The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Flores Heritage. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Flores Heritage. Tampilkan semua postingan

Taman Renungan Bung Karno

Dengan naik ojek, kami diantar keliling Kota Ende. Salah satu lokasi yang ditunjukkan oleh tukang ojek adalah sebuah taman yang hijau dan rindang. Sekilas tampak seperti taman kota yang pada umumnya ada di sebuah daerah. Namun bila sudah memasuki areal taman ini akan terlihat keistimewaan dari taman ini. Taman ini dikenal dengan Taman Renungan Bung Karno. Taman Renungan ini terletak di Jalan Soekarno, Kelurahan Kota Ratu, Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lokasi taman ini berada di depan Kantor Camat Ende Utara.
Dalam catatan sejarah, Soekarno pernah dibuang ke Ende, Pulau Flores dari tahun 1934 hingga 1938. Ketika di Ende, Soekarno sering memanfaatkan sebagian waktu pembuangannya untuk melakukan permenungan mendalam tentang butir-butir Pancasila yang kini menjadi dasar negara Indonesia. Tokoh Proklamator ini sering bermain bola bersama masyarakat setempat. Saat lelah ia bernaung di bawah pohon sukun berbatang lima. Soekarno duduk pada sebuah bangku kecil, sambil membaca sebuah buku, setelah dibaca kemudian Soekarno menutup bukunya, tangannya disandarkan ke belakang untuk menopang kepalanya. Kepala Soekarno mendongak ke atas melihat cabang-cabang sukun yang berjumlah lima itu sambil menikmati hembusan angin dan mulai berpikir jauh tentang Indonesia. Di bawah pohon sukun inilah, Soekarno menemukan konsep dasar Indonesia, Pancasila.


Ende sangat mempengaruhi Soekarno, karena di Ende-lah Soekarno “menemukan dan merancang” Pancasila. Secara pribadi, Ende menjadi tempat perkembangan penting dalam diri Soekarno, yaitu perubahan dari manusia “singa podium” menjadi “manusia perenung”. Soekarno di Jawa adalah Soekarno “pembakar massa”. Soekarno di Ende adalah Soekarno reflektif, pemikir, lebih banyak waktu dipakai untuk tenggelam dalam perpustakaan, bertukar pikiran dengan sekelompok paderi dari Societas Verbi Divini (SVD) atau Serikat Sabda Allah, yang tidak ada hubungannya dengan gerakan kebangsaan sebagaimana para misionaris lain di Jawa. Kehidupan rakyat Ende, yang berasal dari berbagai suku bangsa dan agama tetapi hidup rukun dan damai, benar-benar memperkaya imajinasi Soekarno terhadap Indonesia merdeka kelak. Bahkan, itu menjadi bahan renungannya setiap hari di bawah sebuah pohon sukun.


Sekitar tahun 1970-an, pohon sukun tersebut mati dan pemerintah setempat mengganti dengan menanan anakan pohon yang sama dilokasi yang sama. Kemudian sejak tahun 1980-an, pohon sukun itu berganti nama menjadi Pohon Pancasila.
Dulu, lokasi Soekarno merenung di bawah pohon sukun tersebut dikenal sebagai Taman Remaja Ende, sedangkan di sebelah timurnya adalah Lapangan Perse. Perse merupakan singkatan dari Persatuan Sepak Bola Ende yang terkenal pada tahun 1970-an. Jadi, Lapangan Perse itu awalnya merupakan satu-satunya stadion sepak bola pada era itu. Setiap ada perhelatan sepak bola, puncak pertandingan antar klub atau antar kabupaten pasti digelar di lapangan ini.
Namun, sejak Wakil Presiden Boediono meresmikan patung Bung Karno yang berada di dekat pohon sukun tersebut pada 1 Juni 2013, yang dulunya dikenal dengan Taman Remaja berubah menjadi Taman Renungan Bung Karno atau biasa disebut juga dengan Taman Pancasila. Sedangkan, Lapangan Perse berubah menjadi Lapangan Pancasila. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa tempat-tempat tersebut memiliki sejarah yang ada kaitannya dengan munculnya falsafah lima sila atau Pancasila. *** [260915]

Kepustakaan:
Dhaniel Dhakidae, 2013. Soekarno: Membongkar Sisi-sisi Hidup Putra Sang Fajar, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara
Share:

Percetakan Arnoldus Ende

Dalam perjalanan pulang dari halaman depan Gereja Katolik Paroki Kristus Raja Katedral Ende menuju penginapan di Hotel Safari, akan melewati sebuah bangunan yang tergolong lawas juga. Gaya arsitektur bangunan yang silindris ini masih berdiri kokoh dan menarik pandangan setiap yang melihatnya.
Sesuai yang tertera dalam salah satu dindingnya, bangunan lawas tersebut adalah Gedung Percetakan Arnoldus. Gedung percetakan ini terletak di Jalan Katedral No. 5 Kelurahan Potulando, Kecamatan Ende Tengah, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lokasi percetakan ini berada di belakang Gereja Katolik Paroki Kristus Raja Katedral Ende, atau di sebelah selatan Gedung Imaculata.
Percetakan Arnoldus ini merupakan percetakan pertama di Pulau Flores, yang pendiriannya digagas oleh Pater Petrus Noyen, SVD pada tahun 1926. Pemberian nama “Arnoldus” untuk usaha percetakan ini, diambil dari nama Santo Arnoldus Janssen, pendiri Kongregasi SVD, Kongregasi Suster SSpS, dan Kongregasi Suster SSpSAP. Kongregasi ini diberi nama, Societas Verbi Divini (SVD) atau Serikat Sabda Allah, yang secara khusus menghormati Hati Kudus Yesus. Semangat itu ditandai oleh penyerahan diri seutuhnya kepada Allah, semangat iman, kesetiaan, kerendahan hati, dan penyangkalan diri.


Dalam mengawali usaha percetakan ini, Percetakan Arnoldus menggunakan mesin percetakan yang didatangkan dari Jerman. Kebetulan juga Jerman merupakan tempat kelahiran Santo Arnoldus Janssen. Cetakan pertama dari percetakan ini terbit pada 21 Juni 1926 berupa doa yang disusun dalam bahasa Melayu yang diberi judul Sende Aus, artinya Utuslah. Sebagaimana awalnya percetakan ini mengemban misi membantu pewartaan gereja lokal di Flores dam kemudian melakukan juga publikasi umum. Hal ini selaras dengan apa yang pernah dilakukan oleh Santo Arnoldus Janssen pada waktu itu. Menyadari pentingnya publikasi untuk mempromosikan panggilan imamat, Santo Arnoldus Janssen segera memulai karya percetakan dan penerbitan. Itulah sebabnya, pemilihan nama Arnoldus ini diyakini dapat menjadi pelindung terhadap percetakan di Ende ini.
Percetakan ini dikelola oleh Biro Naskah yang telah menerbitkan berbagai buku keagamaan dan ketrampilan. Berawal dari Biro Naskah ini, maka lahirlah Penerbit Nusa Indah. Semula “Nusa Indah” adalah nama perpustakaan kecil, yang kemudian dijadikan sebagai nama sebuah toko buku yang dikelola oleh Bruder Vitalis, SVD. Toko Buku (TB) Nusa Indah menjual buku-buku yang dicetak oleh Percetakan Arnoldus yang berlokasi satu bangunan dengan TB Nusa Indah. Pada tahun 1960-an sebelum menjadi penerbit, nama Nusa Indah sebenarnya sudah dicantumkan dalam buku-buku Percetakan Arnoldus bersanding dengan label Percetakan Arnoldus, seperti misalnya Arnoldus-Perpustakaan Nusa Indah atau Percetakan Arnoldus-Penerbit Nusa Indah.
Baru pada 1 April 1970, Pater Alex Beding, SVD mendirikan Penerbit Nusa Indah yang kemudian berkembang menjadi penerbit terkemuka di kawasan timur Indonesia. Awalnya hanya menerjemahkan buku-buku asing dalam bidang kerohanian untuk memenuhi kebutuhan rohaniawan dan seminari, namun kemudian melebarkan terbitannya dengan merambah ke penerbitan buku tentang pertanian, sastra, bahasa, novel dan kamus. Sementara itu, percetakan Arnoldus tetap masih memroses percetakannya.
Sekarang, percetakan Arnoldus merupakan unit perusahaan PT. Arnoldus Nusa Indah (PT. ANI) yang masih terus beroperasi dan bersaing dalam bidang percetakan untuk wilayah Flores dan sekitarnya. Sedangkan, manajemen PT. ANI dijalankan oleh Serikat Sabda Allah, sebuah Serikat Religius dan Misionaris Katolik. *** [250915]
Share:

Gereja Katolik Paroki Kristus Raja Katedral Ende

Nasib baik menghampiri saya. Tepat di depan penginapan, banyak hilir mudik angkot. Hal ini membantu saya dalam mewujudkan hasrat heritage tourism di Kota Ende. Kali ini saya mengunjungi sebuah gereja lawas dengan gaya arsitektur yang menawan. Gereja tersebut adalah Gereja Katolik Paroki Kristus Raja Katedral Ende, atau bisa disebut dengan Gereja Katedral Ende saja. Gereja ini terletak di Jalan Katedral No. 5 Kelurahan Potulando, Kecamatan Ende Tengah, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lokasi gereja ini sebelah timur Kantor Pos Ende, atau di sebelah utara KUD Baranuri.
Ide pendirian gereja ini datang dari Uskup Mgr. Verstraelen, sebagai tempat ibadah umat Katolik, dan sekaligus sebagai gereja Katedral Keuskupan Sunda Kecil. Peletakan batu pertama pembangunan gereja ini dilakukan dengan upacara yang dipimpin oleh Uskup Mgr. Arnold Verstraelen, SVD pada 18 Mei 1930. Persiapan pembangunan gereja dipercayakan kepada Pastor Paroki, Pater Huijlink. Proses pembangunan gereja ini memakan waktu sekitar dua tahun, dengan ditandai dengan pentasbihan oleh Uskup Mgr. Arnold Verstraelen pada 7 Februari 1932.


Pemilihan lokasi gereja Katedral ini didasari atas pertimbangan bahwa lokasi gereja tersebut yang berdekatan dengan Biara Santo Yosef, dan menjadi satu kawasan dengan kompleks Misi Ende (sekarang menjadi Keuskupan Agung Ende). Pada waktu pendirian gereja ini, Ende belumlah menjadi sebuah kabupaten dan belum menjadi Keuskupan Agung Ende (Archidioecesis Endehenus) seperti saat ini. Karena Kabupaten Ende sendiri baru terbentuk pada tahu 1958, dan Keuskupan Agung Ende pada tahun 1961. Gereja Katolik ini memang lahir karena kegigihan para misionaris Societas Verbi Divini (SVD) atau Serikat Sabda Allah.
Gereja ini memiliki pelataran yang cukup luas, sehingga ketika memasuki halaman gereja ini sudah tampak bangunan gereja yang menjulang, Dilihat dari fasade bangunan gereja, terlihat bahwa bangunan gereja ini menggunakan gaya arsitektur Neo-Gothic yang telah disesuaikan dengan arsitektur tradisional suku Ende, terutama bentuk atapnya.
Gereja ini mempunyai satu menara di sebelah kanannya yang di atasnya dipasang sebuah salib, dan pada dinding menara terdapat jam sebagai penanda waktu. Sedangkan, di bagian kiri depan gereja ada patung Kristus yang lumayan besar yang seolah-olah menyambut setiap jemaat yang akan bersembahyang di dalam gereja tersebut. Patung Kristus tersebut berdiri di atas bola dunia, dan di bawah bola dunia terdapat tulisan Christus Rex Mundi (Kristus Raja Dunia).
Tepat di atas pintu utama gereja terdapat tulisan Christo Regi (Kristus Raja), dan di atas tulisan adalah kaca yang dibingkai lima pilar yang berbentuk lengkungan. Fungsinya adalah pencahayaan, yaitu untuk menyerap sinar mentari agar bisa masuk ke dalam ruang utama gereja.
Berdasarkan laman kebudayaan.kemendibud.go.id, Gereja Katedral ini tercatat sebagai salah satu inventaris warisan budaya di Kabupaten Ende. BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) Gianyar telah melakukan upaya pelestarian terhadap warisan atau cagar budaya di Kabupaten Ende, antara lain yaitu penempatan juru pelihara, pemetaan serta dokumentasi terhadap Gereja Katedral. *** [250915]



Share:

Taman Nasional Kelimutu

Berkunjung ke Ende, buat sebagian orang terasa belum lengkap tanpa mengunjungi Taman Nasional Kelimutu (Kelimutu National Park). Sebuah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam.
Taman Nasional Kelimutu mencakup luas wilayah sekitar 5.356,50 hektar yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 679/Kpts-II/1997 Tanggal 10 Oktober 1997. Taman nasional ini merupakan yang terkecil dari enam taman nasional di kawasan Bali dan Nusa Tenggara. Secara administratif lokasinya berada di 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Detsuko, Kecamatan Wolowaru, dan Kecamatan Ndona, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Untuk menuju Taman Nasional Kelimutu tidaklah sulit karena jalan utama menuju kawasan tersebut berada di tepi jalan arteri Ende-Maumere. Bisa menggunakan bis jurusan Maumere tapi harus berjalan lumayan jauh menuju ke pintu masuk Taman Nasional Kelimutu. Jika rombongannya terdiri dari 6-8 orang bisa carter mobil ke sana dengan biaya sekitar 750 ribu dari Kota Ende, tapi kami memilih menggunakan jasa ojek dengan biaya hanya 100 ribu sekitar 6 jam pulang pergi. Selain irit, juga bisa menikmati perjalanan dengan seksama karena pada waktu kami ke sana, cuaca cukup bersahabat. Perjalanan dengan ojek dari Hotel Safari tempat kami menginap sampai ke areal parkir kawasan Taman Nasional Kelimutu, memerlukan waktu sekitar dua jam.
Sekitar satu kilometer lebih sebelum sampai ke areal parkir, kami harus membayar karcis masuk pengunjung Taman Nasional Kelimutu sebesar 5 ribu dan pengojeknya pun harus membayar karcis masuk juga. Setelah itu, kami akan melalui jalan hotmix seukuran 4 meter menanjak dan berkelok-kelok sampai areal parkir. Dalam perjalanan ini, kami melintasi kawasan agrowisata. Di kiri-kanan jalan tersebut, kami bisa menyaksikan aneka tanaman yang ada di kawasan argowisata yang membentuk hutan tersebut, seperti pohon ampupu (Eucalyptus urophylla), cemara (Casuarina junghuniana), aro (Wendlandia paniculata), poni atau pakis gunung (Cyatea sp), dan lain-lain. Ada sekitar 250 tanaman dan 3 tanaman endemik. Semua itu terdiri dari 79 jenis pohon dan 15 jenis tanaman bawah.


Tanpa terasa perjalanan yang berkelok-kelok tersebut, sampailah kami di areal parkir. Kami harus berpisah sementara dengan tukang ojek, karena kedua tukang ojek ingin beristirahan dan menunggu di areal parkir sampai minum kopi. Sementara, rasa penasaran akan keingintahuan berikutnya kami terpaksa melanjutkan perjalanan terus hingga ke atas dengan jalan kaki, karena memang kendaraan tidak diizinkan naik ke atas kecuali para petugas rescue atau Tim SAR dari Taman Nasional Kelimutu.
Dalam perjalanan ini, kami akan melintasi arboretum seluas 4,5 hektar. Dalam bahasa Latin, arboretum berasal dari kata arbor yang berarti pohon, dan retum yang berarti tempat. Sedangkan arboretum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan sebagai tempat berbagai pohon ditanam dan dikembangkbiakkan untuk tujuan penelitian atau pendidikan.
Arboretum memiliki fungsi sebagai tempat koleksi keanekaragaman jenis flora Taman Nasional Kelimutu. Dari yang dilalui tersebut, kami melihat tanaman mboa (Melastoma malabatricum), poni atau pakis gunung (Cyatea sp),  aro (Wendlandia paniculata), bongo (Ficus Fistulosa), singgi (Litsea resinosa), gari (Schefflera lucida), dan mera meke (Pittosporum molucanum).
Setelah melintasi arboretum, kami menjumpai banyak pohon cemara (Casuarina Junghuniana). Orang setempat menyebutnya dengan tanaman bu, dan beberapa tanaman endemik Kelimutu, yaitu uta onga (Begonia kelimutuensis), turuwara (Rhondodenron renschianum), dan arengoni (Vaccinium varingiaefolium). Selain keanekaragaman flora, di Taman Nasional Kelimutu juga banyak terdapat jenis fauna yang mendiaminya, seperti kelelawar (Cynopterus nusatenggara), tikus lawo atau teu lawo (Rattus hainaldi), tikus besar Flores atau deke (Papagomys armandvillei), cacurut munggis rumah (Suncus murinus), musang luwak atau beku (Paradoxurus hermaphroditus), babi hutan (Sus scrofa), ular (Trimeresurus albolabris), elang coklat (Accipiter fasciatus wallacii), perkutut loreng (Geopeli striata maugeus), burung bondol atau hijau dada merah ( Erythrura hyperythra obscura), burung Kancilan Flores (Pachycephala nudigula nudigula Hartert), ayam hutan hijau (Gallus varius), burung perkici pelangi (Trichoglossus haematodus weberi), dan anis hutan (Zoothera andromedae). Selain itu, di Taman Nasional Kelimutu juga terdapat burung Garugiwa (Monarcha sacerdotum). Burung ini memiliki suara merdu mengiringi matahari terbit di sekitar danau. Burung yang tergolong endemik Flores ini sekarang sudah sangat langka, masyarakat setempat menyakini burung tersebut sebagai burung arwah. Burung tersebut mempunyai ciri-ciri: kepalanya berwarna hitam, paruh warna hitam dengan garis putih, gelambir kulit warna merah, dan menggelembung saat berkicau, bulu hitam di bawah gelambir, bulu bagian sayap punggung dada dan ekor berwarna hijau kekuningan pada bagian atas, kaki berwarna hitam serta bulu sayap dan ekor bagian bawah berwarna hitam.


Perjalanan kaki sepanjang 3 sampai 4 kilometer tersebut, akhirnya sampai juga kami puncak gunung yang ditandai dengan adanya tugu Soekarno sebagai monumen. Di sekitar tugu tersebut dipasang pagar tralis, agar supaya keselematan pengunjung terjaga karena di atas kecepatan angin cukup kencang. Sehingga bila tidak hati-hati, pengunjung bisa tergelicir masuk ke dalam danau-danau yang terdapat di kawasan puncak tersebut. Inilah Gunung Kelimutu! Kelimutu merupakan gabungan dari kata “keli” yang berarti gunung, dan kata “mutu” yang berarti mendidih.
Gunung Kelimutu yang berada di ketinggian 1.640 meter di atas permukaan laut (dpl), tumbuh di dalam Kaldera Sokoria atau Tubusa bersama dengan Gunung Kelido (1.641 m dpl) dan Gunung Kelibara (1.630 m dpl). Ketiganya membangun kompleks yang bersambungan kecuali Gunung Kelibara yang terpisah oleh lembah dan kaldera Sokoria. Letak puncak-puncak gunung api ini terjadi karena perpindahan titik erupsi melalui sebuah celah yang menjurus lebih kurang utara-selatan.
Dari ketiga gunung tersebut, Gunung Kelimutu merupakan kerucut tertua dan masih memperlihatkan aktivitas sampai sekarang yang merupakan kelanjutan kegiatan gunung api tua Sokoria.
Tubuh Gunung Kelimutu dibangun oleh batuan piroklastika (bom, lapili, scoria, pasta, abu, awan panas dan lahar) serta lelehan lava. Permukaan lerengnya berkembang ke arah timur, tenggara dan barat daya dengan topografi kasar sedang dibangun oleh aliran piroklastika dan lahar serta lelehan lava andesit, penyebaran lereng barat selatan berelief sedang, dibangun oleh kegiatan Kelimutu muda tapi terhalang oleh Gunung Kelibara, sedangkan lereng barat dan utara memperlihatkan morfologi berelief kasar.
Pada puncak Kelimutu terdapat 3 buah sisa kawah yang mencerminkan perpindahan puncak erupsi. Ketiga sisa kawah tersebut kini berupa danau kawah dengan warna air yang berlainan dan mempunyai ukuran diameter yang bervariasi, bernama Tiwu Ata Polo (danau merah), Tiwu Nuwa Muri Ko’o Fai (danau hijau) dan Tiwu Ata Mbupu (danau biru). Tiwu Ata Polo atau Ata Polo Lake dianggap sebagai tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dan selama ia hidup selalu melakukan kejahatan/tenung. Tiwu Nuwa Muri Ko’o Fai atau Nuwa Muri Ko’o Fai Lake merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa muda-mudi yang telah meninggal. Sedangkan, Tiwu Ata Mbupu atau Ata Mbupu Lake adalah tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal.
Itulah kenapa Danau Kelimutu kerap dikenal sebagai Danau Tiga Warna, artinya ketiga danau yang memiliki warna yang berbeda-beda tersebut berada di kawasan yang dikenal dengan Gunung Kelimutu meski sebenarnya ketiga danau tersebut memiliki nama sendiri-sendiri.


Sejarah Gunung Kelimutu memang kurang dikenal, namun menurut keterangan penduduk setempat gunung dengan ketiga danau berwarna ini telah ada sepanjang sejarah di mana dinding di antara 2 danau di bagian timur dahulunya bisa dilalui orang, tetapi sekarang dinding semakin menipis dan hampir lenyap akibat peristiwa vulkanik berupa letusan dan gempa.
Berdasarkan catatan sejarah, Gunung Kelimutu meletus dahsyat pada tahun 1830 dengan mengeluarkan lava hitam Watukali, kemudian meletus kembali pada tahun 1869-1870 disertai aliran lahar dan membuat suasana gelap gulita di sekitarnya di mana hujan abu dan lontaran batu hingga mencapai Desa Pemo.
Gunung Kelimutu pertama kali ditemukan oleh B.C.Ch.M.M. van Suchtelen, seorang controleur onderafdeling Ende dan sekaligus peneliti, pada tahun 1915. Namun, Gunung Kelimutu baru dikenal oleh masyarakat luas ketika salah seorang pastor bernama Y. Bouman, SVD menuliskan kekagumannya pada Gunung Kelimutu yang menyimpan pesona Danau Tiga Warna dalam sebuah tulisannya pada tahun 1929. Sejak itulah Gunung Kelimutu dikenal dunia dengan indahnya Danau Tiga Warna yang memikat hati pengunjung. Mereka berkunjung untuk menikmati keindahan Danau Tiga Warna yang oleh masyarakat setempat dianggap angker.
Ketika dalam masa pengasingan di Ende, Flores, dari tahun 1934 sampai dengan tahun 1938, Soekarno atau Bung Karno pernah mengunjungi Gunung Kelimutu. Keterpesonaan akan Gunung Kelimutu dan situasi masyarakat setempat yang menganggapnya masih angker mengilhami Bung Karno dalam menulis naskah drama yang diberi judul Rahasia Kelimutu. Naskah yang terdiri dari 7 babak ini akhirnya dipentaskan di Gedung Imaculata, milik Katedral Ende. Pementasan ini dilakukan oleh Toneel Club Kelimutu yang didirikan oleh Bung Karno bersama sahabat-sahabatnya di Ende, dan distrudarai langsung oleh Bung Karno. Naskah drama Rahasia Kelimutu ini mengisahkan kepecayaan masyarakat akan hal-hal tahyul, yang dinilai menghambat kemajuan dan merintangi langkah menuju modernitas. Tentunya dalam 7 babak tersebut diselipkan drama yang mengisahkan keindahan dan keelokan Gunung Kelimutu dengan Danau Tiga Warna tersebut.
Ketiga danau kawah selalu mengalami perubahan warna air. Perubahan warna air kawah erat kaitannya dengan aktivitas vulkanik dan perubahannya tidak mempunyai pola yang jelas tergantung kegiatan magmatiknya.
Kalangan ilmuwan dan peneliti memberikan informasi bahwa kandungan kimia berupa garam besi dan sulfat, mineral lainnya serta tekanan gas aktivitas vulkanik dan sinar matahari adalah faktor penyebab perubahan warna air. Tercatat beberapa peneliti ketiga danau tersebut, seperti B.C.Ch.M.M. van Suchtelen (1915), Ch.C.F.M. Le Roux (1916), H. Horneman (1922), G.L.L Kemmerling (1929), O. Jaag (1938), Ch. E. Stehn (1940), M.N. van Padang (1951), G.A. de Neve (1952), N.I. Adnawidjaja (1958), J. Matahelumual (1960), E. Abdul Patah Amidjad (1961), dan K. Kusumadinata.
Peneliti-peneliti tersebut yang mencatat adanya perubahan warna air yang terjadi pada ketiga danau kawah yang terdapat di Gunung Kelimutu. Di Kelimutu Documentary Board terpampang beberapa kronologis perubahan warna yang pernah terjadi pada ketiga danau tersebut. Jadi, jangan heran bila antara kunjungan Anda dengan temen Anda di lain waktu akan menghasilkan gambar foto yang menunjukkan perbedaan warna airnya. *** [250915]

Kepustakaan:
Kelimutu Documentary Board
www.tnkelimutu.com
Share:

Rumah Retret Kemah Tabor Mataloko

Usai melihat bangunan Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu, kami menyeberang jalan arteri melangkahkan kaki melihat bangunan peninggalan kolonial Belanda yang tak kalah menariknya. Salah satu hal yang membuat kagum adalah berjajarnya beberapa topiary pohon cemara hampir setinggi lantai satu bangunan yang ada. Bangunan tersebut adalah Rumah Retret Kemah Tabor Mataloko, atau biasa disebut dengan Rumah Retret Mataloko saja.
Rumah Retret ini terletak di Jalan Trans Flores Bajawa-Ende, Desa Mataloko, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lokasi rumah retret ini berada di depan Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu.
Semula bangunan ini merupakan rumah tinggal para misionaris SVD di Mataloko yang didirikan pada tahun 1932, atau selang tiga tahun berdirinya bangunan SeminariSanto Yohanes Berkhmans Todabelu yang berada di depannya. Memang, kedua bangunan tersebut ada keterkaitannya dalam pembangunannya. Seminari berfungsi untuk bangunan sekolah atau aktivitas belajar mengajar, sedangkan Rumah Retret digunakan untuk rumah tinggal para frater yang mengajar di seminari, dan sekaligus sebagai tempat untuk melakukan pertemuan atau diskusi di kalangan para frater tersebut.
Rumah Retret ini adalah milik Kongregasi Serikat Sabda Allah. Dalam bahasa Latin, Serikat Sabda Allah ini dikenal dengan Societas Verbi Divini (SVD), yaitu salah satu ordo Gereja Katolik Roma yang didirikan pada tahun 1875 di Steyl, Belanda oleh Santo Arnoldus Janssen. SVD ini melakukan pekabaran injil di wilayah Flores, salah satunya adalah di daerah Kabupaten Ngada ini.


Dipilihnya Mataloko untuk mendirikan rumah retret ini, karena Mataloko adalah sebuah tempat di lereng pegunungan yang berhawa sejuk, dan acapkali berkabut serta memiliki pemandangan yang bagus. Sehingga, lokasi ini dirasa sangat cocok bagi frater-frater yang awalnya didominasi oleh orang Belanda tersebut. Hal inilah yang mungkin juga ada kaitannya dengan penamaan Kemah Tabor untuk rumah retret ini. Gunung Tabor adalah salah satu tempat yang menurut tradisi diyakini sebagai tempat perubahan rupa Sang Juru Selamat. Dataran rendah yang mengelilingi Gunung Tabor adalah Lembah Yizreel, yang juga dikenal sebagai Dataran Esdraelon, dan Nazaret berada di bukit-bukit di balik Gunung Tabor. Jadi, penamaan Kemah Tabor mengandung harapan dari transfigurasi Kristus di mana cahaya kemuliaan yang memancar dari wajah Yesus itu untuk memberikan pengajaran kepada para muridnya.
Bangunan rumah retret ini dulu pernah menjadi tempat sementara pendidikan calon imam sebelum dipindahkan ke Ledalero pada tahun 1937. Pada tahun 1943, Jepang menduduki Seminari Tinggi Ledalero. Karena semua pater-profesor berkebangsaan Belanda diinternir, maka para frater mahasiswa filsafat dan teologi dipindahkan ke Mataloko. Di ‘Rumah Tinggi’ kuliah dilanjutkan dengan bantuan para imam yang ada. Yang dimaksud dengan Rumah Tinggi ini adalah bangunan Rumah Retret Mataloko. Bangunan megah ini kerap dikenal dengan nama ‘Rumah Tinggi’, karena pada zaman dulu merupakan satu-satunya bangunan berlantai dua di daerah itu.
Setelah Indonesia merdeka, dan situasi politik sudah stabil, Seminari Tinggi yang sementara beraktivitas di Mataloko akhirnya dikembalikan lagi ke daerah Ledalero di Kabupaten Sikka. Kemudian, bangunan yang berada di Mataloko tersebut difungsikan sebagai Rumah Retret hingga sekarang. Kata Retret diambil dari bahasa Perancis la retraite yang berarti pengunduran diri, menyendiri, menjauhkan diri dari kesibukan sehari-hari, meninggalkan dunia ramai. Retret sering juga disebut khalwat, artinya sama saja dengan mengasingkan diri ke tempat sunyi.
Ditinjau dari tujuan aslinya, retret merupakan latihan rohani, exercitia spiritualia, atau spiritual exercise. Dari kata “latihan” muncullah suatu bayangan mengenai suatu rangkaian usaha atau kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan teratur guna mencapai suatu hasil tertentu. Retret, sebagai latihan rohani merupakan berbagai rangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan teratur dalam bidang rohani, seperti berdoa, membuat pemeriksaan batin, mengadakan refleksi, membuat renungan, atau meditasi, merasuki kontemplasi, bersemedi dan lain-lain, guna mencapai hasil tertentu dalam hidup rohani.
Kalau Anda sedang berkunjung ke Kabupaten Ngada, jangan lupa sempatkan mengunjungi bangunan lantai dua dan berbentuk U ini. Selain menyaksikan keindahan arsitektur peninggalan kolonial Belanda, Anda juga menghirup udara sejuk dan pemandangan indah serta asri. *** [240915]

Share:

Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu

Dalam perjalanan dari Bajawa menuju Boawae, sopir rental menunjukkan sebuah bangunan seminari yang berdiri megah di tepi jalan yang dilalui. Kami cukup tertarik untuk melihat bangunan seminari yang kuno dan memiliki halaman yang cukup luas. Seminari tersebut bernama Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu, atau sering juga disebut dengan Seminari Mataloko. Seminari ini terletak di Kelurahan Todabelu, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lokasi seminari ini berada di tepi jalan Trans Flores yang menghubungkan Bajawa-Boawae-Ende, atau tepatnya berada di depan Rumah Retret Kemah Tabor Mataloko.
Seminari adalah tempat pendidikan bagi calon rohaniwan Kristiani, entah itu Kristen yang mendidik pendeta atau Katolik yang mendidik pastor. Seminari berasal dari kata Seminarium dari bahasa Latin yang terbentuk dari kata dasar semen, artinya benih. Jadi, Seminari berarti tempat penyemaian benih panggilan rohani yang ada pada seseorang.


Seminari Santo Yohanes Berkhmans merupakan seminari yang khusus mendidik siswanya untuk menjadi calon imam Katolik. Nama Yohanes Berkhmans diambil dari nama seorang pemuda yang lahir di Kota Diest, Belgia pada 13 Maret 1599. Berkhmans adalah sosok teladan sebagai pelindung kaum muda, terutama bagi para calon imam.
Menurut sejarahnya, Seminari Santo Yohanes Berkhmans ini awalnya didirikan di Kampung Sikka pada 2 Februaru 1926. Pendirinya adalah Pastor Frans Cornelissen SVD setelah memperoleh penugasan dan dukungan dari Monsinyur (Mgr) Arnold Vestraelen SVD, Uskup Kepulauan Sunda Kecil. Bersama dua pastor lainnya, Pastor Frans mulai mengelola Seminari Menengah Santo Yohanes Berkhmans Sikka dengan tujuh siswa pada awalnya. Pada tahun berikutnya (1927) siswanya bertambah 10 orang, lalu sembilan siswa lagi pada tahun 1928, hingga seluruhnya berjumlah 26 orang.
Setelah berjalan sekitar empat tahun, Seminari Menengah Santo Yohanes Berkhmans Sikka akhirnya dipindahkan ke Todabelu. Pemindahan itu bertolak dari suatu penilaian bahwa Kampung Sikka tidaklah cukup ideal untuk pengembangan seminari ke depan. Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu diberkati pendiriannya oleh Mgr Arnold Vestraelen SVD pada 15 September 1929. Sehingga, pada setiap tanggal tersebut diperingati sebagai hari berdirinya Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu.
Kompleks Seminari ini menempati lahan seluas sekitar 70 hektar, dan berhawa sejuk. Kawasan tersebut menempati wilayah administratif Kelurahan Todabelu dan Desa Mataloko. Sehingga, seminari tersebut ada juga yang menyebut dengan sebutan Seminari Todabelu atau Seminari Mataloko. Wilayah ini cocok digunakan sebagai lokasi baru lembaga pendidikan khusus menjadi imam Katolik itu. Selain itu, wilayah ini sendiri sebenarnya sejak tahun 1920 sudah berkembang menjadi pusat misi Katolik untuk wilayah Ngada. Ketika angkatan pertama seminari menengah ini tamat tahun 1932, mereka langsung melanjutkan sekolahnya ke seminari tinggi atau setingkat perguruan tinggi di kompleks seminari ini juga. Namun, sejak tahun 1937 seminari tingginya dipindahkan ke Ledalero di Kabupaten Sikka hingga sekarang. *** [240915]

Share:

Kampung Adat Bena

Kalau sudah rezeki tidak akan kemana. Demikianlah kira-kira istilah yang saya alami. Gagal berkunjung ke kampung adat yang cukup terkenal di sekitar Bajawa pada tahun 2013, namun akhirnya terlaksana juga bisa mengunjungi kampung adat tersebut pada tahun 2015 ini.
Kisah ini bermula saat saya mendapat tugas untuk mendampingi seorang Data Specialist dari Lembaga Donor untuk melakukan monitoring ke Pulau Flores. Sebenarnya nama asli pulau ini adalah Nusa Nipa atau Pulau Ular. Nusa Nipa atau Nusa Ular merupakan nama mitologis Pulau Flores yang ditemukan oleh Pater Piet Petu, SVD yang terurai dalam bukunya, Nusa Nipa Warisan Purba (1969).


“Flores” berasal dari bahasa Portugis yang berarti “bunga”. Penyebutan Flores dicetuskan oleh koloni Portugis, yaitu dari kata Cabo de Flores yang artinya Tanjung Bunga. Penamaan Flores telah ada selama empat abad yang lalu, bahkan berikutnya Pemerintah Hindia Belanda enggan mengubahnya dan bertahan hingga sekarang.
Dalam perjalanan dari Desa Haju Wangi, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, menuju ke Desa Dhereisa, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo, kami harus bermalam dulu di Bajawa. Bajawa terletak di antara Kabupaten Manggarai Timur dan Kabupaten Nagekeo, dan merupakan ibu kota dari Kabupaten Ngada. Kami pun menginap di Hotel Johny. Hal ini untuk mengantisipasi sholat Idul Adha esok harinya.


Usai sholat Idul Adha di Masjid Baiturrahman Bajawa yang berlokasi dekat Pasar Bajawa, kami sarapan nasi goreng yang telah disediakan pihak hotel, dan kemudian langsung bergegas melanjutkan perjalanan ke Nagekeo. Dalam perjalanan tersebut, sopir rental mengajak singgah ke kampung adat di sekitar Bajawa. Kampung yang kami kunjungi adalah Kampung Adat Bena. Kampung Adat Bena terletak di Desa Tiworiwu, Kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lokasi kampung adat ini berjarak sekitar 19 kilometer ke arah selatan Kota Bajawa.
Dipilihnya kampung adat ini oleh sopir rental, didasarkan atas pertimbangan bahwa di antara kampung adat yang terdapat di Kabupaten Ngada, Kampung Bena merupakan kawasan desa adat yang terbesar dibandingkan dengan kampung adat lainnya, seperti Gurusina, Wogolama, Tua Woi, dan Bata Dolu.


Kampung Bena adalah salah satu perkampungan tradisional yang masih asli yang ada di Kabupaten Ngada. Perkampungan ini sangat unik karena berada di lembah dan diapit Gunung Inerie dan Gunung Surelaki. Memasuki areal kampung, ada susunan batu turap berteras setinggi tiga meter yang mengaburkan kesan adanya kampung. Namun setelah menaiki batu berteras pada ketinggian tiga meter, barulah terlihat ada Kampung Bena yang tertata apik berderet linier tersembunyi di dalamnya.
Kampung Bena memiliki halaman luas yang disebut kisanatha, ruang publik berupa halaman yang merupakan orientasi setiap kegiatan ritual. Di sini terdapat sejumlah bangunan yang disakralkan masyarakat sebagai perwajahan leluhur mereka, ngadhu dan bagha. Ngadhu merupakan simbol perwajahan leluhur laki-laki, bangunannya menyerupai payung, sedangkan bagha semacam miniatur rumah sebagai perlambang perwajahan leluhur perempuan.
Rumah pendukung ini harus terus disempurnakan sampai pada tingkatan kesembilan yang disebut sao ulu po yang sudah dipandang layak sebagai rumah adat. Sejak memiliki rumah dalam tingkatan ini, mereka sudah boleh menyiapkan diri untuk memiliki ngadhu dan bagha, bangunan pemujaan leluhur laki-laki dan perempuan. Karena pertimbangan lahan yang makin menyempit, maka pembangunan rumah pendukung di kampung Bena sekarang dibatasi dan diperbolehkan membangun di luar areal kampung dengan dasar pertimbangan untuk menjaga keaslian kampung Bena.


Walaupun sekarang masyarakat setempat dominan penganut Katolik, namun budaya lama tradisi megalitik masih tetap membuadaya. Hal ini terlihat jelas saat diadakan upacara reba yakni perayaan syukuran tahunan atas karunia alam dan leluhur. Perayaan ini dimulai dari Bena, di halaman kisanatha yang luas. Masing-masing klan mengadakan perayaan memasak bersama di bangunan bagha yang merupakan bangunan pemersatu agar semua warga klan tetap ingat kepada leluhurnya.
Tidak hanya terpaku pada bangunan yang masih asli, pengunjung juga bisa menyaksikan kegiatan menenun yang dilakukan di ruang teras rumah. Kerajinan tradisional di kawasan wisata budaya Kampung Adat Bena terdiri dari tenun ikat dan kerajinan tangan lainnya, misalnya membuat tempat minum, kalung, hiasan, dengan bahas dasarnya yaitu tempurung kelapa yang sudah tua. Untuk tenun ikat biasanya dilakukan oleh kaum ibu atau anak perempuan.
Di Kampung Bena terdapat beberapa fasilitas yang dapat menunjang kegiatan wisata, fasilitas tersebut terdiri dari pondok payung, pusat informasi, kios dan MCK. Ditinjau dari akseptabilitas, Kampung Adat Bena mudah dikunjungi karena berada di pinggir jalan yang cukup halus. *** [240915]

Share:

Danau Ranamese Manggarai Timur

Atas kebaikan sopir mobil rental yang kami tumpangi dari Ruteng, singgahlah sebentar di sebuah danau yang memiliki panorama indah, udaranya sejuk, dikelilingi hutan lebat dan subur. Danau tersebut dikenal dengan Danau Ranamese, yang menjadi objek wisata alam yang cukup menarik. Sopir melepaskan lelah sebentar sebelum melanjutkan perjalanan ke Bajawa, dan kami pun mencoba menggali informasi perihal danau tersebut dan mengambil gambar dari pinggir jalan lintas Flores untuk mengabadikan keindahan danau tersebut, dan sekaligus berpotret ria.
Danau ini terletak di Jalan Ruteng – Borong, Desa Golo Loni, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lokasi danau ini berada di jalur lintas Flores yang menghubungkan Ruteng-Bajawa-Ende.


Menurut sejarahnya, Danau Ranamese terbentuk karena letusan gunung berapi yang diperkirakan terjadi 400 ratusan tahun silam. Erupsi yang hebat ini mengakibatkan kawah yang ada di gunung api tersebut tertutup air membentuk sebuah danau sehingga bagian tepi danau terlihat curam. Dari segi geologi, danau ini merupakan danau vulkanik yang terbentuk akibat letusan yang fenomenal dari gunung berapi Nampar Nos, atau masyarakat setempat menyebutnya dengan Gunung Ranaka.
Danau yang memiliki luas sekitar 5 hektar, kedalaman 43 meter, dan berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut ini adalah bagian dari Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng, yang meliputi kawasan seluas 32 ribu hektar.
Kondisi geografis yang dimiliki Danau Ranamese ini, menyebabkan memiliki keanekaragaman hayati. Beragam spesies flora dan fauna, termasuk sekitar 250 spesies burung, jenis ikan, beberapa hewan mamalia, dan hutan tropis, ada di kawasan Danau Ranamese.
Suasana danau yang tenang, udara yang sejuk, dengan panorama hutan yang lebat, menjadikan danau ini sangat cocok untuk tempat berlibur atau berwisata mencari ketenangan jiwa. Sayangnya, objek wisata ini masih minim fasilitas pendukung di kawasan Danau Ranamese ini. Tidak ada warung makan, kios souvenir, perahu untuk berkeliling mengitari danau, atau peralatan memancing.
Padahal, jika kawasan Danau Ranamese ini digarap serius untuk kepariwisataan, banyak hal yang bisa dipromosikan. Selain panorama danaunya, ada pula ritual budaya khas Golo Loni yang disebut penti, yaitu upacara syukur atas hasil panen, biasanya digelar pada Agustus atau September.
Tak hanya itu, keanekaragaman hayati yang dimilikinya pun bisa mengundang para botanis untuk melakukan penelitian guna mengeksplorasi flora dan fauna yang ada di kawasan Danau Ranamese ini. *** [230915]

Share:

Situs Liang Bua

Manggarai adalah sebuah wilayah di ujung barat Pulau Flores yang memiliki banyak spot destinasi wisata menarik. Di Manggarai, Anda bisa mengunjungi Kapel Ruteng yang memiliki arsitektur khas dengan dua menara yang menjulang tinggi. Lalu, di atas pegunungan berketinggian 1200 meter di atas permukaan laut di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, bertengger sebuah kampung kuno bernama Wae Rebo. Kampung kecil dengan 7 rumah adat berbentuk kerucut, yang telah dihuni turun temurun selama 19 generasi.
Bagi Anda yang memiliki hobi mendaki gunung, Anda bisa mendaki Gunung Kanaka. Sementara itu, bagi Anda yang hobi olahraga air bisa menikmati aneka macam olahraga air di Pantai Sengari atau menikmati ombak Pantai Cepi Watu yang sangat cocok untuk surfing.
Bukan hanya bangunan heritage, pantai dan gunung saja yang ada di sana, namun wisata gua pun ada di Manggarai. Salah satu gua yang menjadi andalan pariwisata Manggarai yaitu Gua Liang Bua yang ada di Dusun Rampasasa, Desa Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Liang Bua merupakan salah satu situs gua yang terletak di daerah perbukitan kapur di wilayah Manggarai. Nama “Liang Bua” oleh masyarakat setempat diartikan “gua yang dingin”. Terletak ± 14 kilometer di sebelah utara Kota Ruteng, Ibukota Kabupaten Manggarai, pada ordinat 08° 31ˈ 50.4 Lintang Selatan dan 120° 26ˈ 36.9 Bujur Timur, dengan ketinggian ± 500 meter di atas permukaan laut. Gua memiliki ukuran maksimum: panjang ± 50 meter dan lebar ± 40 meter serta tinggi atap ± 25 meter. Terletak sekitar 200 meter di sebelah barat laut pertemuan dua buah sungai (dalam bahasa Manggarai sungai = wae), yaitu Wae Racang dan Wae Mulu.


Dilihat dari kondisi fisiknya, gua ini memang layak sebagai tempat tinggal di masa lalu. Permukaan lantai gua luas dan relatif datar, sirkulasi udara sangat baik karena mulut gua lebar dan atap tinggi, serta mendapat sinar matahari yang cukup sepanjang musim karena mulut gua menghadap ke arah timur laut. Di samping itu, keletakannya yang dekat dengan daerah aliran sungai, memberi peluang yang besar bagi manusia penghuninya dalam memperoleh beberapa jenis sumber daya lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Saat itu sebagian Kepulauan Nusantara yang hanya dibatasi oleh laut-laut yang dangkal seolah akan tergabung dengan benua Asia untuk wilayah barat atau Australia untuk wilayah timur. Kepulauan tersebut hanya dihubungkan oleh jembatan-jembatan darat yang sempit.
Pada saat inilah terjadi proses migrasi manusia dan fauna secara dua arah, baik untuk wilayah Indonesia Bagian Timur maupun Indonesia Bagian Barat. Proses bergabungnya pulau-pulau dengan daratan Asia atau Australia ternyata tidak pernah terjadi di Pulau Flores.
Tidak pernah tergabungnya Pulau Flores dengan pulau-pulau yang lain menyebabkan para ahli berkeyakinan bahwa Flores tidak pernah didatangi dan dihuni oleh manusia sebelum manusia modern yang sudah memiliki kemampuan membuat perahu.
Pandangan di atas tampaknya perlu ditinjau kembali ketika pada tahun 1950-1960 an Theodor Verhoeven – Pastor Belanda yang mengajar di Seminari St. Yohanes Berchmans Mataloko, Kabupaten Ngada, NTT – menemukan artefak batu dalam konteks dengan tulang-tulang Stegodon di Cekungan Soa, Flores, yang diperkirakan berumur sekitar 750 ribu tahun.


Dan pandangan Verhoeven tersebut ditentang dan tidak diterima oleh berbagai kalangan karena dianggap Verhoeven tidak memiliki latar belakang yang cukup di bidang arkeologi maupun geologi. Kisah ini akhirnya mengantarkan Verhoeven dalam penemuan manusia purba di Liang Bua.
Menurut Benyamin – juru pelihara Situs Liang Bua yang dikukuhkan oleh BPCB Bali – sebelum ditemukan pada tahun 2001, situs Liang Bua ini dulunya digunakan sebagai lokasi sekolah bagi anak-anak Flores pada akhir tahun 1950-an dengan pengajar Dr. Theodor Verhoeven, SVD, seorang pastor sekaligus antropolog. Atas perintah Romo Verhoeven pula, situs Liang Bua digali untuk pertama kalinya pada tahun 1965 tapi tidak dilanjutkan. Pada ekskavakasi (penggalian) pertama ini, ditemukan kerangka ikan purba, burung, komodo serta enam kerangka manusia.
Pada tahun 1976 dilakukan penggalian yang kedua oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) yang diketuai Raden Panji Soejono. Ekskavasi kedua ini menemukan tengkorak dan kerangka manusia dewasa. Selain itu, juga ditemukan kuburan dan beragam artefak yang diperkirakan telah berumur 10.000 tahun. Penggalian tersebut dilakukan hingga tahun 1989 saja dan kemudian dihentikan karena kekurangan dana.
Kesulitan dana yang dialami Puslit Arkenas akhirnya terobati setelah ada tawaran kerjasama dari University of New England, Australia, pada tahun 2001. Proyek kerja sama ini ditunjuk Michael john Morwood dari pihak Australia, dan Raden Panji Soejono bertidak sebagai Ketua Tim Puslit Arkenas. Pada September 2003, Tim gabungan ini akhirnya menemukan kerangka manusia di Liang Bua. Temuan kerangka manusia ini akhirnya diberi nama Homo Floresiensis (Manusia Flores). Manusia purba yang ditemukan di Situs Liang Bua ini berjenis kelamin perempuan, berumur antara 25-30 tahun. Tinggi badan ± 106 cm, dan kapasitas volume otak 380 cc. Jenis manusia purba ini telah tinggal di Liang Bua paling tidak sejak 10.000 – 17.000 tahun yang lalu. Ditemukan bersama-sama dengan alat-alat batu dan tulang-tulang gajah purba kerdil (pigmy Stegodon), komodo, kura-kura, burung besar (giant marabou stork) dan tikus besar.
Ciri Homo Floresiensis yang ditemukan ini akhirnya manusia purba dari Flores tersebut acapkali dijuluki Hobbit (manusia bertubuh kecil). Di kedalaman 595 cm inilah para ahli arkeologi menemukan hobbit, sebutan bagi  si ‘mungil’ dari Liang Bua yang menghebohkan dunia arkeologi.
Secara umum tinggalan arkeologis di Situs Liang Bua dibedakan ke dalam 2 kelompok besar masa, yakni Kala Pleistosen dan Holosen. Peralihan dari Pleistosen ke Holosen ditandai dengan adanya aktivitas gunung api yang intensif hingga mengendapkan abu vulkanik tebal di dalam gua.
Hingga sekarang Homo Florensiensis dan konteksnya masih menjadi topik bahasan dan perdebatan para ilmuwan di tingkat dunia. Apapun kondisinya satu hal yang pasti, salah satu situs arkeologi Indonesia kembali menjadi perhatian dunia dan memainkan peranan penting dalam rangka menelusuri jejak-jejak kehidupan di masa lalu. Terutama terkait dengan upaya pemahaman tentang evolusi manusia. *** [230915]

Share:

Situs Rumah Pengasingan Bung Karno

Ketika pesawat Trans Nusa turun di Bandara H. Hasan Aroeboesman Ende, bayangan saya pesawatnya mau mendarat ke laut. Karena memang, bandara tersebut memang tepat berada di tepi pantai. Kesan panas memang terasa ketika kaki mulai melangkah di aspal terminal kedatangan pesawat di bandara tersebut. Suasana pantai ternyata turut andil dalam hal ini.
Namun, tatkala keluar pintu bandara, pemandangan pegunungan menghijau menghampiri sepasang mata yang terasa sedikit lelah karena perjalanan udara dari Kupang ke Ende. Perlahan tapi pasti, panorama menghijau itu seakan mengusir rasa capek yang menggelayut. Mobil innova warna putih seri terbaru yang saya  tumpangi, seolah menuntaskan rasa lelah menjadi rasa terpesona.
Ketika melintas jalan yang sedikit menanjak, sepasang mata ini melihat sebuah rumah tua. Kata Sopir Anto, nama Jawa tapi asli Ende, rumah itu adalah rumah Bung Karno di pengasingan. Akhirnya, keingintahuan saya membawanya sesaat dalam bangunan tersebut.
Bangunan kuno tersebut dikenal sebagai Situs Rumah Pengasingan Bung Karno ketika berada di Pulau Flores. Lokasinya terletak di Jalan Perwira, Kelurahan Kotaraja, Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Situs sejarah tempat pengasingan ini bermula dari sebuah Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tertanggal 28 Desember 1933 yang membuat Soekarno (Bung Karno) yang saat itu berusia 35 tahun harus menjalani hukuman pembuangan sebagai tahanan politik di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.


Selama 8 hari pelayaran dari Surabaya dan dikawal dua orang petugas pemerintah, tibalah Bung Karno dan keluarganya di Ende. Ia langsung dimasukkan dalam tahanan rumah milik pemerintah Hindia Belanda hingga akhirnya tinggal di rumah  milik Haji Abdullah Ambuwaru. Di rumah pengasingan ini, Bung Karno bersama istrinya Inggit Ganarsih, mertuanya Ibu Amsih, dan dua anak angkatnya Ratna Juami dan Kartika, menghabiskan waktu mereka sebagai tahanam politik dari tahun 1934 hingga 18 Oktober 1938.
Rumah yang menghadap ke timur di Pelabuhan Ende ini awalnya milik Haji Abdullah Ambuwaru yang kemudian dikontrak oleh Bung Karno. Luas bangunannya 9 x 12 meter, memiliki tiga kamar yang berderet di sisi kanannya. Satu kamar tidur untuk Bung Karno, satu kamar untuk Ibu Inggit bersama Ibu Amsih, dan satu kamar lagi untuk ruang tamu.
Di Ende, Bung Karno kehilangan mertuanya Ibu Amsih yang paling menyayangi beliau. Ibu Amsih wafat tahun 1935 dan dimakamkan di Pemakaman Karara, Ende. Karena sayangnya pada mertua, Bung Karno mengerjakan sendiri makam mertuanya tersebut. Bahkan kini makam itu masih dalam keadaan kondisi sangat baik.
Di sinilah Anda dapat meresapi bagaimana Bung Karno menjalani keseharian hidupnya bersama keluarga diasingkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda selama 4 tahun. Di balik perjuangannya selama pengasingan, Ende telah membenamkan kesan mendalam bagi Bung Karno karena menjadi tempat inspirasi Bung Karno menemukan gagasan kebhinekaan, dan sekitar 300 meter dari rumah ini, tepatnya berada di pohon sukun yang kini terkenal dengan Taman Rendo, Bung Karno melakukan perenungan yang menghasilkan butir-butir mutiara kebangsaan yang menjadi pokok pikiran Pancasila.
Rumah Pengungsian Bung Karno ini telah dibuka untuk umum sejak 16 Mei 1954. Bung Karno sudah tiga kali berkunjung, yaitu tahun 1951, 1954 dan 1957. Tahun 1952 rumah ini pernah dijadikan Kantor Sosial Daerah Flores dan tempat bersidang DPRD Flores. Saat itu, situs peninggalan ini dipelihara oleh Dinas P dan K. Saat ini, perawatannya penuh dipelihara oleh Dinas Budaya dan Pariwisata, dan rumah yang dibangun tahun 1927 ini telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. ***

Fotografer: Faqih Anatomi
Share:

STFK Ledalero, Jejak Monumental SVD Indonesia

Usia Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini) di Indonesia kini 100 tahun. Tentu saja tak ada yang membantah menyebut Sekolah Tinggi Filsafat Katholik Ledalero adalah jejak monumental salah satu ordo keagamaan dalam Gereja Katholik itu.
Kompleks Sekolah Tinggi Filsafat Katholik (STFK) Ledalero bertengger di daerah perbukitan, sekitar 10 kilometer arah selatan Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Nama itu sebenarnya dari paduan dua kata bahasa Sikka, yakni leda (bukit) dan lero (matahari). Sesuai makna kata serta peran lembaga yang bertengger di puncaknya, Ledalero sungguh telah berperan sebagai sang surya yang mencerahkan!
STFK Ledalero menetapkan tanggal 5 Mei 1937 sebagai titik awal berdirinya. Waktu kelahirannya itu sekaligus merujuk keputusan Takhta Suci di Roma yang merestui pendirian rumah Seminari Tinggi Ledalero-belakangan bernama STFK Ledalero. Namun, cikal bakalnya sebenarnya berawal di Mataloko, Kabupaten Ngada, Flores, sekitar 230 kilometer arah barat Ledalero.
Selain sebagai salah satu pusat misi Katholik ketika itu, kawasan berhawa dingin, Mataloko, sejak tahun 1929 telah memilki seminari menengah, pindahan dari Kampung Sikka (Kabupaten Sikka), sekitar 17 kilometer arah selatan Ledalero. Sekolah  dengan pembinaan khusus menjadi rohaniwan Katholik itu berhasil menamatkan belasan siswa angkatan perdana tahun 1932. Tidak seperti siswa tamatan sekolah sejenis di Jawa, mereka tidak dikirim melanjutkan sekolah atau kuliah di Eropa. Sebanyak 14 siswa tamatan tahun awal itu pada 1935 mengikuti kuliah filsafat dan teologi langsung di Mataloko, hingga akhirnya dipindahkan ke Ledalero tahun 1937 hingga sekarang.
Setelah mengikuti perkulihan serta pembinaan lain, dua mahasiswa angkatan pertama STFK Ledalero akhirnya berhasil ditahbiskan menjadi imam atau pastor pribumi perdana pada 1941. Mereka adalah Gabriel Manek SVD dan Karel Kale bale SVD. Pentahbisan keduanya berlangsung sangat meriah di Gereja Paroki Nita, tidak jauh dari kompleks STFK Ledalero. Bahkan, Gabriel manek pada tahun 1958 diangkat menjadi uskup pribumi pertama dari kawasan Nusa Tenggara.
Menurut catatan Provinsial SVD Ende Leo Kleden SVD, STFK Ledalero sejauh ini telah menghasilkan 1.522 imam dan 18 uskup. Dari lebih 1.500 imam tersebut, 385 imam kini mengabdikan diri sebagai misionaris di 52 negara. Selain itu, juga menghasilkan tidak sedikit awam Katholik yang menjadi tokoh intelektual nasional bahkan dunia, antara lain Ignas Kleden dan Daniel Dhakidae.
Sejauh ini, jebolannya rata-rata bernas karena mereka memiliki pengetahuan yang relatif komprehensif tentang dasar berfilsafat sebagai tuntutan menuju cara berpikir kritis, reflektif, dan argumentatif.
“Para mahasiswa juga dirangsang mengembangkan daya refleksi personal dan kolektif secara rasional-dialektis berdasarkan hokum-hukum logika, kebenaran pengetahuan, serta realitas transenden,” kata Otto Gusti Madung SVD, pengajar filsafat politik  dan etika sosial STFK Ledalero, mengutip penggalangan visi, misi dan tujuan lembaga pendidikan tinggi di lingkungannya itu.

Jasa Bouma SVD
Adalah Pater  Johanes Bouma SVD bersama sejumlah rekan pastor SVD asal Belanda lain yang layak dicatat sebagai peletak dasar pembangunan STFK Ledalero, termasuk seminari menengah sebagai pendukungnya di Flores. Mereka ketika itu berpandangan, gereja local hanya akan kokoh jika pada saatnya didukung pastor atau imam pribumi. Mewujudkan mimpi itu hanya mungkin melalui pendidikan khusus seminari menengah yang berlanjut melalui kuliah filsafat dan teologi. Pandangan itu sejatinya seiring dengan harapan pemimpin tertinggi umat Katholik sedunia ketika itu, Paus Benedictus XV, yang terkenal melalui Ensiklik Maximum Illud (1919).
Keberadaan STFK Ledalero beserta sejumlah seminari menengah sebagai sekolah pendukung pada awalnya terlahir berkat keberanian serta optimism tinggi Pater J Bouma SVD menanggapi amanat Ensiklik Maximum Illud tersebut untuk memenuhi kebutuhan gereja lokal di masa lalu itu. “Beliau layak menerima pujian, syukur, dan penghargaan karena lembaga yang dibangunnya telah menjadi mercusuar atau menara di tengah kegelapan dan keremangan religiositas jagat raya,” ujar Philipus Tule SVD, Rektor STFK Ledalero periode 2004-2007.
Sebagai ikon SVD di Tanah Air, STFK Ledalero selama empat hari, 5-8 September lalu, merayakan peringatan 100 tahun SVD di Indonesia. Rangkaian perayaan antara lain ditandai kegiatan seminar nasional sehari bertema “SVD Indonesia antara Sejarah dan Harapan”. Seminar pada Jumat (6/9) dibuka Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi. Ada lima narasumber yang ditampilkan , yakni Ben Mboi (mantan Gubernur NTT), P Hubert Thomas SVD (peneliti pada Puslit Candraditya SVD di Maumere), Francisia SSE Seda (staf pengajar Departemen Sosiologi FISIP UI), serta Lukas Jua SVD dan Antonio Camnahas SVD (keduanya dosen STFK Ledalero). Seminar dipandu Robert Mirsel SVD juga dosen di kampus yang sama. Turut hadir antara lain Uskup Maumere Mgr Gerulfus Kherubim Pareira SVD, Uskup Pangkal Pinang Mgr Hilarius Moa Nurak SVD, dan Dirjen Bimas Katholik Kementerian Agama Anton Smara.
Sari seminar antara lain menyebutkan, Pancasila yang kini menjadi dasar NKRI, embrio ideologis awalnya, bersumber dari kontribusi misionaris SVD. Ben Mboi mengisahkan, Bung Karno ketika menjalani masa pembuangan di Ende (1934-1938) sering berdialog dengan dua misionaris Katholik asal Belanda, yakni Gerardus Huijtink SVD dan Johanes Bouma SVD. Pada suatu kesempatan, Huijtink menantang Bung Karno dengan pertanyaan mendasar: “Di manakah tempat bagi ibumu yang Hindu dan orang Flores yang mayoritas Katholik dalam Negara yang mayoritas Muslim?”
Menurut Ben Mboi, dari dialog dengan pertanyaan menantang itulah muncul ide dasar bagi Bung Karno melakukan permenungan di bawah naungan pohon sukun di tepi Pantai Ende, hingga melahirkan butir-butir Pancasila kini. “Kalau ada yang menulis sejarah lahirnya Pancasila tanpa menyinggung episode Bung Karno saat menjalani masa pembuangan di Ende tahun 1934-1938, sejarah itu palsu. Pancasila tidak lahir secara in promtu (seperti membalik telapak tangan) pada 1 Juni 1945,” ujarnya.
Penejelasan yang pada intinya sama disampaikan oleh P Dami Mukese SVD melalui artikelnya dalam buku Ut Verbum Dei Currat 100 Tahun SVD di Indonesia (Penerbit Ledalero 2013). Buku itu diluncurkan di STFK Ledalero, Jumat (6//9), menandai rangkaian perayaan 100 Tahun SVD di Indonesia.
Kembali ke STFK Ledalero, kiprahnya sejauh ini memang layak diposisikan sebagai mercusuar atau menara di tengah kegelapan dan keremangan. Kualitas lulusannya tak diragukan secara nasional bahkan internasional.
“Jika prestasi lulusan STFK Ledalero meyakinkan, modal utamanya adalah kedisiplinan dan kultur belajar yang tak pernah mengendur,” kata Otto Gusti Madung SVD. Doctor lulusan Hochscule fur Philosophie, Muenchen, Jerman (2008).
Kini, setelah 100 tahun, tantangan yang dihadapi SVD ke depan tentu tidak ringah. Partisipasi dan kontribusinya bagi masyarakat dan Negara diharapkan jauh lebih besar lagi. [FRANS SARONG]

Sumber:
KOMPAS Edisi Kamis, 26 September 2013
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami