The Story of Indonesian Heritage

GPIB Jemaat Immanuel Probolinggo

Setelah perjalanan yang cukup panjang dari Kepanjen menuju Lumajang dan diteruskan ke Probolinggo, kami pun merasa lelah setelah menjelang maghrib. Akhirnya aktivitas terhenti di Kota Probolinggo, dan kami menginap di Hotel Tampiarso Plasa yang berada di Jalan Suroyo.
Esok harinya sebelum kembali ke Kepanjen, kami coba menyusuri Jalan Suroyo yang memiliki panjang sekitar 1 km. Jalan Suroyo yang pada masa Hindia Belanda bernama Heerenstraat menjadi salah satu jalan yang terkemuka dalam mewarnai perwajahan Kota Probolinggo. Di sepanjang jalan ini berdiri bangunan-bangunan lawas peninggalan era Hindia Belanda. Salah satunya bangunan lawas yang kami lihat adalah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat Immanuel.
Gereja ini terletak di Jalan Suroyo No. 32 Kelurahan Tisnonegaran, Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi gereja ini berada di samping Toko Buku Togamas, atau selatan SD Katolik Mater Dei.


Sesuai tulisan yang terdapat pada undakan menuju pintu masuk utama GPIB ini, bangunan gereja ini dibangun pada tahun 1862 (Gebouwd Anno 1862). Pada awal berdiri, gereja ini bernama De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indië, atau yang biasa disingkat menjadi Indische Kerk.
Indische Kerk ini merupakan kesatuan dari Gereja Protestan di Indonesia (GPI) yang dibentuk oleh pemerintah Kerajaan Belanda di Hindia Belanda pada tahun 1815. Sama dengan induknya di Negeri Belanda, gereja ini merupakan gereja negara (staatskerk) di mana segala sesuatu yang menyangkut aktivitas gereja, pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah. Pendeta mendapat gaji, dan anggaran-anggaran lainnya untuk keperluan gereja disediakan oleh pemerintah saat itu.
Pada masa pendudukan Jepang, Indische Kerk ini sempat diambil alih untuk digunakan sebagai gudang senjata. Setelah Indonesia merdeka, gereja ini kembali difungsikan sebagai tempat ibadah pemeluk Kristen Protestan.


Kemudian berdasarkan Keputusan Sidang Sinode Algemene Moderamen GPI pada tahun 1948 mengenai pembentukan gereja yang keempat GPI di wilayah Indonesia yang tidak terjangkau oleh GMIM (Gereja Masehi Injil di Minahasa), GPM (Gereja Protestan Maluku) dan GMIT (Gereja Masehi Injil di Timor), lahirlah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat atau De Protestantse Kerk in Westelijk Indonesie pada 31 Oktober 1948.
GPIB memiliki semua jemaat GPI di luar dari tiga gereja saudaranya itu (GMIM, GPM, GMIT). Oleh karena itu, secara historis GPIB berasal dari latar belakang historis GPI, yang dikenal dengan nama De Protestantsche Kerk in Nederlandsch Indië atau Indische Kerk.
Dengan leburnya Indische Kerk ke dalam GPI, maka segala warisan termasuk bangunan gereja milik GPI termasuk yang ada di Probolinggo berganti nama menjadi GPIB dan disematkan pula nama dari GPIB itu juga sehingga nama lengkapnya dari bangunan bekas Indische Kerk yang ada di Probolinggo menjadi GPIB Jemaat Immanuel.


Dilihat dari fasadnya, bangunan GPIB ini bergaya Neo Gothic, yang ditandai dengan atap berbentuk pelana dan material yang digunakan gereja ini adalah besi. Material ini diproduksi 1 set dengan sistem knockdown yang dipesan oleh pemerintah Hindia Belanda di Jerman. Setelah jadi, material itu kemudian diangkut dengan kapal menuju Probolinggo, dan dirakit kembali.
Semula bangunan gereja ini berwarna putih keperak-perakan sesuai dengan warna seng bajanya, tetapi karena dikhawatirkan akan mengalami korosi karena lokasinya yang dekat dengan pantai maka dinding seng harus dilapisi dengan cat anti korosi pada masa itu. Kebetulan cat anti korosi kala itu hanya memiliki satu warna, yaitu merah. Kemudian bangunan gereja itu dilapisi dengan cat warna merah, tidak dengan warna lain. Oleh karena itu, gereja ini kemudian juga turut dikenal dengan sebutan Gereja Merah.
Pada awal dibangun, Gereja Merah ini terdiri dari ruang pastori, ruang ibadah, altar berisi mimbar dan ruang paduan suara, kemudian paska kemerdekaan terjadi penambahan ruang karena kebutuhan dan jumlah jemaat yang semakin banyak. Penambahan tersebut berupa ruang penyimpanan dan ruang pastori.
Kini, bangunan lawas yang telah menjadi cagar budaya ini masih aktif digunakan sebagai tempat peribadatan umat Kristen atau Protestan, dan menjadi spot pilihan untuk pemotretan bagi calon pengantin (pre-wedding) maupun orang yang gemar akan heritage. *** [310718]

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami