Pemberitaan
Injil kepada orang Jawa di Bagelen dan Jawa Tengah mengalami kemajuan pesat
karena pekerjaan Sadrach. Oleh sebab itu, kita perlu mengetahui riwayat Sadrach
dan bagaimana ia memberitakan Injil.
Ia
lahir di Jepara (ada yang menyebut Demak) tahun 1835, dari keluarga petani
miskin . Nama kecilnya adalah Radin. Waktu muda, ia suka mengembara mencari
“ilmu”. Mula-mula ia berguru kepada guru “ilmu” Kejawen bernama Kurmen, alias
Sis Kanoman. Lalu, ia belajar ke pesantren di Jombang, Jawa Timur. Di pesantren
ini, ia belajar membaca dan menulis Jawa dan Arab. Ajaran Islam yang disukai
yang bersifat tassawuf (mistik). Ia
juga gemar mempelajari ramalan-ramalan Jayabaya, terutama tentang akan
datangnya Ratu Adil yang membuka jalan baru.
Ketika di Jombang inilah, ia mulai mengenal agama Kristen sebagai “ilmu”
baru, dari desa-desa Kristen yang ia kunjungi yaitu Ngoro, Mojowarno, dan
daerah sekitarnya. Ia berkenalan dengan Ds. Jellesma, penginjil yang tinggal di
Desa Mojowarno, tahun 1851 – 1858. Kontak pertama dengan agama Kristen ini
belum merubah Radin untuk memeluk agama Kristen. Ia masih meneruskan mencari
“ilmu” di salah satu pesantren di Ponorogo beberapa tahun.
Sepulang
dari Ponorogo, ia memilih tinggal di Semarang untuk bergaul dengan orang-orang
Arab dan para haji. Di sini, ia menambah namanya menjadi Radin Abas. Di
Semarang, ia bertemu dengan gurunya, Sis Kanoman, yang telah menjadi Kristen
pengikut Tunggul Wulung. Ia terkesan cara Tunggul Wulung menaklukkan gurunya,
yaitu dengan beradu “ilmu”. Siapa yang kalah harus mengikuti yang menang
beserta semua murid-muridnya. Cara Tunggul Wulung inilah yang nantinya
dipergunakan Sadrach dalam memberitakan Injil. Radin Abas kemudian menjadi
murid Kyai Tunggul Wulung. Namun di Semarang ini, ia mengadakan kontak dengan
penginjil Ds. Hoezoo dan Ds. P. Jansz. Namun akhirnya ia lebih cocok mengikuti
kekristenan Jawa gaya Tunggul Wulung (“Kristen Jawa”) daripada kekristenan gaya
Barat (“Kristen Londo”).
Tahun
1865 Radin Abas diajak Kyai Tunggul Wulung ke Batavia menemui Mr. Anthing. Mr.
Anthing pernah tinggal di Semarang, dan pada tahun 1863 pindah ke Batavia
menjabat Wakil Ketua Mahkamah Agung. Ia anggota perkumpulan pemberita Injil
non-gerejawi yang disebut Genootschaap Voor In-en Uitwendige Zending, yang giat
memberitakan Injil dan mendidik calon penginjil orang bumiputera. Dua anak Kyai
Tunggul Wulung belajar pada Mr. Anthing. Di Batavia, Radin Abas belajar bahasa
Melayu, dan menjadi murid bahkan “anak emas” Mr. Anthing. Ia berkenalan dengan
penginjil-penginjil anggota kelompok Mr. Anthing yang umumnya pejabat
pemerintah yang sadar akan amanat Kristus. Di Batavia inilah pada tanggal 14
April 1867 Radin Abas menerima baptis di gereja Portugis (sekarang GPIB Sion)
oleh Ds. Ader, dan memilih nama baptis Sadrach.
Pertengahan
1867 ia kembali ke Semarang dengan jalan kaki sambil memberitakan Injil.
Selanjutnya bersama gurunya, Sis Kanoman dan Tunggul Wulung, membangun desa
Kristen di Bondo, Jepara. Karena ada kurang serasi dengan gurunya, pada tahun
1869 meninggalkan Bondo pergi kepada penginjil Poensen di Kediri. Di situ pun
rupanya kurang cocok, akhirnya atas saran Poensen, ia pergi ke Purworejo
membantu Ny. Phillips. Sejak 1871 ia menetap di Karangjoso, sampai wafat di
usia lanjut pada 15 November 1924. Selama memberitakan Injil lebih dari 7.000
orang dibaptiskan, meski harus diakui bahwa kebanyakan pengetahuan mereka
sangat minim dalam hal iman Kristen sebab keterikatan mereka dengan guru lebih
diutamakan.
Sumber:
- Buku Cetakan milik GPIB Purworejo hal. 3 – 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar