbang atau gapura yang cukup megah yang didominasi warna merah. Di atasnya terdapat ornamen khas Tionghoa, yaitu huo zhu (mutiara api milik Sang Buddha) yang diapit oleh dua xing long (naga yang sedang berjalan). Pintu gerbang tersebut dikenal dengan men lou wu, yang artinya pintu gerbang untuk masuk ke dalam persil atau lahan.
Usai melewati men lou wu, pengunjung akan berada di halaman klenteng tersebut. Di halaman tersebut terdapat dua buah pagoda yang bernuansakan Buddhisme di sebelah kiri dan kanan halaman. Pagoda tersebut sebenarnya merupakan miniatur tempat untuk penympanan relik Buddha, namun di sejumlah klenteng yang pernah saya singgahi, pagoda tersebut acapkali digunakan untuk tempat pembakaran kim cua (kertas berwarna keemasan).


Setelah melintas halaman, pengunjung bisa melangkahkan kaki lagi menuju bangunan utama klenteng. Tepat di muka kleteng, pengunjung akan menjumpai sepasang singa yang terbuat dari batu. Patung singa tersebut disebut shi zi.
Menjelang pintu masuk bangunan utama klenteng, pengunjung akan melihat hiolo,  sebuah bejana berwarna kuning yang digunakan untuk menancapkan dupa persembahan (hio) kepada Thian (Tuhan Yang Maha Esa). Kemudian setelah melewati itu semua, barulah pengunjung akan berada di bangunan utama klenteng tersebut. Bangunan klenteng ini terbagi atas 4 bangunan utama yang terdiri dari 11 altar untuk sembahyang.
Di atas altar tersebut ditempatkan para Dewa. Dewa atau sesembahan utama di Klenteng Hok Yoe Kiong ini adalah Kongco Kong Tik Tjoen Ong, yang kemudian disusul dengan dewa-dewa lainnya secara berurutan setelah dewa utama, yaitu Kongco Kwan Seng Tee Koen, Kongco Ka Lam Yakon dan Hian Thian Siang Tee, Kongco Hok Tik Tjin Sing, Kongco Houw Ya Kong, Kongco Kwam Im Po Sat, Kongco Buddha Sakyamuni, Kongco Thai Sang Laocin, Kongco Khonghucu, dan Kongco Hia Ong.
Klenteng Hok Yoe Kiong ini tidak terlalu besar, akan tetapi klenteng ini memiliki keunikan yang tidak terdapat pada klenteng lainnya di Indonesia. Pasalnya, di klenteng ini terdapat sarang semut hitam yang umurnya lebih tua dari bangunan klenteng, yang tingginya mencapai dua meter, dengan diameter mencapai dua setengah meter. Para penganut Tridharma, sarang semut ini dijuluki sebagai Dewa Semut atau Hia Ong. *** [260714]
Share:

Stasiun Kereta Api Sukomoro

Stasiun Kereta Api Sukomoro (SKM) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Sukomoro, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen  PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 7 Madiun yang berada pada ketinggian + 50 m di atas permukaan laut. Stasiun Sukomoro terletak di Jalan Raya Kertosono-Nganjuk, Desa Sukomoro, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur. Lokasi stasiun ini berada di depan Klenteng Hok Yoe Kiong.
Bangunan Stasiun Sukomoro ini merupakan bangunan peninggalan masa Hindia Belanda. Pembangunan stasiun ini bersamaan dengan pembangunan jalur rel kereta api Kertosono-Nganjuk-Madiun. Pembangunan jalur tersebut dimulai pada tahun 1881 dan selesai pada tahun 1882 oleh Staatsspoorwegen, perusahaan kereta api milik pemerintah di Hindia Belanda, sepanjang 69 kilometer yang merupakan bagian dari proyek Oosterlijnen atau State Railway Eastern Lines (lintas timur).
Semula Stasiun Sukomoro ini hanyalah sebuah halte kereta api saja, namun seiring perjalanan waktu halte tersebut kemudian mengalami sejumlah renovasi hingga menjadi sebuah bangunan stasiun kecil yang ada di Kabupaten Nganjuk. Dilihat dari bangunannya, stasiun ini sudah terlalu terlihat jejak kolonialnya kecuali beberapa peralatan yang berkaitan dengan perkeretaapiannya.
Stasiun ini memiliki 3 jalur dengan jalur 2 sebagai sepur lurus arah barat menuju Stasiun Nganjuk dan arah timur menuju Stasiun Baron. Jalur 1 dan 3 digunakan sebagai jalur persilangan atau persusulan dengan kereta yang lain yang akan melintas stasiun ini.
Stasiun Sukomoro merupakan stasiun kelas III atau kecil. Karena letak dekat dengan Stasiun Ngajuk, yaitu sekitar 4,5 kilometer, stasiun ini hanya difungsikan untuk persilangan dan persusulan antarkereta api saja. *** [230717]
Share:

Stasiun Kereta Api Bagor

Stasiun Kereta Api Bagor (BGR) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Bagor, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen  PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 7 Madiun yang berada pada ketinggian + 58 m di atas permukaan laut. Stasiun Bagor terletak di Jalan Raya Madiun-Nganjuk, Desa Paron, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur. Lokasi stasiun ini berada di sebelah tenggara Kantor Kepala Desa Paron, dan berjarak sekitar 550 m dari Kantor Kecamatan Bagor.


Bangunan Stasiun Bagor ini merupakan bangunan peninggalan masa Hindia Belanda. Pembangunan stasiun ini bersamaan dengan pembangunan jalur rel kereta api Kertosono-Nganjuk-Madiun. Pembangunan jalur tersebut dimulai pada tahun 1881 dan selesai pada tahun 1882 oleh Staatsspoorwegen, perusahaan kereta api milik pemerintah di Hindia Belanda, sepanjang 69 kilometer yang merupakan bagian dari proyek Oosterlijnen (lintas timur).
Stasiun ini memiliki 2 jalur dengan jalur 1 sebagai sepur lurus arah barat daya menuju Stasiun Wilangan dan arah timur menuju Stasiun Nganjuk. Jalur 2 digunakan sebagai jalur persilangan atau persusulan dengan kereta yang lain yang akan melintas stasiun ini. Selain itu masih ada satu jalur tambahan sebagai sepur badug atau jalur buntu yang terletak di sebelah bangunan stasiun.
Stasiun Bagor merupakan stasiun kelas III atau stasiun kecil. Stasiun ini tidak melayani aktivitas menaikkan maupun menurunkan penumpang kereta api, melainkan hanya berfungsi sebagai tempat persilangan dan persusulan antarkereta api saja. *** [130617]
Share:

Candi di Nganjuk

Candi Lor terletak di Desa Candirejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur

Candi Ngetos terletak di Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur
Share:

Daftar Bangunan Kuno di Nganjuk

Berikut ini adalah daftar dari bangunan kuno atau peninggalan sejarah lainnya yang terdapat di Nganjuk:

Candi ini terletak di Desa Candirejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur

Candi ini terletak di Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur

Klenteng Hok Yoe Kiong Sukomoro
Klenteng ini terletak di Jalan Raya Sukomoro No. 2, Desa Sukomoro, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur

Masjid Al Mubarok Berbek
Masjid ini terletak di Jalan Masjid Al Mubarok No. 3 Desa Kacangan, Kecamatan Berbek, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur

Museum ini terletak di Jalan Jend. Gatot Subroto, Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur

Stasiun Kereta Api Bagor
Stasiun ini terletak di Jalan Raya Madiun-Nganjuk, Desa Paron, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur

Stasiun Kereta Api Baron
Stasiun ini terletak di Jalan Raya Kertosono-Nganjuk, Desa Baron, Kecamatan Baron, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur

Stasiun ini terletak di  Jalan Stasiun, Desa Banaran, Kecamatan Kertosono, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur

Stasiun ini terletak di Jalan P. Sudirman, Desa Mangundikaran, Kecamatan Nganjuk, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur

Stasiun ini terletak di Jalan Raya Kertosono-Nganjuk, Desa Sukomoro, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur

Stasiun ini terletak di Desa Wilangan, Kecamatan Wilangan, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur
Share:

Stasiun Kereta Api Baron

Stasiun Kereta Api Baron (BRN) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Baron, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen  PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 7 Madiun yang berada pada ketinggian + 46 m di atas permukaan lain.
Stasiun Baron terletak di Jalan Raya Kertosono - Nganjuk, Desa Baron, Kecamatan Baron, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur. Lokasi stasiun ini pas berada di tikungan jalan raya tersebut yang memotong jalur rel. Dari arah barat, stasiun ini berada agak masuk ke kanan jalan raya Nganjuk – Kertosono sebelum perlintasan sebidang. Yang dimaksud perlintasan sebidang adalah perpotongan sebidang antara jalur kereta api dengan jalan.


Bangunan stasiun Baron ini merupakan bangunan peninggalan masa Hindia Belanda. Diperkirakan stasiun ini dibangun bersamaan dengan pembangunan jalur rel kereta apinya. Jalur kereta api yang melintas di stasiun Baron ini merupakan jaringan rel kereta api yang menghubungkan Kertosono – Nganjuk yang dikerjakan oleh Perusahaan Kereta Api milik Pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen, pada tahun 1881.
Stasiun ini memiliki 3 jalur dengan 1 jalur sebagai sepur lurus. Stasiun ini masih beruntung bila dibandingkan dengan tipe stasiun yang sama, karena di stasiun ini masih menjadi tempat untuk menaikkan maupun menurunkan penumpang. Jadi, tidak sebatas untuk simpangan kereta api saja, sehingga denyut aktivitas di stasiun ini masih terasa atau tidaklah sepi. KA Sritanjung dan KA Gaya Baru Malam rutin meyinggahinya.
Mengenai bentuk bangunan stasiun ini dikatakan hampir sama dengan bentuk bangunan stasiun yang memiliki tipe yang sama. Bangunan stasiun Baron tidaklah begitu besar, gedung dinasnya berukuran 72 m², dan telah ditetapkan sebagai aset PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dengan nomor register 001/7.64481/BRN/BD. *** [260714]


Share:

Sejarah Singkat Desa Jambi

Desa Jambi merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Baron, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur. Desa Jambi merupakan desa agraris yang masih memiliki lahan pertanian yang terbentang relatif luas. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani yang didukung oleh lingkungan alam yang menopang pertanian, utamanya adalah sawah beririgasi.
Wilayah Desa Jambi terdiri dari 2 Dusun, yaitu Dusun Jambi dan Dusun Ringin Kembar, yang masing-masing dipimpin oleh seorang Kepala Dusun.
Jarak tempuh Desa Jambi ke ibu kota Kecamatan Baron yaitu sekitar 4 kilometer. Sedang jarak ke ibu kota Kabupaten Nganjuk adalah sekitar 21 kilometer.
Secara adminstratif, Desa Jambi dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Mabung. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Demangan, Kecamatan Tanjunganom. Di sisi selatan berbatasan dengan DesaKedungrejo, Kecamatan Tanjunganom, sedangkan di sisi timur berbatasan dengan Desa Mabung.
Dalam Profil Desa Jambi, Kecamatan Baron, Kabupaten Nganjuk, yang disusun oleh Tim Perumus Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Tahun 2010, dikisahkan bahwa pada sekitar tahun 927-929 M, Sriwijaya mengirimkan suatu armada besar dari divisi Jambi ke Jawa Timur melalui perjalanan laut dengan rute menyusuri pantai utara Jawa, memasuki Sungai Brantas. Sesampainya di Ujung Galuh (kini Surabaya), perjalanan diteruskan ke kota pelabuhan berikutnya yaitu Bandar Alim. Kehadirin pasukan Jambi dalam jumlah banyak menyulap daerah sekitar menjadi mendadak ramai. Tempat inilah yang sekarang dinamakan Desa Jambi.
Peristiwa ini terjadi sekitar 937 M, dan berhubungan dengan apa yang dituliskan dalam Prasasti Anjukladang. Semenjak menjadi Desa Jambi yang menjadi Kepala Desa pertama dikenal dengan sebutan Mbah Ompong. ***
Share:

Masjid Al-Mubarok Berbek

Masjid Al-Mubarok terletak di Jalan Masjid Al-Mubarok No.3 Desa Kacangan, Kecamatan Berbek, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur atau tepatnya berada di samping Kantor Urusan Agama Berbek atau depan Kantor Pegadaian Berbek. Lokasi masjid ini kurang lebih 9 kilometer dari Kota Ngajuk ke arah selatan.
Konon, masjid ini merupakan masjid tertua yang berada di wilayah Kabupaten Nganjuk, didirikan pada tahun 1745 M semasa pemerintahan Raden Tumenggung Sosro Kusumo atau yang lebih dikenal dengan Kanjeng Jimat. Raden Sosro Kusumo adalah bupati pertama di Kabupaten Ngajuk, yang makamnya berada di lingkungan masjid tersebut.


Tahun pendirian masjid tersebut dirunut dari condro sengkolo yang tertulis pada kiri dan kanan mihrab masjid yang berbunyi “Adege Mesjid ing Toya Mirah” dengan sinengkalan Toto Caturing Pandito Hamadangi (1745 H). Pada saat didirikan pertama kali, atap masjid masih menggunakan ijuk dan lantainya berupa katel (dibuat dari campuran tanah liat dan kapur) serta konstruksi bangunannya memakai kayu jati tanpa menggunakan paku.
Pada tahun 1950 oleh K.H. Dahlan, Penghulu Kabupaten Nganjuk,  tembok yang dulunya belum diplester, mulai diperbaik dan diplester. Lantainya pun juga ditegel, dan atapnya diganti dengan genteng.
Di dalan buku Nganjuk dan Sejarahnya (1994) disebutkan bahwa pada tahun 1985, oleh LB Moerdani ini dipugar dan dilakukan penambahan bangunan. Pemugaran meliputi ruang induk, dan kedua serambi. Sedangkan, di depan masjid dibangun menara untuk adzan setinggi 10 m, tempat wudhu, dan pagar depan sepanjang 35 m. Pemugaran dan penambahan bangunan ini selesai pada tanggal 5 Februari 1986, dan pada tanggal 7 Februari 986 diresmikan penggunaannya oleh LB Moerdani didampingi Menteri Agama H. Munawir Saazdjali dan Menteri Penerangan  H. Harmoko.
Dan sekarang, pada saat saya mengunjungi masjid ini sedang dilakukan pemugaran juga. Serambi masjid di bagian depan dijadikan bangunan dua lantai.
Meskipun Masjid Al-Mubarok dilakukan pemugaran akan tetapi tidak untuk mengganti bagian-bagian yang penting (bagian interior masjid masih asli). Pemugaran itu hanya terjadi pada eksterior masjid, seperti serambi, gapura, dan tempat wudhu.
Selain kekunaan usia, masjid ini masih memiliki sejumlah daya tarik dalam mengagumi keberadaan masjid ini. Di antaranya arsitektur bangunan menyerupai pura, ornamen ukiran yang tidak didominasi oleh kaligrafi tulisan Arab, melainkan gambar naga dan ciri khas ukiran pura lainnya. Pengunjung juga bisa menyaksikan penopang kayu usuk (reng) empat persegi panjang, yang merupakan ukiran tembok khas bangunan Hindu.
Dilihat dari bentuk bangunan tersebut, terlihat bahwa bangunan masjid tersebut menggunakan model Tajug Lawakan Lambang Teplok di mana tiang utamanya menopang langsung atap (brunjungan). Sedangkan, bangunan serambi menggunakan atap limasan yang disebut Limasan Trajumas.
Masjid ini memiliki luas tanah sebesar 2.835 m², dan merupakan tanah wakaf dari Raden Tumenggung Sosro Kusumo. Berdasarkan cerita masyarakat setempat, dulu di tanah masih ini terdapat yoni dengan patung wanita, yang diperkirakan adalah Dewi Durga. Namun, patung itu kini sudah tak ada lagi. Hanya tinggal yoninya yang masih berada di halaman masjid ini.
Keberadaan yoni dan patung tersebut, mengindikasikan bahwa dulunya di lokasi ini merupakan bangunan peribadatan penganut Hindu. Namun, dengan masuknya Islam di Nganjuk, lambat laun tempat peribadatan tersebut dirubah menjadi bangunan masjid, *** [150913]
Share:

Candi Ngetos

Candi ini secara geografis terletak di Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk, ± 17 km ke arah selatan dari Kota Nganjuk. Bangunannya terletak ditepi jalan beraspal antara Kuncir dan Ngetos. Menurut para ahli, berdasarkan bentuknya candi ini dibuat pada abad XV (kelimabelas) yaitu pada zaman kerajaan (Majapahit). Dan menurut perkiraan, candi tersebut dibuat sebagai tempat pemakaman raja Hayam Wuruk dari Majapahit. Bangunan ini secara fisik sudah rusak, bahkan beberapa bagiannya sudah hilang, sehingga sukar sekali ditemukan bentuk aslinya.



Berdasarkan arca yang ditemukan di candi ini, yaitu berupa arca Siwa dan arca Wisnu, dapat dikatakan bahwa Candi Ngetos bersifat Siwa–Wisnu. Kalau dikaitkan dengan agama yang dianut raja Hayam Wuruk, amatlah sesuai yaitu agama Siwa-Wisnu. Menurut seorang ahli (Hoepermas), bahwa didekat berdirinya candi ini pernah berdiri candi berukuran lebih kecil (sekitar 8 meter persegi), namun bentuk keduanya sama. N.J. Krom memperkirakan bahwa bangunan candi tersebut semula dikelilingi oleh tembok yang berbentuk bulat cincin.
Candi yang memiliki ukuran dengan panjang 9,1 m, dan tinggi 10 m, dibangun pada abad 15 (zaman Majapahit) atas perintah Raja Hayam Wuruk kepada pamannya Raja Ngatas Angin atau Raden Ngabei Siloparwoto dengan patihnya yang bernama Raden Bagus Condrogeni.
Candi ini dibangun untuk dipergunakan sebagai tempat penyimpanan abu jenazah Hayam Wuruk atau untuk pemakaman dirinya. Hayam wuruk ingin dimakamkan di situ karena daerah Ngetos masih termasuk wilayah Majapahit yang menghadap gunung Wilis yang seakan-akan disamakan gunung Mahameru. *** [150812]

Share:

Candi Lor

Candi Lor terletak di Desa Candirejo, Loceret ± 4 km selatan Kota Nganjuk. Berdiri di atas tanah seluas 42 x 39,40 m = 1.654 m², luas saubasementnya (alasnya) 12,40 x 11,50 m = 142,60 m², dan tinggi candi ± 9,30 m, didirikan oleh seorang yang bernama Empu Sindok tahun 859 Çaka atau 937 Masehi sebagai Tugu Peringatan atas jasa masyarakat Anjuk Ladang (sekarang Nganjuk) saat melawan tentara Melayu. Prasasti Anjuk Ladang yang ditemukan di sekitar Candi Lor merupakan bukti sejarah berdirinya Kabupaten Nganjuk.
Pada bangunan Candi Lor ini terdapat 2 buah makam, yaitu Abdu Dalem Kinasih Empu Sindok yang bernama: Eyang Kerto dan Eyang Kerti.



Selain terdapat makam, juga kita dapat jumpai pohon yang sangat besar yang umurnya ± 500 tahun. Pohon kepuh ini berdiri di atas bangunan candi. Bahan baku pada bangunan Candi Lor adalah bata berukuran tinggi 5,6 m, panjang 7 m dan lebar 4,2 m. Keadaan candi sudah tidak utuh lagi tinggal sebagian badan dan kaki, dari tangga yang diperkirakan candi menghadap ke barat.



Keadaan sekarang hanya tinggal reruntuhan tetapi dari sisa-sisa yang ada dapat diketahui bahwa bangunan semula terdiri dari dua tingkat. Bagian depannya di barat di dekat reruntuhan candi ditemukan reruntuhan arca Ganesha dan Nandi, serta prasasti batu bertarikh 850 Çaka (937 M) yang menyebutkan bangunan suci Srijayamerta. Sehingga dapat disimpulkan Candi Lor merupakan bangunan suci Agama Hindu.

Latar Belakang Sejarah
Laporan paling tua tentang Candi Lor ditulis Raffles pada tahun 1817, ia mencatat bahwa distrik Anjoek terdapat sebuah bangunan suci berdiri sangat bagus dengan bentuk seperti Candi Jabung di Probolinggo. Menurut Raffles, kemiripan tersebut menunjukkan bahwa baik dimensi maupun rancangan umum dari sejumlah candi-candi distrik timur berbeda jauh dan dibangun dengan material yang sama. Pada tahun 1866 Hoepermans mencatat tentang keadaan Candi Lor yang waktu itu berupa sisa-sisa bangunan dari bata yang ditumbuhi oleh pohon kepuh.
Bangunan Candi Lor tanpa ornamen dengan pintu masuk di sebelah barat, di tempat ini ditemukan arca-arca banyak yang sudah cacat. Di antara arca-arca tersebut terdapat Ganesha dan Nandi, kemudian arca-arca itu dibawa ke Kediri. Sedangkan pada tahun 1908, Kneebel mencatat bahwa di suatu ketinggian di sisi jalan Desa Papoengan, terdapat candi tanpa atap yang keadaannya dililit oleh akar-akar pohon sepreh. Di sekitar candi terdapat Yoni yang telah patah dan terdapat sebuah kuburan. Situs Candi Lor ini terkenal sebagai tempat pertapaan tokoh yang bernama Gentiri.
Pada tahun 1913 N.J. Krom banyak mengulas tentang prasasti Anjuk Ladang yang ditemukan di halaman Candi Lor. Prasasti tersebut pernah dibawa ke Residen Kediri yang akhirnya karena kepentingan penelitian dibawa ke Jakarta dengan nomor inventaris C.59. Bagian yang memuat angka tahun pada Prasasti Anjuk Ladang tersebut sudah aus sehingga menimbulkan berbagai penafsiran para ahli. Brandes membacanya 857 Çaka yang kemudian hari diragukan ketepatannya oleh L.C. Damais. Menurutnya angka tahun tersebut haruslah dibaca 859 Çaka (937 M).
Prasasti Anjuk Ladang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isana Wikrama Dharmottungga Dewa yang memerintahkan Rakai Hino Pu Sahasra Rakai Wka Pu Baliswara serta Rakai Kanuruhan Pu Da untuk menetapkan Watek Anjuk Ladang (Nganjuk) sebagai Desa Swantantra, seperti tersurat dalam kalimat: …”Sawah kakaitan I Anjuk Ladang tutugani tanda Swantantra”.
Habib Mustopo menjelaskan bahwa data yang tak diragukan adalah adanya centara penetapan Swantantra di Anjuk Ladang dengan sebuah bangunan suci seorang tokoh yang cukup terkenal yaitu “Bhatara I Sang Hyang plasada kabyaktan I dharma samgat I Anjuk Ladang”. Dengan demikian dapat diketahui bahwa Candi Lor paling tidak berasal dari 859 Çaka atau 937 M dan berhubungan langsung dengan Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isana Wikramatunggadewa dan sampai sekarang Candi Lor dikenal sebagai candi cikal bakal berdirinya Kabupaten Nganjuk dan sebagai dasar penetapan hari jadi Kota Nganjuk pada tanggal 10 April 937 M. *** [150812]
Share:

Museum Anjuk Ladang

Museum Anjuk Ladang berada di Jalan Gatot Subroto, Nganjuk atau bersebelahan dengan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dari terminal Nganjuk ± 100 m ke arah timur.



Bangunan museum ini dibangun di atas lahan seluas 2.633,44 m² dengan satu lantai. Luas keseluruhan bangunan adalah 4 tempat 351,05 m2 untuk publik dan 2 lokasi = 63 m2 untuk non publik. Bangunan ini didirikan sejak tahun 1995 namun baru difungsikan sebagai museum sejak 10 April 1996. Sejak awal berdiri memang difungsikan sebagai museum dengan status kepemilikan tanah milik pemerintah daerah. Museum ini terbagi menjadi beberapa bagian bangunan. Bagian depan berbentuk joglo tempat menyimpan prasasti Anjuk Ladang dan kereta kencana, bangunan induk sebagai tempat penyimpanan guci, uang logam kuno, wayang kulit, gerabah, keramik, genta, dan lain-lain. Sedangkan, bangunan belakang kecil dan digunakan untuk sekretariat museum, bangsal keamanan dan kamar mandi / toilet. ***
Share:

Prasasti Anjukladang

Prasasti Anjukladang berangka tahun 859 Saka atau 937 Masehi. Sayang sekali bahwa prasasti ini belum terbaca seluruhnya karena disebabkan tulisan-tulisan yang terpahat mengalami keausan, terutama pada bagian atas prasasti. Namun dari beberapa tulisan yang tidak mengalami aus dapat kiranya didapatkan keterangan sebagai berikut:


Raja Pu Sindok telah memerintahkan agar tanah sawah kakatikan (?) di Anjukladang dijadikan sima dan dipersembahkan kepada bathara di sang hyang prasada kabhaktyan di Sri Jayamerta, dharma dari Samgat Anjukladang.
Menurut J.G. de Casparis, penduduk Desa Anjukladang mendapat anugerah raja dikarenakan telah berjasa membantu pasukan raja di bawah pimpinan Pu Sindok untuk menghalau serangan tentara Malayu (Sumatera) ke Mataram Kuna yang pada saat itu telah bergerak sampai dekat Nganjuk. Atas jasanya yang besar, maka Pu Sindok kemudian diangkat menjadi raja. Selain itu, prasasti ini juga berisi tentang adanya sebuah bangunan suci. Dalam makalahnya yang berjudul “Some Notes on Transfer of Capitals in Ancient Sri Lanka and Southeast Asia”, de Casparis mengatakan bahwa dalam prasasti itu juga disebutkan bahwa Raja Pu Sindok mendirikan tugu kemenangan (jayastambha) setelah berhasil menahan serangan raja Malayu, dan pada tahun 937 M, jayastambha tersebut digantikan oleh sebuah candi. Kemungkinan besar bangunan suci yang disebutkan dalam prasasti ini adalah bangunan Candi Lor yang terbuat dari bata yang terletak di Desa Candirejo, Kecamatan Loceret, di dekat Berbek, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Kutipan isi prasasti Anjukladang yang menyebutkan hal itu: A. 14 – 15: … parnnaha nikanaŋ lmah uŋwana saŋ hyaŋ prasada atêhêra jaya[sta]mbha wiwit matêwêkniraŋlahakan satru[nira] [haj]ja[n] ri [ma]layu (= di tempat ini [yang telah terpilih] agar menjadi tempat didirikannya bangunan suci, sebagai pengganti tugu kemenangan, [di sanalah] pertamakali menandai saat ia [raja] mengalahkan musuhnya raja dari Malayu).
Prasasti ini sekarang menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta dengan Nomor Inventaris D.59. ***

Kepustakaan:
__________, 2007. Katalog KOLEKSI ARKEOLOGIS Museum Anjukladang, Kabupaten Nganjuk, Nganjuk: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten , hal. 2
Nastiti, Titi Surti, 2003. Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII – XI Masehi, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, hal.26
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami