The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Purworejo Heritage. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Purworejo Heritage. Tampilkan semua postingan

GKJ Karangjoso Butuh

Pada waktu ditugaskan sebagai tracker dalam the Work and Iron Status Evaluation (WISE), saya berkesempatan mengenal wilayah di Kabupaten Purworejo. Menjadi tracker memang selangkah lebih maju dari sekadar menjadi enumerator, karena selain melakukan tugas yang dijalani oleh seorang enumerator, tracker juga harus punya sense untuk pelacakan responden. Pelacakan responden yang pindah itu merupakan kegiatan yang sangat penting untuk keberhasilan sebuah survey panel.
Oleh karena itu, seorang tracker umumnya memiliki nilai lebih ketimbang enumerator. Selain itu, ia juga memiliki pengalaman dalam mengenal wilayah jangkauan pelacakan pada umumnya. Hal ini tentunya memberikan keuntungan tersendiri bagi tracker yang memiliki jiwa backpacker seperti saya ini. Termasuk di antaranya saya bisa mengenal wilayah Kecamatan Butuh.



Di sela-sela melakukan tracking responden di sana, saya pun kebetulan bisa melihat sebuah bangunan gereja lawas yang ada di daerah situ. Gereja lawas itu dikenal dengan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Karangjoso. Gereja ini terletak di Dukuh Karangjoso RT. 01 RW. 02 Desa Langenrejo, Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi gereja ini berjarak sekitar 1,5 kilometer sebelah utara dari Balai Desa Langenrejo.
Konon, gereja ini merupakan cikal bakal Gereja Kristen Jawa di Pulau Jawa yang dibangun oleh Kyai Sadrach, penyebar agama Kristen di Pulau Jawa, pada tahun 1871. Oleh karena itu, gereja ini acapkali disebut dengan Gereja Kyai Sadrach. Gelar Kyai yang disandang Sadrach yang mungkin menimbulkan kebingunan. Berasal dari pemahaman masyarakat zaman dahulu, bagi masyarakat Jawa, seorang Kyai adalah orang yang memiliki kedudukan, karena apa yang dia katakana akan didengar oleh banyak orang dan tentunya punya banyak pengikut.



Jemaat pertama yang dibangun Sadrach adalah Jemaat Karangjoso yang merupakan jemaat tertua kedua di Purworejo dengan nama awal Gereja Kristen Jawa Mardika. Agama Kristen yang pada awalnya dibawa oleh zending Belanda mempunyai ciri khas Belanda di dalamnya, namun Sadrach mencari bentuk dari kekristenan Jawa. Beliau menganggap bahwa orang Kristen Jawa tidak perlu menyesuaikan adat dan kebiasaan orang Kristen Belanda. Hal ini bukan disebabkan karena nasionalisme atau kebencian terhadap Belanda, namun lebih kepada kepeduliannya terhadap kebudayaan Jawa yang dimasukkannya dalam Kristen Jawa.
Melihat sepintas gaya arsitekturnya, mungkin orang banyak tak mengira kalau bangunan tersebut adalah sebuah gereja. Ornamen dan bentuk bangunan layaknya rumah joglo, bangunan khas masyarakat Jawa. Di atas mustaka bangunan atapnya pun tidak berbentuk lambang salib seperti bangunan gereja pada umumnya, akan tetapi di GKJ Karangjoso simbol salib diganti oleh persilangan senjata pusaka milik tokoh pewayangan Kresna dan Arjuna, yaitu senjata Cakra dan panah Pasopati.



Masuk ke dalam bangunan gereja, kesan budaya makin terasa dengan balutan tiang-tiang soko guru yang menopang bangunan utama gereja itu. Di situ juga akan ditemui berbagai kitab dan senandung lagu gereja yang telah diubah Kyai Sadrach dengan menggunakan bahasa Jawa untuk memperkenalkan agama Kristen kepada masyarakat Jawa kala itu.
Kyai Sadrach meninggal dunia pada 14 November 1924. Dengan istrinya yang bernama Nyai Roro Tompo, ia tak memiliki anak. Namun, ia sempat mengambil anak angkat yang bernama Yotam Martorejo. Selama hayatnya, Kyai Sadrach diyakini telah membaptis sekitar 20.000 orang. Sepeninggal Sadrach, para jemaat dipimpin oleh Yotam dan masalah kegerejaan akhirnya diserahkan kepada zending pada 1 Mei 1933.
Kini, bangunan gereja peninggalan Kyai Sadrach masih digunakan oleh jemaat GKJ Karangjoso. Sedangkan, bangunan lainnya yang terdapat di kompleks GKJ Karangjoso juga masih terpelihara dengan baik. Bekas rumah kediaman Kyai Sadrach digunakan oleh anak turun Yotam untuk mengurusi gereja tersebut, dan peninggalan milik Kyai Sadrach lainnya seperti keris, jubah, tempat tidur dan lain sebagainya tetap disimpan dalam sebagian bangunan yang ada di kompleks tersebut dan menjadi museum. *** [220618]

Fotografer: Rilya Bagus Ariesta Niko Prasetyo

Share:

Alun-Alun Kutoarjo

Lebaran ke-4 tahun ini berkesempatan halal bihalal ke rumah teman di Kutoarjo. Teman ini dulunya adalah responden tracking the Work and Iron Status Evaluation (WISE) di Tangerang. Asalnya dari Mudal, Purworejo kemudian menikah dengan seorang gadis asal Senepo Timur, Kutoarjo.
Halal bihalal ini sekaligus silaturahmi dengan istrinya yang kala dilangsungkan pernikahan tidak bisa menghadirinya. Setelah cukup lama bercengkerama dengan keluarga pihak istri, saya pun kemudian diajak berkeliling Kutoarjo, dan kongkow-kongkow di Alun-Alun Kutoarjo. Alun-Alun Kutoarjo ini terletak di Jalan Nasional III atau Jalan Pangeran Diponegoro, Kelurahan Kutoarjo, Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi alun-alun ini berada di sebelah selatan Rumah Dinas Wakil Bupati Purworejo, atau sebelah timur Masjid Jami’ Al-Izhar Kutoarjo.



Pada waktu nongkrong di alun-alun, saya pun menggunakan kesempatan ini untuk memotret alun-alun itu. Menurut sejarahnya, Alun-Alun Kutoarjo selesai dibangun pada tahun 1870 berbarengan dengan pembangunan rumah kediaman yang sekaligus menjadi Kantor Bupati Kutoarjo (sekarang menjadi Rumah Dinas Wakil Bupati Purworejo).
Sebelumnya, Kabupaten Kutoarjo ini berada di Semawung Daleman, dan masih bernama Kadipaten Semawung. Pada masa Bupati Raden Adipati Soerokoesoemo (1845-1859), Kota Kadipaten Semawung dipindahkan dari Desa Semawung ke Desa Senepo, Di tempat baru inilah kemudian Kadipaten Semawung berganti nama menjadi Kabupaten Kutoarjo.



Pada waktu sampai berakhirnya pemerintahan Raden Adipati Soerokoesoemo, pembangunan Kantor Bupati Kutoarjo belum rampung dan dilanjutkan oleh Bupati Raden Adipati Aryo Pringgo Atmodjo sampai tahun 1870 lengkap dengan alun-alunnya. Pada masa Bupati Raden Adipati Aryo Pringgo Atmodjo ini, Kabupaten Kutoarjo dibagi menjadi empat kawedanan, yaitu Kemiri, Pituruh, Ketawang, dan Poerwodadi.
Kala itu, Kabupaten Kutoarjo terbilang lebih maju perdagangannya ketimbang daerah Purworejo. Di Kutoarjo waktu itu banyak pengrajin tenun dan barang pecah belah dari tanah liat, sehingga menjadi daerah perdagangan yang cukup ramai di mana saat itu pedagang Tionghoa berdatangan untuk berdagang di kota ini. Pesatnya perdagangan di Kutoarjo dimulai setelah Pemerintah Hindia Belanda membangun jalur kereta api yang menghubungkan Yogyakarta-Purwokerto, dan dilanjutkan pembangunan lintas jalan kereta api antara Kutoarjo-Purworejo pada tahun 1887.



Pada tahun 1933, atas perintah Pemerintah Hindia Belanda, Kabupaten Kutoarjo disatukan dengan Kabupaten Purworejo yang saat itu dipimpin oleh Bupati Raden Adipati Aryo Danudiningrat. Nama Purworejo sendiri adalah nama baru sebagai pengganti nama Brengkelan yang termasuk ke dalam wilayah Karesidenan Bagelen. Selain Purworejo, daerah yang masuk ke dalam wilayah Karesidenan Bagelen ini meliputi Kabupaten Kutoarjo, Kabupaten Karangduwur (Kemiri dan Pituruh) dan Kabupaten Ungaran (yang sekarang termasuk daerah Kabupaten Kebumen).
Setelah dilebur menjadi Kabupaten Purworejo, Kutoarjo sempat menjadi kawedanan. Kemudian hirarki kawedanan pun akhirnya dihapus, dan Kutoarjo pun berubah menjadi kecamatan sampai sekarang. Alun-Alun Kutoarjo yang dulunya merupakan bagian dari konsep tata tradisional Jawa bercorak Catur Tunggal ini  pun kini menjadi saksi bisu akan keberadaan pusat pemerintahan Kabupaten Kutoarjo masa silam. *** [180618]

Share:

Stasiun Kereta Api Butuh

Stasiun Kereta Api Butuh (BTH) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Butuh, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen  PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 5 Purwokerto yang berada pada ketinggian + 10 m di atas permukaan laut. Stasiun ini terletak di Jalan Nasional III atau Jalan Raya Prembun-Kutoarjo, Dukuh Krajan, Desa Butuh, Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi stasiun ini berada di tenggara Pasar Butuh ± 300 m, atau barat daya Kantor Desa Butuh ± 300 m.



Bangunan Stasiun Butuh ini merupakan bangunan peninggalan masa Hindia Belanda. Pembangunan stasiun ini bersamaan dengan pembangunan jalur rel kereta api dari Yogyakarta-Maos sepanjang 155 kilometer, yang dikerjakan oleh Staatsspoorwegen (SS), sebuah perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1887 sebagai lanjutan dari proyek jalur Solobalapan-Yogyakarta. Jalur yang dikenal dengan Westerlijnen-1 (Lintas Barat Utama) ini, pengerjaannya dimulai dari Yogyakarta di sebelah timur menuju ke Maos di sebelah barat.
Stasiun ini memiliki 2 jalur dengan jalur 2 sebagai sepur lurus di mana yang ke arah  barat menuju Stasiun Prembun dan yang ke arah timur menuju Stasiun Kutoarjo. Sedangkan, jalur 1 digunakan untuk persusulan atau persilangan antarkereta api.



Stasiun Butuh yang tergolong stasiun kelas III/kecil ini memiliki arsitektur yang khas bila dibandingkan dengan stasiun sekelasnya. Fasad bangunan utamanya menyerupai bangunan joglo. Selain itu, suasana stasiun ini cukup bersih, dan tanamannya pun terawat rapi serta memiliki halaman untuk parkir yang lumayan luas.
Namun saying, stasiun yang hanya berjarak 6 kilometer dari Stasiun Kutoarjo ini hanya difungsikan sebagai stasiun untuk persilangan dan persusulan antarkereta api. Sehingga, dalam kesehariannya terlihat sepi akan aktivitas menaikan maupun menurunkan penumpang atau barang seperti aktivitas kereta api pada umumnya.*** [220618]

Fotografer : Rilya Bagus Ariesta Niko Prasetyo
Share:

Stasiun Kereta Api Kutoarjo

Stasiun Kereta Api Kutoarjo (KTA) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Kutoarjo, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen  PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 5 Purwokerto yang berada pada ketinggian + 16 m di atas permukaan laut, dan merupakan stasiun kereta api kelas B. Stasiun ini terletak di Jalan Stasiun No. 1, Kelurahan Semawung Daleman, Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi stasiun ini berada di depan Kantor Pos Kutoarjo, atau sebelah tenggara Terminal Kutoarjo ± 300 m.
Bangunan Stasiun Kutoarjo ini merupakan bangunan peninggalan masa Hindia Belanda. Pembangunan stasiun ini bersamaan dengan pembangunan jalur rel kereta api dari Yogyakarta-Maos sepanjang 155 kilometer, yang dikerjakan oleh Staatsspoorwegen (SS) pada tahun 1887 sebagai lanjutan dari proyek jalur Solobalapan-Yogyakarta. Jalur yang dikenal dengan Westerlijnen-1 (Lintas Barat Utama) ini, pengerjaannya dimulai dari Yogyakarta di sebelah timur menuju ke Maos di sebelah barat.



SS adalah perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda yang didirikan pada tahun 1875. SS menjadi perusahaan besar pesaing Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Jalur pertama yang dibangun oleh SS adalah lintas Surabaya-Pasuruan, dengan lintas cabang dari Bangil menuju Malang. Pada perkembangannya, cakupan SS semakin luas. SS juga membangun jalur kereta api di berbagai daerah lain. Tercatat orang pertama yang menjabat sebagai pimpinan dinas kereta api negara Staatsspoorwegen adalah David Maarchalk yang menjabat sejak tahun 1875.



SS sendiri terbagi dalam beberapa wilayah operasional. SS Oosterlijnen mendominasi area jalur kereta api di Jawa Timur (terutama wilayah selatan dan timur) dan SS Westerlijnen menguasai jalur selatan Jawa Tengah hingga Priangan. Mulai dari Yogyakarta menuju Kroya, di mana terdapat percabangan lintas selatan menuju Priangan selatan hingga Bandung-Bogor via Sukabumi dan utara menuju Cirebon hingga Batavia.
Selain itu, SS juga membuat percabangan dari Stasiun Kutoarjo menuju Purworejo sepanjang 12 kilometer pada tahun yang sama dengan pembangunan lintas barat utama. Proyek jalur rel Kutoarjo-Purworejo ini dikenal dengan SS Westerlijnen-2. Artinya, jalur kereta api lintas barat non utama atau kelas 2.



Stasiun ini memiliki 8 jalur dengan jalur 2 dan 3 sebagai sepur lurus di mana jalur 2 menuju ke arah  barat (Stasiun Butuh) dan jalur 3 menuju ke arah timur (Stasiun Jenar). Jalur 4 dan 5 digunakan untuk pemberangkatan kereta api yang berasal dari Stasiun Kutoarjo, seperti KA Sawunggalih, Kutojaya Utara, Kutojaya Selatan dan Prambanan Ekspres. Jalur 6,7 dan 8 sering digunakan untuk parkir gerbong maupun lokomotif yang akan melangsir maupun menarik gerbong. Sedangkan, jalur 1 dulunya digunakan untuk kereta api yang akan menuju ke Stasiun Purworejo.
Stasiun Kutoarjo tergolong stasiun yang memiliki luas areal yang cukup luas dengan bangunan stasiun yang lumayan besar bila melihat posisi stasiun yang berada di kecamatan. Ada dua kemungkinan yang menyebabkan stasiun ini memiliki bangunan utama yang besar dan areal yang luas, yaitu pertama, pada waktu stasiun ini dibangun, Kutoarjo adalah sebuah ibu kota Kabupaten Kutoarjo, sehingga stasiun didirikan menggunakan tipe stasiun kabupaten. Kedua, stasiun  ini juga menjadi stasiun percabangan ke Purworejo dan Yogyakarta untuk jalur yang mengarah ke timur. Posisi ini pula yang menyebabkan stasiun ini menjadi penting, sehingga banyak disinggahi oleh sejumlah kereta api, baik kelas ekonomi, bisnis maupun eksekutif. *** [280617]

Fotografer : Rilya Bagus Ariesta Niko Prasetyo
Share:

Kantor Kecamatan Kutoarjo

Setelah puas melihat Rumah Dinas Wakil Bupati Purworejo, perjalanan pun bergeser ke sebelah timurnya. Di sana Anda akan menemukan sebuah bangunan lawas lagi, yaitu Kantor Kecamatan Kutoarjo.  Kantor ini terletak di Jalan Mardiusodo, Kelurahan Kutoarjo, Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi kantor ini berada di depan SMP Negeri 3 Purworejo, atau sebelah timur laut Alun-Alun Kutoarjo ± 500 meter.
Kecamatan Kutoarjo merupakan kecamatan dengan luas terkecil, yaitu 37,59 km², atau 3,63% dari total wilayah Kabupaten Purworejo. Kendati sebagai pemilik wilayah terkecil, namun Kutoarjo pernah menorehkan sejarahnya sebagai sebuah kabupaten yang ada di Karesidenan Bagelen hingga Karesidenan Kedu dengan nama Kabupaten Kutoarjo.



Awalnya, kantor Kecamatan Kutoarjo ini merupakan rumah kediaman dan sekaligus kantor Patih Kutoarjo. Pada masa Bupati Raden Adipati Soerokoesoemo (1845-1859), Kadipaten Semawung dipindahkan dari Desa Semawung ke Desa Senepo. Di tempat baru inilah dibangun rumah kediaman/kantor Bupati lengkap dengan alun-alun yang selesai pada tahun 1870. Bersamaan itu pula juga dibangun Kantor Kepatihan, Kantor Kontrolir dan Kantor Landraad atau Pengadilan. Termasuk juga dibangun Masjid Jami’ Kutoarjo pada tahun 1860 lengkap dengan Kantor Pengadilan Agama.
Pada masa pemerintahan Raden Adipati Aryo Pringgo Atmodjo (1859-1870), Kadipaten Semawung berubah menjadi Kabupaten Kutoarjo berdasarkan letak kadipaten/kabupaten paska kepindahan di tempat yang baru tersebut. Saat itu, Kabupaten Kutoarjo dibagi menjadi empat kawedanan, yaitu Kemiri, Pituruh, Ketawang, dan Poerwodadi.



Antara Kantor Bupati, Patih dan Kontrolir saling berdekatan. Hal ini untuk memudahkan koordinasi birokrasi masa Hindia Belanda. Kantor Patih berada di sebelah timur Kabupaten, dan Kontrolir berada di sebelah timur alun-alun.
Berkaitan dengan tugas Patih pada waktu itu adalah membantu tugas Bupati terutama dalam hal administrasi birokrasi yang berjalan di Kabupaten Kutoarjo. Dalam struktur pemerintah Hindia Belanda, aparat birokrasi dibedakan dalam dua jenis, yakni pejabat berkebangsaan Belanda (Binnenlands Bestuur – Pemerintah Dalam Negeri) dan Pangreh Praja atau pejabat pribumi (Inlandschbestuur).
Pejabat Belanda terdiri dari Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, Kontrolir, dan para penasehat dalam urusan orang Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Sedangkan Pangreh Praja terdiri atas Bupati, Patih, Wedana, Asisten Wedana, Camat, Kepala Kampung atau Kepala Desa.



Gubernur Jenderal adalah penguasa tertinggi di wilayah jajahan dan dalam pekerjaan sehari-hari ia dibantu oleh Sekretaris Jenderal, dengan pusat kedudukan di Batavia. Di bawah jabatan Gubernur Jenderal terdapat jabatan Residen yang menguasai wilayah karesidenan dan dibantu oleh seorang Asisten Residen. Asisten Residen berkuasa atas wilayah khusus yang biasanya sama luasnya dengan kabupaten. Di bawah Asisten Residen terdapat Kontrolir yang wilayah kekuasaannya meliputi satu kawedanan. Tugas utama Kontrolir adalah mengawasi penduduk dan pertanian.
Jabatan tertinggi Pangreh Praja adalah Bupati atau Patih yang wilayah kekuasaannya meliputi luas kabupaten, dan bersama-sama dengan Asisten Residen menjalankan administrasi pemerintahan dalam satu wilayah yang sama. Sedangkan di bawah Bupati terdapat jabatan Wedana yang mmbawahi wilayah administrasi meliputi kawedanan yang dibantu oleh beberapa orang Asisten Wedana.
Jadi, kedudukan Patih Kutoarjo dulu adalah menjalankan kebijakan Bupati dan Asisten Residen berkenaan dengan administrasi dalam membawahi Kawedanan Kemiri, Pituruh, Ketawang, dan Poerwodadi, atau kalau sekarang posisinya setara dengan Sekretaris Daerah. Dalam pelaksanaannya, Patih juga dibantu oleh seperangkat pembantu yang berhubungan langsung dengan masyarakat, trutama yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial dan seremonial, seperti penghulu, kepolisian, jaksa dan sebagainya.
Sejak Kabupaten Kutoarjo digabung dengan Kabupaten Purworejo pada tahun 1933, praktis di Kutoarjo sudah tidak ada Bupati dan Patih lagi. Kabupaten Kutoarjo diturunkan menjadi kawedanan, sehingga bekas Kantor Bupati Kutoarjo kemudian ditempati Wedana untuk menjalankan tugasnya, dan bekas Kantor Patih digunakan untuk Kantor Kecamatan Kutoarjo hingga sekarang. *** [280617]

Fotografer: Rilya Bagus Ariesta Niko Prasetyo

Kepustakaan:
Yudistira, Pandji. (2014). Sang Pelopor: Peranan Dr. SH. Koorders dalam Sejarah Perlindungan Alam di Indonesia. Jakarta: Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung, Kementerian Kehutanan
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/al-turats/article/view/4046/2886
Share:

Rumah Dinas Wakil Bupati Purworejo

Kutoarjo merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Purworejo. Meski sebagai kota kecamatan, Kutoarjo tergolong cukup ramai bila dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Purworejo. Kutoarjo juga memiliki alun-alun di pinggir jalan utamanya, yang tidak dimiliki oleh kecamatan-kecamatan yang lain kecuali kecamatan yang menjadi ibu kota Kabupaten Purworejo, yaitu Kecamatan Purworejo.
Perbedaan ini menjadi saksi bisu akan perjalanan sejarah Kutoarjo. Sebagai kota lawas – bahkan lebih tua - dari nama Kabupaten Purworejo sendiri. Tak pelak lagi, Anda bisa dengan mudah menjumpai banyak bangunan kuno di Kutoarjo. Salah satu di antaranya adalah Rumah Dinas Wakil Bupati Purworejo. Rumah dinas ini terletak di Jalan Wirotaman, Kelurahan Kutoarjo, Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi rumah dinas ini berada di sebelah utara Alun-Alun Kutoarjo. Sebelah barat berbatasan dengan Jalan Marditomo, sebelah timur dengan Jalan Mardiusodo, sebelah utara dengan Jalan Durian, dan sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Wirotaman.



Menurut sejarahnya, Kutoarjo adalah kota kecil yang cukup ramai. Awal mulanya, kota ini bernama Semawung yang berumur lebih tua dari Purworejo yang dulu bernama Brengkelan. Di Kutoarjo waktu itu banyak pengrajin tenun dan barang pecah belah dari tanah liat, sehingga menjadi daerah perdagangan yang cukup ramai di mana saat itu pedagang Tionghoa berdatangan untuk berdagang di kota ini (Pandji Yudistira, 2014: 122).
Pada masa Bupati Raden Adipati Soerokoesoemo (1845-1858), Kota Kabupaten Kutoarjo dipindahkan dari Desa Semawung Daleman ke Desa Senepo. Di tempat baru inilah dibangun rumah kediaman sekaligus kantor Bupati Kutoarjo (Woning van Regent Koetoardjo). Namun, pada 23 Februari 1861, dua tahun setelah pengangkatan Raden Adipati Aryo. Pringgo Armodjo sebagai Bupati ke-2, daerah Kutoarjo dilanda banjir bandang yang besar dengan tinggi air mencapai sekitar 4,5 meter yang mengakibatkan terjadi perubahan yang luar biasa. Banyak rawa-rawa yang tertimbun oleh material yang dibawa banjir hingga mencapai satu meter di beberapa tempat. Kabupaten Kutoarjo mengalami kerusakan besar sehingga tidak dapat dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap sarana prasarana yang rusak akibat banjir tersebut. Banjir itu merendam hampir seluruh Kutoarjo karena memang daerah ini terkenal banyak rawa-rawa.



Akhirnya, Bupati Raden Adipati Aryo Pringgo Atmodjo melakukan renovasi kediaman dan pendopo Kabupaten Kutoarjo lengkap dengan alun-alun yang selesai pada tahun 1870. Selain itu selama tahun 1861-1870 juga diadakan usaha-usaha perbaikan agar pembuangan air berlangsung dengan cepat sehingga bahaya banjir tidak mengancam lagi. Pada waktu pemerintahan Bupati ke 2 ini, Kabupaten Kutoarjo dibagi menjadi empat kawedanan, yaitu Kemiri, Pituruh, Ketawang, dan Poerwodadi.
Pada tahun 1933, atas perintah Pemerintah Hindia Belanda, Kabupaten Kutoarjo disatukan dengan Kabupaten Purworejo yang saat itu dipimpin oleh Bupati Raden Adipati Aryo Hasan Danoediningrat. Nama Purworejo sendiri adalah nama baru sebagai pengganti nama Brengkelan yang termasuk ke dalam wilayah Karesiden Bagelen.



Setelah digabung, posisi Kutoarjo bukan lagi sebagai ibu kota kabupaten namun daerah setingkat di atas kecamatan atau dikenal dengan Kawedanan Kutoarjo. Kemudian sempat digunakan sebagai Perpustakaan Umum di Kutoarjo usai dihapuskannya fungsi kawedanan dalam tata pemerintahan di Indonesia. Pada masa kepemimpinan Bupati H. Marsaid Reksohadinegoro, S.H., M.Si dengan wakilnya H. Kelik Sumrahadi, S.Sos., M.M., bekas rumah kediaman atau pendopo Bupati Kutoarjo itu digunakan sebagai rumah dinas atau kediaman bagi wakil bupati. Jadi, Wakil Bupati H. Kelik Sumrahadi lah yang pertama kali menempati rumah dinas di situ.
Gaya arsitektur yang digunakan dalam bangunan rumah dinas wakil bupati ini merupakan perpaduan antara gaya arsitektur tradisional Jawa dengan arsitektur kolonial. Arsitektur tradisionalnya diperlihatkan dengan bangunan pendopo yang memiliki oleh empat soko guru yang terbuat dari kayu jati yang menopang atap berbentuk tajug tumpang. Sedangkan, kesan kolonialnya ditampilkan pada pilar-pilar atau kolom-kolom Yunani di bagian rumah belakang pendopo. Balutan gaya Indische Empire masih memperlihatkan bangunan kompleks rumah dinas wakil bupati itu.
Meski bangunan ini telah berkali-kali beralih fungsi, namun bangunan tersebut tetap menunjukkan keaslian bentuknya, dan seyogyanya tetap dilestarikan dalam bentuk aslinya. *** [280617]

Fotografer: Rilya Bagus Ariesta Niko Prasetyo

Share:

Jalan Daendels Jalur Selatan

Saya mengenal jalan ini tatkala sedang melaksanakan The Work and Iron Status Evaluation (WISE) di Purworejo dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2004. Kala itu enumeration area atau wilayah pencacahan mencakup wilayah Kabupaten Purworejo yang berada di selatan dekat pesisir Samudera Indonesia.
Sekilas terlihat jalan ini seperti jalan raya pada umumnya, tidak tampak istimewanya. Malahan terlihat sepi, padahal jalannya waktu itu sudah mulus. Situasi inilah yang menggelayuti pikiran saya ketika itu untuk mengetahui jalan ini yang sebenarnya.
Jalan ini, oleh masyarakat Purworejo, dikenal dengan Jalan Daendels. Pikiran pun kembali menerawang ke buku pelajaran sejarah saat masih di bangku SMP. Di buku pelajaran sejarah, terngiang akan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) yang menjadi proyek ambisius dari Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36 (5 Januari 1808-15 Mei 1811). Jalan itu dimulai dari Anyer dan berakhir di Panarukan sepanjang 1000 kilometer, dan di peta lawas pun tidak ada yang menunjukkan percabangannya di Pulau Jawa bagian selatan. Lantas kenapa jalan itu juga dinamakan Jalan Daendels?


Angga Indrawan dalam bukunya, Napak tilas Jalan Daendels (2017: 13) menjelaskan bahwa, tak banyak yang tahu bahwa salah satu anak Daendels masih punya sangkut paut dengan Pulau Jawa. Jalan panjang di jalur selatan Pulau Jawa, dari Bantul hingga jelang Cilacap ini populer juga dengan sebutan Jalan Daendels.
Salah kaprah sering terjadi dengan mengacu nama tersebut pada Herman Willem Daendels. Namun, Jalan Daendels selatan ini diambil dari nama seorang asisten residen di Ambal (assistent-resident te Ambal), Augustus Derk Daendels, yang kebetulan adalah salah satu anak dari pasangan Herman Willem Daendels dan Alida Elisabet Reiniera van Vlierden. Ia merupakan anak  di urutan nomor 11 dari 13 bersaudara. Lahir di Hattem, Gelderland, Belanda pada 7 Maret 1803. Ia menikah dua kali. Yang pertama pada 1835 dengan Maria Catharina Henriëtte Gallé, dan kemudian menikah lagi dengan Petronella Egberta Bisschop pada 1851. Dari perkawinannya yang pertama, ia dikarunia dengan 5 anak (4 perempuan, 1 laki-laki). Sedangkan, dengan Petronella, ia tidak mempunyai anak.
Setelah Pangeran Diponegoro menyerah di Magelang akibat kelicikan pihak Belanda, maka berakhir sudah Perang Diponegoro atau yang dikenal juga dengan Perang Jawa pada 1830. Situasi dan kondisi ini dimanfaatkan oleh Augustus Derk Daendels segera merealisasikan pembangunan jalan raya yang ada di jalur selatan Pulau Jawa pada 1838. Jalan ini melintasi deretan desa panjang yang tidak terputus-putus. Deretan desa ini dimulai dari Desa Kadilangu di tepi Sungai Bogowonto ke barat sampai tepi Sungai Cincing Guling, di daerah perbukitan Karangbolong. Deretan desa yang panjang ini disebut daerah Urut Sewu (Oeroet Sewu) sebagai tanggul pemisah antara daerah rawa dengan lautan.


Prakasa pembangunan jalan itu tidaklah mungkin terwujud bila tidak diimbangi dengan karakter Augustus Derk Daendels yang ambisius. Karakter seperti ini mewarisi dari karakter ayahnya, Herman Willem Daendels. Dalam Almanak en Naamregister, Voor Het Jaar 1845 (Batavia: Ter Lands Drukkerij, 1845, 79) disebutkan, Augustus Derk Daendels merupakan salah satu orang yang tercatat di Algemeene Lijst van Personen Het Radicaal van Indisch Ambetenaar Bezittende (Daftar Pejabat di Hindia Belanda yang radikal).
Semasa Augustus Derk Daendels menjabat sebagai Asisten Residen, Ambal merupakan salah satu kabupaten yang masuk dalam wilayah Karesidenan Bagelen, yang membawahi sejumlah daerah di Purworejo dan Kebumen. Kini, Bagelen malah menjadi salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Purworejo, dan Ambal menjadi salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Kebumen.
Sebagian dari jalan yang dibuat itu, sebenarnya merupakan bagian dari jalur gerilya dari Laskar Diponegoro dalam Perang Jawa dulu. Kemudian diperpanjang sampai Pantai Ayah hingga menjelang wilayah Cilacap. Setelah jalan itu selesai, kelak di kemudian hari jalan tersebut dikenal dengan Jalan Daendels. Hal ini mengemuka karena untuk menghargai dari realisasi yang dilakukan oleh asisten residen Ambal tersebut.
Pada 31 Agustus 1852, Augustus Derk Daendels menjadi Asisten Residen di Mojokerto (assistant-resident van Modjokerto) hingga meninggal pada 29 Mei 1853, dan dikebumikan di Surabaya.
Kini, Jalan Daendels itu menjadi jalan yang memegang peranan strategis di wilayah Pulau Jawa bagian selatan. Hanya saja yang melintas di Kabupaten Purworejo bila malam hari masih terlihat sepi sekali dan gelap. Belum terlihat aktivitas ekonomi yang menggeliat di sepanjang jalan raya yang mulus itu. *** [160418]

Fotografer: Nurlina Ratnawati
Share:

Stasiun Kereta Api Wojo

Stasiun Kereta Api Wojo (WJ) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Wojo, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen  PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 6 Yogyakarta yang berada pada ketinggian + 14 m di atas permukaan laut, dan merupakan stasiun kereta api kelas III. Stasiun ini terletak di Jalan Raya Wates-Purworejo, Desa Dadirejo, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi stasiun ini berjarak sekitar 135 m dari Jalan Raya Wates-Purworejo.
Bangunan Stasiun Wojo ini merupakan bangunan peninggalan masa Hindia Belanda. Diperkirakan pembangunan stasiun ini bersamaan dengan pembangunan jalur rel kereta api dari Yogyakarta-Maos yang dikerjakan oleh perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen (SS) pada tahun 1877 sebagai lanjutan dari proyek jalur Solobalapan-Yogyakarta. Jalur sepanjang 155 kilometer ini, pengerjaannya dimulai dari Yogyakarta di sebelah timur menuju ke Maos di sebelah barat.
Stasiun ini memiliki 3 jalur dengan jalur 1 dan 2 sebagai sepur lurus, menuju ke Stasiun Jenar ke arah barat dan menuju ke Stasiun Kedundang ke arah timur. Sedangkan, jalur 3 merupakan jalur pendek dan buntu atau yang sering dikenal dengan jalur badug.
Stasiun kereta api kelas kecil yang berada paling tenggara di Kabupaten Purworejo dan dekat dengan perbatasan Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini, sudah tidak terlihat akan adanya aktivitas menaikkan maupun menurunkan penumpang. Stasiun ini hanya untuk persusulan antarkereta api saja.
Dilihat sepintas, bangunan Stasiun Wojo ini memiliki kemiripan dengan Stasiun Solo Kota (di Solo) dan Stasiun Sukoharjo dengan kekhasan berupa desain atapanya dan ventilasi bulat dengan terali besi kotak-kotak. *** [010717]
Share:

Kerkhof Purworejo

Pada waktu berkobar perang yang dilancarkan oleh Pangeran Diponegoro dengan laskarnya, Purworejo yang dulu masih bernama Bagelan, menjadi sebuah medan perluasan pertempuran. Sehingga untuk mengantisipasi perang tersebut, pada tahun 1829 pasukan Belanda berusaha membangun sebuah benteng di Kedung Kebo untuk menghadapi berkecamuknya perang, dan sekaligus mempersempit ruang gerak pasukan Pangeran Diponegoro.
Dari siniliah kemudian Purworejo berkembang menjadi sebuah kota militer kolonial atau garnizun. Garnizun secara harafiah berarti kelompok pasukan dalam jumlah besar yang menetap dalam sebuah kota atau benteng. Jadi, yang dimaksud dengan kota garnizun secara harafiah bisa diartikan sebagai sebuah kota di mana terdapat kelompok pasukan dalam jumlah besar yang menetap di kota tersebut.


Dari jenis kota inilah, muncul berbagai fasilitas militer dengan simbol-simbol yang mengikutinya. Ruang-ruang kota dihubungkan dengan jalan-jalan yang memudahkan untuk saling berinteraksi bagi kepentingan militer yang kemudian juga untuk memudahkan aktivitas ekonomi. Spasial inti menjadi peneguh kekuasaan kolonial pada waktu itu, yang di dalamnya terdapat berbagai fasilitas pemerintah dengan segala perangkat bangunan pendukungnya (Musadad, 2001). Di samping bangunan tersebut terdapat permukiman masyarakat Eropa, kantor-kantor pemerintah, fasilitas pendidikan yang dikelola oleh orang Eropa, rumah sakit, sarana peribadatan mereka, dan kompleks pemakaman.
Pemakaman Belanda di Jawa dikenal dengan sebutan kerkop. Kata tersebut berasal dari bahasa Belanda kerkhof. Secara harafiah, kerk berarti gereja dan hof berarti taman. Istilah tersebut awalnya digunakan untuk pemakaman yang berada di halaman gereja. Kemudian melebar ke luar gereja yang secara umum dapat diartikan sebagai makam atau pekuburan. Termasuk kuburan Belanda atau orang-orang Eropa yang bermukin di Purworejo kala itu dikenal dengan Kerkhof Purworejo. Makam ini terletak di Jalan Mayor Jenderal Sutoyo RT. 03 RW. 07 Kelurahan Sindurjan, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Makam ini berada di sebelah selatan Rutan Kelas B Purworejo atau tepatnya berada di sebelah barat RST.


Makam Belanda ini, konon diresmikan pada tahun 1850 dengan diberi nama Het Kerkhof van Poerworedjo, yang memiliki lahan seluas 1,78 hektar. Seperti kerkhof lainnya, umumnya sebelum memasuki areal pemakaman terlebih dahulu akan dijumpai pintu gerbang masuk ke kompleks pemakaman. Pintu gerbang masuk Kerkhof Purworejo ini memiliki warna khas yang didominasi oleh warna kuning dan merah. Pintu gerban ini masih dalam bentuk aslinya, dan di bawah gevel gerbang tertulis ‘Memento Mori’ (Ingatlah akan kematian). Cuplikan kalimat dari bahasa Latin ini umumnya memang ditulis di atas makam Belanda. Hal ini untuk mengingatkan manusia bahwa semua manusia juga akan mati seperti yang ada di dalam makam, sehingga sudah sepantasnyalah manusia disuruh ingat akan kematinnya. Kata-kata ini selaras dengan judul novelnya Far Choinice, Memento Mori: Ingat Matimu!
Kemudian tulisan di bawah Memento Mori masih terdapat tulisan lagi, yaitu Makam Kerkhope. Sebuah bentuk kesalahkaprahan yang dipasang di pintu gerbang tersebut, baik tulisan maupun maknanya. Secara etimologi, kata makam berarti kuburan. Kubur sendiri berasal dari bahasa Arab, yang berarti memendam, melupakan, memasukkan, mengebumikan. Sedangkan, maksud dari tulisan kerkhope itu sebenarnya menunjuk pada kata dalam bahasa Belanda, kerkhof, yang artinya juga makam atau kuburan. kalau kata makam bersanding dengan kata kerkhope, yang terjadi adalah kesalahkaprahan saja. Untuk penamaan sebuah kuburan atau makam yang ada di Jawa, umumnya dimulai dengan kata makam kemudian diikuti oleh nama daerah. Jadi, untuk kuburan Belanda yang ada di Purworejo ini nama sebenarnya adalah Het Kerkhof van Poerworedjo, tapi kalau mau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bisa ditulis ‘Makam Belanda Purworejo’ atau ‘Kerkop Purworejo’.


Pada kartu pos berjudul Kerkhoflaan te Poerworedjo yang dicetak dan diterbitkan oleh Toko Van Laar Poerworedjo pada tahun 1912 memperlihatkan, bahwa jalur menuju makam Belanda tersebut dulunya sangatlah asri. Deretan pohon kenari (Canarium indicum) menghiasi sepanjang jalur menuju makam Belanda tersebut. Rindang dan sejuk udaranya.
Memasuki makam, mata pengunjung akan tertuju kepada jirat-jirat (grafsteen) kuno yang ada dalam kompleks makam ini. Jirat-jirat ini, dalam bahasa Jawa disebut dengan kijing (batu kubur di makam). Di makam ini terdapat sejumlah variasi kijing, mulai dari yang sederhana yang pada umumnya berbentuk empat persegi panjang dengan epitaph di atasnya, hingga yang rumit berbentuk rumah, tugu dan mauseleom yang kaya akan penuh hiasan ornamen. Makam berbentuk tugu ada sekitar 79 buah, sementara yang berbentuk mausoleum berjumlah 4 buah (Chawari, 2003).


Di makam ini disemayamkan beberapa orang Belanda maupun Eropa lainnya, di antaranya Wilhelm Graf von Taubenheim, seorang letnan Hindia Belanda berdarah biru ningrat Jerman. Selain itu, ada  H.W.L. Tellings, seorang kapten infateri dan jasad-jasad Zwarte Hollands. Zwarte Holland, atau Londo Ireng, ini dulunya merupakan orang-orang dari Afrika (Ghana dan Burkina Faso) yang disewa oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk memperkuat pasukannya di Purworejo.
Pada saat ini, kondisi kuburan Belanda ini terlihat kurang terawat. Ada beberapa nisan yang sudah rusak dan hilang, karena antara tahun 1970 sampai dengan 1980 banyak dilakukan penjarahan di kompleks makam ini. Hanya karena tergiur akan marmernya, penjarah tersebut seolah meniadakan sejarah untuk dikenang oleh generasi-generasi berikutnya.
Alangkah baiknya jika kompleks pemakaman Belanda ini terus dirawat dan dilestarikan. Selain bisa menjadi objek wisata, juga bisa dijadikan ruang terbuka hijau. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purworejo bisa belajar ke Museum Taman Prasasti di Jakarta. Museum tersebut dulunya juga merupakan kompleks makam Belanda yang ada di Jakarta, kemudian direnovasi dan disulap menjadi sebuah museum kuburan yang bersih nan historis. Seyogyanya, kerkhof Purworejo juga dikembangkan seperti museum tersebut. *** [100517]

Kepustakaan:
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=7469 [030617]
http://kucoytop.tripod.com/articles/chawari.htm [030617]
http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced/start/7?q_searchfield=poerworedjo [030617]
Share:

Stasiun Kereta Api Montelan

Stasiun Kereta Api Montelan (MTL) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Montelan, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen  PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 6 Yogyakarta yang berada pada ketinggian + 19 m di atas permukaan laut, dan merupakan stasiun kereta api paling barat di Daop 6 Yogyakarta. Stasiun ini terletak di Desa Kertosono, Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi stasiun ini berada tidak jauh dari Pasar Montelan.
Bangunan Stasiun Montelan ini merupakan bangunan peninggalan masa Hindia Belanda. Diperkirakan pembangunan stasiun ini bersamaan dengan pembangunan jalur rel kereta api dari Yogyakarta-Maos yang dikerjakan oleh perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen (SS) pada tahun 1877 sebagai lanjutan dari proyek jalur Solobalapan-Yogyakarta. Jalur sepanjang 155 kilometer ini, pengerjaannya dimulai dari Yogyakarta di sebelah timur menuju ke Maos di sebelah barat.


Stasiun ini memiliki 2 jalur dengan jalur 1 dan 2 sebagai sepur lurus, menuju ke Stasiun Kutoarjo ke arah barat dan menuju ke Stasiun Jenar ke arah timur. Dulu, stasiun ini masih memiliki wessel untuk persilangan namun semenjak dibangun double track, wessel tersebut sudah tidak ada. Sehingga menyebabkan stasiun ini dinonaktifkan.
Memang stasiun ini tergolong sebagai stasiun kelas III atau kecil, dan sejak tahun 2000 sudah tidak ada lagi penumpang kereta api yang naik maupun turun di stasiun ini. Praktis sejak itu, stasiun yang berukuran 7x19 meter ini hanya digunakan sebagai pengaturan persilangan kereta yang melintas saja.
Pada tahun 2003, penulis masih menjumpai kereta api yang berhenti di stasiun ini saat masih bertugas sebagai enumerator The Work and Iron Status Evaluation (WISE) di Tegalkuning, Banyuurip. Tapi sayang, stasiun ini akhirnya bernasib sama dengan Stasiun Kalasan yang sejak tahun 2007 sudah tidak beroperasi lagi setelah diresmikannya jalur ganda Solo-Kutoarjo.
Bangunan stasiunnya pun menjadi terbengkelai padahal bila dicermati secara seksama, bangunan Stasiun Montelan tersebut memiliki riwayat panjang semasa kolonial dulu. Menurut andai-andai penulis, alangkah baiknya bila bangunan stasiun ini dijadikan sebagai museum mini perkeretaapian saja. Karena jelas sekali, bangunan stasiun ini memiliki kisah yang mengadung heritage dalam perkeretaapian di Indonesia pada umumnya, dan Purworejo pada khususnya. Sebelum terlambat!   *** [100517]

Foto: Nurlina Ratnawati
Share:

Stasiun Kereta Api Jenar

Stasiun Kereta Api Jenar (JN) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Jenar, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen  PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 6 Yogyakarta yang berada pada ketinggian + 18 m di atas permukaan laut, dan merupakan stasiun kereta api kelas II. Stasiun ini terletak di Jalan Purworejo-Congot, Desa Bragolan, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi stasiun ini berada di sebelah selatan perempatan lampu merah Pendowo (Bangjo Pendowo) ± 150 meter.


Bangunan Stasiun Jenar ini merupakan bangunan peninggalan masa Hindia Belanda. Diperkirakan pembangunan stasiun ini bersamaan dengan pembangunan jalur rel kereta api dari Yogyakarta-Maos yang dikerjakan oleh perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen (SS) pada tahun 1877 sebagai lanjutan dari proyek jalur Solobalapan-Yogyakarta. Jalur sepanjang 155 kilometer ini, pengerjaannya dimulai dari Yogyakarta di sebelah timur menuju ke Maos di sebelah barat.
Stasiun ini memiliki 4 jalur dengan jalur 2 dan 3 sebagai sepur lurus, menuju ke Stasiun Montelan/Stasiun Kutoarjo ke arah barat dan menuju ke Stasiun Wojo ke arah timur. Jalur 1 digunakan sebagai persilangan kereta atau persusulan antarkereta, sedangkan jalur 4 merupakan jalur buntu. Jalur 4 ini biasanya digunakan untuk parkir gerbong yang pas tidak terpakai.
Kereta api kelas ekonomi jarak jauh yang masih singgah di stasiun ini adalah KA Bogowonto dan KA Jaka Tingkir. Selain itu, KA Prameks secara regular juga menyinggahi stasiun ini sehingga stasiun ini masih menunjukkan keaktifannya sebagai sebuah stasiun yang melayani naik dan turunnya penumpang dari stasiun lain. *** [100517]

Foto : Nurlina Ratnawati
Share:

Klenteng Thong Hwie Kiong


Klenteng Thong Hwie Kiong merupakan salah satu tempat ibadah yang cukup tua dan memiliki nilai sejarah yang kental bagi orang Tionghoa yang beragama Budha maupun penganut Khong Hu Cu di Purworejo. Klenteng seluas ± 400 m² ini terletak di Jalan Singodranan 15 Purworejo, atau tepat berada di belakang Pasar Baledono.



Klenteng ini didirikan pada 23 Desember 1888 oleh para pedagang Cina yang berada di Purworejo kala itu (Bagelen). Arsitektur bangunan berciri arsitektur Cina dengan warna dominan merah sebagai simbol penolak bala terhadap kekuatan roh jahat. Bangunan terdiri dari tempat pemujaan dan asrama pengelola. Halaman depan bagian kanan terdapat prasasti dengan huruf Cina kuno yang isi prasasti belum diterjemahkan dan berangka tahun 1888 M.
Klenteng ini merupakan klenteng standar yang semua bahan bangunannya didatangkan dari Tiongkok. Ciri klenteng standar adalah di bawah bangunan ada batunya yang panjang tanpa sambungan, dan dilihat dari usianya, klenteng ini termasuk klenteng tertua yang berada di eks Karesidenan Kedu.



Di Klenteng Thong Hwie Kiong terdapat sebuah arca dewa yang umurnya sudah mencapai ratusan tahun dan masih terjaga dengan baik hingga kini. Dia adalah arca dewa bumi. Arca dewa bumi atau Hok Tek Ceng Sin ini adalah dewa utama di klenteng ini yang dianggap dewa paling bijak dan sabar. Selain itu, di klenteng ini juga terdapat 14 arca lainnya.
Berdasarkan aspek historis dan usia bangunan klenteng tersebut, oleh Pemerintah setempat (Pemkab Purworejo) dimasukkan ke dalam benda cagar budaya yang tidak bergerak dengan nomor inventarisasi: 11-06/Pwr/TB/23, namun demikian klenteng ini masih digunakan untuk persembahyangan umat Khong Hu Cu hingga kini.***
Share:

GPIB Purworejo

Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Purworejo terletak di Jalan Urip Sumoharjo No. 24 Purworejo, atau tepatnya di sebelah timur alun-alun.
GPIB termasuk Gereja Protestan atau Indische Kerk. Awalnya, gereja ini sering disebut sebagai “gereja pemerintah”, karena kala itu gereja ini dipimpin oleh seorang pendeta yang adalah pegawai pemerintah. Gereja ini didirikan pada tanggal 12 November 1879 dengan arsitektur gaya Eropa beratap pilar dan pilaster bergaya Yunani (neoghotic).
Gereja ini memiliki luas areal sekitar 1.450 m², dan telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten setempat sebagai cagar budaya dengan nomor inventarisasi 11-06/Pwr/TB/1.

Arsitektur Gereja
GPIB berupa bangunan dengan arsitektur kolonial yang dicirikan dengan adanya pilar dan pilaster di bagian depan bangunan. Pada bagian depan bangunan gereja terdapat teras berdenah ukuran 1,5 x 3 meter berada di depan pintu utama.
Penutup teras dari beton bertulang berbentuk lengkung setengah lingkaran yang ditahan oleh 2 pilar kolom dengan garis tengah 50 cm, dan 2 buah pilaster. Konstruksi pilaster dan kolom tersebut sekaligus merupakan penahan struktur menara lonceng setinggi 15 meter dari lantai.


Sedangkan, bangunan utama gereja ini berdenah ukuran 8 x 23 meter. Dilihat dari struktur bangunannya, dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu bangunan utama dan bangunan pelengkap. Bangunan utama memiliki ukuran 8 x 15 meter. Atap bangunan berbentuk pelana dengan kemiringan 50 derajat, tanpa tritisan. Konstruksi atap kuda-kuda dari kayu jati dengan penutup atap genteng flams. Kuda-kuda berjarak 3 meter menumpu pada pilar tembok ukuran 60 x 60 cm, dan dinding setebal 30 cm dengan ketinggian beberapa meter dari lantai. Di atas tembok sisi utara dan selatan terdapat talang kantong gorong-gorong air, dan pralon.  Langit-langit bangunan utama terbuat dari kayu jati berada di bawah kuda-kuda. Secara structural, bangunan utama terdiri dari satu ruangan dengan satu buah pintu utama dan lima buah pintu penghubung serta sebagai penerangan terdapat delapan buah jendela. Jendela berbentuk lengkung lancip pada puncaknya. Secara fungsional bangunan utama memiliki tiga ruangan, yaitu ruang mimbar, ruang jemaat, dan ruang transit.
Ruangan mimbar berukuran 130 x 180 cm, dengan lantai tegel “gelar” abu-abu setinggi 80 cm dari lantai jemaat. Pembatas mimbar berupa dinding dari papan jati setinggi satu meter. Di depan mimbar, selebar ruang utama dibuat altar dengan ketinggian 40 cm dari lantai ruang jemaat.


Ruang jemaat memiliki ketinggian 60 cm dari tanah halaman. Lantai terbuat dari peluran yang dibuat nat-nat interval 53 cm. Sedangkan, ruang transit merupakan sebuah ruangan berdenah ukuran 3 x 3 meter dengan dinding papan jati dengan tiga buah pintu. Ruang transit terletak di sebelah dalam pintu utama.
Selain itu, di gereja tersebut juga terdapat bangunan sarana yang terdiri dari tempat ganti pendeta dan kantor pengurus gereja. Letak bangunan sarana di sbelah timur bangunan utama. Bangunan sarana mempunyai atap berbentuk limasan di sisi timur  dan pelana di sisi barat (menempel pada tembok utama). Konstruksi atap menggunakan kuda sedukan dengan penutup atap berupa genteng flams ditahan oleh tembok setebal 30 cm setinggi 4 meter.
Struktur ruangan sarana dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sisi timur berdenah ukuran 5 x 8 meter sebagai ruang kantor. Lantai ruangan dari tegel abu-abu, di dinding utara dan selatan terdapat dua buah jendela, salah satu jendela (jendela sisi selatan) diturunkan letaknya dan dialihfungsikan sebagai pintu penghubung ruang kantor dengan rumah pendeta. Pada dinding timur terdapat pintu keluar menuju ke selasar belakang bangunan. Langit-langit ruangan ditutup dengan eternit yang menempel pada usuk mengikuti kemiringan atap.
Di atas ruang ganti pendeta, terdapat loteng yang difungsikan sebagai gudang. Untuk naik ke loteng menggunakan tangga kayu yang masih difungsikan sampai sekarang.

Jemaat Tertua
Setelah melalui perjalanan yang “tidak mudah”, dimulai dari pewartaan Injil oleh Christina Petronella atau Nyonya Phillips (semenjak menikah dengan Carolius Phillips) hingga Ds. L. Andriaanse (1895), jemaat ini mengalami berbagai perubahan yang disebabkan oleh ambisi-ambisi manusiawi para pimpinannya.
Jemaat kota Purworejo memilih tetap dalam asuhan Zending. Sehubungan dengan itu, pada tanggal 28 Januari 1900 Ds. L. Andriaanse dalam kebaktian minggu di rumahnya di Plaosan, menetapkan jemaat Purworejo sebagai jemaat mandiri di bawah asuhan Gereja Gereformeede Nederland, yang mengutus Ds. L. Andriaanse sebagai pendeta utusannya. Maka untuk Jawa Tengah bagian selatan jemaat ini termasuk jemaat yang tertua.
Selanjtunya, pada hari Kamis, 1 Februari 1900 Ds. L. Andriaanse mengundang empat orang untuk membentuk Majelis Gereja. Mereka adalah Timotius Reksadimurti, anak Abisal Reksadiwangsa, pembantu Nyonya Phillips. Ia menjadi guru Injil pembantu Ds. L. Andriaanse. Selanjutnya, Yakobus Sapin, guru sekolah Zending di Pangen, pembantu J.P. Zuidema. Dan, yang dua orang lagi bernama Semiyon dan Hakim.
Majelis Gereja ini diteguhkan dalam Kebaktian Minggu, tanggal 4 Februari 1900 dengan menandatangani 12 Fasal Pengakuan Iman Rasuli sebagai dasar ajaran Gereja. Perlu segera memberitahukan berdirinya gereja tersebut kepada Gereja Pengutus di Utrech, dan minta Ds. L. Andriaanse, pendeta utusan itu untuk membantu gereja tersebut mengajar dan melayani sakramen selama belum mempunyai Pendeta Jawa sendiri. Karena sudah lama tidak ada pelayanan perjamuan kudus, maka ditetapkan tanggal 15 April 1900 bertepatan dengan hari raya Paskah diadakan Perjamuan Kudus. ***

Kepustakaan:

  • Buku Pendataan Teknis Gereja GPIB Kabupaten Purworejo, yang dikeluarkan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jawa Tengah Tahun 1994/1995, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Buku ini menjadi arsip GPIB Purworejo tertanggal 9 Februari 1995.

  • Buku Kenangan HUT ke-90 GKJ Purworejo tertanggal 28 Januari 1990.
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami