The Story of Indonesian Heritage

Kyai Sadrach (1835 - 1924)

Pemberitaan Injil kepada orang Jawa di Bagelen dan Jawa Tengah mengalami kemajuan pesat karena pekerjaan Sadrach. Oleh sebab itu, kita perlu mengetahui riwayat Sadrach dan bagaimana ia memberitakan Injil.
Ia lahir di Jepara (ada yang menyebut Demak) tahun 1835, dari keluarga petani miskin . Nama kecilnya adalah Radin. Waktu muda, ia suka mengembara mencari “ilmu”. Mula-mula ia berguru kepada guru “ilmu” Kejawen bernama Kurmen, alias Sis Kanoman. Lalu, ia belajar ke pesantren di Jombang, Jawa Timur. Di pesantren ini, ia belajar membaca dan menulis Jawa dan Arab. Ajaran Islam yang disukai yang bersifat tassawuf (mistik). Ia juga gemar mempelajari ramalan-ramalan Jayabaya, terutama tentang akan datangnya Ratu Adil yang membuka jalan baru.  Ketika di Jombang inilah, ia mulai mengenal agama Kristen sebagai “ilmu” baru, dari desa-desa Kristen yang ia kunjungi yaitu Ngoro, Mojowarno, dan daerah sekitarnya. Ia berkenalan dengan Ds. Jellesma, penginjil yang tinggal di Desa Mojowarno, tahun 1851 – 1858. Kontak pertama dengan agama Kristen ini belum merubah Radin untuk memeluk agama Kristen. Ia masih meneruskan mencari “ilmu” di salah satu pesantren di Ponorogo beberapa tahun.
Sepulang dari Ponorogo, ia memilih tinggal di Semarang untuk bergaul dengan orang-orang Arab dan para haji. Di sini, ia menambah namanya menjadi Radin Abas. Di Semarang, ia bertemu dengan gurunya, Sis Kanoman, yang telah menjadi Kristen pengikut Tunggul Wulung. Ia terkesan cara Tunggul Wulung menaklukkan gurunya, yaitu dengan beradu “ilmu”. Siapa yang kalah harus mengikuti yang menang beserta semua murid-muridnya. Cara Tunggul Wulung inilah yang nantinya dipergunakan Sadrach dalam memberitakan Injil. Radin Abas kemudian menjadi murid Kyai Tunggul Wulung. Namun di Semarang ini, ia mengadakan kontak dengan penginjil Ds. Hoezoo dan Ds. P. Jansz. Namun akhirnya ia lebih cocok mengikuti kekristenan Jawa gaya Tunggul Wulung (“Kristen Jawa”) daripada kekristenan gaya Barat (“Kristen Londo”).
Tahun 1865 Radin Abas diajak Kyai Tunggul Wulung ke Batavia menemui Mr. Anthing. Mr. Anthing pernah tinggal di Semarang, dan pada tahun 1863 pindah ke Batavia menjabat Wakil Ketua Mahkamah Agung. Ia anggota perkumpulan pemberita Injil non-gerejawi yang disebut Genootschaap Voor In-en Uitwendige Zending, yang giat memberitakan Injil dan mendidik calon penginjil orang bumiputera. Dua anak Kyai Tunggul Wulung belajar pada Mr. Anthing. Di Batavia, Radin Abas belajar bahasa Melayu, dan menjadi murid bahkan “anak emas” Mr. Anthing. Ia berkenalan dengan penginjil-penginjil anggota kelompok Mr. Anthing yang umumnya pejabat pemerintah yang sadar akan amanat Kristus. Di Batavia inilah pada tanggal 14 April 1867 Radin Abas menerima baptis di gereja Portugis (sekarang GPIB Sion) oleh Ds. Ader, dan memilih nama baptis Sadrach.
Pertengahan 1867 ia kembali ke Semarang dengan jalan kaki sambil memberitakan Injil. Selanjutnya bersama gurunya, Sis Kanoman dan Tunggul Wulung, membangun desa Kristen di Bondo, Jepara. Karena ada kurang serasi dengan gurunya, pada tahun 1869 meninggalkan Bondo pergi kepada penginjil Poensen di Kediri. Di situ pun rupanya kurang cocok, akhirnya atas saran Poensen, ia pergi ke Purworejo membantu Ny. Phillips. Sejak 1871 ia menetap di Karangjoso, sampai wafat di usia lanjut pada 15 November 1924. Selama memberitakan Injil lebih dari 7.000 orang dibaptiskan, meski harus diakui bahwa kebanyakan pengetahuan mereka sangat minim dalam hal iman Kristen sebab keterikatan mereka dengan guru lebih diutamakan.

Sumber:

  • Buku Cetakan milik GPIB Purworejo hal. 3 – 5.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami