The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Cagar Budaya di Probolinggo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cagar Budaya di Probolinggo. Tampilkan semua postingan

Museum Probolinggo

Dalam perjalanan menuju ke Hotel Tampiarto Plasa untuk berkemas (check out) usai melihat Gereja Merah, kami mampir untuk mengunjungi sebuah museum yang bernama Museum Probolinggo, yang terletak di Jalan Suroyo No. 17 Kelurahan Tisnonegaran, Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi museum ini berada di sebelah selatan Gedung Kesenian, atau sebelah utara Hotel Tampiarto Plasa, dan tak jauh dari Alun-Alun Probolinggo.
Museum Probolinggo merupakan salah satu museum yang berada di Probolinggo. Ide pendiriannya muncul dari kalangan yang peduli akan kelestarian sejarah untuk memajukan Kota Probolinggo yang kemudian diakomodir oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah), Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata (Dispobpar), British Indonesia Artists Society (BIAS) dan beberapa personal yang ikut menggawangi proses berdirinya museum dalam bentuk project proposal pendirian museum kepada Wali Kota Probolinggo H.M. Buchori, S.H., M.Si.


Setelah proposal disetujui maka didirikanlah museum ini pada 26 Agustus 2009. Dari sekian tempat yang diproyeksi untuk digunakan untuk museum, terpilih gedung Graha Bina Harja. Gedung Graha Bina Harja sendiri merupakan bangunan peninggalan kolonial Belanda yang bernama De Societeit Harmonie te Probolinggo, yang diperkirakan dibangun setelah Kota Probolinggo kembali menjadi daerah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda usai menjadi tanah partikelir yang dikuasai oleh seorang Kapitan China bernama Han Kek Koo.
Gedung Societeit Harmonie di Probolinggo itu dulunya merupakan bangunan yang digunakan sebagai tempat berkumpulnya orang-orang elit pada masa kolonial Belanda untuk mencari hiburan usai menjalani rutinitas pekerjaan dalam kesehariannya. Banyak acara yang digelar di Societeit Harmonie, seperti pertunjukkan musik, opera, dansa, main bilyar hingga makan malam. Dalam acara makan malam, menu yang biasanya tersaji di atas meja makan besar adalah menu makanan Barat yang didominasi oleh daging, roti, dan lainnya. Tidak ketinggalan pula tersaji berbagai macam minuman keras atau minuman beralkohol yang sudah menjadi sebuah tradisi atau budaya masyarakat Eropa. Sehingga, tidak sembarang orang dapat masuk ke dalam gedung tersebut. Hanya mereka yang telah terdaftar menjadi anggota tetap maupun sementara yang memiliki akses masuk ke dalam Societeit Harmonie.


Kawasan Graha Bina Harja merupakan tanah eigendom yang terdiri atas tiga bidang, yaitu tanah eigendom no. 447 dengan luas 7.193 m², tanah eigendom no. 49 luasnya 4.95 m², dan tanah eigendom no. 721 yang luasnya 1.300 m².
Setelah tempat sudah ada, kemudian dikumpulkanlah sejumlah koleksi untuk ditempatkan ke dalam museum itu, dan ditata menurut denah yang ada di gedung tersebut. Setelah dirasa siap, kemudian pada 15 Mei 2011 museum ini diresmikan oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur, Dr. H. Jarianto, M.Si, untuk mewakili Gubernur Jawa Timur yang pada saat itu sedang ke luar negeri.
Masuk ke dalam museum ini, pengunjung tidak disuruh membeli tiket alias gratis namun disuruh mengisi buku tamu dulu oleh petugas yang ada di situ. Sebelum melewati pintu untuk masuk ke dalam museum, pengunjung akan melihat denah alur kunjungan Museum Probolinggo yang menjelaskan sejumlah ruangan yang terdapat di dalam museum. Ada 8 ruang untuk memajang koleksi yang dimiliki oleh Museum Probolinggo (sekitar 550 koleksi) yang telah diatur sesuai urutannya memutar dari pintu sebelah kanan dan berakhir di pintu utama dari gedung ini yang berada disebelah selatan, jika pengunjung hendak memasukinya, yaitu:

Ruang 1: Koleksi Arkeologi
Di dalam ruang ini terdapat benda budaya hasil temuan berupa peninggalan masa pra sejarah dan sejarah, seperti arca Nandiswara, arca Dewa Surya, arca Dwarapala, serpihan relief Arjunawiwaha, dan yang tak kalah menariknya di dalam ruang ini juga ada Prasasti Rameswarapura yang berupa lempengan tembaga dipajang di dalam outlet berkaca.


Ruang 2: Koleksi Keramologi & Koleksi Filologi
Di dalam ruang ini dijumpai benda yang terbuat dari tanah liat, bahan batuan dan porselin yang dibakar dengan suhu tinggi maupun rendah, seperti Guci Kuno, Guci Peregi Lonjong, Piring Masa Dinasti Ming, dan lain-lain.
Selain itu, di bagian ruang ini juga bisa disaksikan deretan koleksi keris maupun naskah kuno (ancient manuscript). Dari deretan keris yang ada, terdapat 2 keris pusaka yaitu keris Srendakan dan keris Rogonolo.

Ruang 3: Koleksi Historika & Koleksi Numismatika
Di ruang ini, pengunjung bisa melihat koleksi peninggalan sejarah maupun koleksi alat tukar pembayaran yang ada di Probolinggo, seperti lonceng, brangkas peninggalan kolonial Belanda, mesin porporasi, sejarah pendidikan Probolinggo, dan uang kertas Probolinggo.


Ruang 4: Koleksi Kolase Foto Probolinggo Tempo Dulu & Foto Wali Kota Probolinggo
Ruang 4 ini menyerupai lorong yang letaknya berada di belakang, yang kelak menghubungkan dengan ruang berikutnya. Di dalam ruang ini, pengunjung akan dimanjakan dengan koleksi foto Probolinggo tempo dulu dan deretan foto Wali Kota Probolinggo yang ditempel di dinding sebelah selatan dari ruang ini.

Ruang 5: Koleksi Historika Transportasi Tradisional
Di ruang 5 ini, pengunjung dapat menyaksikan koleksi peninggalan sejarah berupa alat transportasi tradisional, seperti dokar Blasteran dan cikar.
Dokar Blasteran berasal dari daerah Kebonsari Kulon, Kota Probolinggo. Pada zaman kolonial, dokar ini sering digunakan mengangkut Tentara Gabungan 45 atau anggota veteran. Selama masa penjajahan kolonial Belanda, dokar ini sering digunakan para pejuang dari Kebonsari Kulon ke arah timur menuju Kraksaan, juga ke arah barat menuju ke Bayeman.
Jenis dokar Blasteran ini adalah dokar khas Kota Probolinggo dengan ciri-ciri khusus ukuran dokar yang lebih kecil dan ramping dibandingkan jenis dokar Malangan, tetapi dokar Blasteran memiliki kemampuan angkut manusia maupun barang yang setara dengan dokar Malangan.



Ruang 6: Koleksi Historika Kesenian Tradisional
Ruang ini sebenarnya menyatu dalam ruang utama yang sama dengan ruang 5 maupun ruang 7. Pihak museum hanya menyekat saja dengan partisi yang tidak full sampai ke atap.
Koleksi yang dipajang di ruang ini, antara lain jaran bodhag, kenong telo’, tari lengger, dan sejumlah pakaian pengantin maupun pakaian daerah.

Ruang 7: Koleksi Etnografi & Batik Kuno Probolinggo
Di dalam ruang ini, pengunjung bisa melihat koleksi berbagai peralatan mata pencaharian hidup, seperti alat pertukangan tradisional Probolinggo, alat pertanian tempo dulu serta ronjengan (lesung).
Selain itu, di dalam ruang ini juga dijumpai banyak koleksi batik kuno khas Probolonggo, seperti batik kuno tahun 1889 dengan banyak motif.


Ruang 8: Koleksi Teknologika
Ruang 8 ini merupakan ruang terakhir dari denah alur Museum Probolinggo. Koleksi teknologika adalah benda yang menggambarkan teknologi pada waktu itu. Jenis koleksi ini merupakan berbagai benda yang menunjang kebutuhan masyarakat pada masanya, seperti sepeda ontel “The Humber”, motor uap, Vespa “Congo”, dan becak.
Setelah menyaksikan koleksi yang ada di ruang 8, pengunjung akan menjumpai pintu besar dari gedung ini sebagai tempat keluar, atau akhir dari penjelajahan ruang-ruang yang terdapat di museum ini. Namun itu belum merupakan akhir dari pengunjung untuk memenuhi keingintahuannya dari koleksi yang dimiliki oleh Museum Probolinggo.

Di selasar depan dari bangunan museum ini, masih bisa dijumpai perahu tambangan khas Probolinggo. Di situ, pengunjung juga disediakan kotak istagram untuk berfoto ria dengan latar belakang perahu tadi.
Setelah keluar dari bangunan museum yang bergaya arsitektur Indische Empire ini, pengunjung dapat melihat koleksi teknologika yang dipajang di halaman depan dari museum ini, seperti pesawat Nomad P 803, lokomotif uap buatan pabrik Orenstein & Koppel Maatschappij (1906) milik PG Wonolangan, dan Tank Amfibi PT-76.
Dari data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Kota Probolinggo mengenai Daftar Obyek Wisata dan Jumlah Pengunjung di Kota Probolinggo pada tahun 2017, diketahui bahwa jumlah pengunjung yang mengunjungi Museum Probolinggo adalah sebanyak 21.279 orang yang terdiri dari 20.078 WNI dan 1.201 WNA. *** [310718]
Share:

Tempat Ibadat Tri Dharma Probolinggo

Pagi menjelang matahari memancarkan sinarnya (semburat), kami keluar dari Hotel Tampiarto Plasa untuk berkeliling sambil mengunjungi sebuah bangunan lawas yang digunakan untuk tempat peribadatan pemeluk Tri Dharma di Kota Probolinggo. Nama tempat peribadatan itu tertulis “Tempat Ibadat Tri Dharma (TITD) Probolinggo.”
Tempat ibadat ini terletak di Jalan Wage Rudolf Supratman No. 127 Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi tempat ibadat ini diapit oleh dua gelanggang olahraga (GOR), yaitu GOR Tri Dharma di sisi kanan dan GOR PB Abadi di sisi kiri, atau sebagai ancer-ancernya adalah berada di sebelah barat daya Dinas Perikanan Probolinggo ± 200 meter.


Sebelum resmi dinamakan TITD Probolinggo, tempat ibadat ini aslinya bernama Klenteng Liong Tjwan Bio Probolinggo. Nama asli itu berasal dari dialek Hokkian yang terdiri atas gabungan tiga kata, yaitu Liong, Tjwan, dan Bio. Liong memiliki arti naga, tjwan bermakna sumber, dan bio artinya kuil atau klenteng (istilah khas di Indonesia). Jadi, setelah tiga kata itu digabung menjadi Liong Tjwan Bio, memiliki arti Klenteng Sumber Naga.
Klenteng Sumber Naga (Liong Tjwan Bio) merupakan tempat ibadah yang secara resmi didirikan pada Tongzhi 4 (1865). Klenteng ini didirikan oleh Oen Tik Goan, saudara Oen Tjoen Goan, serta beberapa anggota keluarga Han dan 172 pendonor terdaftar. Oen Tik Goan (atau Wen Baochang) adalah putra dari Oen King Ting, seorang kapitan China (Kapitein der Chinenezen) Besuki yang menjabat sejak 1832 sampai 1856. Setelah itu, jabatan Kapitan China dipegang oleh Wen Baochang dari tahun 1856 hingga 1859, lalu pindah ke Probolinggo dan menjadi kapitan di sana, dan penggantinya di Besuki adalah saudaranya, Oen Tjoen Goan (Wen Yuanchang). Keluarga Oen terjun dalam indsutri gula, tapi belakangan sejumlah anggota keluarga itu juga memegang pacht candu.


Posisi Klenteng Sumber Naga ini awalnya didesain di ujung utara kawasan Pecinan, namun saat ini telah dikelilingi oleh kompleks permukiman yang lain. Perluasan wilayah kota menyebabkan posisi klenteng seolah membelah jalan yang ada. Berada pada posisi frontal menghadap jalan utama dan membelakangi jalan yang lain, sehingga bangunan klenteng ini membentuk posisi tusuk sate. Posisi tusuk sate merupakan posisi yang kurang baik sehingga diperlukan unsur, baik bangunan maupun elemen yang digunakan untuk membersihkan energi negatif tersebut. Tapi tidak perlu khawatir, bangunan tusuk sate tidak akan dihuni roh jahat selama bangunan tersebut digunakan untuk tempat ibadat.
Klenteng Sumber Naga yang berdiri di atas lahan seluas ± 1500 m² ini, memiliki empat ruang utama dan beberapa ruang penunjang serta halaman depan yang lumayan luas. Ruang utama meliputi ruang suci utama (Ruang Kongco Tan Hu Cin Jin), Ruang Dewi Kwam Im, Ruang Tri Dharma dan Ruang Dewa Kwan Kong. Ruang penunjang meliputi kantor tata usaha, dapur, ruang sekretariat muda-mudi, gudang dan toko penjualan alat-alat sembahyang.


Tan Hu Cin Jin merupakan tuan rumah atau dewa utama Klenteng Sumber Naga Probolinggo. Tan Hu Cin Jin berarti manusia sejati yang berasal dari keluarga Tan. Tan Bun Ciong merupakan nama sebenarnya, seseorang yang sangat pandai dalam bidang pengobatan, feng shui, arsitek bangunan dan pertamanan. Berasal dari Provinsi Kwan Tung di daratan Tiongkok dan terdampar di pantai Banyuwangi, Jawa Timur. Tan Hu Cin Jin memberi pengaruh yang besar terhadap masyarakat Tionghoa di sekitar pesisir utara Jawa Timur (Besuki, Probolinggo, Banyuwangi) dan Bali. Hal ini dapat terlihat dari adanya beberapa klenteng dan vihara dengan pujaan utama yang sama, yaitu Kongco Tan Hu Cin Jin.
Di Klenteng Sumber Naga, masyarakat Tionghoa di sana tidak hanya menganggap klenteng itu sebagai tempat ibadat saja, melainkan juga sebagai sarana komunitas itu sendiri. Sehingga, kontinuitas klenteng tersebut berjalan dengan baik karena para penganut Tri Dharma (Tao, Confusius dan Budha) silih berganti melakukan pemujaan di klenteng ini setiap harinya. *** [310718]

Kepustakaan:
Mulyono, Grace. (2015). Yin Feng Shui Ditinjau Dari Aliran Angin Pada Klenteng Liong Tjwan Bio Probolinggo. LANTING Journal of Architecture, Volume 4 Nomor 1, Februari 2015, Hal: 21-28
Salmon, Claudine. (2010). Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Share:

GPIB Jemaat Immanuel Probolinggo

Setelah perjalanan yang cukup panjang dari Kepanjen menuju Lumajang dan diteruskan ke Probolinggo, kami pun merasa lelah setelah menjelang maghrib. Akhirnya aktivitas terhenti di Kota Probolinggo, dan kami menginap di Hotel Tampiarso Plasa yang berada di Jalan Suroyo.
Esok harinya sebelum kembali ke Kepanjen, kami coba menyusuri Jalan Suroyo yang memiliki panjang sekitar 1 km. Jalan Suroyo yang pada masa Hindia Belanda bernama Heerenstraat menjadi salah satu jalan yang terkemuka dalam mewarnai perwajahan Kota Probolinggo. Di sepanjang jalan ini berdiri bangunan-bangunan lawas peninggalan era Hindia Belanda. Salah satunya bangunan lawas yang kami lihat adalah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat Immanuel.
Gereja ini terletak di Jalan Suroyo No. 32 Kelurahan Tisnonegaran, Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi gereja ini berada di samping Toko Buku Togamas, atau selatan SD Katolik Mater Dei.


Sesuai tulisan yang terdapat pada undakan menuju pintu masuk utama GPIB ini, bangunan gereja ini dibangun pada tahun 1862 (Gebouwd Anno 1862). Pada awal berdiri, gereja ini bernama De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indië, atau yang biasa disingkat menjadi Indische Kerk.
Indische Kerk ini merupakan kesatuan dari Gereja Protestan di Indonesia (GPI) yang dibentuk oleh pemerintah Kerajaan Belanda di Hindia Belanda pada tahun 1815. Sama dengan induknya di Negeri Belanda, gereja ini merupakan gereja negara (staatskerk) di mana segala sesuatu yang menyangkut aktivitas gereja, pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah. Pendeta mendapat gaji, dan anggaran-anggaran lainnya untuk keperluan gereja disediakan oleh pemerintah saat itu.
Pada masa pendudukan Jepang, Indische Kerk ini sempat diambil alih untuk digunakan sebagai gudang senjata. Setelah Indonesia merdeka, gereja ini kembali difungsikan sebagai tempat ibadah pemeluk Kristen Protestan.


Kemudian berdasarkan Keputusan Sidang Sinode Algemene Moderamen GPI pada tahun 1948 mengenai pembentukan gereja yang keempat GPI di wilayah Indonesia yang tidak terjangkau oleh GMIM (Gereja Masehi Injil di Minahasa), GPM (Gereja Protestan Maluku) dan GMIT (Gereja Masehi Injil di Timor), lahirlah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat atau De Protestantse Kerk in Westelijk Indonesie pada 31 Oktober 1948.
GPIB memiliki semua jemaat GPI di luar dari tiga gereja saudaranya itu (GMIM, GPM, GMIT). Oleh karena itu, secara historis GPIB berasal dari latar belakang historis GPI, yang dikenal dengan nama De Protestantsche Kerk in Nederlandsch Indië atau Indische Kerk.
Dengan leburnya Indische Kerk ke dalam GPI, maka segala warisan termasuk bangunan gereja milik GPI termasuk yang ada di Probolinggo berganti nama menjadi GPIB dan disematkan pula nama dari GPIB itu juga sehingga nama lengkapnya dari bangunan bekas Indische Kerk yang ada di Probolinggo menjadi GPIB Jemaat Immanuel.


Dilihat dari fasadnya, bangunan GPIB ini bergaya Neo Gothic, yang ditandai dengan atap berbentuk pelana dan material yang digunakan gereja ini adalah besi. Material ini diproduksi 1 set dengan sistem knockdown yang dipesan oleh pemerintah Hindia Belanda di Jerman. Setelah jadi, material itu kemudian diangkut dengan kapal menuju Probolinggo, dan dirakit kembali.
Semula bangunan gereja ini berwarna putih keperak-perakan sesuai dengan warna seng bajanya, tetapi karena dikhawatirkan akan mengalami korosi karena lokasinya yang dekat dengan pantai maka dinding seng harus dilapisi dengan cat anti korosi pada masa itu. Kebetulan cat anti korosi kala itu hanya memiliki satu warna, yaitu merah. Kemudian bangunan gereja itu dilapisi dengan cat warna merah, tidak dengan warna lain. Oleh karena itu, gereja ini kemudian juga turut dikenal dengan sebutan Gereja Merah.
Pada awal dibangun, Gereja Merah ini terdiri dari ruang pastori, ruang ibadah, altar berisi mimbar dan ruang paduan suara, kemudian paska kemerdekaan terjadi penambahan ruang karena kebutuhan dan jumlah jemaat yang semakin banyak. Penambahan tersebut berupa ruang penyimpanan dan ruang pastori.
Kini, bangunan lawas yang telah menjadi cagar budaya ini masih aktif digunakan sebagai tempat peribadatan umat Kristen atau Protestan, dan menjadi spot pilihan untuk pemotretan bagi calon pengantin (pre-wedding) maupun orang yang gemar akan heritage. *** [310718]

Share:

Stasiun Kereta Api Malasan

Stasiun Kereta Api Malasan (MLS) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Malasan, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen  PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 9 Jember yang berada pada ketinggian + 138 m di atas permukaan laut, dan merupakan stasiun kelas III.
Stasiun ini terletak di Jalan Stasiun Malasan, Dusun Krajan RT. 08 RW. 02 Desa Malasan Wetan, Kecamatan Tegalsiwalan, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi stasiun ini berada di sebelah tenggara SD Negeri Malasan Wetan I ± 200 meter.


Bangunan Stasiun Malasan ini merupakan bangunan peninggalan Hindia Belanda. Pembangunan stasiun ini bersamaan dengan adanya pembangunan jalur rel kereta api dari Pasuruan-Probolinggo-Klakah yang dikerjakan oleh perusahaan kereta api milik pemerintah di Hindia Belanda, Staatsspoorwegen, dari tahun 1884 hingga tahun 1895. Stasiun ini diresmikan pada 1 Juli 1895 bersamaan dengan stasiun-stasiun lainnya yang ada di jalur rel Probolinggo-Klakah.


Jalur tersebut merupakan bagian dari proyek jalur kereta api di Jawa untuk line menuju bagian timur (Oosterlijnen) sepanjang 74 kilometer. Pengerjaannya dimulai dari Pasuruan menuju Probolinggo dan selesai pada tahun 1884, selang sepuluh tahun barulah dilanjutkan pengerjaannya dari Probolinggo menuju Klakah.


Stasiun ini memiliki 3 jalur rel dengan jalur 2 sebagai sepur lurus di mana yang ke arah utara menuju Stasiun Leces, dan yang ke arah selatan menuju ke Stasiun Ranuyoso. Sedangkan jalur 1 digunakan untuk persilangan, dan jalur 3 merupakan jalur badug atau jalur buntu. 
Karena Stasiun Malasan ini merupakan stasiun yang kecil dan lokasinya berada sudut permukiman yang masih jarang atau belum padat, sehingga stasiun ini tidak memperlihatkan aktivitas stasiun pada umumnya, yaitu menaikkan maupun menurunkan penumpang. Stasiun itu hanya untuk persilangan dan persusulan antarkereta api yang melintas di jalur tersebut, sehingga setiap harinya stasiun ini terlihat sepi. *** [310718]
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami