Tiga
kali sudah saya mengunjungi pantai ini. Tapi baru kunjungan yang ketiga ini
yang memberi makna tersendiri. Agenda supervisi ke Manggarai Timur,
mengharuskan kami transit semalam di Bali. Dalam transit itu, saya yang
berkesempatan mendampingi seorang Data
Analyst dari EP-POM mendapat ‘keberuntungan’ yang tak
terbayangkan sebelumnya. Saya diajak menginap di jantung pariwisata di Pulau
Bali, tepatnya di Melasti Kuta Bungalows and Spa yang berada di Jalan Kartika Plasa No. 5, Kuta, Kabupaten Badung, Bali.
Laksana
sinetron, ceritanya pun bisa ditebak. Di Bali, kami bisa berlama-lama dan
memanjakan diri di sebuah pantai yang kondang sejagat itu. Pantai Kuta namanya!
Dinamakan demikian karena lokasi pantai ini awalnya bermula ada di Kelurahan
Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.
Pantai Kuta dari sisi utara |
Secara geografis, Pantai Kuta yang mempunyai panjang sekitar 1.500 meter ini berada di Teluk Kuta sehingga garis pantainya pun berbentuk bulan sabit. Pesona garis pantai yang panjang melengkung dengan hamparan pasir putih yang lembut, sangat digemari oleh wisatawan domestik maupun mancanegara yang berkunjung ke sini.
Sebelum
menjadi objek wisata yang mendunia, Kuta merupakan pelabuhan kecil yang dihuni
oleh para nelayan. Pada tahun 1839 Mads Johansen Lange, seorang pedagang
berkebangsaan Denmark, pernah mendarat di pelabuhan kecil tersebut. Lange lahir
di Rutkøbing
pada 18 September 1807. Rutkøbing adalah sebuah kota kecil yang
berada di Pulau Langeland, Denmark, yang terletak antara Sabuk Besar dan Teluk
Kiel.
Rerimbunan pepohonan di sepanjang Pantai Kuta, Bali |
Mads Lange pertama kali berlayar pada umur 18 tahun. Awalnya, Lange mengembangkan usaha dagangnya di Lombok bersama rekannya seorang Inggris kelahiran Denmark, John Burd. Pada perkembangan selanjutnya, Lange menetap di Tanjung Karang, sebuah pelabuhan di sebelah selatan Ampenan, sedangkan John Burd menetap di Canton (Tiongkok) atau Hongkong.
Dalam
pengembangan usahanya di Lombok, Lange menjadi saingan berat George Peacock
King, seorang pedagang Inggris. Karena ambisinya yang besar untuk memonopoli
perdagangan di Ampenan, King diusir dari Lombok dan menetap di Kuta (Bali).
Beberapa bulan kemudian King kembali lagi ke Lombok dan menempatkan dirinya di
bawah perlindungan Raja Mataram-Lombok. Sementara Lange mendapat perlindungan
dari Raja Karangasem-Lombok. Persaingan kedua pedagang ini, akhirnya
menimbulkan peperangan di antara kedua kerajaan tersebut. Peperangan ini
dimenangkan oleh Kerajaan Mataram-Lombok, sehingga Mads Lange pun akhirnya
terusir dari Lombok.
Deretan papan selancar yang direntalkan di Pantai Kuta, Bali |
Karena diusir dari Lombok, Lange dengan kapal dagang kecilnya, Venus, mendarat di Pelabuhan Kuta. Di daerah inilah dia kemudian mengembangkan kembali usahanya. Berkat kepiawaiannya dalam bergaul di semua kalangan, baik dengan penduduk lokal, raja-raja di Bali maupun orang Belanda, menyebabkan usaha dagangnya berkembang dengan cepat, dan diangkat sebagai syahbandar. Dia juga menikahi dua orang wanita Bali, yaitu Nyai Kenyer dan Ong San Nio, seorang wanita Tionghoa Bali.
Kepercayaan
yang diberikan oleh Raja Kesiman, seorang Raja Badung, dan petinggi Belanda di
Bali pada waktu itu, menjadikan Lange berhasil menjadi juru damai. Atas
usahanya, Lange dapat mempertemukan Bali dan Belanda di meja perundingan.
Setelah penandatangan perjanjian tersebut, diadakan pesta besar di rumah Lange
yang dihadiri oleh 30.000 orang. Berkat usahanya inilah, Lange dianugerahi Orde
Singa Belanda (Knight of Nederlandse
Leeuw) oleh Pemerintah Hindia Belanda dan menerima medali emas (Danish Gold Medal) dari Pemerintah
Denmark atas pencapaiannya.
Menuju ke laut untuk berselancar |
Pada tahun 1856, Lange sakit dan kemudian meninggal sebelum keinginannya untuk pulang ke Denmark kesampaian. Dia dikuburkan di dekat rumahnya yang dapat terlihat dari jalan Bypass Ngurah Rai yang menghubungkan Kuta-Sanur. Atas jasanya, Kuta berkembang sebagai kawasan perdagangan internasional pada awal abad ke-19.
Perkembangan
ini tidak berjalan lama, karena pada waktu itu situasi politik Bali mengalami
instabilitas. Hal ini disebabkan oleh adanya peperangan antar kerajaan yang ada
di Bali akibat hasutan dari pihak imperialis Belanda. Bahkan, perang tersebut
akhirnya merembet ke perang antara kerajaan yang ada di Bali dengan pihak
kolonial Belanda. Kondisi ini tentunya membuat perekonomian pun turut memburuk
akibat beberapa perang tersebut.
Peselancar bermain dengan deburan ombak di Pantai Kuta, Bali |
Beruntunglah, Bali memiliki keunikan budaya, keindahan alam, dan keramahtamahan penduduknya yang menjadikan Bali dapat berkembang menjadi destinasi wisata. Awalnya, Bali dikonotasikan dengan Paradise Island. Akan tetapi, bila ditinjau jauh ke belakang, sebutan itu sebetulnya bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit ataupun diambil dari bawah. Bagaimanapun, Paradise Island adalah citra yang awalnya dikonstruksi pemerintah kolonial Belanda untuk menarik minat orang-orang Eropa agar berkunjung ke Bali. Dengan kata lain, genealogi pariwisata massal di Bali bisa ditelusuri dari zaman kolonial Belanda. Selanjutnya, ini kemudian diteruskan Presiden Soekarno dan Soeharto dengan pencitraan plus kepentingannya masing-masing.
Sejak
pencitraan Paradise Island itu
tercipta pada 1906, dan semakin menguat pada 1927, brosur, pamflet, dan majalah
panduan pariwisata, tak henti-henti mencitrakan Bali (manusia, budaya, dan
alamnya). Belanda kemudian, melalui tur pelayaran KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) yang mengangkut turis-turis
Eropa, menjadikan Bali sebagai destinasi. Meski perlu ditegaskan, awalnya KPM
sama sekali tidak menyentuh Bali mengingat citranya sebelum sekali tidak
menyentuh Bali mengingat citranya sebelum 1906 masih sangat menyeramkan.
Namun
seiring perjalanan waktu, Bali mulai dikenal oleh wisatawan. Keindahan dan
keelokan Pantai Kuta awalnya ditemukan oleh sekelompok wisatawan mancanegara
yang mengunjungi Pulau Bali sekitar tahun 1960-an. Pada waktu itu, masyarakat
masih kuat dengan budaya aslinya dan hidup sederhana yang sangat berbeda dengan
budaya atau kebiasaan para wisatawan mancanegara yang kebetulan adalah bule
hippies. Penduduk umumnya bekerja sebagai nelayan, bertani atau berkebun. Kuta
pada masa itu masih dipenuhi semak belukar, pohon kelapa, ketapang, dan pandan
duri. Selain itu, juga masih terrkenal angker, banyak leak, dan banyak kuburan
di sepanjang pantainya. Hanya ada satu dua bule hippies yang berkeliaran di
pantai, menikmati kebebasannya sebagai manusia.
Keindahan
Pantai Kuta ini semakin dikenal luas setelah Hugh Mills Mabbett melukiskan
dalam tulisannya dalam sebuah buku berjudul In
Praise of Kuta: From slave port to fishing village to the most popular resort
in Bali (January Books, New Zealand, 1987). Dalam buku tersebut, berisi
ajakan kepada masyarakat setempat untuk menyiapkan fasilitas akomodasi wisata.
Tujuannya untuk mengantisipasi ledakan wisatawan yang berkunjung ke Bali. Buku
ini kemudian menginspirasi banyak orang untuk membangun fasilitas wisata
seperti penginapan, restoran dan tempat hiburan.
Sejak
itu wisatawan mancanegara mulai datang menikmati pantai yang dikenal indah ini.
Keindahan ombak dan pasir putih Pantai Kuta yang luar biasa memunculkan
aktivitas sea-sand-sun. Selain itu,
Pantai Kuta juga dikenal dengan pemandangan matahari terbenamnya (sunset) dan berselancar (surfing).
Berkat
buku Hugh Mabbet, seorang jurnalis Selandia Baru tersebut, membuat kawasan
Pantai Kuta makin ramai dikunjungi oleh wisatawan mancanegara. Kuta pun
perlahan bertransformasi dari sebuah kampung nelayan menjadi kawasan wisata
internasional. Fasilitas pariwisata makin banyak bermunculan. Homestay, losmen, hotel, restoran, kafe,
pub, diskotik, pertokoan, mall dan berbagai bentuk bisnis lain saling berebut
tempat. *** [210915]
Kepustakaan:
Yudhis M. Burhanuddin, 2008. Bali yang Hilang: Pendatang, Islam, dan Etnisitas di Bali, Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/
www.balisaja.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar