The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Lampung Timur. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lampung Timur. Tampilkan semua postingan

Daftar Bangunan Kuno di Lampung Timur

Berikut ini adalah daftar bangunan kuno atau peninggalan sejarah lainnya yang terdapat di Lampung Timur:

Masjid An Nur Sukadana
Masjid ini terletak di Jalan Annur, Desa Sukadana, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung

Prasasti Bungkuk
Prasasti ini terletak di Desa Pugungraharjo, Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung

Rumah Informasi Budaya Lampung “Kencana Lepus”
Rumah Informasi Budaya ini terletak di Jalan Annur, Desa Sukadana, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung

Rumah Informasi Taman Purbakala Pugungraharjo
Rumah Informasi Taman Purbakala ini terletak di Jalan Raya Pugungraharjo, Desa Pugungraharjo, Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung

Taman Purbakala Pugungraharjo
Taman Purbakala ini terletak di Desa Pugungraharjo, Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung

 
 

Share:

Rumah Informasi Taman Purbakala Pugungraharjo

Rumah Informasi Taman Purbakala Pugungraharjo terletak di Jalan Raya Pugungraharjo, Desa Pugungraharjo, Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Sesuai dengan namanya, Rumah Informasi ini didirikan untuk tempat penyimpanan benda-benda cagar budaya yang diketemukan di Situs Pugungraharjo, baik pada waktu kegiatan pemugaran maupun diketemukan oleh masyarakat, dan juga untuk menyimpan benda-benda cagar budaya karena pertimbangan keamanan serta untuk kegiatan administrasi. Sehingga, Rumah Informasi Taman Purbakala Pugungraharjo bisa diistilahkan sebagai sebagai site museum.
Menurut Syaiful, salah seorang petugas Rumah Informasi, menerangkan bahwa Rumah Informasi dibangun pada tahun 1979 berbentuk rumah tradisional Lampung dengan gaya arsitektur tradisional berupa rumah panggung. Rumah berwarna coklat muda ini memiliki ukuran panjang 14 meter, lebar 12 meter, dan tinggi sekitar 8 meter.
Site museum yang terletak di Kota Kecamatan ini, meskipun tidak seluas museum pada umumnya namun mempunyai keunggulan tersendiri dari koleksi yang dimilikinya. Selain tua usianya, juga khas, seperti: menhir, batu pipisan, batu berlubang, prasasti Bungkuk, arca bodhisatwa (patung Badariah), , batu pra punden, prasasti Dalung (replika), patung tipe Polinesia, mata uang China, mata tombak, fosil, dan sejumlah keramik dari Negeri China

.

Saronto, dalam makalahnya “Selayang Pandang Situs Taman Purbakala Pugungraharjo, Desa Pugungraharjo, Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur” (2010), menjelaskan bahwa menhir ditemukan tahun 1957 di Situs Pugungraharjo, dan diperkirakan berumur 2.500 SM. Menhir berbentuk seperti phallus atau lingga, simbol laki-laki. Phallus memiliki sifat magis berkaitan dengan kesuburan baik tanaman maupun kesuburan bagi wanita, untuk memperoleh kekuatan gaib, dan sarana penolak bala, tanda penguburan leluhur. Menhir sebagai pusat upacara yaitu upacara kesuburan, upacara penolak bala, upacara bersyukur.
Batu berlubang diketemukan di bagian timur Situs Pugungraharjo dekat mata air. Batu berlubang ini terbuat dari batu andesit yang berwarna hitam keabu-abuan dengan ukuran panjang 89 cm, lebar 62 cm serta tebal 44 cm. Di bagian permukaan yang datar terdapat 4 buah lubang yang sangat licin menunjukkan bekas dipakai.
Arca Bodhisatwa atau Patung Putri Badariah diketemukan di punden berundak VII, oleh salah seorang warga yang sedang menyangkul yaitu Kadiran pada 14 Agustus 1957. Patung ini terbuat dari batu andesit dengan posisi duduk dengan sikap “dharmacakra mudra” yang berhiaskan lengkap lembaran-lembaran bunga lotus , serta duduk di atas lapik berhiaskan bunga lotus. Patung ini memiliki ukuran tinggi 91 cm, lebar 35 cm, tebal 22 cm, dan tebal lapik 18 cm, dengan garis tengah lapik 61 cm. Patung ini diperkirakan dari abad ke-12.
Batu Pra Punden diketemukan di gundukan tanah sebelah barat di Situs Pugungraharjo, dan di situs ini pernah diadakan penelitian/ekskavakasi oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jakarta pada tahun 1983, dan diketemukan batu bata yang terbuat dari batu cadas berwarna putih kecoklatan dengan bertuliskan tahun 1257 Saka huruf Sansekerta.
Arca Tipe Polinesia diketemukan di Gunung Langkap, Lampung Timur oleh Abdul Rahman, seorang warga Desa Bojong, pada tahun 1963. Patung ini terbuat dari batu andesit, dan dipahatkan dalam sikap duduk di atas sebuah lapik dengan memakai untaian kalung, dan di bagian belakang (pinggang) terselip sebuah keris. Patung dengan ukuran tinggi 99,5 cm, lebar 33 cm, tebal 28 cm sedangkan lapiknya berbentuk bundar polos dengan ketebalan 9 cm, dan bergaris tengah 44 cm ini, memiliki keunikan tersendiri karena adanya mitos bahwa barang siapa yang bisa menghitung biji kalung sebanyak 3 kali dengan jumlah yang sama maka akan terkabul segala cita-citanya.


Keramik yang diketemukan di Situs Pugungraharjo sangatlah banyak ini tersebar di hampir setiap situs. Jumlahnya hampir ribuan, dan mungkin jutaan. Ini membuktikan bahwa nenek moyang kita di Situs Pugungraharjo telah melakukan perdagangan yang sangat luas, yang diperkirakan berkaitan dengan Kerajaan Sriwijaya atau melakukan pelayaran yang lebih jauh lagi ke Negeri China. Ini dibuktikan dengan sebaran keramik yang diketemukan sangat luas dan kronologi keramik dapat diketahui mulai dari abad ke-8 atau 9 hingga abad ke-17, seperti diketemukannya keramik Tang, keramik yang paling muda yaitu keramik Ching. Jumlah keramik terbanyak adalah keramik Sung dan Ming dari abad ke-10 hingga abad ke-17. Ini menunjukkan bahwa kegiatan perdagangan atau pelayaran nenek moyang kita di abad ke-10 hingga 17 di kawasan Way Sekampung sangatlah ramai. Namun keramik-keramik yang masih tersisa dan yang masih utuh hanyalah beberapa saja, seperti guci, buli-buli, cepuk dan mangkuk.
Selain, memamerkan temuan benda-benda cagar budaya di Situs Pugungraharjo, Rumah Informasi ini juga menyediakan informasi berkenaan dengan sejarah temuan, ekskavasi, pemugaran, pembuatan zoning (batas situs) serta melindungi benda-benda cagar budaya dan situs dengan tujuan untuk melestarikan dan memanfaatkan untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
Rumah Informasi Taman Pugungraharjo, pengelolaannya di bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung, dan juga termasuk wilayah kerja dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Serang, Provinsi Banten. *** (310313)
Share:

Rumah Informasi Budaya Lampung “Kencana Lepus”

Melintas jalan lama di Sukadana, Lampung Timur, Anda akan menjumpai sebuah kampung etnik yang khas dan bernuansa arsitektur lokal. Deretan rumah panggung khas Lampung masih bisa disaksikan. Dari sekian rumah tersebut, ada sebuah rumah kuno berwarna hitam yang telah dikukuhkan sebagai rumah tradisional oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Serang, Provinsi Banten, mengingat rumah tersebut memiliki sejarah yang panjang di Lampung.
Rumah yang berada di Jalan Annur, Dusun Sukadana, Kelurahan Sukadana, Kecamatan Sukadana itu, atau tepat berada di depan Kantor Kelurahan Sukadana, menurut Hj. Uzunuhir – pewaris dan pemilik rumah tradsional tersebut – rumah tradisional pertama kali di Sukadana dilakukan pada zaman Minak Rio Kudu Islam pada pertengahan abad ke-17 (sekitar tahun 1650 M). Bahannya terbuat dari kayu tidak berpaku dengan beratapkan genteng yang didatangkan dari Palembang.


Pada tahun 1940, rumah tersebut dibongkar oleh Muhammad Yusuf gelar Paksi Marga, keturunan Minak Rio Kudu Islam yang ke-10. Namun, jauh sebelum rumah tersebut dibongkar, keturunan Minak Rio Kudu Islam yang bernama H. Abdullah Akbar gelar Dalem Bala Seribu (biasa dipanggil Ubay) telah membuat rumah baru pada tahun 1820 yang bertipe “Gajah Meghem”. Rumah tersebut beserta  barang-barang kuno sejak zaman Minak Rio Kudu Islam masih masih ada sebagian sampai sekarang dan ditempati keturunannya yang ke-11 yaitu A.M. Basyari yang bergelar Suttan Kencana.
Semasa Suttan Kencana masih hidup, rumah tradisional tersebut diupayakan pemeliharaan dan pelestariannya, termasuk keberadaan benda-benda bersejarah peninggalan nenek moyang  yang dapat diabadikan.
Dalam perkembangan selanjutnya, rumah tradisional ini dijadikan sebagai Rumah Informasi Budaya Lampung “Kencana Lepus”.  Rumah Informasi ini merupakan pendukung utama keberadaan Museum Lampung yang menjadi tempat pelestarian benda-benda bersejarah, khususnya di Provinsi Lampung. Rumah Informasi yang berbentuk rumah panggung berwarna hitam berukuran 24 x 20 meter, dan terbuat dari kayu nangi ini merupakan satu di antara rumah-rumah informasi yang ada di Provinsi Lampung. Statusnya sebagai rumah informasi ini, berkat kepeloporan dari sejumlah masyarakat kampung yang benar-benar concern terhadap budaya Lampung, seperti tokoh-tokoh adat dan budayawan Sukadana, Lampung Timur.
Di bawah pengelolaan Hj. Uzunuhir, S.Pd yang bergelar Suttan Lepus, istri alamarhum Suttan Kencana, rumah informasi tersebut bisa menunjukkan eksistensinya sebagai Rumah Informasi Budaya Lampung hingga kini, dan dinamakan Rumah Informasi Budaya Lampung “Kencana Lepus”. Kencana berasal dari gelar nama almarhum suaminya, dan Lepus merupakan gelar yang digunakan oleh Hj. Uzunuhir.
Rumah Informasi Budaya Lampung “Kencana Lepus” merupakan suatu rumah yang berkedudukan di tingkat desa atau kabupaten yang menyimpan, merawat, dan memamerkan benda-benda, reflika dan informasi budaya masyarakat adat Lampung, termasuk nilai-nilai adat istiadat dan sejarah  sebagai sumber pengetahuan, pelestarian kebudayaan dan pengembangan pusat-pusat pariwisata. Dengan kata lain, Rumah Informasi Budaya Lampung adalah gabungan antara museum budaya Lampung in-situ dan ex-situ.
Keberadaan rumah informasi di Sukadana ini, memang tergolong representative. Artinya, tergolong cukup lengkap, baik koleksi benda bersejarah yang dimiliki maupun fungsi dan kegunaannya sebagai upaya pelestarian budaya adat Lampung, terutama Lampung Pepadun.


Koleksi benda karya budaya yang ditata rapi serta dipamerkan di Rumah Informasi ini, meliputi: meja marmer (abad 19), Al-Qur’an (tahun 1833), pepadun/singgasana (abad 17), anjung/merigai (abad 17), payan/tombak (abad 17), semambu ulung/tongkat rotan (abad 17), kirab/meja hiasan (abad 19), peti besi buatan Jerman (abad 19), mulen (tempat beras), meriam sundut, keren (tempat memasak), kendi/tempat air minum (abad 17), pengutepan/tempat ludah (abad 17), cibuk/untuk memandikan bayi (abad 17), sepatu kayu (abad 17), terapuh kayu (abad 17), sigeh/tempat kuningan (abad 19) dan lampu minyak kelapa (abad 19).
Selain itu, Rumah Informasi ini juga menyimpan dokumen tertulis mengenai sejarah kampung, serajarah rumah, dan silsilah keluarga. Dokumen ini sangatlah penting karena ikut melengkapi informasi latar belakng benda, sejarah, identitas, dan hubungan-hubungan kekeluargaan antar masyarakat adat Lampung. *** (130213)
Share:

Sejarah Singkat Desa Pugungraharjo

Desa Pugungraharjo merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Desa ini terletak pada koordinat 05° 17' 912" LS dan 105° 33' 716" BT, dan terdiri atas 8 dusun, yaitu: Dusun I Kampung Baru, Dusun II Bangun Harjo, Dusun III Rawa Sari, Dusun IV Purbo Harjo, Dusun V Beteng Sari, Dusun VI Kemiling, Dusun VII Kawat Sari dan Dusun VIII Taman Sari.
Desa Pugungraharjo, saat ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 7.292 orang dengan jumlah 2.053 KK, yang tersebar di delapan dusun yang ada. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani yang didukung oleh lingkungan alam yang menopang pertanian, utamanya adalah sawah beririgasi, dan tanaman kopi.
Lokasi desa ini memang menjadi ibu kota Kecamatan Sekampung Udik sehingga sejumlah fasilitas banyak ditemui di desa ini, seperti fasilitas pendidikan, kesehatan maupun ekonomi (pasar). Selain ramai, desa ini dekat dengan Jalan Lintas Timur Sumatera. Jarak ke ibu kota Kabupaten Lampung Timur adalah sekitar 40 Km, sedangkan jarak ke ibu kota Provinsi sekitar 60 Km.
Menurut  informasi yang diperoleh dari Rumah Informasi Taman Purbakala Pugungraharjo, Desa Pugungraharjo merupakan sebuah desa tua lantaran diketemukannya situs kepurbakalaan di desa tersebut. Desa tersebut diyakini sebagai tempat pemukiman nenek moyang kita yang sudah ramai dan maju. Namun karena sesuatu hal, daerah ini sempat ditinggalkan penghuninya setelah ratusan tahun menjadi tempat bermukimnya, sehingga pada akhirnya daerah tersebut menjadi hutan belantara yang sangat lebat dan menyimpan misteri kehidupan masa lampau. Oleh penduduk di sekitarnya, hutan tersebut dinamakan hutan Pugung. Hutan Pugung pada saat itu terkenal angker dan masih banyak binatang buasnya. Meski di sekitar hutan Pugung sudah ada perkampungan, yaitu Desa Gunung Sugih Besar di sebelah Selatan, dan Desa Bojong di sebelah Utara namun hutan Pugung tetap tidak ada yang berani menjamahnya.
Pada 1 Juli 1954 didatangkanlah sejumlah transmigran lokal dari daerah Sekampung, Batanghari dan Metro  sebanyak 78 KK. Transmigran tersebut pada umumnya terdiri dari para pejuang 1945 yang tergabung dalam BRN (Biro Rekonstruksi Nasional). Sesampainya di hutan Pugung, mereka yang dipimpin oleh Sumono, seorang Polisi Militer, dengan gigihnya membuka hutan untuk tempat pemukiman dan ladang pertanian, dimulai dari pinggir jalan menuju ke sebelah Timur dan Barat. Setelah menjadi sebuah perkampungan maka diberi nama Desa Pugungraharjo.
Nama Pugungraharjo ini sampai sekarang masih sulit diketahui asalanya, ada yang mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari dua bahasa yaitu bahasa Lampung dan bahasa Jawa. Pugungraharjo berasal dari dua buah suku kata, yaitu Pugung dan Raharjo. Pugung dalam bahasa Lampung yang berarti gundukan tanah (tanah yang tinggi), sedangkan raharjo dalam bahasa Jawa memiliki arti aman tenteram, sejahtera. Sehingga, Pugungraharjo berarti tempat yang tinggi yang aman tenteram sejahtera.
Menurut Sekretaris Desa Pugungraharjo, Sumiyanto, pada awalnya Desa Pugungraharjo secara definitif pada tahun 1956 masuk wilayah Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Tengah. Namun dengan keluarnya Undang-Undang No.12 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Dati  II Way Kanan, Kabupaten Dati II Lampung Timur dan Kotamadya Dati II Metro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 46, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3825) dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang  Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4587) maka terjadi perubahan status tingkat Kecamatan Jabung yang dimekarkan menjadi beberapa kecamatan, yaitu Kecamatan Sekampung Udik, Waway Karya, Pasir Sakti dan Marga Sekampung.
Dalam peruahan status terseut, Desa Pugungraharjo secara definitif masuk kedalam wilayah administratif Kecamatan Sekampung Udik, dan lokasi Desa Pugungraharjo terpilih sebagai tempat keberadaan pusat pemerintahan Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. *** (100413)
Share:

Sejarah Singkat Desa Bungkuk

Desa Bungkuk merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Marga Sekampung, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Desa ini terletak pada koordinat 05° 24' 547" LS dan 105° 37' 359" BT, dan terdiri atas 10 dusun, yaitu: Dusun I, Dusun II, Dusun III, Dusun IV, Dusun V, Dusun VI, Dusun VII, Dusun VIII, Dusun IX, dan Dusun X.
Desa Bungkuk, saat ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 4.886 orang dengan jumlah 1.320 KK, yang tersebar di sepuluh dusun yang ada. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani yang didukung oleh lingkungan alam yang menopang pertanian, utamanya adalah ladang dan perkebunan (jagung, pepaya, kelapa, dan lada hitam), curah hujan 2.000-3.000 mm/tahun, dan suhu udara 25°C.
Desa yang memiliki luas sekitar 3.600 ha ini berbatasan dengan Desa Batu Badak di sebelah Utara, Desa Negara Batin di sebelah Selatan, Desa Waway Karya di sebelah Barat, dan Desa Giri Mulyo di sebelah Timur.


Lokasi desa ini tidak terlalu jauh dengan ibu kota Kecamatan Marga Sekampung, yaitu sekitar 4 Km, sedang jarak ke ibu kota Kabupaten Lampung Timur adalah sekitar 55 Km.
Dalam Monografi Desa Bungkuk, Kecamatan Marga Sekampung, Kabupaten Lampung Timur, yang disusun dalam rangka untuk mengikuti Lomba Desa Tingkat Kabupaten Lampung Timur Tahun 2009, dikisahkan bahwa pada abad 16 beberapa tetua dari daerah Way Kanan berlayar menuju Banten guna memperdalam ilmu dan pengetahuan tentang agama Islam. Pada abad tersebut memang Kerajaan Islam di Banten mengalami masa kejayaannya, sehingga wajar bila banyak yang ingin belajar di sana karena ulama Banten kala itu cukup tersohor.
Sesampainya di Banten dalam keadaan sehat dan selamat, mereka segera berkeinginan memperdalam ilmu dan pengetahuan agama yang haq, yaitu agama Islam.
Setelah belajar ilmu agamanya dirasa cukup, para tetua tersebut berkeinginan pulang ke daerahnya untuk mengamalkan ilmu yang sudah didapatkanya di Banten. Namun malang tak dapat ditolak, di tengah perjalanan pulang ke Way Kanan, rakit yang mereka tumpangi diterjang oleh ombak dan badai di tengah lautan sehingga mereka kehilangan arah, dan pada akhirnya rakit mereka terdampar di muara Way Sekampung.
Peristiwa musibah tersebut didengar oleh pemuka-pemuka agama di Banten bahwa rombongan para tetua terdampar di sana, maka oleh Sultan Banten mereka disuruh bersabar dan sekaligus direstui untuk bermukim di sana (diperkirakan di sekitar Labuhan Ratu sekarang). Namun mereka tidak betah tinggal di sana karena keamanan mereka sering terganggu oleh perompak laut (bajau), akhirnya memutuskan untuk pindah ke daerah Sirkulo (seputaran Negara Saka sekarang).
Di Sirkulo, mereka bergabung dengan masyarakat pribumi, yaitu orang-orang Melinting. Akan tetapi kehadiran para tetua tersebut, kurang diterima oleh penduduk Melinting. Sehingga, mereka berinisitaif mengadakan pertemuan dengan para tetua Melinting untuk mengadakan suatu perundingan sayembara mengadu kerbau. Dalam sayembara tersebut diikat dengan perjanjian bila mana kerbau para tetua Way Kanan kalah maka mereka harus pindah atau kembali ke kampung asal mereka, akan tetapi kalau kerbau mereka yang menang maka para tetua Melinting harus siap angkat kaki dan pindah dari desa tersebut. Akhirnya, perundingan tersebut membuahkan kata sepakat di antara kedua belah pihak, dan menjadi keputusan yang sah.
Kemudian masing-masing tetua dari Way Kanan maupun Melinting sama-sama mempersiapkan kerbau yang akan disayembarakan tersebut. Dari pihak Melinting telah menyiapkan kerbau yang gagah dan besar serta tanduknya yang panjang, sedangkan dari pihak Way Kanan telah menyiapkan anak kerbau yang berumur dua bulan dan dipisahkan dari induknya selama dua hari. Oleh mereka, kepala anak kerbau tersebut dipasangi taji dari duri-duri serut.
Begitu perlombaan dimulai, anak kerbau dilepas. Anak kerbau tersebut langsung menyeruduk di bawah perut kerbau tetua Melinting mau menyusu disangka induknya, maka melompat dan berlarilah kerbau orang Melinting karena perutnya tertusuk taji sehingga melangkahi garis. Seketika itulah gong besar berbunyi dan menyatakan bahwa orang Melinting yang kalah, dan para tetua Way Kanan dinyatakan menang.
Pada acara pesta (begawi) datanglah serangan mendadak yang tidak diduga-duga, sehingga terjadi pertarungan yang hebat. Seketika itu juga turun hujan lebat secara mendadak yang mengakibatkan tanggul Maung jebol dan terjadilah banjir bandang (besar) sehingga pertarungan menjadi terhenti. Peristiwa ini acap disebut peleboran.
Setelah beberapa tahun kemudian, usai banjir bandang, para tetua Way Kanan terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu: kelompok yang bermukim di Tebung Suluh, Putat, dan Ketetuk. Mereka membangun desa di tepi Way Batanghari dan letak ketiga kelompok tersebut tidaklah berjauhan serta hidup dengan damai dan sejahtera.
Pada suatu malam terjadi peristiwa yang menggemparkan, di mana salah satu warga yang sedang menjalankan siskamling atau ronda dimakan oleh ikan Pelus. Ikan Pelus adalah semacam moa yang besar dan memiliki telinga kecil. Malam kedua, ikan tersebut naik ke darat untuk mencari mangsa lagi, dan oleh masyarakat seluruh jalan yang akan menuju sungai ditaburi dengan abu tungku. Akhirya, ikan Pelus tadi ditangkap, dan dagingnya dibagi-bagikan kepada warga untuk dipanggang. Tanpa disadari, saking besarnya ikan Pelus tersebut ketika dipanggang meneteskan lemak yang banyak dan terkena bara panggangan oleh salah seorang warga. Pada saat itulah, terjadi kebakaran yang menyebabkan rumah mereka habis dilalap si jago merah. Usai kebakaran tersebut, para tetua berkehendak pindak ke udik untuk mendirikan desa lagi (Tiyuh Tuho) di daerah batu bungkuk.
Memasuki  abad 18, pemerintah kolonial Belanda mulai masuk ke pedalaman Lampung, dan memerintahkan semua desa yang berada di tepi sungai harus pindah ke darat. Sehingga, tak terkecuali Desa Bungkuk seperti yang sekarang ini.
Karena ihwalnya dulu berdiri di daerah yang ada batu bungkuk, maka desa tersebut dikenal sebagai Desa Bungkuk. Namun ada sebagian yang mengatakan karena para tetua dulu bermukim di tepi Way Batanghari yang sungainya melengkung maka seolah-olah meliuk (bungkuk). *** (090413)
Share:

Sejarah Singkat Desa Pelindung Jaya

Desa Pelindung Jaya merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Gunung Pelindung, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Desa ini terletak pada koordinat 05° 25' 809" LS dan 105° 45' 436" BT, dan terdiri atas 7 dusun, yaitu: Dusun I, Dusun II, Dusun III, Dusun IV, Dusun V, Dusun VI, dan Dusun VII.
Desa Pelindung Jaya, saat ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 5.412 orang dengan jumlah 1.460 KK, yang tersebar di tujuh dusun yang ada. Penduduk Desa Pelindung Jaya terdiri atas beberapa suku, seperti suku Jawa, Lampung, Padang, China dan Banten. Mata pencaharian penduduknya, sebagian besar adalah petani, baik sawah maupun perkebunan, dan sebagian kecil terdiri dari pedagang, jasa dan kerajinan rumah tangga.
Desa yang memiliki luas sekitar 1.240 ha ini berbatasan dengan Desa Way Mili dan Desa Nibung di sebelah Utara, Desa Pempen dan Desa Negeri Agung di sebelah Selatan, Desa Pematang Tamalo di sebelah Barat, dan Desa Karya Tani di sebelah Timur.
Lokasi desa ini tidak terlalu jauh dengan ibu kota Kecamatan Gunung Pelindung, yaitu sekitar 4 Km, sedang jarak ke ibu kota Kabupaten Lampung Timur adalah sekitar 75 Km.
Dalam Monografi Desa Pelindung Jaya, Kecamatan Gunung Pelindung, Kabupaten Lampung Timur, yang disusun dalam rangka untuk mengikuti Lomba Desa Tingkat Kabupaten Lampung Timur Tahun 2012, disebutkan bahwa Desa Pelindung Jaya pada awalnya  merupakan daerah umbulan yang bernama Pelindungan, yang pada waktu itu merupakan bagian dari Desa Pempen, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Tengah. Umbulan yang bernama Pelindungan ini dikenal sebagai daerah yang paling aman bagi para pelarian/buronan yang dicari-cari oleh pasukan Belanda atau Jepang. Kala itu, terdapat semacam kepercayaan bahwa siapapun orang yang lari dari kejaran serdadu Belanda atau Jepang kemudian berlindung di Umbul Pelindungan ini pasti akan selamat, dan sejak saat itulah daerah Pelindungan ini mulai dikenal oleh banyak orang, baik dari dalam maupun dari luar daerah.
Seiring perkembangan zaman, pada 23 Juli 1986 daerah Umbul Pelindungan ini dikukuhkan sebagai Desa Persiapan setelah melalui musyawarah desa yang berjalan cukup panjang antara Kepala Desa Pempen (H. Ismail Karim) dengan sejumlah tokoh Desa Pempen, baik tokoh masyarakat maupun tokoh adat. Musyawarah tersebut difasilitasi oleh aparat dari Pemerintah Kecamatan Labuhan Maringgai. Setelah beberapa tahun kemudian, akhirnya Desa Persiapan Pelindung Jaya dimekarkan menjadi Desa Definitif dengan nama Desa Pelindung Jaya pada 25 Maret 19941 dengan H. Yusfik Cikman sebagai Kepala Desa pertamanya. Kepala Desa yang pertama ini menyandang gelar Rajo Intan. *** (200313)
Share:

Sejarah Singkat Desa Raja Basa Lama

Desa Raja Basa Lama merupakan salah satu desa yang terletak di Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Desa ini terletak pada koordinat 05° 06' 336" LS dan 105° 39' 439" BT, dan terdiri atas 10 dusun, yaitu: Dusun I Subing Jaya, Dusun II Subing Putra 2, Dusun III  Sinar Dewa Timur, Dusun IV Setia Batin, Dusun V Sinar Dewa Barat, Dusun VI Mega Sakti, Dusun VII Subing Puspa Barat, Dusun VIII Subing Puspa Timur, Dusun IX Mega Kencana, dan Dusun X Subing Putra 3.
Desa Raja Basa Lama, saat ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 12.200 orang dengan jumlah 3.050 KK, yang tersebar di sepuluh dusun yang ada.
Lokasi desa ini tergolong strategis, karena  dibelah oleh Jalan Negara Jalur Lintas Timur Sumatera dan sebagai jalan utama menuju Taman Nasional Way Kambas yang begitu tersohor. Jarak desa ini tidak terlalu jauh dengan ibu kota Kecamatan Batanghari, yaitu sekitar 3 Km, sedang jarak ke ibu kota Kabupaten Lampung Timur adalah sekitar 15 Km.
Dalam Monografi Desa Raja Basa Lama, Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur, yang disusun dalam rangka untuk mengikuti Lomba Desa Tingkat Kabupaten Lampung Timur Tahun 2008, disebutkan bahwa Desa Raja Basa Lama didirikan pada tahun 802 H atau bertepatan dengan 1402 M oleh Minak Pemuko Ratu Dibumi. Beliau diyakini oleh masyarakat Raja Basa sebagai cikal bakal Desa Raja Basa Lama.
Awal berdirinya Desa Raja Basa berlokasi di Way Terusan wilayah Kecamatan Seputih Mataram, Kabupaten Lampung Tengah. Namun, pada era Pengiran Dalem Mangkurat atau yang lebih dikenal sebagai Minak Gedi (1852 M) Desa Raja Basa pindah ke Way Pegadungan di wilayah Kecamatan Purbolinggo, Kabupaten Lampung Timur, dan selanjutnya ada beberapa keluarga yang pindah menuju Way Sewikis dan Way Curup. Di Way Sewikis ini, mereka mendirikan desa baru yang bernama Desa Raja Basa Batanghari sekarang ini, sedangkan yang bermukim di Way Curup, mereka mendirikan desa baru yang sekarang bernama Desa Raja Basa Baru, Kecamatan Mataram.
Meski masyarakat Raja Basa telah banyak yang berpindah hingga membangun dua buah desa, yaitu Raja Basa Batanghari dan Raja Basa Baru, namun sebagian masyarakat masih tinggal di Way Pegadungan, terutama penyimbang-penyimbang (pemimpin adat) tuanya. Pada tahun 1908 M atau bertepatan dengan 13 Zulhijjah 1329 H, masyarakat yang masih berada di Way Pegadungan pindah lagi menuju ke Way Bagul yang dipimpin oleh Kepala Kampung yang pada waktu itu bernama Pengiran Sempurno Jayo. Seluruh masyarakat pindah ke Way Bagul dikarenakan penyimbang-penyimbang mereka kebanyakan berada di Way Bagul, maka yang tadinya bernama Desa Raja Basa diganti dengan nama Desa Raja Basa Lama. *** (140313)
Share:

Sejarah Kota Sukadana

Sukadana terletak 30 Km sebelah Timur Kota Metro dan 80 Km dari Bandar Lampung. Kota kecil ini dapat ditempuh dengan bus dari terminal Rajabasa Bandar Lampung dengan lama perjalanan sekitar 2 jam.
Dulu, Sukadana adalah kota tua yang merupakan onder afdeling pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Namun, usai kemerdekaan Sukadana dimasukkan dalam wilayah adminstratif Lampung Tengah yang beribukota di Kota Metro. Baru pada 27 April 1999, Sukadana resmi menjadi pusat pemerintahan Lampung Timur setelah adanya pemekaran wilayah administratif baru dari Lampung Tengah. Sehingga, Sukadana akhirnya ditetapkan menjadi ibu kota pemerintahan Kabupaten Lampung Timur.
Pemilihan Sukadana sebagai pusat pemerintahan Lampung Timur didasarkan dengan sejumlah pertimbangan yang bermuara pada semangat otonomi daerah. Sukadana adalah merupakan daerah dengan kebudayaan Lampung, adat perkawinan, dan tari-tarian. Di sini juga masih terdapat rumah tradisional Lampung di mana di dalamnya masih tersimpan barang-barang kuno peninggalan leluhur.
Menurut Hj. Uzunuhir, S.Pd yang bergelar Suttan Lepus, menerangkan bahwa sejarah Sukadana bermula dari seorang bernama Minak Punya Bumi bin Minak Krio Penegeng di Buyut Tua (sekarang sekitar Pabrik Gula Gunung Madu Kecamatan Terbanggi Besar).
Kala itu, ia beserta keluarga naik perahu menyusuri Way Seputih dan sesampainya di cabang Way Seputih, rombongan menuju ke arah Sungai Pegadungan. Ketika menyusuri Sungai Pegadungan, rombongan singgah di Kertosano, sebuah perkampungan yang terletak di pinggir Sungai Pegadungan.
Minak Punya Bumi ini memiliki 3 putra, yaitu Minak Rio Ujung, Minak Maring Bumi, dan Minak Rio Kudu Islam serta seorang putrid yang bernama Inten Miyani. Setelah orang tua mereka meninggal, mereka naik perahu menyusuri kembali Sungai Pegadungan lantaran tidak tahan akan adanya gangguan bajak laut yang kerap mengintai mereka. Dalam penyusuran tersebut, akhirnya mereka menemukan tebing ghatcak (tebing tinggi) di simpang Sungai Sukadana. Di tempat ini, mereka berhenti dan menambatkan perahunya di pinggir sungai yang masih diliputi belantara.
Pada malam harinya, mereka berdoa meminta petunjuk kepada Allah SWT, apakah diizinkan untuk membuat kampung di tempat itu. Pada tengah malam mereka mendapat sasmita mendengar suara (masyarakat di sana meyakini seperti suara burung) … sukoanosukoanosukoano. Sukoano dalam bahasa Lampung berarti boleh ditempati, atau diizinkan. Hal ini ditafsirkan oleh mereka berarti daerah ini boleh atau diizinkan untuk dijadikan sebuah perkampungan.
Keesokan harinya mereka memulai membabat hutan untuk membuat syarat-syarat kampung, seperti membuat kumbung (dermaga kecil untuk menambatkan perahu), kuwayan (tempat mandi untuk pria dan wanita secara terpisah), jalan, surung bubu, atau cabang empat (perempatan), lapangan sessat, rumah adat, mushola, dan pembagian wilayah (bilik) kampung, antara lain: Bilik Ghabo, Bilik Libo, Bilik Tengah, dan lain-lain.
Setelah syarat-syarat kampung terpenuhi, mereka mengundang tokoh-tokoh kampung di sekitar Way Seputih dan Way Pengubuan – antara lain di Kampung Buyut, Serbayo, Terbanggi, dan Kampung Mataram – untuk menghadiri upacara adat meresmikan kampung (ngebaten anek) dengan diberi nama Sukadano sekitar tahun 1650 M. Atas kemufakatan bersama maka Minak Rio Kudu Islam menjadi Pimpinan Kampung dengan pepadun (singgasana) di tengah-tengah rumah adat (pemegat).
Lokasi yang diceriterakan dalam sejarah ini masih bisa dijumpai di daerah Sukadana Darat. Darat yang menjadi kata ikutan hanya sebagai penanda karena posisinya yang lebih tinggi, lokasinya berada di atas sungai seolah-olah menanjak bukit (ghatcak). Namun demikian, Sukadana Darat tersebut sebenarnya terletak di Dusun Sukadana, Kelurahan Sukadana, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Lampung Timur. Suasana kampung ini dipertahankan sebagai kampung etnik yang masih banyak berdiri bangunan kuno khas Lampung . *** (110213)
Share:

Sejarah Singkat Desa Gondangrejo

Desa Gondangrejo merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Pekalongan, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Desa ini terletak pada koordinat 05° 04' 896" LS dan 105° 23' 684" BT, dan terdiri atas 10 dusun, yaitu: Dusun I, Dusun II, Dusun III, Dusun IV, Dusun V, Dusun VI, Dusun VII, Dusun VIII, Dusun IX  dan Dusun X.
Desa Gondangrejo, saat ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 7.415 orang dengan jumlah 1.846 KK, yang tersebar di sepuluh dusun yang ada. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani yang didukung oleh lingkungan alam yang menopang pertanian, utamanya adalah sawah beririgasi, curah hujan 28 mm/tahun, dan suhu udara rata-rata 33° C.
Desa yang memiliki luas sekitar 939,42 ha ini berbatasan dengan Desa Siraman di sebelah Utara, Desa Sidodadi di sebelah Selatan, Desa Sidodadi di sebelah Barat, dan Desa Gunung Tiga di sebelah Timur.
Lokasi desa ini tidak terlalu jauh dengan ibu kota Kecamatan Pekalongan, yaitu sekitar 4 Km, sedang jarak ke ibu kota Kabupaten Lampung Timur adalah sekitar 22 Km.
Dalam Monografi Desa Gondangrejo, Kecamatan Pekalongan, Kabupaten Lampung Timur, yang disusun dalam rangka untuk mengikuti Lomba Desa Tingkat Kabupaten Lampung Timur Tahun 2009, disebutkan bahwa Desa Gondangrejo dibuka pada 29 Maret 1939 oleh Pemerintah Belanda. Ketika itu, didatangkan sebanyak 250 KK yang terdiri dari 1.240 jiwa yang berasal dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu dari Wonogiri, Boyolali, Klaten, Tulungagung, Pacitan, dan Madiun. Rombongan tersebut ditampung di suatu bedeng dengan nomor 32. Rombongan tersebut datang sebagai kolonis, dan merupakan transmigrasi pada zaman pendudukan kolonial Belanda. Transmigrasi saat itu lazim dikenal dengan sebutan kolonisasi.
Selanjutnya, sejumlah KK tersebut dibagi-bagi untuk membuka hutan belantara. Sebagian  berada di blok Swadaya Dusun I (sekarang Dusun I dan II), sebagian di blok 32B Dusun II (sekarang disebut Dusun III dan IV), sebagian di blok Klaten Dusun IV (sekarang Dusun VII dan VIII) dan sebagian lagi di blok 32 Polos Dalam Dusun V (sekarang Dusun IX dan X). Jadi Bedeng 32 pertama berdiri terdiri atas 4 dusun.
Bedeng 32 pada tahun 1939  memiliki batas-batas geografis dengan Bedeng 33 (sekarang Desa Siraman) di sebelah Utara, Bedeng 31 (sekarang Desa Sidodadi) di sebelah Selatan, Sungai Batanghari di sebelah Timur, dan Bedeng 31 (sekarang Desa Sidodadi di sebelah Barat).
Seiring dengan perjalanan waktu, Bedeng 32 berkembang menjadi kampung yang pada awalnya diberi nama Kampoeng Gondangrejo, dan sekarang menjadi Desa Gondangrejo.
Kata Gondangrejo sendiri berasal dari kata Gondang yang berarti kerongkongan, saluran makanan di leher dan salah satu nama suatu daerah di Jawa Tengah serta kata Rejo yang berarti murah/makmur. Dengan demikian, Gondangrejo kurang lebih memiliki makna murah pangan/sejahtera. ***  (050213)
Share:

Sejarah Singkat Desa Rejoagung

Desa Rejoagung merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Batanghari, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Desa ini terletak pada koordinat 05° 09' 722" LS dan 105° 21' 710" BT, dan terdiri atas 4 dusun, yaitu: Dusun I Rejobasuki, Dusun II Rejomulyo, Dusun III  Sidomulyo dan Dusun IV Sidobasuki.
Desa Rejoagung, saat ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 2.255 orang yang terdiri atas 1.189 laki-laki dan 1.066 perempuan dengan jumlah 687 KK, yang tersebar di empat dusun yang ada. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani yang didukung oleh lingkungan alam yang menopang pertanian, utamanya adalah sawah beririgasi, curah hujan 2.000 mm/tahun, dan suhu udara ± 30°C - 35°C.
Desa yang memiliki luas sekitar 374,953 ha ini berbatasan dengan Desa Nampirejo di sebelah Utara, Desa Buana Sakti di sebelah Selatan, Desa Adiwarno di sebelah Barat, dan Desa Bale Kencono di sebelah Timur.
Lokasi desa ini tidak terlalu jauh dengan ibu kota Kecamatan Batanghari, yaitu sekitar 3 Km, sedang jarak ke ibu kota Kabupaten Lampung Timur adalah sekitar 30 Km.


Dalam Monografi Desa Rejoagung, Kecamatan Batanghari, Kabupaten Lampung Timur, yang disusun dalam rangka untuk mengikuti Lomba Desa Tingkat Kabupaten Lampung Timur Tahun 2005, disebutkan bahwa Desa Rejoagung dibuka pada tahun 1940 oleh Pemerintah Belanda. Kala itu, penduduk yang akan mendiami daerah bukaan baru tersebut didatangkan dari Pulau Jawa, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat. Yang terbanyak berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Penduduk dari Jawa Tengah yang mendiami daerah tersebut didatangkan dari Surakarta, Klaten, Banyumas, Gombong, dan Yogyakarta. Yang dari Jawa Timur, seperti Kediri, Tulungagung, Ponorogo, dan Trenggalek, sedangkan yang dari Jawa Barat hanya sebagian kecil saja. Pada waktu itu, pemindahan antar pulau pada era pendudukan Belanda lazim disebut kolonisasi.
Awalnya, jumlah penduduk yang didatangkan saat itu sebanyak 375 KK. Dari sekian banyak penduduk tersebut, akhirnya dibagi menjadi tiga kelompok, dan ketiga kelompok tersebut dijadikan satu untuk menghuni sebuah bedeng (camp). Bedeng yang dihuni tersebut dikenal dengan Bedeng 49.
Dari ketiga kelompok tersebut, masing-masing mempunyai Ketua Kelompok, di mana masing-masing Ketua Kelompok dari daerahnya. Oleh Pemerintah Belanda pada waktu itu, setiap kelompok dibagikan bahan makan, alat pertanian, obat-obatan serta bahan untuk membuat rumah untuk warga masing-masing. Selain itu, Pemerintah saat itu juga menunjuk satu orang dari tiga Ketua Kelompok untuk menjadi Kepala Kampung, yang kala itu terpilih Bp. Sutomo untuk menjadi Kepala Kampung.
Akhirnya, lambat laun Bedeng 49 berubah menjadi Desa Rejoagung seiring adanya pertambahan dan perkembangan penduduk yang mendiami daerah Bedeng 49. *** (290113)

Share:

Sejarah Singkat Desa Sidodadi

Desa Sidodadi merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Sekampung, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Desa ini terletak pada koordinat 05° 08' 699" LS dan 105° 24' 385" BT, dan terdiri atas 4 dusun, yaitu: Dusun I, Dusun II, Dusun III dan Dusun IV.
Desa Sidodadi, saat ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 3.878 orang dengan jumlah 1.039 KK, yang tersebar di empat dusun yang ada. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani yang didukung oleh lingkungan alam yang menopang pertanian, utamanya adalah sawah beririgasi.
Lokasi desa ini tidak terlalu jauh dengan ibu kota Kecamatan Sekampung, yaitu sekitar 2,5 Km, sedang jarak ke ibu kota Kabupaten Lampung Timur adalah sekitar 30 Km.


Dalam Profil Desa Sidodadi, Kecamatan Sekampung, Kabupaten Lampung Timur, yang disusun dalam rangka untuk mengikuti Lomba Desa Tingkat Kabupaten Lampung Timur Tahun 2009, disebutkan bahwa Desa Sidodadi dibuka pada tahun 1941 oleh Pemerintah Belanda yang dikenal dengan zaman Kolonisasi. Kala itu, daerah tersebut masih berupa hutan belantara sehingga belum memiliki nama.
Baru setelah hutan belantara tersebut dibuka oleh rombongan yang dikepalai oleh Adenan, dan ditanami apa saja yang dapat menghasilkan hasil pertanian maka daerah tersebut diberi nama Bedeng 53. Bedeng 53 ini diberikan setelah diurutkan dalam pembukaan lahan. Namun, lambat laun nama Bedeng 53 ini berubah menjadi Desa Sidodadi dengan Kepala Desa yang pertama adalah Poncodiharjo. *** (300113)
Share:

Masjid An Nur Sukadana

Memasuki Jalan Annur di Desa Sukadana, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Lampung Timur, suasana kekhasan kampung etnik hadir di wilayah ini. Kekhasan tersebut ditandai dengan masih banyaknya bangunan rumah kuno khas Lampung yang masih berdiri.
Tidak hanya itu, di jalan tersebut juga berdiri satu bangunan berarsitektur khas Lampung berwarna hitam masih berdiri tegak, tepat di depan Balai Desa Sukadana. Rumah tersebut menjadi ikon bagi masyarakat Sukadana dan telah ditetapkan menjadi cagar budaya dengan sebutan “Rumah Tradisional Sukadana”.


Selain itu, di samping cagar budaya tersebut masih tegak berdiri sebuah masjid. Masjid ini memiliki menara yang besar dan lumayan tinggi dan menandakan ketuaan umurnya. Tak ada prasasti atau semacamnya yang mununjukkan kapan menara masjid itu dibangun, namun H. Badri, salah seorang pengurus masjid tersebut, menunjukkan sebuah bangunan yang konon dipergunakan sebagai penanda waktu shalat di antara bangunan masjid dan menara tersebut. Di bangunan tersebut, tertulis tanggal 27 Oktober 1934. Menurutnya, tulisan tanggal tersebut konon dipercaya sebagai awal permulaan berdirinya Masjid An Nur.


Masjid seluas ukuran 14 x 14 m ini, awalnya terbuat dari  kayu nangi. Sebuah kayu lokal yang dulunya banyak ditemui di Sukadana. Namun kini, masjid ini telah mengalami beberapa renovasi dengan menambah serambi kiri, kanan dan depan dengan bangunan berbahan semen. Kendati demikian, di dalam masjid tersebut kekunaan yang dimilikinya masih terpancar dalam dua saka depan. Sedangkan, dua saka di belakangnya telah dilapisi semen sehingga kayunya tertutup.
Masjid ini dinamakan Masjid An Nur karena memang masjid ini didirikan oleh K.H. Muhammad Nur. Beliau adalah salah seorang pejuang dan penyiar agama Islam di Lampung. dan sekaligus merupakan pendiri pondok pesantren An Nur di Sukadana. *** [140113]

Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami