The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label benda cagar budaya di NTT. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label benda cagar budaya di NTT. Tampilkan semua postingan

STFK Ledalero, Jejak Monumental SVD Indonesia

Usia Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini) di Indonesia kini 100 tahun. Tentu saja tak ada yang membantah menyebut Sekolah Tinggi Filsafat Katholik Ledalero adalah jejak monumental salah satu ordo keagamaan dalam Gereja Katholik itu.
Kompleks Sekolah Tinggi Filsafat Katholik (STFK) Ledalero bertengger di daerah perbukitan, sekitar 10 kilometer arah selatan Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Nama itu sebenarnya dari paduan dua kata bahasa Sikka, yakni leda (bukit) dan lero (matahari). Sesuai makna kata serta peran lembaga yang bertengger di puncaknya, Ledalero sungguh telah berperan sebagai sang surya yang mencerahkan!
STFK Ledalero menetapkan tanggal 5 Mei 1937 sebagai titik awal berdirinya. Waktu kelahirannya itu sekaligus merujuk keputusan Takhta Suci di Roma yang merestui pendirian rumah Seminari Tinggi Ledalero-belakangan bernama STFK Ledalero. Namun, cikal bakalnya sebenarnya berawal di Mataloko, Kabupaten Ngada, Flores, sekitar 230 kilometer arah barat Ledalero.
Selain sebagai salah satu pusat misi Katholik ketika itu, kawasan berhawa dingin, Mataloko, sejak tahun 1929 telah memilki seminari menengah, pindahan dari Kampung Sikka (Kabupaten Sikka), sekitar 17 kilometer arah selatan Ledalero. Sekolah  dengan pembinaan khusus menjadi rohaniwan Katholik itu berhasil menamatkan belasan siswa angkatan perdana tahun 1932. Tidak seperti siswa tamatan sekolah sejenis di Jawa, mereka tidak dikirim melanjutkan sekolah atau kuliah di Eropa. Sebanyak 14 siswa tamatan tahun awal itu pada 1935 mengikuti kuliah filsafat dan teologi langsung di Mataloko, hingga akhirnya dipindahkan ke Ledalero tahun 1937 hingga sekarang.
Setelah mengikuti perkulihan serta pembinaan lain, dua mahasiswa angkatan pertama STFK Ledalero akhirnya berhasil ditahbiskan menjadi imam atau pastor pribumi perdana pada 1941. Mereka adalah Gabriel Manek SVD dan Karel Kale bale SVD. Pentahbisan keduanya berlangsung sangat meriah di Gereja Paroki Nita, tidak jauh dari kompleks STFK Ledalero. Bahkan, Gabriel manek pada tahun 1958 diangkat menjadi uskup pribumi pertama dari kawasan Nusa Tenggara.
Menurut catatan Provinsial SVD Ende Leo Kleden SVD, STFK Ledalero sejauh ini telah menghasilkan 1.522 imam dan 18 uskup. Dari lebih 1.500 imam tersebut, 385 imam kini mengabdikan diri sebagai misionaris di 52 negara. Selain itu, juga menghasilkan tidak sedikit awam Katholik yang menjadi tokoh intelektual nasional bahkan dunia, antara lain Ignas Kleden dan Daniel Dhakidae.
Sejauh ini, jebolannya rata-rata bernas karena mereka memiliki pengetahuan yang relatif komprehensif tentang dasar berfilsafat sebagai tuntutan menuju cara berpikir kritis, reflektif, dan argumentatif.
“Para mahasiswa juga dirangsang mengembangkan daya refleksi personal dan kolektif secara rasional-dialektis berdasarkan hokum-hukum logika, kebenaran pengetahuan, serta realitas transenden,” kata Otto Gusti Madung SVD, pengajar filsafat politik  dan etika sosial STFK Ledalero, mengutip penggalangan visi, misi dan tujuan lembaga pendidikan tinggi di lingkungannya itu.

Jasa Bouma SVD
Adalah Pater  Johanes Bouma SVD bersama sejumlah rekan pastor SVD asal Belanda lain yang layak dicatat sebagai peletak dasar pembangunan STFK Ledalero, termasuk seminari menengah sebagai pendukungnya di Flores. Mereka ketika itu berpandangan, gereja local hanya akan kokoh jika pada saatnya didukung pastor atau imam pribumi. Mewujudkan mimpi itu hanya mungkin melalui pendidikan khusus seminari menengah yang berlanjut melalui kuliah filsafat dan teologi. Pandangan itu sejatinya seiring dengan harapan pemimpin tertinggi umat Katholik sedunia ketika itu, Paus Benedictus XV, yang terkenal melalui Ensiklik Maximum Illud (1919).
Keberadaan STFK Ledalero beserta sejumlah seminari menengah sebagai sekolah pendukung pada awalnya terlahir berkat keberanian serta optimism tinggi Pater J Bouma SVD menanggapi amanat Ensiklik Maximum Illud tersebut untuk memenuhi kebutuhan gereja lokal di masa lalu itu. “Beliau layak menerima pujian, syukur, dan penghargaan karena lembaga yang dibangunnya telah menjadi mercusuar atau menara di tengah kegelapan dan keremangan religiositas jagat raya,” ujar Philipus Tule SVD, Rektor STFK Ledalero periode 2004-2007.
Sebagai ikon SVD di Tanah Air, STFK Ledalero selama empat hari, 5-8 September lalu, merayakan peringatan 100 tahun SVD di Indonesia. Rangkaian perayaan antara lain ditandai kegiatan seminar nasional sehari bertema “SVD Indonesia antara Sejarah dan Harapan”. Seminar pada Jumat (6/9) dibuka Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi. Ada lima narasumber yang ditampilkan , yakni Ben Mboi (mantan Gubernur NTT), P Hubert Thomas SVD (peneliti pada Puslit Candraditya SVD di Maumere), Francisia SSE Seda (staf pengajar Departemen Sosiologi FISIP UI), serta Lukas Jua SVD dan Antonio Camnahas SVD (keduanya dosen STFK Ledalero). Seminar dipandu Robert Mirsel SVD juga dosen di kampus yang sama. Turut hadir antara lain Uskup Maumere Mgr Gerulfus Kherubim Pareira SVD, Uskup Pangkal Pinang Mgr Hilarius Moa Nurak SVD, dan Dirjen Bimas Katholik Kementerian Agama Anton Smara.
Sari seminar antara lain menyebutkan, Pancasila yang kini menjadi dasar NKRI, embrio ideologis awalnya, bersumber dari kontribusi misionaris SVD. Ben Mboi mengisahkan, Bung Karno ketika menjalani masa pembuangan di Ende (1934-1938) sering berdialog dengan dua misionaris Katholik asal Belanda, yakni Gerardus Huijtink SVD dan Johanes Bouma SVD. Pada suatu kesempatan, Huijtink menantang Bung Karno dengan pertanyaan mendasar: “Di manakah tempat bagi ibumu yang Hindu dan orang Flores yang mayoritas Katholik dalam Negara yang mayoritas Muslim?”
Menurut Ben Mboi, dari dialog dengan pertanyaan menantang itulah muncul ide dasar bagi Bung Karno melakukan permenungan di bawah naungan pohon sukun di tepi Pantai Ende, hingga melahirkan butir-butir Pancasila kini. “Kalau ada yang menulis sejarah lahirnya Pancasila tanpa menyinggung episode Bung Karno saat menjalani masa pembuangan di Ende tahun 1934-1938, sejarah itu palsu. Pancasila tidak lahir secara in promtu (seperti membalik telapak tangan) pada 1 Juni 1945,” ujarnya.
Penejelasan yang pada intinya sama disampaikan oleh P Dami Mukese SVD melalui artikelnya dalam buku Ut Verbum Dei Currat 100 Tahun SVD di Indonesia (Penerbit Ledalero 2013). Buku itu diluncurkan di STFK Ledalero, Jumat (6//9), menandai rangkaian perayaan 100 Tahun SVD di Indonesia.
Kembali ke STFK Ledalero, kiprahnya sejauh ini memang layak diposisikan sebagai mercusuar atau menara di tengah kegelapan dan keremangan. Kualitas lulusannya tak diragukan secara nasional bahkan internasional.
“Jika prestasi lulusan STFK Ledalero meyakinkan, modal utamanya adalah kedisiplinan dan kultur belajar yang tak pernah mengendur,” kata Otto Gusti Madung SVD. Doctor lulusan Hochscule fur Philosophie, Muenchen, Jerman (2008).
Kini, setelah 100 tahun, tantangan yang dihadapi SVD ke depan tentu tidak ringah. Partisipasi dan kontribusinya bagi masyarakat dan Negara diharapkan jauh lebih besar lagi. [FRANS SARONG]

Sumber:
KOMPAS Edisi Kamis, 26 September 2013
Share:

Museum Daerah Nusa Tenggara Timur

Museum Daerah Nusa Tenggara Timur terletak di Jalan Frans Seda, Oebobo, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dulu, jalan ini dikenal dengan Jalan El Tari II karena jalan ini memang merupakan jalan utama menuju Bandara El Tari, Kupang.
Museum ini didirikan pada tahun 1977, dan melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tertanggal 9 Januari 1991 ditetapkan sebagai Museum Negeri dan menjadi UPT. Seiring perjalanan waktu dengan hadirnya otonomi daerah maka status Museum Negeri berubah menjadi Museum Daerah Nusa Tenggara Timur. Sehingga pengelolaan museum saat ini dipegang Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan olehbernaung di bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nusa Tenggara Timur.
Museum yang memiliki halaman luas dan bangunan mukanya mengadopsi dari arsitektur rumah ada di daerah Nusa Tenggara Timur ini, memiliki 6.197 koleksi yang dikelompokkan menjadi koleksi geologika/geografika (13 buah), biologika (76 buah), ethnografika (3.973 buah), arkeologika (204 buah), historika (256 buah), numismatika/heraldika (818 buah), filologika (26 buah), keramologika (602 buah), seni rupa (143 buah), dan teknologika (86 buah). Sebagian besar dari koleksi tersebut berasal dari kelompok etnis yang kabupaten dan kota di wilayah Nusa Tenggara Timur.
Selain memiliki ruang pameran tetap yang bisa disaksikan dari hari Senin hingga Jumat, museum ini juga mengenal pameran yang bersifat temporer seperti:


Temporary Exhibition: Pre-history
Tengkorak dan rangka manusia kerdil, Homo Floresiensis ditemukan pada penggalian di Situs Liang Bua , Manggarai (2003). Pada masa mesolithikum, manusia mulai menempati gua, memiliki budaya alat serpih batu serta pemanfaatan sisa-sisa hewan sebagai alat tulang.
Perbandingan tinggi tubuh Homo Floresiensis, Homo Erectus, dan Homo Sapiens: Homo Floresiensis sekitar 1 m (3 feet 3 inchi), Homo Erectus 1,3 m – 1,5 m (4 feet 3 inchi – 4 feet 11 inchi), dan Homo Sapiens 1,6 m – 1,85 m (5 feet 2 inchi – 6 feet 1 inchi)

Temporary Exhibition: Historycal Theme
Pada masa klasik (Hindu-Buddha), daerah Nusa Tenggara Timur menjadi salah satu daerah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Hindu Jawa di Kediri sejak 1225 M, berdasarkan dokumen China yang ditulis oleh Chau Ju Kua.
Hubungan dagang telah terjadi dengan bangsa China, Arab, dan Eropa. Komoditi utama yang diperdagangkan adalah kayu cendana (santalum album linn), madu, lilin, kuda, dan manusia (budak). Bangsa Eropa pertama yang tiba di Nusa Tenggara Timur untuk menguasai adalah Portugis pada 1566 dengan berdirinya Benteng Lohayong di Solor, Flores Timur.


Temporary Exhibition: The Golden Age of Honey through Museum Eye
Dalam sastra lisan Timor, binatang hutan yang melambangkan kemakmuran adalah lebah dan rusa, seperti ungkapan “Hau Pup Molo Bi Kau Niki – Fatu Up Molo Bi Kauniki” (puncak batu kekuningan, puncak pohon kekuningan), mengibaratkan hasil utama di tempat ini pada batu-batu, pohon-pohon, bahkan turun ke tanah juga (saat musim baik, lebah turun bersarang di batang-batang rumput di tanah), atau “Muah bi tunam hom lek, muah ham bi afut-hom lek-nane ut ma leot bi Tais Atoni bi Nua Atoni” (makan di atas (kena sarang madu), engkau punya suka, makan di bawah/di atas tanah (rusa/babi hutan, berkebun dan lain-lain, engkau punya suka).
Masa kejayaan madu di Pulau Timor diperkirakan telah terjadi pada abad ke 1 M, semenjak adanya hubungan dagang dengan China berdasarkan tulisan China. Di Loli - Molo Selatan, panen madu berlangsung 3 kali: masa panen Mei-Juli berkembang bunga kayu putih, masa panen Agustus-Oktober berkembang bunga kusambi, dan masa panen Desember berkembang beberapa jenis bunga. Pada bulan ini yang dipanen adalah madu putih (berkhasiat sangat tinggi). *** [020713]
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami