The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Tujuan Wisata di Bali. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tujuan Wisata di Bali. Tampilkan semua postingan

Pantai Kuta Bali

Tiga kali sudah saya mengunjungi pantai ini. Tapi baru kunjungan yang ketiga ini yang memberi makna tersendiri. Agenda supervisi ke Manggarai Timur, mengharuskan kami transit semalam di Bali. Dalam transit itu, saya yang berkesempatan mendampingi seorang Data Analyst dari EP-POM mendapat ‘keberuntungan’ yang tak terbayangkan sebelumnya. Saya diajak menginap di jantung pariwisata di Pulau Bali, tepatnya di Melasti Kuta Bungalows and Spa yang berada di Jalan Kartika Plasa No. 5, Kuta, Kabupaten Badung, Bali.
Laksana sinetron, ceritanya pun bisa ditebak. Di Bali, kami bisa berlama-lama dan memanjakan diri di sebuah pantai yang kondang sejagat itu. Pantai Kuta namanya! Dinamakan demikian karena lokasi pantai ini awalnya bermula ada di Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.

Pantai Kuta dari sisi utara

Secara geografis, Pantai Kuta yang mempunyai panjang sekitar 1.500 meter ini berada di Teluk Kuta sehingga garis pantainya pun berbentuk bulan sabit. Pesona garis pantai yang panjang melengkung dengan hamparan pasir putih yang lembut, sangat digemari oleh wisatawan domestik maupun mancanegara yang berkunjung ke sini.
Sebelum menjadi objek wisata yang mendunia, Kuta merupakan pelabuhan kecil yang dihuni oleh para nelayan. Pada tahun 1839 Mads Johansen Lange, seorang pedagang berkebangsaan Denmark, pernah mendarat di pelabuhan kecil tersebut. Lange lahir di Rutkøbing pada 18 September 1807. Rutkøbing adalah sebuah kota kecil yang berada di Pulau Langeland, Denmark, yang terletak antara Sabuk Besar dan Teluk Kiel.

Rerimbunan pepohonan di sepanjang Pantai Kuta, Bali

Mads Lange pertama kali berlayar pada umur 18 tahun. Awalnya, Lange mengembangkan usaha dagangnya di Lombok bersama rekannya seorang Inggris kelahiran Denmark, John Burd. Pada perkembangan selanjutnya, Lange menetap di Tanjung Karang, sebuah pelabuhan di sebelah selatan Ampenan, sedangkan John Burd menetap di Canton (Tiongkok) atau Hongkong.
Dalam pengembangan usahanya di Lombok, Lange menjadi saingan berat George Peacock King, seorang pedagang Inggris. Karena ambisinya yang besar untuk memonopoli perdagangan di Ampenan, King diusir dari Lombok dan menetap di Kuta (Bali). Beberapa bulan kemudian King kembali lagi ke Lombok dan menempatkan dirinya di bawah perlindungan Raja Mataram-Lombok. Sementara Lange mendapat perlindungan dari Raja Karangasem-Lombok. Persaingan kedua pedagang ini, akhirnya menimbulkan peperangan di antara kedua kerajaan tersebut. Peperangan ini dimenangkan oleh Kerajaan Mataram-Lombok, sehingga Mads Lange pun akhirnya terusir dari Lombok.

Deretan papan selancar yang direntalkan di Pantai Kuta, Bali

Karena diusir dari Lombok, Lange dengan kapal dagang kecilnya, Venus, mendarat di Pelabuhan Kuta. Di daerah inilah dia kemudian mengembangkan kembali usahanya. Berkat kepiawaiannya dalam bergaul di semua kalangan, baik dengan penduduk lokal, raja-raja di Bali maupun orang Belanda, menyebabkan usaha dagangnya berkembang dengan cepat, dan diangkat sebagai syahbandar. Dia juga menikahi dua orang wanita Bali, yaitu Nyai Kenyer dan Ong San Nio, seorang wanita Tionghoa Bali.
Kepercayaan yang diberikan oleh Raja Kesiman, seorang Raja Badung, dan petinggi Belanda di Bali pada waktu itu, menjadikan Lange berhasil menjadi juru damai. Atas usahanya, Lange dapat mempertemukan Bali dan Belanda di meja perundingan. Setelah penandatangan perjanjian tersebut, diadakan pesta besar di rumah Lange yang dihadiri oleh 30.000 orang. Berkat usahanya inilah, Lange dianugerahi Orde Singa Belanda (Knight of Nederlandse Leeuw) oleh Pemerintah Hindia Belanda dan menerima medali emas (Danish Gold Medal) dari Pemerintah Denmark atas pencapaiannya.

Menuju ke laut untuk berselancar

Pada tahun 1856, Lange sakit dan kemudian meninggal sebelum keinginannya untuk pulang ke Denmark kesampaian. Dia dikuburkan di dekat rumahnya yang dapat terlihat  dari jalan Bypass Ngurah Rai yang menghubungkan Kuta-Sanur. Atas jasanya, Kuta berkembang sebagai kawasan perdagangan internasional pada awal abad ke-19.
Perkembangan ini tidak berjalan lama, karena pada waktu itu situasi politik Bali mengalami instabilitas. Hal ini disebabkan oleh adanya peperangan antar kerajaan yang ada di Bali akibat hasutan dari pihak imperialis Belanda. Bahkan, perang tersebut akhirnya merembet ke perang antara kerajaan yang ada di Bali dengan pihak kolonial Belanda. Kondisi ini tentunya membuat perekonomian pun turut memburuk akibat beberapa perang tersebut.

Peselancar bermain dengan deburan ombak di Pantai Kuta, Bali

Beruntunglah, Bali memiliki keunikan budaya, keindahan alam, dan keramahtamahan penduduknya yang menjadikan Bali dapat berkembang menjadi destinasi wisata. Awalnya, Bali dikonotasikan dengan Paradise Island. Akan tetapi, bila ditinjau jauh ke belakang, sebutan itu sebetulnya bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit ataupun diambil dari bawah. Bagaimanapun, Paradise Island adalah citra yang awalnya dikonstruksi pemerintah kolonial Belanda untuk menarik minat orang-orang Eropa agar berkunjung ke Bali. Dengan kata lain, genealogi pariwisata massal di Bali bisa ditelusuri dari zaman kolonial Belanda. Selanjutnya, ini kemudian diteruskan Presiden Soekarno dan Soeharto dengan pencitraan plus kepentingannya masing-masing.
Sejak pencitraan Paradise Island itu tercipta pada 1906, dan semakin menguat pada 1927, brosur, pamflet, dan majalah panduan pariwisata, tak henti-henti mencitrakan Bali (manusia, budaya, dan alamnya). Belanda kemudian, melalui tur pelayaran KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) yang mengangkut turis-turis Eropa, menjadikan Bali sebagai destinasi. Meski perlu ditegaskan, awalnya KPM sama sekali tidak menyentuh Bali mengingat citranya sebelum sekali tidak menyentuh Bali mengingat citranya sebelum 1906 masih sangat menyeramkan.
Namun seiring perjalanan waktu, Bali mulai dikenal oleh wisatawan. Keindahan dan keelokan Pantai Kuta awalnya ditemukan oleh sekelompok wisatawan mancanegara yang mengunjungi Pulau Bali sekitar tahun 1960-an. Pada waktu itu, masyarakat masih kuat dengan budaya aslinya dan hidup sederhana yang sangat berbeda dengan budaya atau kebiasaan para wisatawan mancanegara yang kebetulan adalah bule hippies. Penduduk umumnya bekerja sebagai nelayan, bertani atau berkebun. Kuta pada masa itu masih dipenuhi semak belukar, pohon kelapa, ketapang, dan pandan duri. Selain itu, juga masih terrkenal angker, banyak leak, dan banyak kuburan di sepanjang pantainya. Hanya ada satu dua bule hippies yang berkeliaran di pantai, menikmati kebebasannya sebagai manusia.
Keindahan Pantai Kuta ini semakin dikenal luas setelah Hugh Mills Mabbett melukiskan dalam tulisannya dalam sebuah buku berjudul In Praise of Kuta: From slave port to fishing village to the most popular resort in Bali (January Books, New Zealand, 1987). Dalam buku tersebut, berisi ajakan kepada masyarakat setempat untuk menyiapkan fasilitas akomodasi wisata. Tujuannya untuk mengantisipasi ledakan wisatawan yang berkunjung ke Bali. Buku ini kemudian menginspirasi banyak orang untuk membangun fasilitas wisata seperti penginapan, restoran dan tempat hiburan.
Sejak itu wisatawan mancanegara mulai datang menikmati pantai yang dikenal indah ini. Keindahan ombak dan pasir putih Pantai Kuta yang luar biasa memunculkan aktivitas sea-sand-sun. Selain itu, Pantai Kuta juga dikenal dengan pemandangan matahari terbenamnya (sunset) dan berselancar (surfing).
Berkat buku Hugh Mabbet, seorang jurnalis Selandia Baru tersebut, membuat kawasan Pantai Kuta makin ramai dikunjungi oleh wisatawan mancanegara. Kuta pun perlahan bertransformasi dari sebuah kampung nelayan menjadi kawasan wisata internasional. Fasilitas pariwisata makin banyak bermunculan. Homestay, losmen, hotel, restoran, kafe, pub, diskotik, pertokoan, mall dan berbagai bentuk bisnis lain saling berebut tempat. *** [210915]

Kepustakaan:
Yudhis M. Burhanuddin, 2008. Bali yang Hilang: Pendatang, Islam, dan Etnisitas di Bali, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/
www.balisaja.com/
Share:

Pura Tanah Lot

Setelah puas menikmati daya tarik wisata Ulun Danu Beratan, bersama rombongan REDI, bus pariwisata diarahkan menuju ke Pura Tanah Lot. Seperti diketahui, di berbagai tempat di Bali banyak ditemukan pura sebagai tempat persembahyangan umat Hindu. Banyak kalangan spiritual menjadikan pura di Bali sebagai salah satu tempat untuk berkunjung dan melakukan persembahyangan (Tirta Yatra), karena aura magis dari pura di Bali itu sendiri.
Pemandu wisata yang menjadi satu paket dengan bus pariwisata bookingan REDI, sengaja memilihkan destini Pura Tanah Lot bukan asal comot saja. Pura ini begitu terkenal, tidak hanya di Bali, Nusantara bahkan hingga mancanegara. Keindahan Pura Tanah Lot dan alam sekitar lingkungannya sangat mempesona dan eksotis, terlebih saat matahari menjelang terbenam (sunset).
Pura Tanah Lot terletak di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Lokasi pura ini berjarak sekitar 33 km di sebelah barat Kota Denpasar atau berjarak sekitar 11 km di sebelah selatan Kota Tabanan.


Keistimewaan Pura Tanah Lot semakin menonjol, terlebih lagi jika dikaitkan dengan sejarah berdirinya Pura Tanah Lot tersebut berkaitan dengan perjalanan suci (Dharmayatra) Danghyang Dwijendra atau yang pada waktu walaka bernama Danghyang Nirartha dalam proses penyebaran agama Hindu di Bali.
Danghyang Nirartha adalah seorang baghawan yang hidup pada masa Kerajaan Majapahit yang berkeliling Pulau Bali pada sekitar tahun 1489. Sang baghawan tiba di Bali melalui Blambangan pada abad ke-15, dan disambut dengan baik penguasa Bali pada waktu itu, yaitu Raja Dalem Waturenggong. Ketika melakukan dharmayatra untuk mengajarkan agama Hindu hingga ke pelosok, beliau sempat berhenti dan beristirahat. Tempat berhenti tersebut berada di sebuah pulau kecil yang berdiri di atas batu karang.
Tak lama setelah Danghyang Nirartha beristirahat, berdatanganlah para nelayan dengan membawa berbagai persembahan untuk beliau. Kemudian pada malam harinya, Sang baghawan berkenan memberikan nasihat keagamaan seperti kebajikan dan susila kepada masyarakat desa yang datang menghadap, dan beliau menasihati kepada masyarakat desa untuk membangun parahyangan di tempat itu, karena getaran batin (wisik) beliau serta adanya petunjuk gaib bahwa tempat itu baik digunakan sebagai tempat untuk memuja Sang Hyang Widhi. Kemudian, setelah Danghyang Nirartha meninggalkan tempat itu, dibangunlah sebuah bangunan suci di atas batu karang yang berada di tengah laut. Dari sinilah nama Tanah Lot diambil. Tanah Lot terdiri atas dua kata, yaitu tanah dan lot. Pengertian tanah di sini, oleh masyarakat setempat diartikan sebagai batu karang yang menyerupai pulau kecil (gili), sedangkan lot berarti laut. Sehingga, nama Pura Tanah Lot diartikan sebagai tempat pemujaan (pura) yang dibangun di atas tanah di tengah laut.


Di kompleks pura yang berada di tengah laut tersebut, terdapat beberapa pelinggih seperti meru tumpang tujuh yang diperuntukkan sebagai tempat pemujaan bagi Dewa Baruna. Masyarakat Bali kerap menyebutnya dengan Bhatara Segara atau Dalem Tengahing Samudra. Sedangkan meru tumpang tiga digunakan untuk memuja Danghyang Nirartha atas jasa beliau dalam mengembangkan dan mengajarkan agama Hindu di daerah ini.
Di bawah Pura Tanah Lot terdapat sebuah ceruk menyerupai goa yang mana di dalamnya bisa ditemukan mata air tawar yang disucikan, karena meski persis berada di bawah pura yang berada di tengah laut namun rasanya tetap tawar. Banyak pengunjung yang berusaha masuk ke dalam goa tersebut sekadar untuk membasuh muka yang diyakini dapat menyebabkan awet muda hingga bisa memberikan keselamatan serta keberuntungan.
Tepat di seberang goa ini, pengunjung juga bisa menemukan sebuah goa lain yang dihuni oleh ular laut berwarna hitam dengan belang putih di tubuhnya. Masyarakat desa setempat percaya bahwa ular-ular tersebut merupakan jelmaan dari selendang Danghyang Nirartha yang bertugas untuk menjaga Pura Tanah Lot ini.
Selain bisa mendengarkan kisah keberadaan pura ini, pengunjungnya juga dapat menyempatkan diri untuk melihat maupun membeli souvenir khas Bali di deretan kios sebelum menuju Pura Tanah Lot ini. *** [111014]
Share:

Kawasan Wisata Ulun Danu Beratan

Senangnya hati ini berkesempatan keliling Bali. Berawal dari adanya hajatan pernikahan seorang teman kantor, terciptalah gagasan menarik dari Kantor Regional Economic Development Instute (REDI) untuk refreshing bagi karyawan-karyawannya, dan gratis pula.
Pada saat di Bali, kita dipandu oleh Event Organizer (EO) dari hotel tempat kita menginap. Sehingga, para karyawan REDI merasa senang dibuatnya. “Dari ketidaktahuan menjadi ketahuan,” kilah salah seorang teman yang duduk di bagian belakang dari Bus Pariwisata yang kita tumpangi.
Tujuan pertama kita di Bali adalah mendatangi hajatan teman yang sedang prosesi pernikahan di daerah Seririt, Kabupaten Buleleng. Sekitar sejam mengikuti prosesi pernikahan teman sekantor, perjalanan dilanjutkan ke Bedugul.
Bedugul adalah salah satu kawasan obyek wisata Bali yang banyak dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Lokasinya yang berada di dataran tinggi menawarkan geografis perbukitan dengan cuaca yang sejuk, kurang lebih 18C - 22C, menjadikan Bedugul menjadi salah satu tujuan wisata yang cukup menarik di Bali. Bukan hanya itu, di daerah Bedugul terdapat kawasan wisata yang cukup ramai menjadi destini wisata, yaitu salah satunya adalah Kawasan Wisata Ulun Danu Beratan.


Kawasan Wisata Ulun Danu Beratan terletak di jalur jalan provinsi yang menghubungkan Denpasar dengan Singaraja. Lokasinya berada di Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Jaraknya kurang lebih 45 km dari pusat kota Kabupaten Tabanan dan 70 km dari Denpasar, Ibu Kota Provinsi Bali.
Sesuai nama kawasan wisatanya, daya tarik utama bagi wisatawan adalah adanya sebuah danau yang dikenal dengan Danau Beratan, atau biasa juga dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan Danau Bedugul.


Danau Beratan merupakan salah satu danau di Pulau Bali yang memiliki luas genangan 3,85 km², panjang danau sekitar 7,5 km, lebar 2,0 km, kedalaman maksimum sekitar 20 m serta berada di ketinggian 1.231 m di atas permukaan laut. Volume tamping air Danau Beratan adalah sebesar 49, 22 juta m³ dengan luas daerah tangkapan air seluas 13,40 km² (BPS Provinsi Bali, 2010).
Danau Beratan tergolong danau kaldera dengan sistem perairan yang tertutup (enclosed lake), yang secara alamiah terdapat pada kawasan ekosistem dengan bentuk wilayah yang bergunung pada tingkat kemiringan lereng 30%-60%.
Danau Beratan terbentuk karena adanya aktivitas vulkanik. Konon, Danau Beratan ini awalnya merupakan danau terbesar di Pulau Bali. Akan tetapi ketika terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat pada masa silam, akhirnya Danau Beratan ini terbagi menjadi 3 bagian, yaitu Beratan, Tamblingan, dan Buyan. Semenjak itu, Danau Beratan menjadi danau terbesar kedua di Pulau Bali setelah Danau Batur kemudian disusul oleh Danau Buyan.


Nama “Beratan” diambil dari kata “Brata” yang berarti mengendalikan diri dengan menutup Sembilan lubang kehidupan. Kata “Brata” dapat dijumpai dalam istilah “Tapa Brata” yang berarti bersemedi atau bermeditasi untuk mencapai ketenangan agar dapat manunggal dengan alam dan berkomunikasi dengan Yang Maha Gaib.
Istilah tersebut menjadi signifikan, setelah menyaksikan bahwa di tepi Danau Beratan berdiri sebuah bangunan pura yang digunakan oleh umat Hindu untuk melakukan peribadatannya. Pura tersebut dikenal dengan Pura Ulun Danu Beratan. Pura ini dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Dewi Danu atau Dewi Sri sebagai dewi kesuburan, sehingga pura ini didirikan untuk memuja Dewi Danu. “Danu” sendiri adalah bahasa lokal Bali yang berarti “Danau”. Pura ini biasa digunakan oleh masyarakat Bali sebagai tempat menghaturkan sesaji atau bersemedi.
Berdasarkan Lontar Babad Mengwi, Pura Ulun Danu Beratan dibangun pada tahun 1556 Çaka (1634 M) oleh I Gusti Agung Putu yang bergelar I Gusti Agung Sakti. Namun ada juga yang meragukan dengan tahun pendirian tersebut. Hal ini disebabkan dengan ditemukannya sebuah sarkofagus dan papan batu yang berada di sebelah kiri halaman depan pura tersebut yang diperkirakan berasal dari kebudayaan megalitik sekitar tahun 500 M. Akan tetapi, yang jelas pura ini sudah berumur ratusan tahun lebih.
Pura Ulun Danu Beratan terdiri dari 4 bangunan suci, yaitu: Pura Lingga Petak dengan 3 tingkat meru sebagai tempat pemujaan bagi Dewa Siwa, Pura Penataan Puncak Mangu dengan 11 tingkat meru sebagai tempat pemujaan Dewa Wisnu, Pura Terate Bang sebagai pura utama, dan Pura Dalem Purwa sebagai tempat pemujaan kepada Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Trimurti guna memohon kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan.
Selain itu, pengunjung Kawasan Wisata Ulun Danu Beratan bisa berkeliling sejenak dengan menggunakan boat yang tersedia di kawasan tersebut. Sensasi lainnya, adalah adanya taman yang melingkungi kawasan tersebut sehingga pengunjung bisa betah berlama-lama di kawasan ini sambil bercengkerama dengan teman dan keluarga. *** [111004]

Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami