The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Kuliner Nusantara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kuliner Nusantara. Tampilkan semua postingan

Rumah Makan Rawon Nguling Probolinggo

Seperti biasa, sebelum diadakan training selalu didahului dengan pilot test. Pada Performance Oversight & Monitoring Endline Survey for the Evaluation of the Education Partnership – Component 1 (School Construction) ini, saya berkesempatan mengikuti pilot test di Situbondo dan Probolinggo.
Berangkat pada 10 Agustus 2015 dari kantor Regional Economic Development (REDI) pagi menuju Bandara Juanda untuk menjemput pewakilan dari EP-POM terlebih dahulu. Kemudian dari Bandara Juanda, kami menggunakan mobil rental bermerk Toyota Innova menuju Situbondo pada siang hari. Sampai di perbatasan antara Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Probolinggo sudah menjelang malam, kami berempat pun berhenti untuk makan malam.
Lokasi makan malamnya dipilihkan oleh salah seorang di antara kami, di Rumah Makan Rawon Nguling. Rumah makan ini terletak di Jalan Raya Tambakrejo No. 75 Desa Tambakrejo, Kecamatan Tongas, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi rumah makan ini berada di perbatasan antara Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Probolinggo, atau tepatnya berada di timur gapura batas kabupaten.


Awalnya, rumah makan ini bermula dari warung makan sederhana, yang dirintis oleh Karyodirejo dan istrinya, Marni, pada 12 Desember 1942. Warung makan tersebut dulu diberi nama “Lumayan.” Warung makan ini menyajikan berbagai masakan ala kampung khas Jawa Timur, di antaranya lodeh, soto, rawon, dan sebagainya.
Kebetulan rawon yang dimasak oleh Karyodirejo terasa pas dilidah setiap yang mengunjungi warungnya. Lama-kelamaan, rawon buatan Karyoredjo ini semakin dikenal. Berawal dari mulut ke mulut, kelezatan rawon tersebut akhirnya mencapai lintas luar batas daerahnya. Pengunjung pun kian hari kian bertambah ramai.
Akhirnya, warung makan Lumayan tersebut berkembang pesat, dan sekarang memiliki bangunan yang besar serta megah. Nama warungnya pun berganti menjadi Rumah Makan Rawon Nguling. Hal ini didasarkan pada menu unggulan dari rumah makan ini yaitu rawon. Rawon adalah makanan berbahan dasar daging dengan kuah berwarna hitam. Menghidangkannya, dicampur nasi dan irisan daging sapi dengan sambel terasi dan tauge pendek sebagai perlengkapannya. Kehitaman rawon ini diperoleh dari bumbu utamanya, yaitu kluwek. Bumbu kuahnya sangat khas Indonesia, yaitu campuran bawang merah, bawang putih, lengkuas, ketumbar, serai, kunyit, cabe, kluwek, garam dan minyak nabati. Semua bahan ini dihaluskan, lalu ditumis sampai harum. Campuran bumbu ini kemudian dimasukkan dalam kaldu rebusan daging bersama-sama dengan daging.


Resep Rawon Nguling hasil racikan Karyodirejo bersama istrinya ini, telah diwariskan tiga generasi. Kekhasan rawonnya ini adalah irisan dagingnya lebih besar dibandingkan dengan ukuran irisan rawon di tempat lain. Namun, tetap terasa empuk. Selain itu, cita rasa Rawon Nguling terasa enak karena takaran bumbu dan cara mengolah bahan-bahannya terasa pas. Karyodirejo bersama istrinya, telah berhasil memformulasikan 14 bahan bumbunya, termasuk aneka jenis rimpang, secara tepat. Sehingga, menghasilkan kuah rawon yang lebih kental tetapi tetap segar. Rawon Nguling memang rawon dengan rasa yang luar biasa dengan berbagai pilihan, antara lain raon iga sapi, rawon buntut, rawon paru, rawon lidah, rawon limpa, dan sebagainya.
Saking legendarisnya rasa Rawon Nguling ini, maka tak heran bila tercatat Basuki Abdullah dan Maestro Affandi pernah bersantap di sini. Kemudian Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah mencicipi rawon di rumah makan ini. Foto-foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah makan di tempat ini, sekarang menjadi pajangan utama yang ada di tembok rumah makan ini. Prestasi yang diraih oleh Rumah Makan Rawon Nguling ini mampu mewaralabakan menunya ke beberapa daerah, yaitu antara lain Jakarta, Tangerang, Surabaya, Malang, dan Pasuruan.
Di rumah makan ini, selain menu utama rawon juga menyediakan menu spesial lainnya, seperti ayam penyet komplit, buntut penyet, iga penyet, empal, gule kambing, nasi lodeh, nasi sop, nasik kare ayam kampung, nasi semur daging, nasi sayur asem, tahu tek-tek Surabaya, perkedel, telor asin hingga kerupuk udang.
Setelah selesai makam malam sambil beristirahat sejenak, perjalanan pun dilanjutkan ke Situbondo. Dari perjalanan ini, bersyukurlah saya yang diajak bersantap malam di sini. Hilang laparnya, dapat sejarahnya! *** [100815]
Share:

Tahu Sumedang

Keliling di daerah Tegal Parang, Jakarta Selatan, untuk mencari counter HP yang besar tak membuahkan hasil maksimal. Pasalnya, HP Xiaomi Redmi Note 2 kiriman dari Surabaya belum berhasil dioperasikan. Kata pihak counter Tegal Parang, di Jakarta Xiaomi jarang dipakai sehingga jarang juga yang bisa mengoperasikan HP Xiaomi yang baru dibeli.
Di tengah kegalauan antara tuntutan kerja dan gagal mengoperasikan HP, saya singgah di penjual coctail pinggir Jalan Tegal Parang. Kebetulan di samping ada penjual gorengan. Sambil minum, saya nyocol gorengan juga, yaitu bakwan goreng. Kalau di Surabaya, dikenal dengan ote-ote. Kemudian pulangnya, saya suruh bungkus enam tahu Sumedang.
Sambil membayar gorengan tadi, saya bertanya kepada penjualnya dengan nada guyonan. “Koq, tahunya dinamakan tahu Sumedang, Pak?”
“Ya, kali tahunya dari Sumedang?” jawab penjual dengan aksen Jakartanan.
Masih kepengin bercanda dengan abang penjual gorengan, saya pun bertanya lagi: “Memang, Bapak belinya ke Sumedang?”
“Ya, enggaklah?” jawab penjual sambil menggoreng yang lainnya.
Setelah pulang, rasa penasaran jadi timbul. Sebenarnya gimana sih riwayat tahu Sumedang itu? Akhirnya, saya berusaha menelusur referensi mengenai asal muasal tahu sumedang ini, yang terkenal enak dan gurih. Dibalik kelezatannya, ternyata tahu Sumedang menyimpan sebuah kisah yang erat kaitannya dengan kaum imigran asal Tiongkok yang memasuki wilayah Priangan Timur, di antaranya Sumedang.


Tahu berasal dari bahasa Tiongkok Hokkian, yaitu Tao Hu. Tao, artinya kacang, dan Hu berarti lumat. Jadi, Tao Hu berarti kacang (kedelai) yang dilumatkan. Kata Tao Hu tadi setelah diucapkan oleh lidah pribumi, ucapannya berubah sedikit menjadi Tahu.
Salah seorang imigran Tiongkok yang bermukim di Sumedang, namanya Ong Kin No berusaha membuat tahu untuk mengenang kebiasaan di kampung halamannya, pada tahun 1917. Awalnya, hanya bertujuan untuk konsumsi keluarga saja. Kemudian tahu buatannya tersebut beredar di kalangan orang Tionghoa, karena memang makanan tersebut berasal dari sana. Lama-lama, banyak orang pribumi juga yang ingin merasakan makanan bernama tahu tersebut. Sejak saat itu, tahunya menjadi dikenal dan Ong Kin No bertekad menjadi pembuat dan penjual tahu.
Perkembangan tahu Sumedang semakin bersinar pada generasi kedua setelah ditangani oleh anaknya Ong Kin No yang bernama Ong Bung Keng. Ong Bung Keng meneruskan usaha ayahnya tersebut dengan bekerja keras. Di tangan Ong Bung Keng usaha tahu milik ayahnya berkembang pesat sehingga tahu buatan Ong Bung Keng lebih dikenal sebagai cikal bakal tahu Sumedang.
Tahu Sumedang, yang semula dikenal dengan nama tahu Bungkeng (dari asal nama pembuatnya, Ong Bung Keng) ini, akhirnya merambah ke seluruh Kabupaten Sumedang kala itu. Bahkan, Bupati Sumedang yang memerintah saat itu, Pangeran Aria Suria Atmaja mengakui kelezatannya dan meminta makanan itu untuk dijual kepada masyarakat luas. Sang Pangeran, yang konon ucapannya pasti terwujud, yakin penganan ini akan menjadi berkah tersendiri untuk ekonomi Sumedang.
Tahu Sumedang yang benar adalah tahu yang dijajakan dalam bentuk sudah digoreng, tidak pong, atau tidak kosong, dan masih berisi sari kedelai yang masih putih. Sari kedelai tersebut memberikan rasa khas perpaduan rasa kulit tahu yang sudah kering digoreng dan bagian dalam yang tidak kering. Tahu Sumedang mempunyai kulit luar yang berbintik-bintik atau curintik (bahasa Sunda) yang khas membedakan dari jenis tahu lainnya.
Kini, tahu Sumedang telah menjamur. Hampir di tiap daerah di Indonesia bisa dijumpai tahu Sumedang, termasuk salah satunya saya ini. Makan tahu Sumedang di pinggir Jalan Tegal Parang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. *** [090416]
Share:

Pecel Semanggi Surabaya

Minggu (20/03) saya membeli makan siang di dekat Pasar Semolowaru, pulangnya saya memotong jalan melewati perumahan. Sampai pos jaga perumahan, yang berada di pertemuan antara Jalan Semolowaru Tengah IX dan Semolowaru Tengah XIV, saya menjumpai seorang ibu menggendong bakul (tenggok, Jawa) di punggungnya. Ibu itu kemudian menaruh bakul di dekat pos jaga tersebut. Lalu, saya bertanya ke ibu separoh baya itu: “Jual apa, Bu?”
“Semanggi, Mas?” jawab sang ibu sambil menata bakulnya.
“Waduh, apa pula itu?” seloroh saya untuk mengundang eksplanasi dari ibu tadi.
Pecel, Mas. Sayurane saking godhong semanggi.” terang ibu tersebut.
Akhirnya, dari obrolan saya dengan ibu yang ternyata penjual pecel semanggi tersebut berbuah sebuah pengetahuan kuliner khas Surabaya.
Semanggi (Marsilea Crenata Presl) adalah sekelompok paku air (Salviniales) dari marga Marsilea yang di Indonesia mudah ditemukan di pematang sawah atau tepi saluran irigasi. Tanaman ini memang doyan air berbentuk semak menjalar sepanjang sekitar 25 cm. Berwarna hijau kecoklatan, dan majemuk di mana tiap tangkai terdiri dari tiga atau empat helai daun, lonjong, tepi rata, pangkal runcing, panjang kurang lebih 2 cm, dan lebar sekitar 1 cm. Sepintas terlihat seperti bunga tapak dara, hanya saja kalau Semanggi warnanya hijau.
Daun tanaman semanggi bisa dijadikan bahan makanan. Orang asli Australia (Aborigin) tercatat sebagai kelompok masyarakat yang juga memanfaatkan daun tersebut sebagai bahan makanan. Di Surabaya, semanggi adalah warisan kuliner tradisional yang hingga kini masih bisa ditemui. Makanan warga Surabaya ini terdiri dari rebusan daun semanggi, kecambah, bunga turi juga daun ketela. Tak lupa diberi siraman, yang membuatnya berbeda adalah racikan bumbu tela kukus, lalu ditumbuk hingga halus dan ditambah kemiri goreng. Satu hal yang tidak boleh ketinggalan ketika menyantap semanggi adalah kerupuk puli.


Yang membuat semanggi begitu melegenda karena sajiannya yang istimewa. Berada di atas ‘pincuk’ atau semacam daun pisang yang dibentuk menyerupai kerucut sebagai pengganti piring. Terkadang, disediakan suru (daun pisang yang dibentuk menyerupai sendok) untuk memakannya. Soal rasa tidak perlu khawatir, selain enak makanan tradisional yang satu ini juga menyehatkan bagi tubuh.
Daun semanggi diyakini dapat menyembuhkan beberapa penyakit di antaranya kolesterol, kencing manis, osteoporesis ataupun asma. Memasak makanan ini pun tak boleh sembarangan. Agar rasanya enak, beragam sayuran harus direbus di dalam panci yang terbuat dari tanah liat dan dimasak di atas tungku berbahan bakar kayu bakar.
Walaupun kini penjual semanggi sedikit, namun keistimewaan semanggi memang tak lekang dimakan usia. Penjual semanggi masih tetap menggunakan kain jarit dan selendang untuk memanggul semanggi. Hal ini membuktikan bahwa budaya bangsa ini masih tetap terjaga. Sebagian besar penjual makanan ini berasal dari Desa Kendung, Benowo, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Desa ini dikenal dengan nama Kampung Semanggi. Di sana warga membudidayakan tanaman Semanggi karena sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai penjual semanggi.
Dahulu semanggi ditemukan secara tidak sengaja. Tanaman ini tumbuh secara liar di daerah Benowo. Kemudian masyarakat di daerah Benowo khususnya di Desa Kendung mulai menanam semanggi di depan rumah dan dijadikan sebagai sumber mata pencaharian mereka sehari-hari. Semanggi sudah diproduksi oleh masyarakat sekitar Benowo dan Manukan. Hampir semua pedagang semanggi yang ada di Surabaya ini berasal dari tempat yang sama dan juga masih saling terikat hubungan saudara. Tidak semua penjual semanggi memasak atau memproduksi sendiri barang dagangannya, sebagian dari penjual tersebut mencapat stock dari tengkulak dan hanya bertugas sebagai penjual saja. Setiap pagi mereka berbondong-bondong meminjam atau istilahnya carter bemo untuk berangkat bersama-sama ke tempat di mana mereka akan berjualan. Sistem tempat berjualan mereka berpencar, tidak berpatokan hanya pada satu tempat saja. Jika pada hari biasa mereka biasanya berjualan keliling dari kampung ke kampung hingga ke gang-gang perumahan untuk menjajakan jualannya. Namun jika hari Sabtu atau Minggu dan hari libur, penjual semanggi biasa ditemui di beberapa sudut taman kota seperti taman bungkul, dan taman prestasi. Tetapi biasanya, sebelum matahari terbenam para penjual semanggi ini sudah kembali pulang.
Makanan yang sudah menjadi ikon Kota Surabaya ini ternyata mulai ada sejak tahun 1945, dan saking kondangnya kekayaan kuliner khas Surabaya ini pernah menjadi sebuah lagu keroncong yang diciptakan oleh S. Padimin pada era 1950-an dengan judul Semanggi Suroboyo.
Begini lirik lagunya:

Semanggi Suroboyo
Lontong balap Wonokromo
Dimakan enak sekali,
Sayur semanggi krupuk puli
Bung ... mari ...

Harganya sangat murah,
Sayur semanggi Suroboyo
Didukung serta dijual
Masuk kampung keluar kampung
Bung ... beli ...

Sedap benar bumbunya dan enak rasanya
Kankung turi cukulan dicampurnya
Dan tak lupa tempenya
Mari bung mari beli sepincuk hanya setali
Tentu memuaskan hati
Mari beli sayur semanggi
Bung ... beli ...

Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami