The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Tempat Wisata di Kabupaten Landak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tempat Wisata di Kabupaten Landak. Tampilkan semua postingan

Kraton Ismahayana Landak

Landak merupakan salah satu kabupaten yang berada di Kalimantan Barat yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Pontianak. Daerah ini tergolong maju lantaran memiliki kekayaan hasil alam di sepanjang sungainya yang membentang, seperti emas dan intan, dan potensi wisata alam yang mengagumkan, seperti air terjun Riam Melanggar maupun Gunung Sehaq. Selain itu, Landak juga mempunyai obyek wisata sejarah yang tak kalah menariknya, yaitu Kraton Ismahayana.
Kraton Ismahayana terletak di Jalan Pangeran Sancanata, Desa Raja, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat. Lokasi kraton atau istana ini berada sekitar 50 meter di sebelah barat Sungai Landak yang membelah Kota Ngabang, atau sekitar 177 kilometer dari Kota Pontianak.
Riwayat Kraton Ismahayana ini dibilang cukup panjang. Dimulai dengan adanya ekspedisi ke daerah Melayu yang dijalankan oleh Kertanegara, seorang Raja Singasari, pada tahun 1275. Ekspedisi tersebut akhirnya dikenal dengan nama ekspedisi Pamalayu.


Tujuan awal ekspedisi Pamalayu adalah untuk menjadikan Swarnadwipa (sekarang Sumatera) sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi bangsa Mongol selain juga ingin mengamankan jalur ekonomi dan politik yang penting dari incaran bangsa Mongol. Di samping itu, Kertanegara juga memerintahkan Kebo Anabrang untuk menguasai Pahang di Semenanjung Malaka dan Balakapura maupun Tanjungpura di Warunadwipa (Kalimantan). Kemudian dilanjutkan ekspansi ke daerah lain di Nusantara. Namun sebelum tercapai semua tujuannya, Kertanegara akhirnya  terbunuh oleh  pasukan Jayakatwang pada tahun 1292.
Mendengar Raja Kertanegara wafat, ternyata tidak semua pasukan dalam ekspedisi Pamalayu bersedia kembali ke Jawa. Di bawah pimpinan Indrawarman, sebagian prajurit ekspedisi Pamalayu menetap di Swarnadwipa. Begitu pula halnya, dengan Ratu Sang Nata Pulang Pali I, pemimpin salah satu rombongan, membelokkan armada pasukannya menuju Warunadwipa atau Nusa Tanjungpura.
Di pulau yang sekarang dikenal dengan Pulau Kalimantan ini, Ratu Sang Nata Pulang Pali I bersama pengikutnya awalnya singgah di daerah Padang Tikar, kemudian menyusuri Sungai Tenganap, dan akhirnya berlabuh di daerah Sekilap atau yang disebut juga Sepatah. Di tempat inilah, Ratu Sang Nata Pulang Pali I mendirikan Kerajaan Landak, dan nama Sekilap kemudian diganti menjadi Ningrat Batur atau Angrat (Anggerat) Batur.


Periode pemerintahan Kerajaan Landak di Ningrat Batur berlangsung 180 tahun (1292-1472) lamanya. Selama di Ningrat Batur, kerajaan ini dipimpin oleh tujuh raja, yaitu Ratu Sang Nata Pulang Pali I hingga Abhiseka Ratu Brawijaya Angkawijaya (Ratu Sang Nata Pulang Pali VII). Pada masa pemerintahan Ratu Sang Nata Pulang Pali VII, Kerajaan Landak memiliki kompleks istana terpadu. Di istana ini, beliau menikahi Putri Dara Hitam yang kemudian menjadi permaisuri kerajaan. Dari perkawinan tersebut, Ratu Sang Nata Pulang Pali VII memiliki keturunan bernama Abhiseka Sultan Dipati Karang Tanjung yang sekaligus merupakan putra mahkota. Setelah Raja Landak terakhir di Ningrat Batur tersebut mangkat, sang putra mahkota kemudian naik tahta dan bergelar Pangeran Ismahayana (memerintah tahun 1472-1542).
Pada era pemerintahan Pangeran Ismahayana, pusat kerajaan dipindahkan ke area hulu Sungai Landak, yang kemudian dikenal dengan nama Mungguk Ayu. Setelah menganut agama Islam, Pangeran Ismahayana berganti nama menjadi Raden Abdul Kahar dengan bergelar Raden Dipati Karang Tanjung. Dari perkawinannya dengan Nyi Limbaisari yang bergelar Raden Ayu diperoleh dua orang putra, yaitu Raden Tjili Tedung dan Raden Tjili Pahang yang keduanya kemudian menjadi raja Kerajaan Landak.
Pada masa Pangeran Kesuma Agung Muda (1703-1709), pusat pemerintahan Kerajaan Landak dipindahkan ke Bandung (suatu daerah dekat Munggu), yang selanjutnya pada masa pemerintahan Pangeran Sanca Nata Kesuma Muda (1768-1798) sebagai Sultan Landak XII, dipindahkan ke Ngabang, dengan mendirikan kraton yang terletak di Desa Raja Ngabang seperti yang ada sekarang ini.
Raja terakhir yang memerintah Kerajaan Landak adalah Pangeran Ratu Gusti Abdul Hamid bergelar Panembahan Gusti Abdul Hamid.
Pada tahun 1943, beliau wafat karena korban keganasan tentara pendudukan Jepang dalam peristiwa Mandor.
Selanjutnya Kerajaan Landak diperintah oleh Pangeran Mangku Gusti Afandi (Waka Raja XXVIII) hingga dihapuskannya sistem kerajaan oleh pemerintah Indonesia, menjelang dibentuknya pemerintahan swapraja Landak. ***

Kepustakaan:
Tim Gunung Djati, 2008. Warisan Masa Lampau Indonesia: Kerajaan Singasari, Cirebon: CV. Gunung Djati
http://ujp.ucoz.com/Modul/Kepariwisataan/22-KALBAR.pdf
Share:

“Radakng” Saham, Rumah Panjang yang Dibangun pada 1875

Rumah panjang di Kalimantan Barat atau yang disebut radakng ternyata ada yang dapat dilestarikan dan masih dihuni ratusan keluarga masyarakat Dayak. Salah satunya terletak di Dusun Saham, Desa Saham, Kecamatan Sengah Semila, Kabupaten Landak, sekitar 200 kilometer dari ibu kota Kalbar, Pontianak. Rumah adat yang dihuni suku Dayak secara turun-temurun ini dibangun pada 1875.
Sekitar tahun 1960-an, terjadi penghancuran rumah adat suku Dayak oleh pemerintah kala itu. Pemerintah menganggap, gaya hidup komunal masyarakat Dayak menyerupai gaya hidup komunis. Pemerintah khawatir dengan semangat solidaritas penghuninya yang dapat mengancam keamanan negara dan tuduhan hidup bersama di rumah panjang tidak sehat karena bertentangan dengan moral.
Sejak itulah, mulai sulit menemukan rumah panjang, khususnya di Kalimantar Barat, yang dihuni ratusan keluarga seperti dulu kala. Kalaupun ada, rumah panjang tidak dihuni, tetapi hanya sebagai tempat upacara adat. Bentuk dan panjangnya pun sudah tidak seasli rumah panjang tempo dulu.
Namun Rumah Radakng yang berusia hampir 140 tahun itu hingga kini masih dihuni. Rumah panjang itu tidak kehilangan nilai eksotisnya. Panjangnya 186 meter dengan lebar sekitar 10 meter dan tinggi lantai sekitar 7 meter dari tanah. Rumah ini memiliki 34 bilik yang dihuni sekitar 200 jiwa.
Rumah panjang pada zaman dulu memang didesain tinggi untuk menghindari binatang buas. Apalagi, kala itu binatang buas masih banyak. Dengan rumah yang tinggi, binatang akan sulit naik ke rumah. Desain yang tinggi juga sebagai bentuk pengamanan dari serangan antar-subsuku Dayak pada zaman Ngayau (mencari kepala manusia sesama suku Dayak).
Rumah panjang di Dusun Saham itu terdiri dari teras atau yang disebut pante, ruang tamu atau samik, dan ruang keluarga (kamar) yang rata-rata berukuran 6 meter x 6 meter. Di ruang tamu terdapat pene, semacam meja berukuran 3 meter x 3 meter dengan tinggian sekitar 0,5 meter sebagai tempat duduk saat menerima tamu pada zaman dulu. “Pene dijadikan tempat untuk berbincang dengan tamu. Kalau tamu menginap di rumah juga menjadi tempat tidur,” ujar salah satu tokoh masyarakat Dusun Saham, Amen (52).
Di bagian depan terdapat 34 tangga. Jumlah tangga itu disesuaikan dengan jumlah bilik (kamar) yang ada. Sebab, di rumah panjang itu berlaku kepercayaan, jika penghuni salah satu bilik meninggal, saat pemakaman tidak boleh menggunakan tangga penghuni bilik lain karena dianggap ada sial.
Di bagian belakang rumah panjang terdapat dapur yang disebut masyarakat sekitar uankng mik. Setiap keluarga penghuni rumah panjang memiliki satu dapur untuk memasak.
Beberapa bagian rumah panjang, seperti tiang dan lantai, terbuat dari kayu ulin. Pada saat pembuatan dulu, kayu ulin itu dipotong menggunakan alat yang disebut beliung (senjata tajam menyerupai kapak) dan dikerjakan gotong royong oleh penghuni rumah panjang.
Bentuk rumah yang memanjang terjadi secara bertahap. Jika anggota keluarga penghuni rumah panjang menikah atau berkeluarga, akan dibangun bilik yang baru sehingga semakin panjang hingga seperti sekarang.
Meskipun demikian, dalam perkembangannya tidak semua keluarga membangun bilik baru karena tanah datarnya terbatas. Mereka membangun rumah terpisah di sekitar rumah panjang Saham.

Dikunjungi wisatawan
Rumah panjang Saham sudah pernah dikunjungi dari luar Kalbar dan dari luar negeri. Menurut Suriah (53), salah satu penghuni rumah panjang Saham, beberapa tahun lalu ada warga Kanada yang berkunjung ke rumah panjang. Bahkan, warga Kanada itu tinggal di rumah panjang hingga tiga bulan.
Warga Kanada itu berkunjung dalam rangka pertukaran pelajar. “Mereka ingin mengetahui bagaimana kehidupan kami di rumah panjang. Bagi mereka, ini sangat menarik karena tidak dijumpai di negara mereka masyarakat tinggal di dalam satu rumah dalam jumlah yang banyak,” kata Suriah.
Meskipun demikian, potensi pariwisata rumah panjang Saham belum dikelola secara optimal oleh Pemerintah Kabupaten Landak, baik melalui promosi maupun pembenahan akses transportasi menuju Saham.
Padahal, rumah panjang Saham bisa menjadi alternatif wisata saat wisatawan berkunjung ke Kalbar. Untuk menuju ke rumah panjang Saham dapat ditempuh dengan moda transportasi mobil dan sepeda motor. Jarak Dusun Saham dari Pontianak sekitar 200 kilometer.
Moda transportasi seperti mobil dan sepeda motor bisa masuk hingga ke halaman rumah panjang. Pengunjung pun tidak dipungut biaya masuk dan parkir oleh masyarakat sekitar.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Landak Lukas Kanoh, Pemerintah Kabupaten Landak memang menjadikan rumah panjang Saham menjadi tempat wisata budaya. Tahun ini ada dana Rp 75 juta dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri untuk pengembangan Saham.
Penggunaan dana itu masih harus dibicarakan dengan masyarakat didaerah itu. “Apakah dana itu akan digunakan untuk memperbaiki rumah panjang atau pengembangan kerajinan masyarakat. “Kerajinan bisa dintegrasikan dengan wisata budaya di rumah panjang,” ujar Lukas.
Pemkab Landak juga sudah berupaya mempromosikan rumah panjang Saham ke berbagai daerah, bahkan hingga ke luar negeri. Promosi dilakukan dengan menggunakan website (internet) maupun brosur. [EMANUEL EDI SAPUTRA]

Sumber: KOMPAS Edisi Selasa, 1 April 2014 hal. 24
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami